BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan akan membawa Indonesia menjadi lebih maju. Namun sayangnya, akhir-akhir ini justru banyak pemberitaan mengenai tindak kriminalitas atau pidana yang dilakukan oleh remaja. Salah satu tindak kriminal yang dilakukan remaja yang sempat menjadi sorotan adalah kekerasan yang dilakukan kakak kelas terhadap juniornya saat kegiatan pencinta alam, sehingga menewaskan salah satu juniornya sepulangnya dari kegiatan tersebut (Maris & Ruqoyah, 2014). Banyak juga kasus-kasus kriminal yang dilakukan remaja yang luput dari paparan media, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengetahui. Tindakan yang termasuk tindak kriminal antara lain narkoba, pencurian, pengeroyokan, pemerasan, pemerkosaan atau pencabulan dan lainnya. Sebuah data menunjukan, jumlah tindak kriminal yang dilakukan anak berusia 12 sampai 17 tahun meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2007, jumlah remaja yang melakukan tindak pidana adalah, 3.145, pada tahun 2008 meningkat menjadi 3.280, dan pada tahun 2009 meningkat drastis menjadi (Markas Besar Kepolisian RI, dalam Statistik Kriminal ). Maraknya fenomena kriminalitas yang dilakukan remaja perlu menjadi keprihatinan, khususnya bagi orangtua atau keluarga. Seperti yang dikatakan oleh A. Kasandra Putranto, seorang psikolog dari Kasandra & Asociate, dalam menanggapi kasus seorang remaja yang dibunuh oleh mantan kekasihnya. Beliau mengatakan, kasus tersebut harus dilihat dari akar permasalahannya, salah satunya melihat bagaimana pelaku diperlakukan dalam keluarganya, karena ada anak yang tidak mendapatkan sesuatu dari rumah atau mengalami kekerasan di rumah yang kemudian melampiaskannya kepada orang lain, seperti menyakiti orang lain (Saleh, 2014). Tingkat agresi yang tinggi pada masa kanak-kanak memiliki hubungan dengan kriminalitas pada masa remaja (dalam Balka, Brook D, Brook J, Maede, & Resenberg, 2004). Sebagian besar perilaku kriminalitas, seperti pencurian, pengeroyokan, pemerkosaan dan lainnya, juga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk agresi karena sesuai dengan definisi agresi, yaitu perilaku yang disengaja, yang bertujuan untuk membahayakan secara fisik atau menyakiti secara psikologis pada orang lain (Akert, 1

2 2 Aronson, & Wilson, 2014). Sementara penggunaan zat-zat terlarang, yang juga termasuk perilaku kriminal, memiliki hubungan dengan agresi. Penggunaan zat-zat terlarang dapat membuat seseorang berperilaku agresi dan membuat seseorang melakukan kriminalitas. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fite, Loeber, Pardini, Raine dan Stouthamer-Loeber (2009) menunjukan adanya hubungan antara agresi pada masa remaja dengan penggunaan zat-zat terlarang dan perilaku kejahatan atau kriminal pada masa dewasa awal. Sementara itu, agresi juga dapat dikatakan sebagai pemicu perilaku kriminal. Kenakalan pada remaja yang diawali dari seringnya melakukan tindak agresi yang mengarah pada perkelahian dan kekerasan (Santrock, 2012), dapat memicu perilaku kriminal jika kenakalan tersebut sudah melebihi batas. Agresi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain konsumsi alkohol (Akert, Aronson, & Wilson, 2014), frustasi, pengaruh media yang menayangkan kekerasan (King, 2011; Akert, Aronson, & Wilson, 2014), faktor biologis dan kebudayaan (King, 2011), dan faktor keluarga (Ennett, Foshee, Karriker-Jaffe, & Suchindran, 2012). Remaja, yang menjadi fokus pada penelitian ini, merupakan masa transisi perkembangan dari masa kanak-kanak dan dewasa yang melibatkan perubahan besar pada fisik, kognitif, dan psikososial (Feldman, Martorell, & Papalia, 2012). Pada perubahan fisik meliputi perubahan otak yang akan mempengaruhi emosi, judgement, pengorganisasian perilaku dan self-control. Masa remaja dimulai pada usia 10 sampai 12 tahun dan berakhir pada usia 18 sampai 21 tahun (King, 2011). Pada masa transisi ini, menurut teori perkembangan sosioemosional Erikson, remaja menghadapi tantangan untuk menemukan identitas diri mereka (King, 2011), dengan mengeksplorasi hal-hal dan peran baru. Dalam Carlo, Laible dan Raffaelli (2000), dijelaskan bahwa remaja dapat dikatakan berhasil memasuki masa transisi dengan baik jika mereka mencapai kesuksesan tertentu, merasa bahagia dan percaya diri. Di sisi lain remaja juga bisa mengalami kesulitan atau permasalahan-permasalahan dan penuh keragu-raguan. Faktor yang menentukan apakah remaja akan sukses atau tidak pada masa transisi adalah kualitas hubungan dengan figur yang penting (Carlo, Laible, & Raffaelli, 2000). Kualitas suatu hubungan dapat merujuk pada teori attachment, sehingga attachment dapat dikatakan sebagai faktor yang penting pada masa remaja. Menurut Bowlby, attachment adalah ikatan emosional yang dialami oleh anak ketika berinteraksi dengan figur tertentu (attachment figure), di mana anak

