17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Kondisi laboratorium tempat dilakukan percobaan memiliki suhu berkisar antara 18-22 0 C dan kelembaban mencapai 90%. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang memadai untuk tanaman yang ditanam secara in vitro. Tanaman yang diberikan perlakuan merupakan tanaman berumur 4 minggu yang berasal dari subkultur tunas aksilar tanaman in vitro. Sebagian besar tanaman yang mati disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Kontaminasi tersebut dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa media yang kurang steril dalam proses pembuatannya serta dari dalam bahan tanam yang membawa cendawan, untuk itu perlunya dilakukan sterilisasi bahan tanam sebelum dilakukan perbanyakan. Sterilisasi dilakukan dengan merendam bahan tanam dengan larutan klorox 5% selama 1 menit. Sedangkan faktor eksternal berupa kurang sterilnya peralatan maupun laminar yang digunakan. Berdasarkan pengamatan satu minggu setelah tanam (1 MST), sebagian besar tanaman sudah bertunas dengan persentase 62%. Satu eksplan rata-rata menghasilkan satu tunas. Pada umur 2 MST kuncup telah membuka dan pertumbuhannya tampak jelas. Kultivar krisan Cut Nyak Dien (CND) memiliki pertumbuhan tunas terendah dibandingkan dengan kultivar lainnya, dan tanaman dengan perlakuan dosis 2 krad menunjukkan pertumbuhan tunas terendah dibandingkan dengan perlakuan dosis lainnya. Tunas tanaman terus mengalami peningkatan pertumbuhan sampai 3 MST yang tertinggi yaitu 89% kemudian mengalami penurunan pertumbuhan pada tiga minggu berikutnya karena terdapat beberapa tunas yang mengalami browning dan akhirnya mati. Hampir seluruh tunas kultivar Puspita Nusantara (PN) berkalus pada pangkal batangnya dan ukuran tunas menjadi kerdil namun tetap mengalami pertumbuhan daun walaupun sedikit. Sedangkan pada kultivar Dewi Ratih (DR), juga menghasilkan kalus pada pangkal batang, namun pertumbuhan tunas tidak terlalu mengalami perbedaan dengan kontrol.
18 Gambar 1. Eksplan Kultivar Puspita Nusantara yang Berkalus pada Pangkal Batangnya Hasil uji F tabel 1 menunjukkan dosis radiasi dan kultivar yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda pada peubah-peubah karakter kuantitatif yang diamati. Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh Kultivar dan Iradiasi Sinar Gamma terhadap Peubah Kuantitatif Dendrathema grandiflora Tzvelev. Peubah MST dosis iradiasi kultivar dosis x kultivar Jumlah tunas 1 * * tn 2 ** ** ** 3 ** ** tn 4 ** * tn 5 ** tn tn 6 ** * tn Tinggi tanaman 1 2 * ** tn 3 ** ** * 4 ** ** ** 5 ** ** tn 6 ** * tn Jumlah daun 1 2 tn tn tn 3 tn ** tn 4 * ** ** 5 * ** ** 6 ** ** * Ket: ** sangat berbeda nyata (P<0.01) * berbeda nyata (0.01 <P<0.05) tn tidak berbeda nyata (P>0.05)
19 Kultivar yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata, berbeda nyata dan tidak nyata pada peubah-peubah karakter yang diamati. Hal ini disebabkan keempat kultivar yang digunakan memiliki radiosensitivitas yang berbeda-beda terhadap perlakuan dosis iradiasi. Taraf-taraf dosis yang digunakan berselang sebesar 0.5 krad. Besarnya selang dosis yang digunakan diduga sebagai penyebab terjadinya perbedaan yang sangat nyata pada sebagian besar karakter kuantitatif yang diamati. Tidak ada interaksi antar dosis iradiasi terhadap kultivar pada peubah jumlah tunas hidup dan tinggi tanaman, namun terdapat interaksi yang sangat nyata pada peubah jumlah daun. Gambar 2. Penampilan Planlet Kontrol Dendranthema grandiflora Tzvelev. dan Planlet yang Diiradiasi dengan Sinar Gamma Menurut Broertjes dan Van Harten (1988), terdapat dua faktor yang dapat menyebabkan radiosensitivitas, yaitu faktor biologi dan lingkungan. Faktor biologi meliputi perbedaan ukuran dalam inti sel, volume inti (Nuclear Volume), dan volume kromosom saat interfase (Interphase Chromosome Volume) dari
