IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. R = k (10g+f)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORITIS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

Musim Hujan. Musim Kemarau

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

I. INFORMASI METEOROLOGI

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

I. INFORMASI METEOROLOGI

Analisis. Analisis Lanjutan. menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB.

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

I. INFORMASI METEOROLOGI

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

PENGEMBANGAN PIRANTI LUNAK WEIGHTED WAVELET Z-TRANSFORM (WWZ) DALAM ANALISIS SPEKTRAL AKTIVITAS MATAHARI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Angin Meridional. Analisis Spektrum

HASIL DAN PEMBAHASAN

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

Gambar 4 Diagram alir penelitian

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017

Temperatur dan Kelembaban Relatif Udara Outdoor

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

ANALISIS VARIASI CURAH HUJAN HARIAN UNTUK MENENTUKAN RAGAM OSILASI ATMOSFER DI KOTA PADANG (Studi Kasus Data Curah Hujan Harian Tahun )

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

Persamaan Regresi Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Suhu dan Kelembapan Udara di Ternate

ANALISIS CUACA KEJADIAN KELEMBABAN SANGAT RENDAH TANGGAL 31 JANUARI 2018

ANALISIS POTENSI ENERGI MATAHARI DI KALIMANTAN BARAT

Pembentukan Hujan 2 KLIMATOLOGI. Meteorology for better life

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

ANALISIS KEJADIAN HUJAN DISERTAI ANGIN KENCANG DI WILAYAH KOTA PONTIANAK DAN SEKITARNYA KALIMANTAN BARAT TANGGAL 04 DESEMBER 2017

Transkripsi:

memiliki nilai WWZ yang sama pada tahun yang dan periode yang sama pula. Hubungan keterpengaruhan juga teridentifikasi jika pada saat nilai WWZ bintik matahari maksimum, didapatkan nilai WWZ parameter iklim yang maximum pula, dan sebaliknya, jika pada saat nilai WWZ bintik matahari minimum, parameter iklim menunjukkan nilai WWZ yang minimum pula. Analisis sebaran data digunakan untuk melihat selang data pada masing-masing data bilangan bintik matahari dan parameter iklim. Terdapat keterpengaruhan jika selang data parameter iklim berada di dalam kisaran sebaran data bilangan bintik matahari. Nilai sebaran data [X] : 3.3.8. Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ Analisis Waktu Tunda digunakan untuk melihat kemungkinan adanya keterlambatan pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut. Analisis ini dilakukan pada grafik overlay antara parameter kosmogenik dengan parameter iklim ketiga wilayah kajian. Panjang waktu tunda ditunjukkan dari selisih periodisitas dominan antara puncak WWZ bintik matahari dengan puncak WWZ parameter iklim yang paling dekat setelah puncak WWZ bintik matahari tersebut. Metode ini tidak dilakukan perperiode musim karena data antar bulan dan tahunnya saling berkesinambungan. [X] = X + SD X dengan X adalah nilai rataan seluruh data dan SD X merupakan nilai standar deviasi data. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Studi Pustaka Hasil studi pustaka beberapa penelitian hubungan matahari dengan parameter iklim yangb telah dilakukan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Penelitian-penelitian hubungan matahari dengan parametr iklim di Indonesia No Peneliti Judul Metode 1 2 3 4 5 Thomas Djamaluddin (1998) Rilo Pambudi (2) Tuti Kurniaty (1997) Ari Christiany (25) Syahrina (24) Efek pasang surut bulan dan aktivitas matahari pada penyebaran awan di Indonesia Prediksi Curah Hujan Regional Jangka Panjang Berdasarkan Fenomena Siklus Sunspot Pengaruh Sunspot Terhadap Iklim dan Pengujian Hipotesis Pengaruh Aktivitas Matahari (solar activity) Terhadap Perubahan Cuaca di Indonesia Berdasarkan Teori Fractal dan Hubungannya Dengan Fenomenea El-Nino Identifikasi Pengaruh Siklus Bintik Matahari pada Spektrum Curah Hujan Pulau Jawa - analisis spektral pada data awan di sekitar Jakarta dengan Weighted Wavelet Z- Transform - penentuan zona sinyal sunspot pada data curah hujan dan analisis spektral entropi maksimum - perata-rataan ruang terhadap data curah hujan yang berada dalam zona sinyal sunspot - estimasi koefisien regresi menggunakan Least Square - metode korelasi linier dan smoothing menggunakan Low Pass Filter binomial 5 suku - nilai korelasi r dan pengujian hipoteis H = tidak ada pengaruh, H 1 = ada pengaruh - pengujian keterpengaruhan menggunakan distribusi normal Z 2 arah dengan α =,5 - koefisien korelasi dan uji F hitung - penentuan nilai α ( Self Similarity Parameter ) - penentuan nilai fractal dengan metode DFA ( Detrended Fluctuation Analysis ) - Low Pass Filter suku 5 - analisis spektral menggunakan FFT - analisis spektrum silang - analisis koefisien korelasi

4.2. Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ). Hasil grafik yang sebelumnya diolah dengan WWZ memunculkan periodeperiode dominan yang mengindikasikan siklus dari suatu fenomena alam. Periode dominan 4-8 tahun dapat diakibatkan karena efek ENSO (Wiratmo, 1998), 9-14 tahun kemungkinan besar merupakan siklus bintik matahari (Perry, 1994), 15-18 tahun diduga akibat pasang surut bulan aktivitas matahari (Currie, 1996) dan periode 19-25 tahun akibat perubahan siklus magnetik matahari (Perry, 1994). 4.2.1. Analisis WWZ Data Bilangan Bintik Matahari. Weighted Wavelet Z-Transform merupakan salah satu program yang dapat digunakan untuk menganalisis siklus yang paling dominan dari suatu data runtut waktu (dalam hal ini data bintik matahari, suhu udara dan tekanan paras muka laut) dalam bentuk spektrum. Dominasi periodik untuk bilangan bintik matahari terlihat pada Gambar 7. WWZ 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 Gambar 7. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari. Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa periode yang sangat dominan adalah sekitar 11 dan 12 tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata siklus aktivitas matahari 11 tahunan muncul sangat kuat, ditunjukkan dengan nilai relatif WWZ yang mencapai hampir 6. Begitu pula jika dipilah permusim menurut posisi matahari relatif terhadap bumi, dominasi periodenya tetap menunjukkan 11 atau 12 tahunan walaupun nilai WWZ-nya tidak sebesar pada data bulanan dikarenakan grafik WWZ data bulanan merupakan akumulasi keempat data periode musiman sehingga jumlah data lebih banyak dan nilai WWZ puncak periode juga menjadi tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 8, 9, 1, dan 11. 2 15 1 5 Gambar 8. Grafik WWZ data bilangan biuntik matahari (periode Desember-Februari). 2 15 1 5 Gambar 9. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode Maret-Mei). 2 15 1 5 29 Gambar 1. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode Juni-Agustus). 2 15 1 5 Gambar 11. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode September-November). Di Indonesia, komponen yang paling berpengaruh adalah terhadap variabel iklim termasuk suhu udara dan tekanan paras muka laut adalah komponen 1 tahun dari fenomena monsoon. Hal ini terlihat pada data suhu dan tekanan paras muka laut. Namun penelitian ini bertujuan untuk

