BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Lampiran 1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Gambar 1. Lokasi Penelitian

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Bekasi

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

HASIL DAN PEMBAHASAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN TAMAN KOTA OLEH MASYARAKAT KOTA BEKASI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar-dasar atau prinsip pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah nilai

METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

BAB 3 OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN. Kota Bekasi merupakan salah satu kota yang terdapat di Provinsi Jawa Barat,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

Kondisi Eksisting Lokasi Budidaya Tanaman Hias Kelurahan Srengseng

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK. An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City ABSTRACT ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. (DIY) memiliki peran yang sangat strategis baik di bidang pemerintahan maupun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA...

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Studi Peran & Efektifitas RTH Publik di Kota Karanganyar Isnaeny Adhi Nurmasari I BAB I PENDAHULUAN

PANDUAN MUSRENBANG KELURAHAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB III OBJEK PENELITIAN. III.1 Tinjauan Umum Objek Penelitian Kecamatan Bantar Gebang, Kecamatan. Jatiasih, dan Kecamatan Bekasi Utara

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH

KETUA PENGADILAN AGAMA BEKASI. SURAT KEPUTUSAN Nomor: W10-A19/090/SK/HK.05/I/2016

PENDAHULUAN Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

BAB VI DATA DAN ANALISIS

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

IV. KONDISI UMUM PENELITIAN

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON

NO INSTANSI / SKPD ALAMAT KODE POS TELEPON EXT. FAX

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RENCANA PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA, SERTA PRASARANA DAN SARANA UMUM

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN SEBAGAI PELESTARIAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA JAMBI OLEH DINAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA JAMBI

PROFIL KABUPATEN / KOTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, jasa, dan industri. Penggunaan lahan di kota terdiri atas lahan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

III. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

EVALUASI PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PELAYANAN BIDANG SARANA DAN PRASARANA DASAR KABUPATEN KUTAI TIMUR. Arif Mudianto.

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

LAMPIRAN II HASIL ANALISA SWOT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB III ISU-ISU STRATEGIS

Transkripsi:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 Laju perubahan RTH di Kota Bekasi dianalisis berdasarkan hasil digitasi Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010. Tabel 6 menunjukkan dinamika perubahan luas RTH di Kota Bekasi tahun 2003-2010. Tabel 6. Dinamika Perubahan Luas RTH di Kota Bekasi Tahun 2003-2010 Kecamatan RTH 2003 (ha) % RTH 2010 (ha) % Luas Perubahan RTH (ha) Laju Perubahan RTH 2003-2007 (per tahun) Bekasi Barat 143,38 4,68 106,50 4,18-36,88-0,04 Bekasi Selatan 173,35 5,66 139,80 5,49-33,54-0,03 Bekasi Timur 107,17 3,50 97,30 3,82-9,87-0,01 Bekasi Utara 110,57 3,61 90,74 3,56-19,83-0,03 Jati Asih 540,85 17,66 411,84 16,17-129,01-0,03 Medan Satria 64,20 2,10 67,12 2,63 2,92 0,01 Rawalumbu 193,10 6,31 174,75 6,86-18,35-0,01 Jati Sampurna 475,84 15,54 321,90 12,64 Pondok Gede 258,67 8,45 105,92 4,16 **-179,87 **-0,03 Pondok Melati * * 126,82 4,98 Bantar Gebang 995,51 32,51 366,58 14,39 ***-90,61 ***-0,01 Mustika Jaya * * 538,32 21,13 Jumlah 3062,64 100,00 2547,59 100,00-515,05-0,02 Keterangan: *=kecamatan pemekaran dari kecamatan urutan sebelumnya; **=dihitung dari penjumlahan Kecamatan Jati Sampurna, Pondok Gede, dan Pondok Melati; ***=dihitung dari penjumlahan Kecamatan Bantar Gebang dan Mustika Jaya. Pada tahun 2003, luasan RTH di Kota Bekasi sebesar 3.062,64 ha, sedangkan luasan RTH pada tahun 2010 sebesar 2.547,59 ha. Terjadi penurunan luas RTH di Kota Bekasi selama tahun 2003 hingga 2010 sebesar 515,05 ha. Penurunan luas RTH ini salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk sehingga lahan-lahan RTH privat terutama lahan-lahan kebun campuran milik warga digunakan untuk pembangunan perumahan. RTH publik yang berupa jalur hijau jalan, taman, dan jalur hijau sempadan sungai luasannya bertambah namun dengan luasan relatif kecil sehingga tidak mampu mengkompensasi penurunan luasan RTH privat yang telah terpakai. Laju perubahan RTH Kota Bekasi dari tahun 2003 hingga 2010 negatif sebesar -2% tiap tahunnya. Dari nilai tersebut diketahui bahwa dari tahun 2003

