BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung nikel digunakan seharihari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di kalangan pekerja salon, baik sebagai dermatitis kontak iritan atau dermatitis

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MATURASI SEL LIMFOSIT

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis

BAB I PENDAHULUAN. Alergi terjadi akibat adanya paparan alergen, salah satunya ovalbumin.

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

BAB 5 HASIL PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PEKERJA INDUSTRI TEKSTIL X DI JEPARA. Ari Suwondo, Siswi Jayanti, Daru Lestantyo 1

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

Respon imun adaptif : Respon humoral

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

BAB I PENDAHULUAN. klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papula, vesikel, skuama) dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

KONSEP DASAR IMUNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA)

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

Gambar: Struktur Antibodi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. melaksanakan pembangunan nasional telah berhasil. meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis kontak nikel 2.1.1 Pendahuluan Dermatitis kontak terhadap nikel semakin lama semakin sulit untuk dihindari, karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung nikel digunakan seharihari dan secara terus menerus. Yang paling sering ditimbulkan oleh nikel adalah dermatitis kontak alergi nikel, yang sering bersifat kronik dan residif karena sekali seseorang tersensitisasi oleh nikel, maka sepanjang hidupnya orang tersebut akan sensitif terhadap nikel dan tidak ada satupun area dari tubuh yang tidak rentan terhadap nikel. 12,13 2.1.2 Epidemiologi Nikel merupakan penyebab dermatitis kontak alergi yang paling sering dijumpai bila dibandingkan dengan logam-logam lainnya. 12,13 Prevalensi dermatitis kontak nikel bervariasi di berbagai negara, berkisar antara 4-13,1% dan terus meningkat. Dermatitis kontak nikel lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan pada pria, dapat dijumpai pada berbagai usia, tetapi lebih sering dijumpai pada beberapa kelompok pekerjaan, seperti penata rambut atau pekerja-pekerja industri dimana prevalensi dapat meningkat hingga 27-38%. 12 Prevalensi pada wanita lebih tinggi disebabkan karena wanita lebih sering kontak dengan alat-alat yang mengandung nikel, seperti perhiasan, kancing, retsleting dan pengait pada baju, peralatan rumah tangga maupun dari telepon seluler. 12 Sedangkan pada pria,

sebagian besar tersensitisasi karena terpapar pada saat bekerja, seperti dengan koin atau alat-alat pekerjaan lainnya. 13,14 2.1.3 Nikel Nikel pertama kali ditemukan oleh ahli kimia yang berasal dari Swiss, Axel Fredrik Cronstedt pada tahun 1751, merupakan suatu komponen logam alami yang dapat dijumpai di tanah, air, udara maupun di makanan. 13 Dr. Stephen Rothman, pendiri American Investigative Dermatology, pada tahun 1930 pertama kali mempublikasikan bahwa nikel adalah salah satu pencetus dermatitis kontak dan pada tahun 2008 Nikel ditetapkan sebagai Contact Allergen of the Year oleh American Contact Dermatitis Society karena dianggap sebagai penyebab masalah kesehatan yang signifikan. 16 Nikel adalah suatu unsur kimia dengan simbol kimia Ni dan nomor atom 28. 10,13 Nikel berwarna putih keperakan dan berkilau. Karena sifatnya yang tahan korosi dan mudah bercampur dengan logam-logamnya, maka nikel banyak sekali digunakan pada berbagai macam peralatan. 10,13 Selama beberapa dekade terakhir ini, nikel merupakan penyebab alergi yang paling sering terdeteksi melalui pemeriksaan uji tempel di seluruh dunia. 16 Dermatitis kontak nikel secara signifikan dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, terutama mempengaruhi gaya hidup dan pekerjaan penderita seperti mempengaruhi penampilan penderita maupun menghambat pekerjaannya. 16 Nikel dapat dengan mudah dijumpai dimana saja, dalam air minum, makanan, perhiasan, koin, bingkai kacamata, tambalan gigi dan prostesis, kancing, resleting, alat-alat rumah tangga maupun insektisida. 12,16

