DOI: 10.7454/mjs.v22i2.8245 Resensi More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial Kevin Nobel Kurniawan Departemen Sosiologi UI Email: KevinNobel93@gmail.com Pyythinen, Olli. 2016. More-Than-Human Sociology: A New Sociological Imagination. Palgrave Macmillan viii+112 halaman. Buku yang ditulis oleh Pyythinen mencoba untuk mengingat dan mengembangkan konsep Imajinasi Sosiologi yang dicetuskan oleh Wright Mills dalam menganalisis peran objek materiel secara sosiologis. Imajinasi Sosiologi merupakan sebuah cara untuk memahami masalah sosial dalam ruang lingkup yang personal dan publik, dan menjadikan sosiologi sebagai sebuah ilmu yang relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebelumnya, Mills mengkritik para sosiolog yang terlalu mendalami analisis teoritik untuk menghasilkan buku yang memuat tulisan teori besar, maupun para penulis lainnya yang berputar-putar dalam mendiskusikan metodologi yang dapat menghasilkan teori sosial, yang disebut sebagai Abstracted Empiricism. Menurut Mills, para ilmuwan telah menjadikan sosiologi hanya sebagai sebuah isu untuk dipikirkan (thinking sociology), dan bukan sebagai sebuah ide yang dapat diterapkan (doing sociology). Terpisahnya kegiatan ilmiah dari dunia keseharian telah menghambat perkembangan ilmu sosiologi sendiri. Sama seperti Wright Mills, Olli Pyyhtinen, sosiolog asal Finlandia, juga mengkritisi perkembangan sosiologi yang selama ini dianggapnya kurang kreatif. Barangkali, analisis sosiologi yang dilakukan, atau lebih tepatnya, diulangi oleh para cendekiawan terjebak pada analisis hubungan antarindividu. Sedangkan, di tengah-tengah perkembangan teknologi yang semakin modern, para sosiolog telah melupakan peran materi dalam membentuk kehidupan individu dalam sebuah lingkungan sosial. Menurut Pyyhtinen, radar imajinasi sosiologi tidak berhenti pada masalah sosial pada tingkat personal maupun publik,
282 KEVIN NOBEL KURNIAWAN namun juga melibatkan peran objek, materi, atau yang disebut sebagai benda mati; imajinasi sosiologi melibatkan analisis pada hubungan sosial-personal antarindividu (relationship), tetapi juga melibatkan analisis yang lebih luas pada hubungan individu dengan materi yang bersifat impersonal (relation). Secara garis besar, struktur buku More-Than-Human Sociology dapat dibagi menjadi tiga bagian: sebuah pendahuluan yang membahas mengenai eksistensi materi dalam imajinasi sosiologi, sebuah kritik terhadap analisis makro-mikro sosiologi, dan sebuah tinjauan teoritis terhadap konsep More-Than-Human. Berdasarkan susunan tersebut, saya melihat bahwa Pyyhtinen mencoba untuk mengajak para pembaca untuk memahami imajinasi sosiologi terhadap peran objek materiel secara induktif (bottom-up). Pembabakan buku ini memberikan kesan bagaimana dengan mekarnya sudut pandang sosiologis terhadap materi dapat memberikan implikasi teoritis yang meluas. Para pembaca tidak hanya mempelajari teori maupun konsep baru, tetapi seperti yang ingin ditawarkan oleh Pyyhtinen sebelumnya, para pembaca diajak mengikuti jejak berpikir penulis untuk dapat mengimajinasikan peran non-human, yaitu materi, dalam interaksi sosial sehari-hari. Dalam memahami peran materi dalam pengalaman seorang individu berangkat dari cabang ilmu Sosiologi Relasional (Relational Sociology). Seperti judul buku ini, relasional sosiologi tidak selalu mengacu pada hubungan antarmahluk sosial, tetapi berfokus pada hubungan itu sendiri yang terbentuk antara dua entitas yang berbeda, baik itu personal maupun impersonal. Pyyhtinen menjelaskan bahwa perkembangan