37 hingga 2010 telah terjadi penurunan luas RTH setiap tahun. Kecamatan yang mengalami laju pengurangan RTH paling tinggi setiap tahunnya adalah Kecamatan Bekasi Barat (-4%). Hal ini diduga karena Kecamatan Bekasi Barat mempunyai pekembangan wilayah yang cepat karena kecamatan ini merupakan salah satu pusat kegiatan kota sehingga lahan RTH juga cepat terkonversi menjadi penggunaan lain. Kecamatan Medan Satria memiliki laju perubahan RTH bernilai positif yaitu 1% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan tersebut mengalami peningkatan luasan RTH. Peningkatan luasan RTH di Medan Satria terjadi karena terbangunnya Banjir Kanal Timur (BKT), sehingga di sekitar BKT difungsikan sebagai RTH. Untuk mengkonsistenkan satuan di wilayah yang mengalami pemekaran pada tahun 2004, maka di wilayah pemekaran tersebut perhitungan laju perubahan luas RTH disatukan. Pada gabungan Kecamatan Pondok Gede, Pondok Melati, dan Jati Sampurna, laju perubahan RTH yang terjadi negatif sebesar -3% per tahun. Laju penurunan RTH tersebut terjadi karena perubahan penggunaan lahan RTH terutama RTH privat milik warga menjadi jalan tol. Laju perubahan RTH di Bantar Gebang dan Mustika Jaya juga dihitung secara bersama menghasilkan laju perubahan RTH sebesar -1% per tahun. Pada tahun 2003 kecamatan yang memiliki RTH terbesar adalah Kecamatan Bantar Gebang dengan luasan sebesar 995,51 ha kemudian diikuti oleh kecamatan jati asih dengan luas RTH sebesar 540,85 ha. Luasan RTH terkecil dimiliki oleh Kecamatan Medan Satria dengan luasan sebesar 64,20 ha. Kecamatan Bantar Gebang memiliki luasan RTH terbesar diduga karena masih banyak RTH terutama RTH privat berupa kebun-kebun milik warga yang dilestarikan. Selain itu, Kecamatan Bantar Gebang memiliki kepadatan penduduk yang rendah dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain. Lokasi kecamatan yang berada di luar dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor serta kurang berkembangnya aksesibilitas menyebabkan laju perkembangan wilayah kurang pesat sehingga laju pertumbuhan fasilitas tidak terlalu cepat. Kecamatan Medan Satria memiliki luas wilayah yang relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayah kecamatan lain, sehingga luasan RTH yang ada juga kecil. Selain itu, kecamatan ini berbatasan dengan wilayah Jakarta Timur sehingga memiliki perkembangan

38 wilayah yang tinggi yang bisa mengakibatkan beralihnya penggunaan lahan RTH menjadi penggunaan lahan terbangun. Pada tahun 2010 kecamatan yang memiliki luasan RTH terbesar adalah Kecamatan Jati Asih dengan luasan sebesar 411,84 ha dan yang terkecil adalah Kecamatan Medan Satria. Meskipun terjadi peningkatan luas RTH di Kecamatan Medan Satria namun kecamatan ini tetap memiliki proporsi RTH yang kecil dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Peta sebaran RTH tahun 2003 dan 2010 tertera pada Gambar 3 dan 4. Gambar 5 menunjukkan RTH di Kota Bekasi yang diperoleh dari hasil pengecekan lapang. Gambar 3. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2003

39 (b) Gambar 4. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2010

Gambar 5. Peta Piktorial Sebaran Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi 40