2.1.4 Patogenesis dermatitis kontak alergi Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) yang terdiri dari 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan elisitasi. Fase Sensitisasi Fase sensitisasi adalah fase dimana terjadinya kontak pertama kali antara alergen dengan kulit yang selanjutnya alergen tersebut akan dikenal dan direspon oleh limfosit T atau fase ketika sel T naive dirubah menjadi sel T efektor atau sel T memori spesifikantigen. Alergen pada umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah (<500 dalton), larut dalam lemak dan memiliki reaktivitas yang tinggi. Pada fase sensitisasi ini, alergen yang belum diproses atau yang biasa disebut sebagai hapten akan dipaparkan ke stratum korneum dan selanjutnya akan berpenetrasi ke lapisan bawah epidermis dan akhirnya ditangkap oleh sel langerhans kemudian akan terjadi beberapa proses, seperti proses endositosis atau pinositosis, proses degradasi nonlisosomal dari alergen atau proses terjadinya ikatan antara peptida antigen dengan HLA-DR. 20 Paparan dari alergen ini dapat menurunkan jumlah sel langerhans pada epidermis sebanyak kurang lebih 50%, yang disebabkan karena sel langerhans tersebut beremigrasi dari epidermis. 21 Di dalam sel, hapten akan diberikatan dengan enzim sitosolik dan selanjutnya menjadi antigen lengkap yang akan diekspresikan pada permukaan sel langerhans imatur yang juga dapat berfungsi sebagai makrofag walaupun masih memiliki kemampuan terbatas untuk menstimulasi limfosit T. Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang akan mengekskresikan molekul CD4, dimana pada fase ini sel langerhans harus berinteraksi dengan sel T CD4 dengan reseptor khusus untuk antigen klas II dan alergen. 20 Pengenalan

antigen yang telah diproses dalam sel langerhans oleh Limfosit T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T CD3 dan dapat juga dipresentasikan oleh MHC klas I yang akan dikenali oleh CD8. Selanjutnya, limfosit T yang telah tersensitisasi akan bermigrasi ke daerah parakortikal kelenjar getah bening regional untuk berdiferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan membentuk sel memori. Sebagian akan kembali ke kulit dan ke sistem limfoid, tersebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. 18,19,20 Fase Elisitasi Fase ini melibatkan beberapa substansi, seperti sitokin, histamin, serotonin dan prostaglandin. Selain itu beberapa neuropeptida juga terlibat seperti calcitonin generelated peptide dan α-melanocyte stimulating hormone yang dapat menurunkan regulasi dari fase elisitasi ini yang kemungkinan disebabkan karena adanya pengaruh dari sel penyaji antigen. 19 Fase elisitasi terjadi pada saat terjadi kontak ulang antara kulit dengan hapten yang sama atau serupa. Hapten akan ditangkap dan kemudian dipresentasikan pada permukaan sel langerhans, satu-satunya sel epidermal yang mengekspresikan antigen HLA-DR klas II pada permukaannya. Selanjutnya sel langerhans akan mengeluarkan sitokin, yaitu interleukin-1 yang akan menstimulasi limfosit T untuk menghasilkan interleukin-2 dan mengekspresikan reseptor interleukin-2 yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T teraktifasi akan mensekresikan IFN-γ yang akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresikan Intercellular adhesion molecule I (ICAM-I) dan Histocompatability Locus A (HLA)- DR. 19,20 Sitokin tidak hanya diproduksi oleh sel langerhans dan limfosit T, tetapi dapat