20 spesies yang berbeda. Faktor lingkungan yang mempengaruhi radiosensitivitas, yaitu oksigen, air, suhu, dan kondisi simpan setelah proses iradiasi. Persentase Tunas Hidup Berdasarkan Soedjono (1992), penginduksian sinar gamma akan menyebabkan kerusakan pada sel sehingga keadaan fisiologinya akan terganggu, diantaranya adalah kadar oksigen (O 2 ) dan jumlah ion radikal akan meningkat. Tujuan dari penelitian-penelitian mutasi yang telah dilakukan biasanya untuk menghasilkan sebanyak mungkin mutan-mutan yang viable Oleh karena itu digunakan dosis-dosis iradiasi yang tinggi untuk mendapatkan frekuensi mutan yang lebih banyak namun hal tersebut menyebabkan kerusakan-kerusakan dengan banyaknya tanaman-tanaman yang mati atau menjadi steril akibat iradiasi sehingga sifat-sifat mutan yang akan muncul pada keturunan selanjutnya akan hilang (IAEA, 1969).. Tabel 2. Persentase Tunas Hidup pada Berbagai Dosis Radiasi Dosis (krad) tunas hidup PN PA CND DR 0 80 100 60 100 0.5 100 100 100 100 1 80 100 80 100 1.5 100 100 100 90 2 40 60 70 90 Keterangan: Kultivar PN = Puspita Nusantara PA = Puspita Asri CND = Cut Nyak Dien DR = Dewi Ratih Hasil penelitian Wulandari (2001) pada tanaman krisan menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma berpengaruh nyata terhadap persentase tanaman hidup dibandingkan kontrol. Dosis 20 Gy dan 30 Gy berbeda nyata dengan kontrol, namun tidak berbeda pengaruh antara kedua perlakuan, dengan persentase tanaman hidup terendah didapat pada perlakuan dosis 40 Gy. Hasil penelitian Hapsari (2004) menunjukkan hal yang serupa pada tanaman melati, terdapat kombinasi yang sangat nyata antara dosis iradiasi sinar gamma dan spesies melati terhadap persentase tanaman hidup. Perlakuan iradiasi sinar gamma dengan dosis
21 50 Gy dan 55 Gy mengurangi kemampuan tanaman untuk hidup pada semua spesies melati yang digunakan. Tabel 3. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma dan Kultivar terhadap Rata-Rata Jumlah Tunas In Vitro selama 6 Minggu Pengamatan Jumlah Tunas Hidup Perlakuan MST 1 2 3 4 5 6 Dosis (krad) 0 1.75 d 1.84 a 1.88 a 1.88 a 1.88 a 0.5 2.00 a 2.00 b 2.00 a 2.00 a 2.00 a 2.00 a 1 1.70 b 2.00 a 1.94 a 1.94 a 1.94 a 1.94 a 1.5 1.64 b 2.00 c 1.89 a 1.89 a 1.89 a 1.89 a 2 1.11 c 1.00 e 1.47 b 1.52 b 1.44 b 1.52 b Kultivar PN 1.76 a 1.83 a 1.86 a 1.86 ab 1.86 ab 1.90 a PA 1.75 ab 1.80 b 1.92 a 1.88 a 1.87 ab 1.91 a CND 1.47 c 1.58 d 1.62 b 1.69 b 1.69 b 1.68 b DR 1.52 bc 1.80 c 1.92 a 1.96 a 1.92 a 1.92 a KK % 21.25 0.00 16.67 15.89 16.53 16.73 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Kultivar: PN = Puspita Nusantara, PA = Puspita Asri, CND = Cut Nyak Dien, DR = Dewi Ratih KK = Koefisien Keragaman Masing-masing perlakuan dosis sinar gamma dan kultivar berpengaruh sangat nyata dan terhadap persentase tunas yang hidup, namun interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata. Dosis 2 krad memberikan pengaruh yang nyata dengan kontrol, sedangkan dosis 0.5, 1, dan 1.5 tidak memberikan pengaruh nyata dan persentase tanaman terendah terdapat pada dosis 2 krad pada semua kultivar. Secara umum tunas-tunas yang dibentuk oleh perlakuan pemberian dosis 0.5 krad paling baik dibandingkan dengan kontrol dan dosis lainnya pada setiap minggu pengamatan. Prasetyorini (1991) menyatakan bahwa pemberian dosis rendah (500 rad) secara nyata merangsang pembentukan tunas in vitro, sedangkan radiasi dosis lebih dari 1000 rad secara nyata menghambat pembentukan tunas.