sosiologi yang berangkat dari pemikiran Marx, Weber, dan Durkheim akan berakhir pada bentuk analisis yang dualistis, yaitu analisis makro-mikro, sebuah kajian terhadap hubungan individu dengan struktur sosial. Analisis meso merupakan sebuah kerangka analisis sosiologi yang mencoba untuk menghubungi dualisme antara keberadaan individu dan struktur melalui institusi sosial. Tetapi, hubungan timbal balik yang dialektis kurang diperlihatkan dalam kerangka analisis seperti ini, dan kacamata analisis seperti ini belum mampu untuk menjelaskan eksistensi dan signifikansi materil secara sosiologis. Kerangka teori Simmel sosiologi kembali mendapatkan perhatian apabila kita mencoba untuk melihat hubungan, yaitu relasi yang memuat unsur dialektis/timbal-balik. Pyyhtinen meminjam istilah Rizhome dari Deleuze dan Guattari untuk menekankan konektivitas
MORE-THAN-HUMAN SOCIOLOGY 283 sebagai sebuah karakteristik yang muncul dalam sebuah interaksi. Kemudian, penulis mencetuskan istilah Sosiologi Rhizomatik sebagai sebuah upaya untuk mengubah cara berpikir kita dalam menganalisis keberadaan benda dan perannya dalam membentuk pengalaman individu dalam sebuah lingkungan sosial. Pengalaman merupakan satuan (assemblage) dari berbagai arus interaksi yang telah terkumpul dalam diri seorang individu. Tentu, interaksi dapat dibagi menjadi dua jenis: personal (sosial) dan impersonal (materi), tetapi sebagaimana telah dijelaskan oleh penulis, kita perlu memerhatikan interaksi yang seringkali sudah diterima dengan cuma-cuma (taken-for-granted). Keberadaan benda mati bukanlah tidak signifikan terhadap kehidupan kita. Contoh yang diberikan oleh Simmel adalah uang, setiap hari kita menggunakan uang dengan frekuensi yang cukup tinggi sampai saja kita tidak menyadari bahwa keberadaan sebuah kertas dapat mengubah pengalaman fenomenologis seorang individu. Sekarang, perkembangan teknologi yang semakin modern telah memberikan semakin banyak keberadaan materi yang baru (seperti smartphone) yang dapat membentuk tindakan (practices) dalam keseharian kita. Seorang manusia purba harus berurusan dengan api dan air, seorang manusia modern berurusan dengan uang, dan manusia post-modern berurusan dengan teknologi yang sudah terjaring pada tingkat global. Pengalaman internal yang terbentuk melalui hubungan relasional tersebut telah mendefinisikan kapabilitas individu dalam menggunakan perangkat teknologi tersebut. Dengan menggunakan daya imajinasi sosiologi seperti ini, seolah-olah benda mati (materi) telah menjadi mahluk sosial yang baru. Pyyhtinen menawarkan terhadap materi sebagai sebuah terobosan baru dalam imajinasi sosiologi bagi para pembacanya, tetapi implikasi teoritis masih belum diangkat secara signifikan untuk menjelaskan dampak bila hubungan relasional bersama benda-benda materil dianggapnya sama pentingnya hubungan antarindividu. Mengingat bahwa konsep more-than-human Pyyhtinen yang sungguh menarik dan relevan ketika kita melihat maraknya perkembangan teknologi pada saat ini, saya akan mencoba untuk menambahkan beberapa poin penting. Pertama, saya setuju bahwa relasi individu tidak lagi tertutup dengan mahluk persona saja, namun juga dengan benda-benda materiel. Hal ini menjadi semakin sulit untuk dibantahkan ketika interaksi keseharian kita menjadi semakin melekat dengan perangkat-perangkat teknologi di lingkungan sekitar. Kita menggunakan telepon genggam