melihat kemungkinan sinyal periodisitas bintik matahari (periode sekitar 11 tahunan) yang terindikasi pada data suhu dan tekanan paras muka laut untuk wilayah kota Jakarta, Medan, dan Ambon. Data parameter iklim suhu udara dan tekanan paras muka laut ketiga wilayah menghasilkan grafik WWZ yang berbeda dengan data bintik matahari. Namun secara umum periode 1 tahunan muncul lebih kuat (walaupun kekuatan siklus berbeda-beda) dibanding periode-periode lainnya karena pengaruh dari kedudukan relatif matahari terhadap bumi. 4.2.2. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Jakarta. 7 1 Gambar 14. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Maret- Mei). 12 Gambar 12. Grafik WWZ data suhu Jakarta. Gambar 12 menunjukkan terdapat periode dominan yang muncul cukup kuat selain periode 1 tahunan yaitu periode skitar 2 tahun akibat QBO (Quation Biennial Oscilation), kemudian 14 tahunan diduga akibat pengaruh aktivitas matahari (siklus bintik matahari) dan diatas 25 tahun yang merupakan efek siklus magnetik matahari (siklus perubahan polaritas magnetik di daerah aktif matahari) atau disebut Hales Cycle, yang memiliki periodisitas 22 tahun. Namun dominasi periode bervariasi jika dipilah berdasarkan periode musim. Muncul periode-periode dominan 1,5 tahunan, 3-4 tahunan dan 1 tahunan seperti yang terlihat pada Gambar 13, 14, 15 dan 16. Gambar 15. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Juni- Agustus). 2 2 Gambar 16. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode September-November). Dari grafik-grafik di atas terlihat bahwa ada 2 pengaruh dominan yang menentukan siklus suhu udara Jakarta (selain 1 tahunan) yaitu pengaruh sistem el nino/la nina dan aktivitas matahari (bintik matahari dan siklus hale). 2 Gambar 13. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Desember-Februari). Gambar 17. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta.

Sedangkan pada Gambar 17 tekanan paras muka laut Jakarta tersebut muncul sinyal kuat selain periode 1 tahunan yaitu 6 tahunan karena ENSO, dan 15-16 tahunan yang bisa disebabkan karena efek pasang surut bulan-matahari. Sementara untuk grafik WWZ tekanan paras muka laut perperiode musim ditunjukkan dengan Gambar 18, 19, 2, dan 21. 12 Gambar 18. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Desember-Februari). 7 Gambar 18 dan 19 memiliki pola yang hampir sama dimana muncul periode dominan 6-8 tahunan serta periode 13-17 tahunan. Periode 7 tahunan diduga karena fenomena elnino, kemudian periode 15 tahunan diduga akibat efek pasang surut bulan-matahari. Sedangkan pada Gambar 2 dan 21, terdapat sedikit kesamaan pola walaupun pada Gambar 2 grafiknya lebih berfluktuasi dibanding pada Gambar 21. Pada Gambar 2 dan 21 terlihat periode dominan 1,5 tahun, 6 tahun, dan 18-2 tahunan. Berdasarkan hasil tersebut ternyata untuk data tekanan paras muka laut Jakarta, antara periode musim basah (Desember- Februari) dan periode musim kering (Juni- Agustus) memiliki pola siklus yang sedikit berbeda. Hal ini bisa diakibatkan karena pada musim basah, pengaruh kedudukan matahari yang relatif lebih dekat pada kota Jakarta memberi keragaman pengaruh pada iklim Jakarta, sedangkan pada musim kering, pengaruh lokal muncul sehingga periode dominan yang muncul lebih beragam. 4.2.3. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Medan. Gambar 19. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Maret-Mei). 7 1 Gambar 22. Grafik WWZ suhu Medan. Gambar 2. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Juni-Agustus). Pada Gambar 22 terdapat puncakpuncak periode dominan 5 tahun dan 14 tahunan. Periode 5 tahunan menunjukkan suhu Medan dipengaruhi kuat oleh el nino dan terdapat indikasi periode 14 tahun. 1 1 Gambar 21. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode September-November). Gambar 23. Grafik WWZ suhu Medan (periode Desember-Februari).

15 muka laut wilayah Jakarta. Periode 5 tahunan muncul karena sistem ENSO, 11 tahunan diduga akibat adanya siklus aktivitas bintik matahari dan 15 tahunan karena pasang surut bulan-matahari. Gambar 24. Grafik WWZ suhu Medan (periode Maret- Mei). 8 14 Gambar 28. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (Periode Desember-Februari). Gambar 25. Grafik WWZ suhu Medan (periode Juni- Agustus). 1 14 Gambar 29. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (Periode Maret-Mei). Gambar 26. Grafik WWZ suhu Medan (periode September-November). Pada Gambar 23, 24, 25, dan 26, periode-periode dominan yang muncul antar periode tidak berbeda jauh dengan periode dominan pada data tahunannya, dimana periode 5 dan 14 tahunan muncul lebih dominan dibanding tahun-tahun periode lainnya. 2 4 Gambar 3. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (periode Juni-Agustus). 14 Gambar 27. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan. Fluktuasi WWZ pada Gambar 27 relatif lebih kecil dibanding grafik tekanan paras Gambar 31. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (periode September-November). Seperti halnya pada grafik suhu udara Medan, pada grafik WWZ tekanan paras

