BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil dari hutan produksi tetap lestari maka dibuat beberapa aturan sebagai acuan pengelolaan hutan. Salah satu aturan yang dibuat mengatur tentang sistem silvikultur yang wajib digunakan oleh perusahaan yang mendapat ijin untuk mengelola hutan alam produksi. Secara umum sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan alam produksi berlaku seragam di seluruh Indonesia (Setiawan, 2012). Sistem silvikultur yang digunakan pada hutan alam produksi di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem silvikultur TPTI adalah salah satu sistem silvikultur yang diterapkan pada hutan-hutan alam yang tidak seumur di Indonesia yang dilakukan yang memiliki dasar-dasar seperti batas diameter tebangan, adanya rotasi tebang, adanya pohon inti (pohon yang akan membentuk tegakan utama pada rotasi tebang berikutnya), adanya penanaman pengayaan (enrichment planting), pencegahan erosi dan pengamanan hutan. Tujuan dari sistem TPTI adalah agar pengusaha dapat mengatur pemanfaatan hutan alam produksi serta 1
2 meningkatkan nilai hasil hutan baik kualita maupun kuantitanya pada areal bekas tebangan untuk rotasi tebangan berikutnya, agar terbentuk tegakan hutan campuran yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penghasil bahan baku industri secara lestari (Anonim., 1993). Sedangkan sistem silvikultur TPTJ adalah sistem silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya penanaman pengayaan pada areal hutan bekas tebangan secara jalur yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan yaitu 25 meter antar jalur dan 5 meter dalam jalur tanam, tanpa memperhatikan ada tidaknya anakan alam yang tersedia pada tegakan tinggal (Anonim., 2009). Hutan alam yang dikelola PT. Jati Dharma Indah Plywood Industries yang berada di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua merupakan hutan alam produksi. Potensi tegakan tinggal setelah pemanenan perlu dikaji untuk penyelamatan pohon-pohon muda agar tidak terjadi penurunan produksi pada siklus tebang berikutnya. Salah satunya adalah dengan melihat kerusakan tegakan tinggal setelah dilakukannya pemanenan kayu. Thaib (1986) menjelaskan bahwa faktor yang berperan dalam persentase penurunan jumlah pohon per hektar antara lain jumlah pohon yang ditebang dan sistem pemanenan. Pemanenan kayu menyebabkan kerusakan tegakan tinggal dimana tegakan tinggal tersebut dapat dipanen lagi pada siklus tebang berikutnya (Muhdi, 2009). Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan yang terjadi pada bagian tegakan yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu itu. Kerusakan-kerusakan itu antara lain berupa pohon roboh atau pohon yang masih berdiri
3 yang pada bagian batang, banir atau tajuknya rusak dan diperkirakan tidak dapat tumbuh lagi dengan normal (Sastrodimedjo dan Radja, 1976). Kegiatan pemanenan kayu merupakan kegiatan utama yang dilakukan oleh sebuah perusahaan kayu untuk mendapatkan hasil. Kegiatan pemanenan kayu adalah kegiatan mengeluarkan kayu atau hasil hutan lainnya dari dalam hutan ke lokasi lainnya (Suparto, 1997). Elias (2008) menyatakan pada proses pemanenan kayu seringkali perusahaan hanya mementingkan material dan intensitas yang berlebihan tetapi tidak melihat dampak kerusakan yang diakibatkan dalam proses pemanenan sehingga kerusakan akibat kegiatan pemanenan tidak dapat dihindarkan. Pada umumnya setiap perusahaan pengusahaan hutan selama ini bekerja secara tidak profesional, sehingga di Indonesia terjadi kerusakan hutan yang sangat tinggi yang ditimbulkan akibat pemanenan. Selama ini pemanenan yang dilakukan khususnya penebangan kayu tidak memperhatikan regenerasi atau masih tidak peduli dengan keberadaan pohon inti yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk siklus tebang berikutnya. Untuk mengatasi hal tersebut maka Reduced Impact Logging (RIL) merupakan teknik yang digunakan untuk mengatasi masalah tersebut. Para ahli pemanenan kayu menganggap selama ini pemanenan kayu yang dilakukan pada hutan tropis sangatlah merusak hutan tropis karena perusahaan tidak menghiraukan prinsip-prinsip pemanenan kayu dan kaidah-kaidah dalam pengelolaan hutan secara lestari (Elias, 2002a).