41 5.2. Analisis Kecukupan RTH Kota Bekasi Berdasarkan Jumlah Penduduk Untuk bisa melakukan aktifitas dengan nyaman, penduduk membutuhkan luas RTH sebesar 20 m 2 sebagaimana tertera dalam Permen PU No. 5 tahun 2008. Tong Yiew dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa di Malaysia luas RTH per penduduk yang ditetapkan sebesar 1,9 m 2 dan Jepang 5 m 2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris menetapkan kebutuhan RTH per penduduk sebesar 11,5 m 2, Amerika 60 m 2, Jakarta mengususlkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m 2 per penduduk (Rifai dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Tabel 7 menunjukkan kecukupan RTH di Kota Bekasi terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi pada tahun 2010. Tabel 7. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Luas Lahan (ha) proporsi RTH 20% luas kecamatan (ha) RTH Per Kecamatan Menurut Permen PU No 5 tahun 2008 RTH eksisting Selisih RTH Dengan Proporsi Menurut Permen PU No 5 Tahun 2008 (ha) Bantar Gebang 95.957 1.704 340,80 191,91 366,58 174,67 Bekasi Barat 270.569 1.889 377,80 541,13 106,50-434,64 Bekasi Selatan 203.596 1.496 299,20 407,19 139,80-267,39 Bekasi Timur 248.046 1.349 269,80 496,09 97,30-398,79 Bekasi Utara 310.198 1.965 393,00 620,40 90,74-529,66 Jati Asih 199.496 2.200 440,00 398,99 411,84 12,85 Jati Sampurna 103.513 1.449 289,80 207,03 321,90 114,88 Medan Satria 161.617 1.471 294,20 323,23 67,12-256,11 Mustika Jaya 160.381 2.473 494,60 320,76 538,32 217,56 Pondok Gede 246.413 1.629 325,80 492,83 105,92-386,91 Pondok Melati 129.219 1.857 371,40 258,44 126,82-131,62 Rawalumbu 207.484 1.567 313,40 414,97 174,75-240,22 Jumlah 2.336.489 21.049 4209,80 4672,98 2547,59-2125,39 Dari Tabel 7 diketahui bahwa RTH yang ada di Kota Bekasi pada tahun 2010 sebesar 2547,59 ha, sedangkan luas RTH yang di butuhkan oleh penduduk sebesar 4672,98 ha. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa Kota Bekasi belum bisa mencukupi kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk. Untuk mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk maka perlu diadakan penambahan RTH sebesar 2.125,39 ha. Kemungkinan sangat sulit untuk mencukupi kekurangan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk karena

42 secara umum lahan di Kota Bekasi telah banyak berubah menjadi lahan terbangun seperti perumahan, industri, perdagangan, perkantoran, dan jasa, sedangkan penduduk selalu meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Tabel 7 tampak bahwa luas kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah Kota Bekasi (4209,80 ha) juga belum bisa dipenuhi oleh Kota Bekasi bahkan luasan tersebut lebih kecil daripada luas kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk (4672,98 ha). Karena luasan kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah Kota Bekasi lebih kecil dan juga merupakan ketentuan yang tertuang dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka target luasan ini harus dicapai lebih dulu. Setelah Mencapai luasan tersebut, dilakukan perluasan areal RTH sehingga dapat mencapai luasan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk untuk menunjang kenyamanan penduduk dalam beraktifitas. 5.3. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Sejak Kota Bekasi terbentuk pada 10 Maret 1997, jumlah penduduk di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan yang terjadi cukup tinggi tiap tahunnya. Pada tahun 2010 penyebaran penduduk Kota Bekasi masih didominasi oleh 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 310.198 jiwa, Kecamatan Bekasi Barat sebanyak 270.569 jiwa, Kecamatan Bekasi Timur sebanyak 248.046 jiwa, dan Kecamatan Bojong Gede sebanyak 246.413 jiwa. Penyebaran penduduk Kota Bekasi lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Barat dan pusat kota (Pondok Gede dan Bekasi Barat) yang berbatasan dengan DKI Jakarta serta di bagian Utara dan Timur (Bekasi Utara dan Bekasi Timur) yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan oleh akses jaringan jalan yang baik di kedua wilayah karena dilalui oleh jalan negara dan jalan tol serta dilengkapi dengan jalan kota. Wilayah Barat dan pusat memiliki lokasi yang sangat strategis karena berbatasan dengan DKI Jakarta dan masih dalam wilayah tarikan pelayanan DKI Jakarta. Sementara itu, wilayah Timur dan Utara memiliki ketersediaan fasilitas dan prasarana penunjang perkotaan yang lengkap. Jumlah penduduk Kota Bekasi secara agregat pada tahun 1997 sebanyak 1.471.477 jiwa, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 2.336.489 jiwa. Sejak