muka laut Medan juga terdapat pola yang berbeda untuk periode Desember-Februari dan periode Juni-Agustus. Pada periode Desember-Februari, fluktuasi dan periode dominan lebih banyak dibanding periode Juni-Agustus. Hal ini menggambarkan bahwa pada periode Desember-Februari, dimana posisi relatif matahari terhadap bumi lebih jauh dibanding pada periode Juni- Agustus, muncul kuasi-kuasi lain yang muncul pada suhu juga tekanan di kota Medan diantaranya 4 periode dominan, yaitu pada periode 3-4 tahun, 4-6 tahun, 1-11 tahun, dan 15-17 tahunan. Terdapat periode 1-11 tahun dengan nilai WWZ relatif lebih besar dibanding periode dominan lainnya, yang mengindikasikan adanya kemungkinan pengaruh dari aktivirtas matahari. Sedangkan untuk periode Juni-Agustus, jumlah puncak periode dominan terpusat di sekitar 4-8 tahun yang mengindikasikan kuatnya pengaruh ENSO pada periode musim tersebut untuk wilayah Medan. 4.2.4. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Ambon 12 Gambar 34. Grafik WWZ suhu Ambon (periode Maret- Mei). 12 Gambar 35. Grafik WWZ data suhu Ambon (periode Juni-Agustus). 6 14 Gambar 32. Grafik WWZ suhu Ambon. Untuk grafik tahunan suhu Ambon, muncul periode-periode dominan yang kecil diantaranya sekitar 3 tahunan, 7 tahunan, dan periode-periode indikasi aktivitas matahari, yaitu 11 dan 25 tahunan. 2 Gambar 33. Grafik WWZ suhu Ambon (periode Desember-Februari). Gambar 36. Grafik WWZ data suhu Ambon (periode September-November). Pada Gambar 33, periode-periode dominan hampir sama dengan Gambar 34, hanya saja lebih berfluktuatif dan untuk periode dominan 1 tahunannya agak terjadi waktu tunda pada periode 1,5 2 tahunan dan tidak sekuat dominasi periode 1 tahunan pada Gambar 34. Sedangkan periode dominan yang sama dengan siklus bintik matahari muncul lebih kuat, indikasinya dengan nilai WWZ yang lebih tinggi dan bahkan untuk periode dominan di atas 25 tahun muncul dengan nilai WWZ yang hampir sama dengan periode dominan 1,5 dan 2 tahunannya. Pada Gambar 35, periode 11 tahunan tidak muncul dominan, justru periode berulang 2-4 tahunan yang meningkat akibat fenomena lanina serta periode 15 tahun yang merupakan periode berulang pasang surut

bulan-matahari. Periode 9 tahunan juga terlihat pada grafik ini, dan tidak terjadi peningkatan yang signifikan untuk periodeperiode dominan lainnya. Sedangkan pada Gambar 36, periode 1,5 tahun, 3-4 tahun, dan 9 tahunan timbul dengan nilai WWZ yang hampir sama, sedangkan periode di atas 25 tahun justru jauh menurun. 6 14 Gambar 4. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Juni-Agustus). 8 Gambar 37. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon. Grafik dominasi periode untuk tekanan paras muka laut wilayah Ambon terjadi seperti grafik untuk suhu udaranya dimana untuk grafik data tahunan fluktuasinya sangat kecil dibandingkan grafik data perperiode musimnya. Hal ini terjadi karena untuk data tahunan merupakan kumulasi dari seluruh data perperiode musim sehingga pengaruh-pengaruh yang muncul pada setiap musimnya tidak terlihat dominan. Pada gambar tersebut terlihat adanya pengaruh 11 tahunan selain pengaruh 1 dan 1,5 tahunan. 8 Gambar 38. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Desember-Februari). 7 Gambar 39. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Maret-Mei). Gambar 41. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode September-November). Grafik WWZ periode dominan tekanan paras muka laut berbeda dan wilayah lainnya dikarenakan muncul periode-periode dominan lain yang tidak terdapat pada periode dominan data tahunannya. Jika pada Gambar 37 hanya muncul periode 1,5 tahun dan 11-12 tahunan maka pada Gambar 38, 39, 4, dan 41 muncul pula periode-periode di luar itu. Gambar 38 menunjukkan beberapa periode dominan diantaranya sekitar 1-3 tahun (ENSO minor), lalu yang tertinggi adalah periode 5 tahunan (ENSO) serta 7,5 tahunan (ENSO mayor) serta periode 12 tahunan, yang kemungkinan bisa diakibatkan oleh periode bintik matahari. Namun pada periode Maret-Mei dan Juni-Agustus, pola grafik hampir menunjukkan fluktuasi yang sama, dimana ada 2 periode dominan utama yang terindikasi, yaitu periode sekitar 1-3 tahun dan 9 tahunan. Berbeda halnya dengan periode musim lainnya, pada periode September-November, tekanan paras muka laut lebih dipengaruhi oleh periode 1-3 tahunan dan tidak muncul pengaruh yang signifikan pada periode-periode lainnya, seperti yang terlihat pada gambar 41. Dengan demikian untuk wilayah Ambon, parameter tekanan paras muka laut didominasi oleh 2 periode utama, yaitu kemungkinan efek el nino/la nina dan aktivitas matahari (dengan indikator bintik matahari).