juga diproduksi oleh sel keratinosit, sel mast dan makrofag yang terlibat pada patogenesis dermatitis kontak alergi ini. Sitokin mempunyai peranan penting pada molekul-molekul adhesi yang mengatur jalur sel langerhans, sel T dan sel-sel inflamasi lainnya di kulit. Selain itu, ekspresi dari molekul-molekul adhesi lain pada sel langerhans dan sel T dapat mempengaruhi respon sel T terhadap alergen yang masuk. 20 HLA-DR pada keratinosit akan berinteraksi dengan limfosit T CD4 melalui molekul ICAM-1. Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat menyebabkan keratinosit menjadi target limfosit T. Keratinosit aktif juga memproduksi berbagai sitokin lain, seperti IL-1, IL-6 dan GMSCF yang selanjutnya akan mengaktifkan limfosit T. Selanjutnya IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi eicosanoid yang akan menghasilkan sel mast dan makrofag. Histamin yang berasal dari sel mast dan keratinosit serta infiltrasi lekosit menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas terhadap berbagai sel dan faktor inflamasi yang terlarut. Jalur tersebut merupakan respon kulit pada dermatitis kotak alergik yang meliputi inflamasi, destruksi seluler dan proses perbaikan. 18,22 Beberapa teori mengungkapkan kemungkinan beberapa faktor yang bertanggungjawab dalam proses migrasi sel T helper ke kulit, antara lain sitokin-sitokin kemotaktik yang secara lokal akan bertindak pada keadaan-keadaan kulit tertentu, adanya peningkatan regulasi molekul-molekul adherens pada kulit (pada endotelium pembuluh darah, sel stromal dan sel-sel di epidermis) serta sel langerhans pada epidermis yang berfungsi sebagai bantalan untuk antigen yang transit di epidermis sebelum antigen tersebut ditransmisikan ke kelenjar getah bening yang akan membantu sel T helper untuk berikatan dengan antigen pada kulit. 21

2.1.5 Patogenesis dermatitis kontak nikel Seperti yang kita ketahui selama ini bahwa patogenesis dermatitis kontak alergi nikel diperantarai oleh sel Th1 tetapi belakangan ini diketahui bahwa ternyata sel Th2 juga berperan pada patogenesis dermatitis kontak nikel. Nikel yang pada jalur ini berperan sebagai hapten, ketika kontak dengan kulit dan masuk melalui stratum korneum kemudian akan berikatan dengan protein karier untuk selanjutnya akan ditangkap oleh antigen precenting cell dan diproses sehingga menjadi fragmen peptida dan kemudian dipresentasikan ke permukaan antigen precenting cell bersama-sama dengan MHC sehingga dikenali oleh limfosit T yang diinduksi nikel atau nickel-induced lymphocyte T yang akan berproliferasi dan mensekresikan sitokin, terutama sitokin IL-5 yang merupakan mediator spesifik pada dermatitis kontak nikel. 18 Menurut Sanderson (1992), IL-2 yang diproduksi oleh limfosit Th1 yang berperan pada patogenesis dermatitis kontak nikel ini ternyata dapat menginduksi produksi IL-5 oleh limfosit Th2 yang ternyata juga berperan pada patogenesis dermatitis kontak nikel ini. 23 Literatur lain berpendapat bahwa paparan nikel pada kulit dapat merangsang terjadinya respon imun yaitu yang terjadi pada saat terjadi kontak langsung antara nikel dan permukaan kulit dimana nikel-nikel tersebut akan berikatan dengan makromolekulmakromolekul endogen dan sel-sel sitotoksik yang mengakibatkan peningkatan regulasi molekul-molekul adhesi. Paparan dalam dosis yang rendah saja sudah dapat menyebabkan perubahan metabolisme limfosit, sehingga semakin lama dan seringnya paparan maka semakin besarnya perubahan metabolisme limfosit. 3,7

Czarnobilska memaparkan bahwa patogenesis dermatitis kontak nikel dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu (1) nikel berikatan dengan protein ekstraseluler dan kemudian oleh antigen precenting cell (APC) akan disajikan sebagai molekul MHC klas II yang akan mengaktifkan limfosit CD4+ untuk memproduksi semakin banyak IL-5, (2) nikel akan berpenetrasi kedalam sel dan berikatan dengan protein intraseluler dan selanjutnya disajikan sebagai molekul MHC klas I yang meningkatkan aktivitas limfosit CD8+ sehingga produksi sitokin meningkat, atau (3) nikel dapat juga berperan sebagai superantigen dengan cara berikatan dengan molekul MHC Klas II dan menyebabkan peningkatan proliferasi limfosit melalui ikatannya dengan reseptor TCR. 22 2.1.6 Diagnosis A. Anamnesis penyakit Diagnosis dermatitis kontak nikel dapat ditegakkan melalui anamnesis, seperti riwayat penyakit, riwayat keluarga, observasi klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan uji tempel. Riwayat keluarga perlu ditanyakan karena genetik, walaupun dalam persentasi yang kecil, diduga mempunyai peranan terhadap kesensitivitasan seseorang terhadap nikel yang akan mempermudah seseorang menderita dermatitis kontak nikel dan bila seseorang tersensitisasi oleh nikel maka semakin besar resiko anggota keluarga derajat 1 dari pasien tersebut untuk tersensitisasi. 20 Tetapi, lingkungan merupakan faktor yang paling berperan sebagai penyebab dermatitis kontak nikel, seperti melalui inhalasi, ingesti dan kontak langsung. 12 Paparan terhadap nikel pada manusia yang secara inhalasi adalah melalui polusi udara, secara ingesti melalui konsumsi makanan dengan kandungan nikel yang

tinggi seperti gandum, coklat, gelatin, kacangan-kacangan, dan beberapa jenis ikan dengan kadar melebihi 0,6 mg/hari dan yang paling sering adalah melalui kontak langsung dengan alat-alat yang mengandung nikel. 10,11 Beberapa faktor predisposisi dapat meningkatkan resiko dermatitis kontak nikel, antara lain semakin banyak dan seringnya partikel-partikel nikel terpapar ke kulit yaitu bila lebih dari 0,5μg/cm 2 /minggu melalui pemakaian peralatanperalatan yang mengandung nikel, adanya campuran bahan-bahan lain yang mempermudah pelepasan nikel ke kulit, keadaan kulit pada saat kontak (durasi, temperatur dan ph kulit) dan keadaan sawar epidermis (sedang mengalami inflamasi, adanya mikroorganisme), dimana keadaan keadaan tersebut dapat meningkatkan bioavailabilitas ion-ion nikel. 2,12,24 B. Gambaran klinis Secara garis besar lesi dermatitis nikel dapat dibagi menjadi lesi lokal dan lesi sistemik. Lesi lokal timbul melalui paparan kontak langsung, sedangkan lesi sistemik biasanya timbul akibat paparan melalui inhalasi dan ingesti. 12 Calnan mengklasifikasikan lesi lokal dari dermatitis nikel menjadi 2 kelompok : (a) Lesi primer : lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang papular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung dan (b) lesi sekunder : lesi yang timbul simetris dengan lokasi kontak langsung dan berhubungan dengan aktivitas lesi primer. Paparan dengan peralatan yang hanya mengandung sedikit nikel dan hanya sesaat hanya akan menimbulkan gambaran klinis berupa eritema. Lokasi lesi sekunder paling sering timbul adalah lipat siku, kelopak mata, leher dan wajah dan terkadang lesi dapat menjadi generalisata. 10 Beberapa penderita dermatitis kontak nikel melaporkan bahwa lesi

semakin berat terutama pada musim kemarau karena penderita akan semakin banyak mengeluarkan keringat. Pada saat berkeringat kandungan klorida pada keringat akan meningkat sehingga menguraikan garam-garam nikel dan mengakibatkan peningkatan absorbsi garam-garam nikel ke kulit. 12 Lesi akibat alergi nikel secara sistemik dapat dijumpai disemua lokasi tubuh, tetapi tangan merupakan lokasi tersering dijumpainya lesi ini, dengan gambaran klinis berupa pomfoliks atau seperti gambaran dermatitis tangan pada umumnya. Beberapa fakta yang membuktikan paparan nikel melalui ingesti juga dapat menyebabkan lesi antara lain, (a) timbulnya eksema dan atau reaksi uji tempel positif bila dilakukan uji nikel secara oral, (b) lesi mengalami perbaikan bila penderita melakukan diet nikel, (c) lesi membaik dengan pemberian disulfiram secara oral yang mempunyai efek melarutkan nikel dan meningkatkan ekskresi nikel. 12 2.2 Derajat kepositifan uji tempel Czarnobilska dan Jenner (2009), melaporkan bahwa terdapat hubungan antara derajat kepositifan uji tempel dengan kadar IL-5 pada penderita dermatitis kontak nikel. 10 Terdapat 3 jenis standart uji tempel, yaitu European standart series yang ditetapkan oleh The European environmental and Contact Dermatitis Research Group (EEC-DRG) yang terdiri dari 22 alergen, The North American Standart Series yang ditetapkan oleh The North American Contact Dermatitis Group yang terdiri dari 20 alergen dan yang ketiga adalah The Japanese Standart Series yang ditetapkan oleh The Japanese Society for Contact Dermatitis yang terdiri dari 25 alergen. 24

Nikel sulfat 5% dalam vaseline tersebut akan diujikan dengan cara dibiarkan berkontak dengan kulit selama 48-72 jam dan kemudian hasilnya, yaitu berupa reaksi yang terjadi akan diamati, dibaca dan dicatat pada hari ke-2 (48 jam), hari ke-3 (72 jam) dan hari ke-4 (96 jam) yang merupakan standart penilaian hasil uji tempel berdasarkan The North American Standart Series yang ditetapkan oleh The North American Contact Dermatitis Group. 26 Dengan melakukan uji tempel yang benar, maka kita dapat mengetahui apakah orang yang kita uji pernah mengalami kontak dan sudah tersensitisasi dengan alergen yang diuji. Pembacaan hasil uji tempel yang positif diberi skor sesuai dengan derajat reaksi yang terjadi dengan penilaian sistem grading menurut NACDG sebagai berikut : 26 (-) Negatif (tidak ada reaksi) (+?) Reaksi meragukan (hanya eritema) (+) Reaksi positif lemah (eritema, infiltrasi, papel +/-) (++) Reaksi positif kuat (eritema, infiltrasi, papel, vesikel) (+++) Reaksi positif sangat kuat (reaksi ++ disertai bula) 2.3 Interleukin-5 2.3.1 Definisi

Interleukin-5 adalah suatu interleukin yang berasal dari sel T helper 2 dan sel mast yang teraktivasi. Interleukin-5 terdiri dari 115 asam amino, dan gen IL-5 ini terletak pada kromosom 5. Tidak seperti sitokin sitokin lainnya, bentuk aktif dari IL-5 ini adalah homodimer. 25,26 2.3.2 Fisiologi Interleukin-5 mempunyai peranan sebagai perangsang pertumbuhan sel B, stimulator pertumbuhan serta diferensiasi eosinofil dan mastositosis, mengaktivasi pematangan eosinofil dan meningkatkan sekresi imunoglobulin-a, imunoglobulin-e dan imunoglobulin-g dengan cara meningkatkan diferensiasi sel B. Interleukin-5 merupakan mediator utama aktivasi eosinofil dan dapat mengatur peran dari eosinofil pada tiap tahap pematangan eosinofil. 26,30 Kadar IL-5 dalam serum yang meningkat dapat mengakibatkan peningkatan jumlah eosinofil atau hipereosinofilia yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang diperantarai eosinofil dan mengakibatkan disfungsi organ. 31 Peningkatan kadar IL-5 juga dijumpai pada penderita dermatitis atopi dan pada infeksi yang disebabkan oleh parasit, yaitu Schistosoma mansoni. Telur Schistosoma mansoni yang masuk kedalam tubuh akan berperan sebagai antigen yang kemudian akan ditangkap oleh antigen precenting cell dan selanjutnya akan dipresentasikan ke sel Th2. Selanjutnya sel Th2 tersebut akan berproliferasi dan akan mengekskresikan IL-4, IL-10 dan terutama IL-5 yang akan menginduksi pembentukan dan pematangan eosinofil sehingga terjadi hipereosinofilia. 32