43 tahun 1997 hingga 2010 laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi berfluktuasi, dengan rata-rata 3,8% per tahun. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1999-2000, yaitu sebesar 7%. Laju pertumbuhan penduduk terendah terjadi pada 1998-1999 dan 2009-2010, yaitu sebesar 1%. Kepadatan penduduk Kota Bekasi dari tahun 1997-2010 terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini disebabkan oleh terus meningkatnya jumlah penduduk namun tidak disertai dengan pertambahan luas wilayah. Pada tahun 1997 kepadatan penduduk Kota Bekasi sebesar 6.991 jiwa/km 2 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 11.100 jiwa/km 2. Laju pertumbuhan kepadatan penduduk Kota Bekasi dari tahun 1997-2010 bernilai positif meskipun terjadi kenaikan atau penurunan. Nilai positif tersebut menunjukkan bahwa kepadatan penduduk Kota Bekasi selalu meningkat tiap tahun walaupun dengan laju yang berbeda-beda. Laju kepadatan penduduk tertinggi terjadi pada tahun 2001-2002 yaitu mencapai 6% sedangkan kepadatan penduduk terendah terjadi pada tahun 1998-1999 dan 2009-2010 yaitu sebesar 1 %. Laju pertumbuhan kepadatan penduduk rata-rata Kota Bekasi dari tahun 1997-2010 adalah sebesar 4% per tahun. Gambar 6 menunjukkan mengenai jumlah dan kepadatan penduduk Kota Bekasi periode tahun 1997-2010 sedangkan Gambar 7 menunjukkan laju pertumbuhan jumlah dan kepadatan penduduk periode tahun 1997-2010. Gambar 6. Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode 1997-2010

44 Gambar 7. Grafik Laju Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode 1997-2010 Kecamatan Pada tahun 2004 terjadi pemekaran wilayah Kota Bekasi sehingga jumlah penduduk sebelum dan setelah pemekaran menjadi berkurang secara drastis untuk beberapa kecamatan yang mengalami pemekaran. Kecamatan yang mengalami pemekaran adalah Kecamatan Pondok Gede, Kecamatan Jati Sampurna, Kecamatan Jati Asih dan Kecamatan Bantar Gebang. Pada Tabel 8 dan Tabel 9 berturut-turut tertera jumlah dan kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kota Bekasi tahun 2000-2004 dan 2005-2010. Tabel 8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode 2000-2004 luas area (km²) jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/km²) 2000 2001 2002 2003 2004 2000 2001 2002 2003 2004 Pondok gede 24,37 242.082 214.875 227.598 232.110 242.054 9934 8817 9339 9524 9932 Jati sampurna 22,48 73.603 96.134 101.882 103.952 108.507 3274 4276 4532 4624 4827 Jati asih 24,49 153.331 165.188 175.280 179.038 182.461 6261 6745 7157 7311 7450 Bantar gebang 41,78 134.104 148.940 157.492 160.371 166.078 3210 3565 3770 3838 3975 Bekasi timur 13,49 217.675 159.772 201.322 205.150 214.074 16136 11844 14924 15208 15869 Rawalumbu 15,67 139.617 190.237 169.274 172.668 178.765 8910 12140 10802 11019 11408 Bekasi selatan 14,96 161.417 176.020 186.247 189.761 196.990 10790 11766 12450 12685 13168 Bekasi barat 18,89 222.273 205.131 217.599 222.206 229.772 11767 10859 11519 11763 12164 Medan satria 14,71 121.736 133.369 140.945 143.446 149.811 8276 9067 9582 9752 10184 Bekasi utara 19,65 215.964 218.671 231.667 236.303 245.804 10991 11128 11790 12026 12509