4.3. Analisis Evolusi Periode Dominan Dengan Pemetaan Winsurf. 4.3.1. Analisis Winsurf Data Bulanan. Selain dilihat secara grafik (2 dimensi), periode dominan bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut juga dapat dilihat dari pemetaan 3 dimensi menggunakan perangkat lunak Winsurf. Pada Lampiran 1 dapat dianalisis bahwa periode dominan siklus bintik matahari jelas terlihat antara 8 hingga 14 tahunan yang tidak terputus yang berada di sekitar periode 11 tahunan. Hal tersebut terjadi sepanjang tahun selama 1 tahun data. Lampiran 2 menunjukkan grafik Winsurf suhu Jakarta bulanan. Pada lampiran tersebut muncul beberapa periode dominan (di luar periode 1 tahunan) yaitu periode sekitar 13 tahunan dan 25 tahunan yang keduanya terjadi pada sekitar tahun 196-an. Jika dihubungkan dengan siklus aktivitas matahari, periode-periode tersebut bisa dikarenakan faktor siklus bintik matahari sekitar 11 tahunan (dengan jeda waktu 2 tahun) dan siklus Hale (jeda 3 tahun) dan pada sekitar tahun 196 terjadi periode matahari aktif (solar max) dimana aktivitas matahari berada pada titik balik maksimum. Grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut kota Jakarta dapat dilihat pada Lampiran 3. Terlihat adanya periode berulang 19 tahun dengan puncak spektrum sekitar tahun 195. Namun pada grafik tersebut tidak terlihat sinyal 11 tahunan. Pada grafik tersebut muncul periode el nino 6 tahun dengan puncak pada tahun 1938 dan 1958 serta efek QBO pada tahun 1963. Pada Lampiran 4 terlihat pola periode dominan yang sangat teratur, selain periode 1 tahunan pada 3 rentang periode waktu, muncul periode dominan 5 tahunan dan sekitar 13-2 tahunan. Efek ENSO pada periode 5 tahunan muncul sangat kuat sekitar tahun 1952 dan periode dominan 13-2 tahunan juga muncul yang mirip dengan periode pasang surut bulan-matahari. Grafik winsurf tekanan paras muka laut Medan diperlihatkan pada Lampiran 5. Pada lampiran tersebut terdapat periode-periode dominan dan yang terkuat adalah sama seperti suhu udaranya yaitu periode 5 tahunan pada tahun-tahun yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara suhu dan tekanan, dan indikasi el nino cukup kuat pada data suhu dan tekanan kota Medan. Periode dominan lainnya yang muncul adalah periode 1 tahunan pada tahun-tahun 1945-195 yang jika dihubungkan dengan aktivitas matahari, merupakan puncak siklus bintik matahari ke-19. Sedangkan untuk berikutnya, pengaruh ENSO muncul kembali pada tahun 1977-1987, dan periode dominan lain yaitu sekitar 25 tahunan yang merupakan merupakan dari siklus magnetik pada tahun diatas 1977. Grafik winsurf untuk suhu dan tekanan paras muka laut Ambon diperlihatkan pada Lampiran 6 dan 7. Pada Lampiran 6 terdapat 1 faktor yang paling dominan untuk suhu udara Ambon yaitu periode siklus magnetik matahari yang muncul sepanjang tahun. Sedangkan pada tekanan paras muka laut Ambon, periode yang muncul cukup kuat adalah periode 1 tahunan di atas tahun 1978-an yang juga periode aktivitas matahari. Dari analisis di atas dapat diduga adanya pengaruh faktor aktivitas matahari pada parameter iklim di sekitar wilayah Ambon. 4.3.2. Analisis Winsurf Data Periode Desember-Februari Lampiran 8 memperlihatkan grafik winsurf untuk data bilangan bintik matahari periode Desember-Februari. Pada lampiran tersebut siklus 11 tahunan untuk periode Desember-Februari (menurut tahun bumi) muncul terkuat pada tahun sekitar tahun 19, sedangkan untuk periode 22 tahunan muncul paling kuat pada sekitar tahun 1915-1922. Berdasarkan grafik tersebut juga dapat dianalisis bahwa kedua faktor tersebut muncul beriringan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan hubungan langsung antara fenomena bintik matahari dan siklus ganda bintik matahari. Grafik winsurf suhu udara Jakarta ditunjukkan dengan Lampiran 9. Pada grafik tersebut banyak muncul periode-periode dominan. Namun secara umum terdapat beberapa periode dominan yang muncul yaitu 2 dan 3 tahunan (QBO dan QTO) kemudian 4-8 tahunan (ENSO) dan 1-11 tahunan (bintik matahari) yang muncul pada tahun sebelum tahun 19, sedangkan pada tahun-tahun sekarang periode tunggal yang dominan muncul adalah akibat siklus 1 tahunan. Grafik winsurf dan tekanan paras muka laut Jakarta ditunjukkan dengan Lampiran 1. Pada grafik tersebut muncul 3 periode yang dominan, yaitu periode 5-7 tahun yang muncul terkuat pada tahun 1958, periode 13 tahunan pada 1935-1943), serta pada tahun

di atas 1967 dimana muncul 2 periode dominan yaitu 1 tahunan (seperti halnya pada suhu udara Jakarta) serta 11 tahunan. Grafik winsurf suhu Medan ditunjukkan oleh Lampiran 11. Pada grafik tersebut periode siklus bintik matahari muncul sepanjang tahun dan mencapai peaknya pada tahun 1985, sedangkan periode ENSO muncul dengan peak pada periode tahun tahun 1945-1952, selain itu muncul pula periode-periode lain yaitu 8 tahunan dan di atas 5 tahunan. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Medan diperlihatkan dengan Lampiran 12. Pada lampiran tersebut terdapat 3 faktor dominan yang terindikasi yaitu periode el nino dan aktivitas matahari (bintik matahari dan siklus magnetik matahari), periode bintik matahari muncul lebih awal diikuti siklus magnetiknya. Grafik winsurf suhu Ambon ditunjukkan oleh Lampiran 13. Pada grafik tersebut terdapat 4 faktor utama yang dominan yaitu QBO (tahun 1949 dan 1966), el nino (tahun 195-196), 11 tahunan (di atas 1973), dan siklus Hale yang muncul sepanjang tahun dan mencapai puncak pada sekitar tahun 1959. Sedangkan untuk winsurf tekanan paras muka laut diperlihatkan oleh Lampiran 14. Pada lampiran tersebut terdapat 3 periode dominan, yaitu periode ENSO (7 tahunan sebelum 1968 dan 4 tahunan setelah 1973), 1 tahunan pada tahun-tahun di atas 1975, dan siklus magnetik matahari pada sepanjang tahun. Pada periode tersebut Desember- Februari, untuk ketiga wilayah muncul 3 periode utama yang dominan dalam grafik suhu dan tekanan paras muka laut yaitu periode el nino, bintik matahari, dan siklus hale. 4.3.3. Analisis Winsurf Data Periode Maret- Mei. Grafik winsurf periode dominan bintik matahari periode Maret-Mei ditunjukkan oleh Lampiran 15. Pada grafik tersebut muncul pola periode yang hampir sama dengan periode Desember-Februari. Lampiran 16 menunjukkan periode dominan untuk suhu Jakarta. Dari grafik terlihat bahwa terdapat 1 faktor selain faktor 1 tahunan, yaitu faktor aktivitas matahari 11 tahunan yang muncul kuat pada sekitar tahun 188 dan tahun 1925. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Jakarta diperlihatkan pada lampiran 17. Periode dominan yang muncul berbeda dengan grafik suhunya. Untuk grafik tekanan paras muka laut, fenomena ENSO muncul sepanjang tahun setelah puncaknya pada tahun 1955. Periode aktivitas matahari juga terlihat pada tahun 1925-1945 (bintik matahari) dan diikuti oleh siklus magnetik matahari pada tahun 1945-1965. Lampiran 18 menunjukkan periode dominan untuk suhu Medan. Dari grafik menunjukkan bahwa periode aktivitas matahari (bintik matahari dan magnetik matahari) muncul dengan puncak-puncak pada tahun di atas 1965. Periode dominan lain yang muncul adalah periode sekitar 5 tahunan akibat el nino/la nina. Sementara Lampiran 19 menunjukkan periode-periode dominan untuk tekanan paras muka laut Medan. Pada tekanan paras muka laut Medan, periode dominan bintik matahari muncul berkebalikan dengan suhunya, dimana periode sekitar 1 tahunan muncul sebelum tahun 1955, namun periode siklus Hale muncul hampir sepanjang tahun. Pada grafik ini muncul pula periode-periode yang diakibatkan oleh el nino. Sedangkan grafik winsurf untuk wilayah Ambon ditunjukkan dengan lampiran 2 dan 21. Pada Lampiran 2 jelas terlihat bahwa juga terdapat 3 periode dominan yaitu el nino (yang muncul pada tahun sebelum tahun 195 dan setelah tahun 1975), periode 15 tahunan, dan sekitar 25 tahunan yang muncul hampir sepanjang tahun sebelum tahun 1989. Hal serupa berlaku juga untuk tekanan paras muka laut Ambon dimana 3 periode dominan muncul cukup kuat. Berdasarkan analisis tersebut, seperti halnya pada periode Desember-Februari, pada periode Maret-Mei juga terdapat 3 periode dominan, yaitu indikasi el nino, bintik matahari 11 tahunan, dan magnetik matahari 22 tahunan untuk data bilangan bintik matahari, suhu, serta tekanan paras muka laut ketiga wilayah kajian. 4.3.4. Analisis Winsurf Data Periode Juni- Agustus. Grafik winsurf untuk data bintik matahari periode Juni-Agustus diperlihatkan pada Lampiran 22. Hasil yang tampak sama dengan hasil winsurf untuk periode Desember-Februari dan Maret-Mei. Sedangkan untuk data suhu dan tekanan paras muka laut kota Jakarta periode Juni- Agustus ditunjukkan oleh Lampiran 23 dan 24. Pada Lampiran 23 muncul pengaruh 3 tahunan QTO pada tahun 1979, 1889, 193