3 3 menginginkan kedekatan dengan figur tersebut saat menghadapi situasi-situasi tertentu, seperti saat ketakutan atau kelelahan (Mikulicer & Shaver, 2007). Berdasarkan konsep attachment dari Bowbly, Bartolomew dan Horowitz (1991) mengkonseptualisasikan kembali konsep attachment dari Bowbly di mana attachment memiliki 2 dimensi yaitu model of self dan model of other. Dari 2 dimensi tersebut akan membentuk 4 pola attachment, yaitu secure attachment, dismissing attachment, preoccupied attachment dan fearful attachment. Attachment pertama kali terbentuk antara bayi dan orangtua atau caregiver dan akan mempengaruhi attachment pada perkembangan selanjutnya. Walaupun attachment dapat berubah seiring dengan perkembangan individu, attachment dengan dengan orangtua tetap menjadi dasar rasa aman dan tetap menjadi attachment figure yang penting untuk individu, khususnya remaja (Doyle, Margolese, & Markiewicz, 2005). Selain dengan orangtua atau caregiver, attachment dapat terbentuk dengan figur lain yang dianggap penting dan menjadi figur yang memberi rasa aman dan dukungan atau significant other. Significant other pada tiap-tiap remaja dapat berbeda-beda, misalnya anggota keluarga lain selain orangtua, seperti saudara, paman, bibi, kakek, nenek, bisa juga teman atau pacar. Sands, Goldberg-Glen dan Shin (2009) menemukan bahwa anak yang memiliki secure attachment dengan kakek dan neneknya memandang sekolah atau kemampuannya lebih positif dan memiliki kesehatan mental yang baik. Kedekatan dengan saudara juga bisa menjadi attachment figur yang memiliki pengaruh, dalam hal sosialisasi, yang lebih besar pada remaja dibandingkan dengan orangtua dan teman (Santrock, 2012). Pada masa remaja, mereka akan lebih banyak berinteraksi dengan teman sepermainan mereka. Sehingga teman bisa menjadi attachment figur yang tidak kalah penting dengan orangtua. Tapi, seperti telah disebutkan sebelumnya, walaupun seiring perkembangan individu membentuk attachment baru dengan figur lain, orangtua tetap menjadi sumber rasa aman dan tetap menjadi attachment figure yang penting. Attachment memiliki hubungan dengan penyesuaian diri (Mikulicer & Shaver, 2007; Carlo, Laible, & Raffaelli, 2000) dan perilaku bermasalah (externalizing behavioral problems) (Bakermans-Kranenburg, Fearon, Ijzendoorn, Lapsey, & Roisman, 2010; Ali & Zubair, 2011). Externalizing behavior problems terjadi saat individu melampiaskan permasalahan mereka ke luar, seperti dengan melakukan kenakalan remaja (Santrock, 2012) atau tindak agresi. Penelitian yang dilakukan

4 4 Bakermans-Kranenburg, Fearon, Ijzendoorn, Lapsey, & Roisman (2010) menunjukan adanya hubungan insecure attachment dengan externalizing behavior yang didalamnya mencakup agresi. Dalam Deblinger, Feiring, Espada, dan Haworth (2002) dijelaskan bahwa insecure attachment akan membuat seseorang merasa dirinya akan ditolak dalam suatu hubungan dekat dan anggapan tersebut akan membuat seseorang bereaksi dengan perasaan, pemikiran dan perilaku marah, seperti agresi fisik. Melihat pentingnya attachment pada remaja dan hubungan attachment dengan penyesuaian diri dan perilaku yang bermasalah, penulis berasumsi perlunya melihat hubungan antara attachment dengan agresi pada remaja. Penulis mengkhususkan subjek pada penelitian ini adalah laki-laki, karena agresi fisik pada laki-laki ditemukan lebih tinggi (King, 2011) dan faktor keluarga lebih mempengaruhi agresi pada remaja laki-laki dibandingkan pada remaja perempuan (Ennett, Foshee, Karriker-Jaffe, & Suchindran, 2012). Selain itu, peneliti juga mengkhususkan populasi subjek penelitian di Lembaga Pemasyarakatan karena sejalan dengan fenomena yang menjadi latar belakang penelitian ini yaitu meningkatnya angka tindak kriminal yang dilakukan remaja. Oleh karena itu, penulis berpendapat akan lebih sesuai dengan fenomena tersebut jika subjek adalah remaja di Lembaga Pemasyarakatan karena mereka merupakan remaja pelaku tindak kriminal. Dengan penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi orangtua untuk membangun attachment dengan anak-anaknya, sehingga terbentuk attachment yang baik dengan anak dan membuat anak memiliki penyesuaian diri yang baik dan terhindar dari perilaku-perilaku bermasalah yang dapat mengarahkan remaja melakukan tindak kriminal. 1.2 Pertanyaan penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan permasalahan yang diajukan penulis adalah: 1) Apakah ada hubungan antara secure attachment orangtua dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang? 2) Apakah ada hubungan antara dismissing attachment orangtua dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang?

5 5 3) Apakah ada hubungan antara preoccupied attachment orangtua dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang? 4) Apakah ada hubungan antara fearful attachment orangtua dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang? 1.3 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan pola attachment dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang. Secara lebih spesifik sebagai berikut: 1) Mengetahui hubungan antara secure attachment orangtua dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang. 2) Mengetahui hubungan antara dismissing attachment orangtua dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang. 3) Mengetahui hubungan antara preoccupied attachment orangtua dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang. 4) Mengetahui hubungan antara fearful attachment orangtua dengan agresi pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang.

6 6