45 Kecamatan Tabel 9. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode 2005-2010 luas area (km²) jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan penduduk (jiwa/km²) 2005 2006 2007 2009 2010 2005 2006 2007 2009 2010 Pondok gede 16,29 196.318 210.999 224.176 231.389 246.413 12051 12953 13762 14204 15127 Jati sampurna 14,49 69.759 71.750 73.744 86.936 103.513 4814 4952 5089 6000 7144 Jati asih 22,00 168.210 168.896 165.520 183.461 199.496 7646 7677 7524 8339 9068 Bantar gebang 17,05 72.114 77.680 78.224 102.563 95.957 4230 4556 4588 6015 5628 Bekasi timur 13,49 243.552 270.256 276.496 266.277 248.046 18054 20034 20496 19739 18387 Rawalumbu 15,67 185.640 174.205 184.380 229.326 207.484 11847 11117 11766 14635 13241 Bekasi selatan 14,96 185.776 200.790 207.744 175.231 203.596 12418 13422 13887 11713 13609 Bekasi barat 18,89 259.308 276.879 287.989 294.342 270.569 13727 14657 15246 15582 14323 Medan satria 14,71 147.030 150.628 160.152 169.097 161.617 9995 10240 10887 11495 10987 Bekasi utara 19,65 274.968 268.673 273.512 340.244 310.198 13993 13673 13919 17315 15786 Pondok melati 18,56 101.456 111.056 118.935 100.621 129.219 5466 5984 6408 5421 6962 Mustika jaya 24,73 97.768 89.632 92.932 140.051 160.381 3953 3624 3758 5663 6485 Pada tahun 2000 hingga 2010, terdapat empat kecamatan yang penduduknya sangat padat, yaitu Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan, dan Kecamatan Bekasi Utara. Keempat kecamatan tersebut mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi karena merupakan pusat kegiatan kota sehingga penduduk tertarik untuk tinggal di daerah tersebut. Selain itu, keempat kecamatan tersebut mempunyai akses yang baik dan dilalui oleh jalan negara, propinsi, dan kota. Wilayah yang kepadatan penduduknya rendah berada di wilayah Selatan Kota yaitu Kecamatan Bantar Gebang, Kecamatan Jati Asih, Kecamatan Jati Sampurna, dan Kecamatan hasil pemekaran (Kecamatan Pondok Melati dan Kecamatan Mustika Jaya). Rendahnya kepadatan penduduk di wilayah tersebut di sebabkan kurang terbangunnya wilayah itu serta akses jaringan jalan yang belum cukup baik. Semakin padat penduduk di suatu wilayah maka dibutuhkan semakin banyak lahan untuk permukiman, fasilitas-fasilitas umum, dan sarana prasarana pemenuh kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi laju kepadatan penduduk maka akan dibutuhkan lebih banyak lahan. Hal ini dapat berakibat pada konversi ruang terbuka hijau di wilayah tersebut menjadi kawasan terbangun, baik untuk permukiman, fasilitas-fasilitas umum, maupun sarana prasarana umum.

46 5.4. Hirarki dan Perkembangan Wilayah Kota Bekasi Hirarki dan perkembangan wilayah ditentukan dengan menggunakan analisis skalogram. Tingkat perkembangan suatu wilayah dinyatakan dalam Hirarki 1, Hirarki 2, dan Hirarki 3. Hirarki 1 menyatakan wilayah dengan tingkat perkembangan maju. Hirarki 2 menyatakan wilayah dengan tingkat perkembangan sedang. Hirarki 3 menyatakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Perhitungan skalogram menggunakan data-data sarana dan prasarana serta fasilitas umum yang diambil dari data PODES Kota Bekasi 2003 dan 2006. Dari pengolahan data PODES dengan analisis skalogram, diperoleh data hirarki wilayah dan perubahan hirarki seperti tertera pada Tabel 10 dan Tabel 11. Tabel 10. Hirarki Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006 Kecamatan Tahun 2003 Tahun 2006 Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 Bantar Gebang 0 2 6 0 1 3 Bekasi Barat 1 1 3 0 5 0 Bekasi Selatan 1 2 2 2 3 0 Bekasi Timur 3 1 0 3 1 0 Bekasi Utara 0 4 2 0 3 3 Jatiasih 0 2 4 0 2 4 Jati Sampurna 0 0 5 0 1 4 Medan satria 1 3 0 0 4 0 Pondok Gede 1 4 0 1 3 1 Rawalumbu 0 1 3 0 3 1 *Mustika Jaya 0 0 4 *Pondok Melati 1 0 3 Kota Bekasi 7 20 25 7 26 23 *Kecamatan setelah mengalami pemekaran pada tahun 2005 Berdasarkan Tabel 10, pada tahun 2003 hampir separuh dari jumlah kelurahan di Kota Bekasi memiliki hirarki 3, yaitu sebanyak 25 kelurahan. Kelurahan yang memiliki hirarki 2 sebanyak 20 kelurahan dan kelurahan yang memiliki hirarki 1 hanya 7 kelurahan. Pada tahun 2006 terlihat adanya peningkatan perkembangan wilayah di Kota Bekasi. Hal ini terlihat dari bertambahnya jumlah kelurahan yang berhirarki 2, meskipun masih banyak juga