dan 1916. Kemudian periode berulang 4 tahunan muncul sepanjang tahun setelah 194, dan fenomena siklus bintik matahari 1 tahun kembali muncul dengan peak pada tahun sekitar 192. Lampiran 24 menunjukkan pola grafik untuk tekanan paras muka laut Jakarta berbeda dengan pola grafik untuk suhu udaranya. Pada grafik winsurf tekanan paras muka laut Jakarta, terdapat beberapa siklus periode dominan, yaitu 16 tahunan pada tahun di bawah 194, 12 tahunan pada sekitar tahun 1972, dan yang muncul paling dominan adalah pengaruh ENSO pada tahun 1932 dan 1956. Munculnya periode 12 tahunan pada tahun 1968-1975 diduga karena kemungkinan pengaruh aktivitas matahari. Sementara Lampiran 25 dan 26 menunjukkan bahwa untuk data suhu udara Medan, terdapat periode-periode dominan, namun yang paling kuat adalah periode 7 tahun akibat ENSO dengan puncak pada sekitar tahun 1952. Periode-periode dominan lain yang muncul adalah periode 14 tahun dan 2 tahun yang muncul setelah tahun 1975. Sedangkan untuk data tekanan paras muka laut Medan, pengaruh el nino juga terlihat pada tahun 1944 dan sekitar 1984, serta ada pula periode 3 tahunan QTO. Periode siklus bintik matahari muncul hanya pada sekitar tahun 195 dan 1964 walaupun lemah. Sementara untuk wilayah Ambon., periode-periode dominan yang terlihat ada pada Lampiran 27 dan 28 dimana adanya periode dominan 9 tahunan yang muncul setelah 1978, serta periode perubahan polaritas magnetik matahari yang justru muncul sebelum tahun 1978. Selain kedua faktor tersebut muncul pula pengaruh QBO 2 tahunan pada tahun 1969. Periode dominan 9 tahunan juga seperti halnya pada grafik winsurf suhu, muncul setelah tahun 1978. Seperti pada Lampiran 28, pada lampiran tersebut periode siklus Hale muncul setelah tahun 197. Terdapat 1 periode dominan yang justru muncul cukup kuat yaitu pada tahun 1964 akibat efek QTO (3 tahunan). Efek yang sama juga muncul pada tahun di atas 1975. Kesimpulan yang hampir sama dengan periode Desember-Februari dan Maret-Mei juga didapatkan pada periode Juni-Agustus dimana periode dominan siklus el nino, bintik matahari, dan siklus magnetik matahari masih merupakan faktor utama yang berpengaruh pada suhu dan tekanan paras muka laut ketiga wilayah. 4.3.5. Analisis Winsurf Data Periode September-November. Lampiran 29 adalah grafik winsurf untuk data bilangan bintik matahari periode September-November. Pada grafik tersebut terdapat kemiripan pola dengan periodeperiode sebelumnya untuk data bilangan bintik matahari. Sementara Lampiran 3 menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode dominan yang terlihat pada suhu udara kota Jakarta, dan yang paling kuat adalah periode 2,5 tahun pada tahun 189. Periode lain yang juga muncul adalah periode 4 tahunan ENSO, 1 tahunan siklus bintik matahari pada tahun sekitar 188, dan periode 13 tahun yang juga akibat siklus bintik matahari pada tahun sekitar tahun 192. Pada grafik ini periode siklus Hale muncul namun lemah antara 187-19. Sedangkan grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut Jakarta diperlihatkan pada Lampiran 31. Pada lampiran tersebut muncul periode-periode dominan, diantaranya 2,5 tahunan pada tahun 1925 dan 1965, serta pengaruhpengaruh ENSO pada tahun 1957 dan setelah tahun 1972. Indikator aktivitas matahari juga muncul dengan puncak pada tahun sekitar tahun 1967-1968. Lampiran 32 dan 33 menunjukkan grafik winsurf untuk data suhu dan tekanan paras muka laut kota Medan. Grafik 32 menunjukkan terdapat 1 faktor paling dominan yaitu periode mirip el nino pada dekade 1945-1955. Selain itu muncul pengaruh aktivitas matahari dengan puncak pada tahun sekitar 1989 walaupun tidak sedominan periode aktivitas el nino. Sementara grafik winsurf tekanan paras muka laut Medan menunjukkan terdapat beberapa periode dominan yang muncul terpisah-pisah, yaitu periode di atas 2 tahun pada tahun 1977-1985, periode 9-17 tahun sebelum tahun 1955, periode-peridoe ENSO antara 1962 dan 1982, serta yang paling dominan adalah periode ENSO 4 tahunan dengan puncak pada tahun 194-1945. Pada Lampiran 34, 2 periode dominan muncul sepanjang tahun dengan puncak pada tahun 1948-1958 serta periode el nino yang terlihat setelah tahun 1978, dan sempat muncul pada tahun 1955. Sedangkan grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut Ambon terlihat pada Lampiran 35. Pada lampiran tersebut terlihat bahwa periode perubahan kutub magnetik matahari muncul lebih dominan dibanding periode bintik