Persentase Hidup Planlet 22 Letal Dosis 50 Letal dosis 50 (LD 50 ) merupakan dosis yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari populasi yang diradiasi. Kisaran dari taraf dosis iradiasi yang diaplikasikan sangat penting dalam menentukan dosis yang optimum pada tanaman yang akan diradiasi (Boertjes dan Van Harten, 1988). Nilai LD 50 didapat dari perhitungan persentase tanaman yang hidup setelah radiasi dengan menggunakan curve fit analysis. Pengamatan terhadap persentase tanaman hidup hasil iradiasi sinar gamma untuk menentukan nilai LD 50 umumnya dilakukan antara 1-2 bulan dan pada penelitian ini penentuan nilai LD 50 dilakukan pada minggu akhir pengamatan, yaitu setelah tanaman berumur 6 minggu. Nilai LD 50 pada kultivar Puspita Nusantara yaitu 5.93 krad, 6.61 krad pada Puspita Asri, 6.81 krad pada Cut Nyak Dien, dan 12.77 krad pada kultivar Dewi Ratih. Tabel 4. Persamaan dan LD 50 Masing-Masing Kultivar Kultivar Persamaan Regresi LD50 Puspita Nusantara y = -8.5714x 2 + 43.429x + 44 5.93 krad Puspita Asri y = -5.7143x 2 + 26.286x + 76 6.61 krad Cut Nyak Dien y = -7.1429x 2 + 44.857x + 26 6.81 krad Dewi Ratih y = -0.7143x 2 + 1.2857x + 100 12.77 krad Dosis Radiasi Gambar 3. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Puspita Nusantara Setelah Iradiasi
Persentase Hidup Planlet Persentase Hidup Planlet 23 Model persamaan nilai LD 50 yang diperoleh pada krisan kultivar Puspita Nusantara adalah model quadratic fit. Persamaan regresi pada kultivar Puspita Nusantara adalah y = -8.5714x 2 + 43.429x + 44 yang mempunyai nilai LD 50 sebesar 5.93 krad. Dosis Radiasi Gambar 4. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Puspita Asri Setelah Iradiasi Krisan kultivar Puspita Asri mempunyai model persamaan regresi quadratic fit dengan persamaan y = -5.7143x 2 + 26.286x + 76 yang mempunyai nilai LD 50 sebesar 6.61 krad. Dosis Dosis Radiasi Gambar 5. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Cut Nyak Dien Setelah Iradiasi
Persentase Persentase Hidup Hidup Planlet Planlet 24 Krisan kultivar Cut Nyak Dien mempunyai model persamaan regresi y = - 7.1429x 2 + 44.857x + 26 yang mempunyai nilai LD 50 sebesar 6.81 krad. Dosis Dosis Radiasi Gambar 6. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Dewi Ratih Setelah Iradiasi Krisan kultivar Dewi Ratih memiliki model persamaan regresi y = - 0.7143x 2 + 1.2857x + 100 dengan nilai LD 50 sebesar 12.77 krad. Pada pengujian nilai LD 50 (Gambar 3, 4, 5, dan 6) terlihat bahwa masingmasing kultivar menunjukkan tingkat radiosensitivitas yang berbeda. Terlihat dari nilai LD 50 yang diperoleh, maka diduga bahwa radiosensitivitas kultivar Puspita Nusantara adalah yang tertinggi dan kultivar Dewi Ratih yang terendah. Nilainilai LD 50 yang dihasilkan lebih besar dari dosis maksimal yang diberikan sehingga kultivar yang digunakan dapat dikatakan memiliki radiosensitivitas yang rendah. Berdasarkan Sparrow (1961), radiosensitivitas antar spesies tanaman dipengaruhi oleh volume inti sel (semakin banyak kandungan DNA, semakin sensitif terhadap radiasi), jumlah kromosom (semakin sedikit jumlah kromosom, semakin sensitif terhadap radiasi), dan tingkat ploidi (semakin tinggi tingkat plodi, semakin rendah radiosensitivitasnya). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor genetik, iklim, dan kondisi lingkungan sebelum dan setelah perlakuan sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan akar dan tunas. Hasil penelitian Faradilla (2008) menunjukkan bahwa anthurium kultivar Mini dan Holland memiliki nilai LD 50 masing-masing sebesar 134.47 Gy dan
25 62.17 Gy. Nariah (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa empat kultivar Caladium spp. memiliki nilai LD 50 masing-masing pada varietas Candidum sebesar 61.80 Gy, varietas Sweet Heart sebesar 80 Gy, varietas Pink Beauty sebesar 70 Gy, dan varietas Miss Muffet sebesar 37.35 Gy. Tinggi Tunas Pengukuran tinggi tunas dilakukan mulai dari pangkal batang tunas sampai ke ujung tunas yang belum membuka. Peubah karakter tinggi tanaman tidak menunjukkan adanya interaksi antara dosis iradiasi terhadap kultivar krisan (Tabel 1). Dosis dan kultivar memiliki pengaruh berbeda pada setiap minggu terhadap tinggi tunas krisan (Tabel 4). Pada pengamatan minggu ke-3, 4, dan 5 tinggi tunas menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kontrol. Pada minggu ke-3 dan ke-4 perlakuan dengan dosis 1.5 dan 2 krad secara nyata menghambat percepatan pertumbuhan tunas, sedangkan pada minggu ke-5, hanya pada taraf dosis 2 krad yang memberikan pengaruhnya yang nyata. Tabel 5. Pengaruh Dosis dan Kultivar Terhadap Tinggi Planlet Krisan Selama 6 Minggu Pengamatan Tinggi Tunas Perlakuan MST 1 2 3 4 5 6 Dosis (krad) 0 0.00 0.20 ab 0.44 a 0.92 a 1.48 a 2.15 ab 0.5 0.00 0.28 a 0.50 a 0.89 a 1.46 a 3.09 a 1 0.00 0.22 ab 0.46 a 0.79 a 1.41 a 2.07 ab 1.5 0.00 0.19 b 0.19 b 0.43 b 0.99 a 1.06 b 2 0.00 0.15 b 0.19 b 0.28 b 0.49 b 0.74 a Kultivar PN 0.00 0.13 b 0.19 c 0.37 c 0.65 b 0.91 b PA 0.00 0.21 a 0.38 b 0.78 ab 1.36 a 2.17 ab CND 0.00 0.26 a 0.53 a 0.84 a 1.47 a 2.76 a DR 0.00 0.23 a 0.29 bc 0.62 b 1.17 a 1.44 b KK % 56.46 64.26 52.85 60.28 115.05 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Kultivar: PN = Puspita Nusantara, PA = Puspita Asri, CND = Cut Nyak Dien, DR = Dewi Ratih KK = Koefisien Keragaman
26 Tampak di grafik bahwa pemberian dosis rendah 0.5 krad menunjukkan pertumbuhan tanaman in vitro yang paling baik, namun dosis lebih dari 1 krad justru menurunkan pertumbuhan tinggi tanaman. Prasetyorini (1991) menyatakan bahwa pemberian dosis rendah (500 rad) secara nyata merangsang pembentukan tunas in vitro. Sedangkan radiasi dosis lebih dari 1000 rad secara nyata menghambat pembentukan tunas. Ichikawa dan Ikushima (1967) menyatakan walaupun kerusakan seluler pada meristem pucuk dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dalam kultur in vitro terhambat, namun pada suatu tingkat dosis radiasi tertentu justru dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat disebabkan hilangnya kemampuan sebagian sel pada meristem untuk membelah diri menyebabkan aktivitas sel-sel meristem yang