47 kelurahan yang berhiarki 3, yaitu 23 kelurahan. Kelurahan yang berhirarki 1 berjumlah sama seperti pada tahun 2003 yaitu 7 kecamatan. Kelurahan yang berhirarki 2 bertambah cukup signifikan yaitu dari dari 20 kelurahan menjadi 26 kelurahan. Tabel 11. Perubahan Hirarki Wilayah di Kota Bekasi Tahun 2003-2006 Kecamatan Peningkatan Hirarki Kelurahan Penurunan Hirarki Perubahan Hirarki Kecamatan Kelurahan Perubahan Hirarki Pondok Gede Jatiwaringin 2 1 Bekasi Barat Kranji 1 2 Bekasi Selatan Kayuringin Jaya 2 1 Bekasi Selatan Pekayon Jaya 1 2 Bekasi Timur Aren Jaya 2 1 Bekasi Timur Duren Jaya 1 2 Bekasi Selatan Jaka Setia 3 1 Medan Satria Medan Satria 1 2 Bekasi Barat Bintara Jaya 3 2 Bekasi Utara Marga Mulya 2 3 Bekasi Barat Jaka Sampurna 3 2 Jati Asih Jatikramat 2 3 Bekasi Barat Kota Baru 3 2 Jati Asih Jatirasa 2 3 Jati Asih Jatiasih 3 2 Mustika Jaya Mustikajaya 2 3 Jati Asih Jatisari 3 2 Jati Sampurna Jatisampurna 3 2 Bekasi Selatan Marga Jaya 3 2 Rawa Lumbu Bojong Menteng 3 2 Rawa Lumbu Bojong Rawalumbu 3 2 Pada Tabel 10, perubahan jumlah hirarki terjadi pada beberapa kecamatan. Hal ini dapat dijelaskan melalui Tabel 11. Sebagian besar terjadi peningkatan hirarki, antara lain perubahan hirarki 2 ke hirarki 1, hirarki 3 ke hirarki 1, dan hirarki 3 ke hirarki 2. Peningkatan hirarki ini dapat terjadi karena adanya penambahan jumlah dan jenis fasilitas. Kecamatan Bekasi Selatan memiliki 2 kelurahan yang hirarkinya meningkat menjadi hirarki 1, yaitu Kelurahan Kayuringin Jaya dan Kelurahan Jaka Setia. Hal ini karena pada kelurahan ini terjadi penambahan jumlah dan jenis fasilitas yang disediakan untuk masyarakat, terutama restoran dan pertokoan. Hal ini juga ditunjang oleh letak kelurahan Kayuringin Jaya dan Jaka Setia yang dilalui jalan arteri dan jalan kolektor yang memberi dampak pada perkembangan wilayah itu sendiri. Selain peningkatan hirarki, terdapat pula beberapa kelurahan yang mengalami penurunan hirarki, yaitu dari hirarki 1 ke hirarki 2 dan dari hirarki 2 ke hirarki 3. Hal ini diduga terjadi karena kelurahan-kelurahan tersebut sudah jenuh