matahari. Selain itu muncul periode yang lebih dominan yaitu periode-periode 2,5 tahun dengan puncak pada tahun 1964. Periode yang sama muncul kembali setelah tahun 1977 yang diiringi dengan periode dominan 4 tahunan ENSO. Untuk data bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon, dapat dianalisis bahwa periode-periode dominan yang muncul lebih beragam, namun 3 periode utama masih merupakan periode yang dominan, yaitu periode akibat el nino/la nina, siklus bintik matahari, dan siklus Hale. Analisis spektral menunjukkan bahwa tidak semua komponen periode 12,5 tahun merupakan pengaruh aktivitas matahari (Syahrina, 25). Kemunculan-kemunculan periode 11 tahunan pada grafik-grafik winsurf tersebut belum secara pasti merupakan pengaruh aktivitas matahari (bintik matahari) namun bisa diduga merupakan indikasi dari aktivitas matahari. Begitu pula untuk periode dominant sekitar 22 tahunan yang belum pasti pengaruh dari siklus hale. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah periodeperiode dominan tersebut merupakan pengaruh dari aktivitas matahari Dampak aktivitas matahari pada curah hujan tidaklah sama di semua tempat. Ada daerah yang mengalami curah hujan maksimum saat aktivitas matahari maksimum tetapi ada juga daerah yang mengalami kekeringan di saat yang sama, dengan atau tanpa waktu tunda (Djamaluddin, 1998). 4.4. Analisis Periodisitas Untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap Parameter Iklim. Evolusi periodisitas menggunakan winsurf dapat digunakan untuk melihat hubungan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah. Berdasarkan grafik winsurf pada lembar lampiran, tanda-tanda A, B, dan C menandai puncak-puncak nilai WWZ data yang dijadikan indikator untuk melihat keterpengaruhan antara data bilangan bintik matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut. 4.4.1. Analisis Periodisitas Data Bulanan. Lampiran 1 menunjukkan grafik evolusi periodisitas data siklus bilangan bintik matahari. Berdasarkan Lampiran 1, terdapat 3 puncak WWZ yang ditandai dengan A, B dan C yang terjadi pada periode sekitar 11 tahunan, masing-masing terjadi pada sekitar tahun 189, 1915, dan 1955. Pada lampiran 2 (data suhu Jakarta), tidak terlihat adanya tanda A, B maupun C, karena tidak terdapat puncak-puncak WWZ yang menunjukkan tahun dan periode yang hampir sama dengan grafik winsurf bintik matahari pada Lampiran 1. Puncak-puncak periode pada Lampiran 2 terjadi pada periode 13 tahun dan 25 tahun pada sekitar tahun 196. Walaupun kedua puncak tersebut mengindikasikan pengaruh aktivitas matahari, namum keduanya tidak terjadi pada tahun dan periode yang sama dengan winsurf bintik matahari. Meskipun ada kemungkinan terdapat titik puncak C namun periodenya lebih besar (yaitu 13 tahuhan, sedangkan pada titik C pada Lampiran 1 menunjukkan periode sekitar 9 tahunan). Begitu juga dengan grafik winsurf data tekanan paras muka laut pada Lampiran 3. Pada gambar terlihat adanya puncak-puncak grafik namun tidak terdapat pada periode sekitar 11 tahunan. Terlihat adanya puncakpuncak grafik WWZ utama yaitu periode 19 tahunan dan 6 tahunan, sehingga tidak terdapat indikasi keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut daerah Jakarta, dilihat dari evolusi periodisitas data. Lampiran 4 dan 5 menunjukkan grafik winsurf untuk data suhu dan tekanan paras muka laut Medan. Seperti halnya untuk data Jakarta, Lampiran 4 dan 5 tidak menunjukkan puncak-puncak yang sama yang terdapat pada Lampiran 1 yaitu puncak A, B, dan C. Grafik winsurf suhu dan tekanan paras muka laut untuk wilayah Ambon masing-masing terdapat pada Lampiran 6 dan 7. Pada kedua lampiran tidak terlihat tanda A, B, atau C, sehingga indikasi keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut tidak terlihat. 4.4.2. Analisis Data Periode Desember- Februari. Grafik evolusi periode bintik matahari periode Desember-Februari terdapat pada Lampiran 8. Sebagaimana pada grafik winsurf data bulanannya, data bintik matahari perperiode musim juga menunjukkan 3 puncak nilai WWZ A, B, dan C, dengan periode dan tahun yang hampir sama. Titik puncak A tidak terdapat pada semua grafik winsurf. Begitu juga untuk titik puncak B dan C.

4.4.3. Analisis Data Periode Maret-Mei. Lampiran 15 menunjukkan 3 puncak WWZ A, B, dan C, pada grafik bintik matahari periode Maret-Mei. Secara umum, tidak terdapat perubahan yang signifikan mengenai perubahan tahun dan periodenya. Untuk periode Maret-Mei, puncak A dan C pada Lampiran 15 tidak terdapat pada semua grafik winsurf suhu maupun tekanan paras muka laut masing-masing wilayah. Namun puncak B terindikasi pada data suhu Jakarta. Pada Lampiran 16, puncak B dengan periode sekitar 14 tahunan terjadi pada sekitar tahun 1925. Ini menunjukkan terdapat hubungan keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu udara Jakarta pada tahun tersebut. 4.4.4. Analisis Data Periode Juni-Agustus Puncak-puncak A, B, dan C untuk periode Juni-Agustus terdapat pada Lampiran 22. Pada grafik winsurf tersebut puncak B tidak terlihat nyata namun masih menunjukkan adanya sedikit pelebaran puncak nilai WWZ. Puncak WWZ A dan B tidak terlihat pada grafik winsurf data iklim. Sedangkan titik puncak C untuk periode Juni-Agustus hanya terlihat pada 1 grafik winsurf yaitu untuk data tekanan paras muka laut Medan. Titik puncak C terjadi pada tahun 195 dengan periode 9 tahunan. 4.4.5. Analisis Data Periode September- November. Grafik winsurf periode dominan data bilangan bintik matahari ditunjukkan pada Lampiran 29. Seperti pada periode musim lainnya, terdapat titik-titik puncak WWZ A, B dan C, dengan tahun, periode, dan skala WWZ yang tidak jauh bebeda. Titik puncak A dan B juga tidak terdapat pada grafik winsurf data suhu dan tekanan paras muka laut semua wilayah. Namun pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu terindikasi pada data suhu Ambon (ditunjukkan dengan adanya titik puncak C pada sekitar tahun 195 dengan periode 9 tahunan). Sedangkan untuk grafik suhu Jakarta dan Medan serta tekanan paras muka laut tidak terindikasi adanya keterkaitan aktivitas matahri terhadap suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah kajian, dilihat dari kesamaan evolusi periode dan tahun data. Tabel 2. Hubungan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut wilayah berdasarkan evolusi periode data. Titik puncak nilai Periode Hubungan WWZ data A B C SSN - Suhu Jkt SSN - Suhu Mdn SSN - Suhu Abn SSN - SLP Jkt SSN - SLP Mdn SSN - SLP Abn Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa pengaruh aktivitas matahari (dengan indikator data bintik matahari) berpengaruh pada 3 dari 9 data. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kemiripan pola evolusi periodisitas data WWZ pada grafik winsurf, keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, maupun Ambon relatif kecil.