4 Reduced Impact Logging (RIL) adalah suatu pendekatan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap pemanenan kayu. RIL memerlukan wawasan ke depan dan keterampilan yang baik dari operator serta adanya kebijakan tentang lingkungan yang mendukungnya. Alasan penerapan RIL yaitu untuk pengurangan resiko lingkungan dan sosial, ekonomi, pasar produk kehutanan serta kebijakan dan penerapan yang tepat. Kegitan RIL memiliki pola perencanaan yang tidak terdapat pada pemanenan secara konvensional. Antara 6 sampai 12 bulan sebelum penebangan, tim RIL menginventarisir lokasi penebangan dan memotong akar atau liana yang tumbuh pada pohon yang berpotensi untuk ditebang. Selain itu kegiatan RIL juga membuat peta sebaran pohon, pemilihan pohon yang akan ditebang, perencanaan jalan sarad dan pemilihan pohon komersil unruk ditebang pada daur berikutnya. Teknik penebangan dengan metode RIL juga sudah didasarkan pada asas kelestarian, hal ini dibuktikan dari adanya takik rebah dan takik balas (Elias, 2001). Pemanenan kayu secara konvensional atau Conventional Logging (CL) merupakan teknik pemanenan kayu yang selama ini digunakan dalam pengelolaan hutan yang ditandai dengan sifat-sifat perencanaan yang kurang, penggunaan teknik pemanenan yang kurang tepat dan kurang terkontrol, serta kurang/tidak menerapkan teknik pemanenan kayu yang berpedoman pada Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Sistem pemanenan kayu secara konvensional dapat dilihat dari jaringan jalan sarad dan arah rebah pohon yang tidak direncanakan dalam peta saat operasi penebangan, teknik
5 penebangan belum tepat, serta operator chainsaw dan operator sarad belum berkoordinasi satu sama lain dengan menggunakan peta persebaran pohon (Elias, 1999). 1.2. Permasalahan Salah satu sumberdaya hutan yang banyak dimanfaatkan adalah kayu. Kayu akan memiliki nilai manfaat maupun nilai ekonomi apabila telah dikeluarkan dari dalam hutan ke lokasi lain. Namun dalam pelaksanaan di lapangan ketika kegiatan penebangan, dampak buruk yang dihasilkan cukup besar sehingga menyebabkan beberapa kerusakan tegakan tinggal khususnya pohon inti atau pohon dengan diameter >20 cm. Dalam prinsip pengelolaan hutan secara lestari, maka kegiatan penebangan seharusnya memperhatikan keberlangsungan pohon inti untuk regenerasi berikutnya. Untuk meminimalisir dampak negatif dari kegiatan penebangan, maka dirasa perlu dilakukan teknik yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Reduced Impact Logging adalah teknik yang tepat untuk mengatasi dampak negatif kegiatan penebangan. Selama ini sebagian besar perusahaan yang melakukan kegiatan penebangan masih menggunakan teknik Conventional logging yang menurut para ahli teknik tersebut kurang memperhatikan prinsip pengelolaan hutan secara lestari. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang perbandingan besarnya tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan menggunakan metode Reduced Impact Logging (RIL) dan Conventional Logging (CL) pada areal IUPHHK-HA PT. Jati Dharma Indah Plywood Industries Nabire, Papua.
6 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi dan menghitung tipe kerusakan pohon berdiameter 20 cm yang disebabkan oleh pemanenan kayu menggunakan metode RIL dan CL. 2. Menganalisis hubungan tingkat kerusakan pohon berdiameter 20 cm dengan kelerengan, kerapatan tegakan dan intensitas penebangan pada pemanenan kayu menggunakan metode RIL dan CL. 3. Membandingkan besarnya kerusakan pohon berdiameter 20 cm akibat pemanenan kayu menggunakan metode RIL dan CL. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran keberlangsungan regenerasi hutan alam serta untuk mengetahui efektifitas antara teknik Reduced Impact Logging dan teknik Conventional Logging dalam pengelolaan hutan secara lestari, sehingga akan meningkatkan produksi perusahaan pada siklus tebang berikutnya yang dikarenakan hutan yang dikelola tetap lestari.