48 dan tidak ada lagi tempat yang dapat digunakan untuk menambah fasilitas atau prasarana. Fasilitas-fasilitas yang tersedia tidak mampu untuk melayani penduduk yang terus meningkat. Selain itu, diduga adanya pemekaran wilayah bisa mengakibatkan fasilitas dan prasarana yang ada sebelumnya tidak tersebar merata sehingga tidak mampu untuk melayani masyarakat yang ada di wilayah pemekaran tersebut. Sebaran spasial hirarki wilayah Kota Bekasi tahun 2003 dan tahun 2006 tertera pada Gambar 8 dan Gambar 9. Gambar 8. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Medan Satria, dan Pondok Gede memiliki kelurahan berhirarki 1. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan wilayah kecamatan-kecamatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Kelima kecamatan tersebut memiliki kelurahan-kelurahan berhirarki 1 diduga karena wilayah kecamatan-kecamatan

49 tersebut dilalui oleh akses jaringan jalan yang baik, yaitu jalan negara, jalan tol, dan jalan kota. Pondok Gede dan Bekasi Barat berbatasan dengan DKI Jakarta dan masih dalam wilayah tarikan pelayanan DKI Jakarta. Bekasi Timur dan Bekasi Utara berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Wilayah di kedua kecamatan tersebut merupakan kawasan permukiman dan ditunjang dengan fasilitas dan prasarana penunjang kota yang lengkap. Diantara kelima kecamatan berhirarki 1 tersebut, Kecamatan Bekasi Timur adalah kecamatan yang paling berkembang diantara kelima kecamatan lainnya karena terdapat 3 kelurahan yang mempunyai hirarki 1. Gambar 9. Sebaran Spasial Hirarki Kota Bekasi Tahun 2006 Berdasarkan sebaran spasial hirarki wilayah di Kota Bekasi tahun 2003 dan 2006, wilayah Utara Kota Bekasi didominasi oleh wilayah berhirarki 1 dan berhirarki 2. Wilayah berhirarki 3 secara umum berada di wilayah Selatan, yaitu Kecamatan Bantar Gebang, Kecamatan Jati Asih, dan Kecamatan Jati Sampurna.

50 Kecamatan-Kecamatan ini masih memiliki hiararki wilayah yang rendah karena wilayahnya belum didukung oleh aksesibilitas yang baik. Perkembangan wilayah ditandai dengan adanya peningkatan perekonomian, penambahan jumlah fasilitas, dan semakin lengkapnya jenis fasilitas yang tersedia. Pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut tentu membutuhkan lahan. Hal ini dapat berimbas pada konversi ruang terbuka hijau karena mengingat keberadaan lahan ini mempunyai land rent yang rendah dan dianggap tidak memiliki fungsi ekonomis yang tinggi. Selain itu, keberadaan lahan kosong dan strategis untuk pembangunan fasilitas makin sempit dan terbatas sehingga kemungkinan untuk mengorbankan keberadaan ruang terbuka hijau juga semakin besar. Hubungan antara luasan konversi RTH di Kota Bekasi dengan hirarki wilayah tertera pada Tabel 12. Tabel 12. Luasan Konversi RTH (ha/tahun) pada Hirarki Wilayah Tahun 2006 Kecamatan Hirarki I II III Bantar Gebang * -1,14-1,52 Bekasi Barat * -1,18-1,09 Bekasi Selatan -1,71-0,26-0,67 Bekasi Timur -0,21-0,47 * Bekasi Utara * -0,65-0,30 Jati Asih * -0,91-3,06 Jati Sampurna * * -1,88 Medan Satria * -0,59 0,33 Mustika Jaya * * -1,78 Pondok Gede -2,16 * -2,86 Pondok Melati -1,15 * -1,57 Rawalumbu -0,33 * -0,73 Rata-rata -1,11-0,74-1,38 Keterangan : * = hirarki wilayah yang bersangkutan tidak dimiliki oleh kelurahan tertentu. Pada hirarki wilayah 1, kecamatan yang mengalami koversi RTH paling besar adalah Kecamatan Pondok Gede. Pada hirarki wilayah 2, kecamatan yang mengalami konversi RTH paling besar adalah Kecamatan Bekasi Barat. Pada hirarki wilayah 3, kecamatan yang mengalami konversi RTH paling besar adalah Kecamatan Jati Asih. Secara agregat, konversi RTH di Kota Bekasi pada hirarki wilayah 1 sebesar -1,11 ha per tahun, pada hirarki wilayah 2 sebesar -0,74 ha per