4.5. Analisis Kuantitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Parameter Iklim. 4.5.1. Berdasarkan Koefisien Korelasi Grafik Rataan Bergerak Data Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Grafik korelasi yang menunjukkan pengaruh bintik matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut dapat dilihat pada Lampiran 36, 37, 38, 39, 4 dan 41. Sedangkan nilai korelasi yang menunjukkan hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai korelasi (r) bintik matahari (ssn) dengan suhu dan tekanan muka laut. Parameter Korelasi Nilai Korelasi r ssn-suhu Jakarta.272 r ssn-slp Jakarta.8 r ssn-suhu Medan -.99 r ssn-slp Medan.179 r ssn-suhu Ambon.368 r ssn-slp Ambon.144 Tabel 3 memperlihatkan hubungan antara bintik matahari (sunspot) dengan suhu (T) dan tekanan paras muka laut (SLP). Besarnya koefisien korelasi (r) pada masingmasing stasiun cuaca wilayah menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Respon suhu dan tekanan paras muka laut kota seluruhnya menunjukkan nilai kurang dari,5. Nilai korelasi tertinggi terdapat pada respon tekanan paras muka laut Ambon dengan nilai,368, sedangkan nilai korelasi terendah terdapat pada tekanan paras muka laut Medan dengan respon negatif sebesar,99. Indonesia yang terletak di wilayah tropis (penerima radiasi matahari terbesar) memiliki pengaruh aktivitas matahari yang cukup kuat (Pambudi, 2). Meskipun perubahan irradiansi matahari di puncak atmosfer hanya sekitar 1-5 W/m 2, namun energi tersebut cukup besar dalam mempengaruhi pola iklim global di atmosfer bumi. Di Indonesia, perubahan suhu dan tekanan paras muka laut juga dipengaruhi oleh faktor lokal dan regional seperti distribusi relatif terhadap daratan dan lautan, serta topografi (karakteristik geografi) atau pengaruh fenomena ENSO. Pola monsoon yang memiliki siklus 1 tahunan dipengaruhi oleh angin muson yang terjadi karena perbedaan suhu dan tekanan antara daratan dan lautan. Rendahnya nilai korelasi parameter bilangan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut semua wilayah dapat disebabkan karena parameter iklim suhu dan tekanan paras muka laut sangat bergantung pada proses iradiansi matahari terhadap bumi. Hal ini terlihat dari grafik WWZ terdahulu dimana kontribusi komponen 1 tahun menunjukkan periode paling dominan dibandingkan periode dominan lainnya walaupun terdapat pula puncak-puncak periode yang mengindikasikan periode siklus aktivitas matahari (bintik matahari dan perubahan kutub magnetik matahari). Dengan rendahnya nilai koefisien korelasi di atas maka diperlukan analisis lain untuk mengetahui keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut, yaitu dengan meng-overlay grafik WWZ antara bilangan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut ketiga kota. Keterpengaruhan dilihat dari kesamaan nilai ketiga parameter (tahun, periode, dan niali WWZ) serta analisis waktu tunda antara puncak WWZ pada data bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah. 4.6. Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Parameter Iklim 4.6.1. Kesamaan Tahun, Periode, dan Nilai WWZ yang Sama. Untuk hubungan bintik matahari dengan suhu Jakarta, terdapat kesamaan ketiga parameter yaitu pada tahun 1927 dengan periode 8,333 dimana nilai wwz keduanya,568. Hal ini berarti terdapat pengaruh bintik matahari terhadap suhu Jakarta pada tahun 1927 dengan periode 8,333. Sedangkan hubungan bintik matahari terhadap tekanan paras muka laut Jakarta tidak teridentifikasi dikarenakan tidak adanya data yang sama untuk tahun, periode, dan nilai WWZ pada masing-masing data. Hal yang sama berlaku untuk data suhu Ambon maupun tekanan paras muka lautnya. Ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari faktor aktivitas matahari terhadap suhu udara dan tekanan paras muka laut wilayah Ambon (berdasarkan parameter nilai wwz). Namun berbeda halnya wilayah Medan dimana terdapat pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan wilayah tersebut.

Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu udara Medan terjadi pada tahun 1939 dengan periode 2,222 dengan nilai WWZ keduanya,4. Sementara pengaruh terhadap tekanan paras muka laut Medan terjadi di tahun 1952 dengan periode 1,39 dimana nilai WWZ masing-masing adalah. Tabel 4., tahun, dan periode yang sama antara bintik matahari (ssn) dengan suhu dan tekanan paras muka laut. Hubungan parameter Tahun Periode WWZ ssn - suhu Jakarta 1927 8,333.568 ssn - slp Jakarta no no no ssn- suhu Medan 1939 2,222,4 ssn - slp Medan 1952 2,778 ssn - suhu Ambon no no no ssn- slp Ambon no no no *) ket : normalisasi min=, max=1 4.6.2. Indikator Maksimum dan Minimum. Diasumsikan bahwa jika pada saat WWZ bintik matahari maksimum terdapat nilai WWZ suhu atau tekanan paras muka laut yang maksimum pula, maka aktivitas matahari berpengaruh terhadap suhu atau tekanan paras muka laut di tempat tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika saat WWZ bintik matahari minimum terdapat WWZ yang minimum berarti aktivitas matahari memiliki korelasi terhadap suhu atau tekanan paras muka laut. Tabel 5. iklim saat WWZ bintik matahari maksimum. Parameter WWZ Suhu Jakarta,565 Suhu Medan,58 Suhu Ambon,136 SLP Jakarta,894 SLP Medan,69 SLP Ambon,493 *) ket : normalisasi min=, max=1 Setelah dinormalisasi, nilai WWZ tertinggi dari keseluruhan data adalah 1 yang terdapat pada tahun 1957 dengan periode 1,526. Pada saat nilai WWZ tersebut, masing-masing wilayah tidak menunjukkan nilai WWZ yang besar baik untuk data suhu maupun tekanan, dimana semua nilai kurang dari 3. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi hubungan keterpengaruhan antara bintik matahari dengan suhu atau tekanan paras muka laut di semua wilayah kajian pada saat periode bintik matahari 11 tahunan dominan. Tabel 6. iklim saat WWZ bintik matahari minimum. Parameter 1952 1968 1983 Suhu Jakarta,71,28,84 Suhu Medan,85,21,18 Suhu Ambon,11,1,67 SLP Jakarta,59,17,1 SLP Medan,1,18 SLP Ambon -,2,15 *) ket : normalisasi min=, max=1 Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai nilai WWZ bintik matahari mencapai titik balik minimum pada 3 waktu yaitu pada tahun 1952 dengan periode 2,78, tahun 1968 dengan periode 1,46, dan pada tahun 1983 dengan periode 1,56. Pada tahun 1952 merupakan satusatunya tahun yang terdapat korelasi terhadap tekanan paras muka laut yaitu Medan, sementara untuk tekanan paras muka laut Jakarta tidak menunjukkan adanya keterkaitan karena nilai wwz-nya berbeda (di atas ). Begitu juga dengan data tekanan paras muka laut pada 2 tahun lainnya serta pada data suhu ketiga tahun tersebut dimana nilai WWZ semua wilayah berbeda. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Ambon tidak ada nilainya dikarenakan ketersediaan data mulai dari tahun 1961. 4.6.3. Sebaran Nilai Data. Korelasi bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut dapat dianalisis dari sebaran nilai rataan dan standar deviasi nilai WWZ bintik matahari. Jika masingmasing sebaran nilai WWZ suhu dan tekanan paras muka laut ketiga kota termasuk ke dalam rentang nilai WWZ bilangan bintik matahari (nilai rataan + simpangan baku) maka parameter iklim tersebut dapat dikatakan memiliki korelasi atau terpengaruh oleh aktivitas matahari.

Tabel 7. Sebaran nilai WWZ data bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut (normalisasi). Para meter Ratarata StDev WWZ SSN,19 3,218 Suhu Jkt,117 3,193 Suhu Mdn,64 3,26 Suhu Amb,76 3,24 SLP Jkt,146 3,186 SLP Mdn,65 3,26 SLP Amb,62 3,27 Sebaran Data (-3,112) St Error 3,15,87 (-2,947) 3,181,129 (-3,25) 3,27,117 (-2,992) 3,144,136 (-2,891) 3,183,149 (-3,32) 3,162,19 (-3,36) 3,16,19 Tabel 7 menunjukkan nilai rerata WWZ normalisasi untuk bilangan bintik matahari adalah,19. Nilai standar deviasinya 3,218 sehingga sebaran data berada pada selang -3,112 hingga 3,15. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa semua batas minimum sebaran data suhu dan tekanan paras muka laut wilayah berada di dalam selang minimum sebaran data bilangan bintik matahari, namun batas maksimum sebaran data berada di luar selang maksimum data bintik matahari, kecuali untuk data suhu Ambon. Meskipun hanya data suhu Ambon yang berada di dalam kisaran data WWZ bintik matahari, namun secara umum semua data berada di sekitar kisaran data sehingga dapat dikatakan terdapat hubungan antara aktivitas matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon, berdasarkan sebaran data WWZ masing-masing. 4.7. Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ. Hubungan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut dapat dianalisis dari grafik overlay antara kedua grafik WWZ. Diasumsikan titik-titik puncak WWZ kedua data yang dioverlay menunjukkan keterkaitan satu sama lain. Hanya saja, berapa lama titik puncak periode bintik matahari tersebut berpengaruh pada titik puncak data iklimnya. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Suhu Udara.6.5.4.3.2.1 Periode (dalam tahun) Gambar 42. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Jakarta. Pada Gambar 42 menunjukkan puncak periode dominan 1-11 tahun untuk grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode dominan 11 tahunan tersebut sama untuk grafik overlay WWZ berikutnya). Sedangkan untuk grafik WWZ data suhu Jakarta, terdapat periode paling dominan 3 tahunan, namun yang ditinjau adalah periode dominan yang terdekat setelah titik puncak WWZ data bintik matahari. Hal ini disebabkan pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut tidak selalu terjadi secara langsung tetapi membutuhkan waktu (timelag) sehingga titik puncak WWZ yang dianggap terkait dengan titik puncak WWZ bilangan bintik matahari adalah pada periode dominan 13,5 tahun (walaupun nilainya separuh dari titik puncak periode dominan 3 tahunan). Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu Jakarta membutuhkan waktu jeda sekitar 3 tahun. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Tekanan Paras Muka Laut.6.5.4.3.2.1 Periode (dalam tahun) Gambar 43. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Jakarta. Berbeda dengan grafik untuk suhu, pada grafik tekanan paras muka laut Jakarta di atas terdapat 2 puncak periode dominan pasca puncak WWZ bilangan bintik matahari, tetapi titik puncak periode 12,5 tahun lebih dekat dengan puncak bintik matahari dibanding titik puncak 15,5 tahun sehingga keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap tekanan paras muka laut Jakarta membutuhkan waktu tunda sekitar 2 tahun.

Skala Normalisasi WWZ 1.9.8.7.6.5.4.3.2.1 Periode (dalam tahun) Bilangan Bintik Matahari Suhu Udara Gambar 44. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Medan. Sedangkan grafik overlay bilangan bintik matahari dengan suhu Medan ditunjukkan dengan Gambar 44. Pada grafik jelas terlihat bahwa terdapat titik puncak periode dominan 14,5 tahun. Dengan demikian waktu tunda pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu Medan adalah sekitar 3, 5 tahun. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Tekanan Paras Muka Laut.6.5.4.3.2.1 Periode (dalam tahun) Gambar 45. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Medan. Sementara untuk tekanan paras muka laut Medan, hubungan ditunjukkan oleh Gambar 45. Puncak dominan terlihat pada periode 15 tahun maka keterpengaruhan memerlukan waktu tunda 4 tahun. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Tekanan Paras Muka Laut.6.5.4.3.2.1 Periode (dalam tahun) Gambar 47. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Ambon. Berbeda halnya dengan Jakarta dan Medan, pada grafik wilayah Ambon terlihat tidak memiliki waktu tunda, baik untuk grafik overlay data suhu (Gambar 46) maupun data tekanan paras muka laut (Gambar 47). Hal ini karena titik puncak periode dominan suhu maupun tekanan paras muka laut terdapat pada periode dominan grafik bintik matahari, yaitu 11 tahunan. Diduga keterpengaruhan menempuh waktu tunda dalam hitungan bulan saja. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keterlambatan waktu tunda pengaruh aktivitas matahari terhadap iklim sehingga waktu tunda keterpengaruhan tersebut berbeda-beda di setiap tempat. Faktor-faktor tersebut bisa disebabkan oleh ketebalan liputan awan, faktor antropogenik seperti polusi industri, atau bisa juga karena karakteristik geografinya yang banyak dipengaruhi oleh faktor lokal maupun regional, tergantung wilayahnya. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Suhu Udara.6.5.4.3.2.1 Periode (dalam tahun) Gambar 46. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Ambon.