lain meningkat. Pierik (1987) menambahkan bahwa radiasi dosis 100 rad dapat meningkatkan pembentukan tunas adventif pada kultur kalus Anthurium adreanum. Perlakuan beberapa macam kultivar menunjukkan perbedaan yang nyata pada peubah tinggi tunas (Tabel 5). Kultivar CND menunjukkan nilai rata-rata yang paling tinggi pada peubah tinggi tunas dibandingkan dengan kultivar lainnya, sedangkan yang pertumbuhan tunas paling lambat adalah kultivar PN (Puspita Nusantara). Jumlah Daun Pada peubah jumlah daun menunjukkan adanya interaksi yang nyata antara dosis dan kultivar (Tabel 1). Rata-rata jumlah daun tertinggi dihasilkan oleh tanaman kontrol, yaitu dimulai dari 4 MST sampai dengan minggu akhir pengamatan. Hal ini menunjukkan dosis sinar gamma yang diberikan terbukti menghambat pertumbuhan daun tanaman krisan. Semakin tinggi dosis yang diberikan maka pertumbuhan daun semakin menurun. Kultivar PN memiliki jumlah daun paling banyak yaitu 20.7 helai sedangkan kultivar CND memiliki jumlah daun yang paling sedikit. Dosis radiasi 2 krad menyebabkan pertumbuhan daun terhambat yang ditunjukkan dengan jumlah daun paling sedikit pada semua kultivar krisan. Pada dosis ini pula dihasilkan keragaman tanaman yang berbeda nyata dengan kontrol.
27 Tabel 6. Pengaruh Dosis dan Kultivar Terhadap Jumlah Daun Krisan Selama 6 MST Jumlah Daun Perlakuan MST 1 2 3 4 5 6 Dosis (krad) 0 0.00 1.64 a 3.55 a 8.61 a 13.02 a 17.50 a 0.5 0.00 1.89 a 4.35 a 7.17 ab 11.95 a 15.97 ab 1 0.00 1.97 a 4.35 a 7.31 ab 10.97 a 12.79 bc 1.5 0.00 1.52 a 3.26 a 6.52 ab 11.33 a 14.85 ab 2 0.00 1.67 a 3.08 a 5.50 b 8.30 b 10.36 c kultivar PN 0.00 1.77 ab 3.57 ab 8.15 a 15.44 a 20.71a PA 0.00 1.89 a 4.66 a 8.60 a 12.20 b 14.06 b CND 0.00 1.93 a 3.95 a 6.23 b 8.19 c 10.56 c DR 0.00 1.35 b 2.59 b 5.40 b 10.04 bc 14.34 b KK % 46.42 52.24 44.26 35.53 33.44 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Kultivar: PN = Puspita Nusantara, PA = Puspita Asri, CND = Cut Nyak Dien, DR = Dewi Ratih KK = Koefisien Keragaman Tabel 7 menunjukkan bahwa interaksi yang sangat nyata terhadap rataan jumlah daun. Rataan jumlah daun terbanyak terdapat pada kultivar PN kontrol, sedangkan rataan terendah terdapat pada kultivar PN dosis iradiasi 2 krad. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan akan semakin menghambat pertumbuhan tanaman, ditunjukkan dengan semakin menurunnya jumlah daun seiring dengan peningkatan dosis sinar gamma, kecuali pada kultivar PA pada dosis sinar gamma 0.5 krad. Wardhani (2005) melaporkan bahwa pertumbuhan jumlah daun anggrek in vitro Brachyeza indusiata meningkat oleh dosis iradiasi sinar gamma 10 Gy, dan seiring dengan penambahan dosis iradiasi, pertumbuhan jumlah daun semakin menurun. Ichikawa dan Ikushima dalam Pratiwi (1995) menyatakan bahwa kerusakan sel dalam meristem akibat pengaruh radiasi sinar gamma menghambat pertumbuhan tanaman in vitro, namun pada tingkat iradiasi tertentu justru meningkatkan pertumbuhan. Hilangnya kemampuan membelah diri sebagian sel pada meristem menyebabkan aktivitas sel-sel meristem yang lain meningkat.
28 Tabel 7. Pengaruh Interaksi Dosis Iradiasi Sinar Gamma dan Kultivar Krisan Terhadap Peubah Jumlah Daun interaksi jumlah daun D0*PN 29.9a D1*PN 22.6ab D3*PN 20.5bc D1*PA 16.1bcd D0*DR 15.7bcd D3*DR 15.6bcde D2*PA 15.3bcde D1*DR 14.4bcde D0*PA 14.3bcde D3*PA 13.4cde D2*DR 13.4cde D2*PN 13.3cde D4*DR 12.6cde D0*CND 11.4de D1*CND 10.8de D2*CND 10.5de D4*PA 10.5de D3*CND 9.8de D4*CND 8.7de D4*PN 6.8e Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Kultivar: PN = Puspita Nusantara; PA = Puspita Asri; CND = Cut Nyak Dien; DR = Dewi Ratih Dosis: D0 = 0 krad; D1 = 0.5 krad; D2 = 1 krad; D3 = 1.5; D4 = 2 krad Gambar 7. Grafik Analisis Regresi Pengaruh Dosis Radiasi terhadap Peubah Jumlah Daun
29 Persamaan yang dapat dibuat dari Gambar 3 adalah y = -3.0776x + 17.375 (R² = 0.7617). Dari persamaan ini dihasilkan slope grafik yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan dosis radiasi akan menurunkan jumlah daun. Koefisien determinasi yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu 76.17%, artinya sebanyak 76.17% keragaman dari Y dapat dijelaskan oleh model regresi linear sederhana tersebut. Jumlah Kromosom Analisis kromosom dilakukan untuk mendapatkan data jumlah kromosom pada ekplan yang diradiasi dan tidak diradiasi yang bertujuan mengetahui apakah ada eksplan yang mengalami perubahan kromosom atau menjadi mutan setelah diberikan perlakuan iradiasi. Eksplan yang diradiasi dalam percobaan ini merupakan eksplan berumur 4 minggu yang telah berakar dan memiliki cukup daun, sehingga akan lebih tahan terhadap radiasi. Pengamatan kromosom dilakukan setelah tanaman berusia 6 minggu setelah disubkultur terlebih dahulu pasca radiasi yang dilakukan pada pucuk ataupun akar, namun mengamati akar lebih mudah dalam penghitungan kromosom. Jumlah sampel yang seharusnya diamati total adalah 20 sampel, namun 4 tanaman mengalami kematian pada saat pengamatan dalam botol kultur sehingga sampel yang diamati adalah 16 sampel. Saat terbaik untuk mengamati kromosom adalah pada saat proses mitosis berlangsung, yaitu pada saat terjadi profase. Menurut Campbell et all. (1999) pada saat terjadi profase, kromosom teramati dengan jelas, yaitu terdiri dari dua kromatid identik yang terbentuk pada interfase. Dua kromatid tersebut bergabung pada sentromernya, seta benang-benang spindel terlihat memanjang dari sentromernya. Hasil analisis kromosom pada tanaman krisan yang diteliti menunjukkan beberapa kombinasi perlakuan yang memiliki jumlah kromosom yang berbeda. Kultivar PN kontrol memiliki jumlah kromosom ±28, PA memiliki jumlah kromosom ±19, CND ±29, dan DR ±21. Sedangkan kultivar yang diberikan perlakuan iradiasi memiliki jumlah kromosom yang beragam, ada yang lebih sedikit dan lebih banyak.
30 Tabel 8. Jumlah Kromosom Empat Kultivar Krisan pada Lima Dosis Sinar Gamma kultivar dosis radiasi (krad) 0 0.5 1 1.5 2 PN ± 28 - ± 20 ± 40 - PA ± 19 ± 17 ± 17 ± 18 ± 20 CND ± 29 ± 15 ± 22 ± 22 ± 26 DR ± 21 - ± 25 - ± 16 Keterangan: Kultivar: PN = Puspita Nusantara, PA = Puspita Asri, CND = Cut Nyak Dien, DR = Dewi Ratih Perubahan jumlah kromosom krisan yang diradiasi diduga akibat adanya pematahan kromosom. Sinar gamma merupakan radiasi pengion yang dapat memutuskan rantai kromosom pada tempat-tempat tertentu sehingga mengubah struktur kromosom, oleh karena itu radiasi menyebabkan terjadinya mutasi kromosom atau aberasi kromosom (Crowder, 1990). Aberasi kromosom yang terjadi akibat patahan pada kromosom, patahan pada kromatid, patahan pada subkromatid, patahan pada isokromatid, patahan yang menyatu kembali, pembelahan sentromer secara transversal, translokasi, inversi, duplikasi atau delesi (Sparrow, 1979). Kultivar PN dosis 0 krad Kultivar PN dosis 1 krad Kultivar PN dosis 1.5 krad Kultivar PA dosis 0 krad Kultivar PA dosis 0.5 krad Kultivar PA dosis 1 krad Kultivar PA dosis 1.5 krad Kultivar PA dosis 2 krad Kultivar CND dosis 0 krad Kultivar CND dosis 0.5 krad Kultivar CND dosis 1 krad Kultivar CND dosis 1.5 krad Kultivar CND dosis 2 kra Kultivar DR dosis 0 krad Kultivar DR dosis 1 krad Kultivar CND dosis 2 krad Gambar 8. Hasil Pengamatan Kromosom Krisan Menggunakan Mikroskop dengan Perbesaran 400 Kali
31 Patahan kromosom yang terjadi menimbulkan kromosom yang berbeda ukurannya dengan kromosom normalnya. Suatu kromosom yang patah seringkali menghasilkan suatu bagian yang asentrik dan satu bagian lainnya disentrik. Bagian asentrik tersebut umumnya akan hilang pada proses pembelahan selanjutnya, sedangkan bagian disentriknya mungkin masih tetap ada dan membentuk satu ujung kromosom. Ujung-ujung tadi pun dapat mengalami pecahan, ujung-ujung yang terbantuk dapat saling bertaut kembali pada pembelahan berikutnya, sedangkan jika radiasi pengion tersebut merusak benangbenang gelendong (spindle fibre) yang berfungsi menarik kromosom ke kutubkutubnya pada fase anaphase saat pembelahan mitosis, maka akan mengubah jumlah kromosom dan menyebabkan terjadinya keadaan euploidi dan aneuploidi (Crowder, 1990). Perlakuan radiasi sinar gamma dalam penelitian ini menghasilkan keragaman somaklonal, diketahui dari tanaman yang memiliki jumlah kromosom yang berbeda dengan tanaman yang tidak diradiasi. Tanaman yang memiliki jumlah kromosom yang lebih banyak dari kontrolnya, kemungkinan memiliki ukuran yang lebih besar, karena menurut Poespadarsono (1988) dengan bertambahnya jumlah kromosom dapat berpengaruh terhadap ukuran sel dan produksi.