51 tahun, dan pada hirarki wilayah 3 mengalami konversi luas RTH paling besar yaitu sebesar -1,38 ha per tahun. Jika dilihat dari wilayah administratifnya, Kecamatan Pondok Gede dan Kecamatan Bekasi Barat berbatasan dengan wilayah Jakarta Timur. Kedekatan dengan Jakarta Timur ini diduga mengakibatkan perkembangan wilayah di wilayah tersebut cukup tinggi karena beberapa kelurahan masih berada dalam tarikan pelayan wilayah Jakarta Timur. Hal tersebut berakibat pada luasnya konversi RTH per tahun di kedua kecamatan ini. Kecamatan Jati Asih mengalami konversi RTH per tahun paling besar pada daerah dengan kategori hirarki wilayah 3. Hal ini disebabkan oleh adanya pembangunan jalan tol (JORR) di wilayah ini yang sebagian menggunakan lahan RTH terutama RTH privat milik warga. Laju perubahan RTH dengan hirarki wilayah di Kota Bekasi dan sebaran datanya ditunjukkan pada Gambar10. Gambar 10. Boxplot Laju Perubahan RTH per Kelurahan dan Hirarki Pada hirarki wilayah 1, luas RTH secara umum terkonversi dengan nilai tengah laju penurunan sebesar 4,2% per tahun. Terdapat kelurahan yang memiliki laju positif sebesar 0,3% per tahun yaitu Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur. Laju konversi RTH terbesar pada hirarki 1 terjadi di Kelurahan Jati Waringin, Kecamatan Pondok Gede sebesar 6,2% per tahun. Pada hirarki wilayah 2, secara umum luas RTH terkonversi dengan nilai tengah laju penurunan sebesar 2,6% per tahun. Laju konversi terbesar terjadi pada Kelurahan Jati Bening, Kecamatan Pondok Gede dengan laju penurunan sebesar 6,5% per tahun. Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bekasi Selatan memiliki laju positif sebesar

52 1,5% per tahun. Pada hirarki wilayah 2 terdapat kelurahan yang memiliki peningkatan laju perubahan RTH yang cukup besar (5,9%) yaitu Kelurahan Medan Satria, Kecamatan medan Satria. Peningkatan laju perubahan RTH tersebut diduga karena adanya refungsionalisasi lahan kosong menjadi RTH terutama yang berada di sekitar banjir kanal timur (BKT). Pada hirarki wilayah 3, secara umum luas RTH terkonversi dengan nilai tengah laju penurunan sebesar 2,5% per tahun. Laju konversi terbesar terjadi pada Kelurahan Jati Kramat, Kecamatan Jati Asih dengan laju penurunan sebesar 5,1% per tahun. Pada hirarki 3 ini terdapat dua pencilan yang memiliki laju penurunan luas RTH yang sangat besar yaitu sebesar 7,1% per tahun pada Kelurahan Jati Warna, Kecamatan Pondok Melati dan 8% per tahun pada Kelurahan Jati Bening Baru, Kecamatan Pondok Gede. Besarnya konversi RTH pada kedua kecamatan tersebut karena terkonversinya RTH menjadi permukiman dan JORR (jalan tol), terutama RTH privat berupa kebun milik warga. Laju konversi RTH terbesar terjadi pada hirarki wilayah 1, kemudian diikuti oleh hirarki wilayah 2 dan 3. Secara umum, luas konversi atau perubahan RTH per tahun paling besar terjadi pada hirarki wilayah 3, namun laju konversi atau perubahan RTH per tahun paling besar terjadi pada hirarki wilayah 1. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan luasan RTH pada wilayah yang berhirarki 3 lebih besar dibandingkan dengan luasan RTH pada wilayah berhirarki 2 atau 1. Oleh karena itu, walaupun luas konversi RTH per tahun pada wilayah berhirarki 3 paling besar namun laju yang dihasilkan tidak besar karena luas perubahan RTH tersebut diperbandingkan dengan luasan RTH yang lebih besar. