BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang dialami di dalam dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh Hill (dalam Agustiani, 2006), perubahan fundamental remaja meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Perubahan biologis, menyangkut tampilan fisik (ciri-ciri secara primer dan sekunder), perubahan kognitif yaitu perubahan yang tampak dalam kemampuan berpikir abstrak seperti pertemanan, demokrasi, dan moral, sedangkan perubahan sosial, yaitu perubahan dalam status sosial membuat remaja mendapatkan peran-peran baru dan terikat pada kegiatan-kegiatan baru. Semua perubahan yang terjadi pada masa remaja menuntut individu untuk penyesuaian, menerima perubahan itu sebagai bagian dari dirinya, dan membentuk suatu sense of self yang baru tentang siapa dirinya dan untuk mempersiapkan diri menghadapi masa dewasa (Agustiani, 2006). Menurut Erikson (Berk, 2008) masa remaja berada pada fase identity vs identity confusion, yaitu remaja berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti siapa dan di mana tempat saya dalam masyarakat?. Untuk mencari jawaban tersebut remaja mengeksplorasi nilai-nilai dan tujuan-tujuan tertentu untuk membentuk sebuah identitas diri. Menurut Harter (Berk, 2008), pada masa remaja akan memperoleh pencapaian-pencapaian tertentu yaitu remaja akan menyatukan sifat-sifat yang terpisah seperti pintar dan berbakat, dideskripsikan menjadi sesuatu yang lebih abstrak seperti cerdas di dalam konsep diri mereka. Remaja
juga menggabungkan ciri-ciri yang membentuk konsep diri mereka kedalam suatu sistem yang terorganisir (Damon, 1999, dalam Berk, 2008). Dalam masa perkembangannya, remaja sering kali menghadapi berbagai masalah terutama yang menyangkut pencarian jati diri mereka. Pada fase remaja seseorang akan terus menggali tentang pribadinya dan bagaimana lingkungan mempengaruhi persepsi mengenai dirinya. Apabila seorang remaja sedang mengalami suatu masalah yang tidak bisa ia pecahkan, pada umumnya mereka akan mengambil jalan pintas atau menyelesaikannya dengan cara yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri atau orang lain. Berdasarkan penuturan dari Kapolres Depok AKBP Achmad Kartiko mengatakan, angka kasus kriminalitas di Depok meningkat pada 2012. Polres Depok mencatat sebanyak 3658 kasus kriminalitas dan gangguan kamtibmas terjadi jumlah kasus kriminalitas tersebut meningkat sebanyak 6,19 persen dari 2011. Pada tahun sebelumnya, tercatat sebanyak 3445 kasus terjadi (Saputri, 2012). Seperti yang terjadi sepanjang tahun 2012, kasus kriminalitas di Depok yang melibatkan remaja sebagai korban atau pelaku sering terjadi. Kasus yang terjadi antara lain pemerkosaan dan perampokan di angkutan kota M26 pada awal tahun 2012, yang dilakukan remaja. Serta tawuran pelajar yang menewaskan pelajar lainnya. Ada pula kasus penganiayaan terhadap polisi yang dilakukan remaja dan kasus tiga pelajar yang memalak menggunakan celurit. Menurut data di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Depok yakni, terdapat 13 kasus anak sepanjang tahun 2012 dengan jumlah tersangka 15 orang. Rata - rata mereka melakukan penganiayaan berat, cabul, bersetubuh, hingga membuang anak (Virdhani, 2013).
Berdasarkan pengamatan peneliti di daerah Depok selama satu tahun, memperlihatkan banyak perkembangan, diantaranya mulai banyak didirikan fasilitas umum seperti sekolah, universitas, tempat bimbingan belajar dan lainlain. Hal ini dapat memicu para remaja di depok untuk memperluas pertemanan mereka dan membentuk sebuah kedekatan dengan teman sebaya mereka. Kehadiran teman sebaya dirasa perlu dalam kehidupan remaja untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Santrock (2010) mengatakan, teman sebaya mampu memberikan nilai positif pada remaja tersebut dengan memberikan informasi-informasi mengenai pembandingan identitas dirinya. Remaja yang pandai menempatkan dirinya pada lingkungan teman sebaya yang baik dapat mengembangkan identitas dirinya kearah yang positif. Teman sebaya atau peer memiliki arti yang amat penting bagi masa perkembangan remaja menuju dewasa. Teman sebaya atau peer adalah individu atau remaja dengan tingkat usia atau kematangan yang sama dan bagaimana teman sebaya memandang dirinya merupakan hal terpenting dalam kehidupan mereka (Santrock, 2003). Pentingnya peer dijelaskan dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa remaja lebih dapat mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi dan mendalam kepada teman-teman (Ramdhana, 2013). Wilkinson (2006) juga mengatakan bahwa remaja menghabiskan semakin banyak waktu mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya dibandingkan orang tua mereka. Willkinson juga menambahkan, kedekatan dengan teman sebaya akan berkembang dan terus meningkat secara stabil serta menjadi hal penting bagi remaja hingga ia mencapai dewasa. Lebih lanjut, Bowlby (dalam Carlivati, 2009) mengungkapkan bahwa masa remaja merupakan periode perubahan, dimana individu pada tahap ini akan