284 KEVIN NOBEL KURNIAWAN untuk bangun, menggunakan mobil/kereta/motor untuk berangkat ke tempat kerja, menggunakan laptop untuk berinteraksi dengan individu di tempat yang jauh, dan seterusnya. Bahkan, Pyyhtinen sempat menyinggung bahwa manusia bukanlah individu dengan teknologi, tetapi individu merupakan perangkat-perangkat materil yang mengindikasikan bahwa individu sudah menyatu dengan teknologi melalui frekuensi dalam interaksi sehari-hari. Kedua, keberadaan benda materiel bukanlah tanpa kepentingan kelompok, sehingga unsur humansitis tetap diperlukan dalam analisis sosiologi. Kelemahan dari tulisan Pyyhtinen adalah upayanya untuk menyadarkan kita mengenai pentingnya keberadaan materiel belum cukup menyinggung aspek sosiologis di dalam sebuah materi. Materi merupakan sebuah representasi dari sebuah kepentingan kelompok. Interaksi individu dengan sebuah materi mengindikasikan ketergantungan individu terhadap kepentingan kelompok yang membuat objek-objek tersebut. Kita tidak perlu jauh-jauh membicarakan bagaimana sebuah materi yang mewah memuat simbol sosial, materi yang sederhana pun juga memuat kepentingan sosial. Bila kita harus kritis, frekuensi interaksi individu dengan benda mati ini telah diregulasikan oleh kelompok-kelompok tertentu yang telah mendapatkan keuntungan darinya. Dengan kata lain, ketergantungan individu terhadap materi merupakan sarana bagi kelompok elit untuk memperkuat kontrol sosial. Ketiga, interaksi merupakan sebuah hubungan timbal-balik yang bersifat resiprokal, dan hubungan tersebut mendefinisikan identitas dan peran individu. Identitas individu dikonstruksikan melalui relasi. Kembali pada tesis Simmel yang melihat bahwa budaya telah diwarnai dengan sebuah tragedi, relasi antarindividu yang personal telah digantikan dengan objek impersonal, dan hal tersebut mengubah mekanisme masyarakat dalam memberikan definisi sosial terhadap individu. Sebelumnya, individu didefinisikan melalui relasi sosial dengan komunitasnya. Kemudian, individu dibagi menjadi superordinat dan subordinat melalui jumlah uang yang dapat ditransaksikan. Pada saat ini, individu dapat ditransaksikan sebagai sebuah materi yang mengambil bentuk gambar ketika ditampilkan dalam dunia digital. Dan hal tersebut menjelaskan bahwa keberadaan materi yang semakin beragam telah melahirkan penilaian sosial (social currency) yang baru untuk dipertaruhkan dalam arena sosial. Materi muncul, maka relasi sosial menjadi ada.
MORE-THAN-HUMAN SOCIOLOGY 285 Berangkat dari cabang ilmu sosiologi relasional, Pyyhthinen menawarkan sebuah imajinasi sosiologis yang baru untuk menjawab perkembangan teknologi pada era saat ini. Pyyhthinen melihat bahwa hubungan timbal balik dalam sebuah relasi tidak tertutup pada relasi sosial antarindividu tetapi juga melibatkan hubungan dengan objek materil. Objek-objek tersebut membentuk pengalaman individu, seolah-olah benda-benda mati telah menjadi aktor-aktor sosial layaknya seorang manusia. Personifikasi keberadaan materil tersebut dilahirkan melalui frekuensi individu dalam menggunakan perangkat teknologi. Buku More-Than-Human Sociology telah memberikan banyak temuan dan cara pandang yang menarik, namun belum cukup menjelaskan secara jauh apa implikasi teoritis terhadap perkembangan ilmu sosiologi relasional. Adapun dengan menganggap materi sebagai objek yang berbagian dalam kehidupan sosial, individu tidak terlepas dari fenomena perubahan sosial, kepentingan kelompok penguasa, dan transaksi sosial yang bersifat personal maupun impersonal. Dampak dari kerangka analisis terhadap materiel dapat mengubah wajah berbagai disiplin sosiologi seperti Sosiologi Budaya, Sosiologi Perubahan Sosial, Sosiologi Komunitas, dan lain sebagainya.