mulai mengambil alih peran sebagai pengasuh bagi lainnya, dalam hal ini sebagai teman sebaya melalui hubungan kelekatan (Attachment). Tidak seperti pada masa anak-anak dimana attachment selalu dikaitkan hanya dengan orangtua, attachment masa remaja seringkali terjadi dengan figur selain orangtua atau caregiver. Figur ini bisa berarti guru, teman atau peer mereka. Attachment pada masa remaja digambarkan seperti mereka yang memiliki minat yang sama terhadap sesuatu dan pada akhirnya sepakat untuk membuat suatu kelompok tanpa ada unsur paksaan. Attachment pada masa remaja dijelaskan secara berbeda dengan masa dewasa atau masa anak-anak dimana attachment lebih difokuskan untuk menggambarkan kualitas dibanding gaya attachment. Selain itu, attachment remaja tidak hanya melihat dari sisi intensitas dan frekuensi attachment tapi lebih kepada kualitasnya (Ramdhana, 2013). Kualitas attachment diartikan dengan sensitivitas dan responsivitas figur attachment dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan individu tersebut (Ainsworth, Bell, & Stayton, 1974 dalam Ramdhana, 2013). Armsden dan Greenberg (1978) menjelaskan lebih lanjut mengenai kualitas attachment dengan melihat pada tiga dimensi dasar untuk mengidentifikasi kualitas itu sendiri yakni komunikasi, kepercayaan dan keterasingan. Kepercayaan mengacu pada adanya perasaan aman dan keyakinan bahwa figur attachment memahami, sensitif dan responsif terhadap kebutuhan emosional remaja. Komunikasi mengacu pada cakupan dan kualitas komunikasi verbal dengan figur attachment. Keterasingan mengacu pada kemarahan terhadap atau pengabaian emosional dari figur attachment. Ketiga hal tersebut dapat muncul saat hubungan terjalin dengan kuat (Rice, 1990, dalam Ramdhana, 2013). Pengaruh teman sebaya dalam
pengembangan dan pembentukan identitas dirinya tidak bisa dianggap tidak penting karena dengan teman sebayalah biasanya remaja banyak menghabiskan waktunya untuk saling bertukar informasi tentang dunia luarnya, sehingga konsep diri dapat terbentuk. Konsep diri yang dimiliki pada usia remaja cenderung belum menetap dan masih berubah-ubah. Perubahan-perubahan yang dialami mempengaruhi kehidupan remaja pada hampir semua area kehidupan, konsep diri juga berada dalam keadaan terus berubah pada periode ini (Agustiani, 2006). Pada masa remaja, perubahan kepribadian lebih disebabkan oleh konsep baik-buruk yang diperoleh dari teman sebaya. Menurut Rogers (dalam Pamungkas, 2007) individu yang memiliki konsep diri baik, mempunyai penerimaan diri yang baik terhadap diri sendiri, pengetahuan luas dan bermacam-macam tentang diri, penghargaan yang realistis, harga diri yang tinggi, memiliki pola perilaku optimis, tidak mudah menyerah, dan selalu ingin mencoba pengalaman baru yang dianggapnya berguna. Masing-masing dari kita memiliki kepribadian berbeda, sifat, kemampuan dan pilihan bahwa kadang-kadang kita tidak bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam diri kita. Sedangkan konsep diri negatif akan membuat remaja sebagai individu cenderung melanggar peraturan dan norma-norma masyarakat, dan akhirnya terlibat kenakalan remaja (Coopersmith, dalam Partosuwido, 1992). Fitts (1971, dalam Agustiani, 2006) mengemukakan dua dimensi konsep diri pada remaja yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal atau yang disebut juga keranga acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Aspek dalam dimensi internal terbagi kedalam tiga bentuk yaitu
diri identitas (identity self), diri pelaku (behavioral self) dan diri penerimaan atau penilai (judging self). Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi eksternal terbagi atas lima aspek yaitu diri fisik (physical self), diri etik-moral (moral-ethical self), diri pribadi (personal self), diri keluarga (family self) dan diri sosial (social self). Seluruh bagian diri tersebut, baik internal maupun eksternal saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan yang utuh untuk menjelaskan hubungan antara dimensi internal dan eksternal (Fitts, 1971, dalam Agustiani, 2006). Dari beberapa hasil uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti melihat pentingnya kualitas attachment pada remaja dalam pembentukan konsep diri mereka, maka peneliti tertarik untuk melihat dan menguji hubungan kualitas peer Attachment dengan konsep diri pada remaja. 1. 2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, peneliti ingin melihat apakah ada hubungan kualitas kelekatan teman sebaya (peer attachment) dengan konsep diri remaja Depok? 1. 3. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hubungan kualitas kelekatan teman sebaya (peer attachment) pada remaja terhadap konsep diri mereka.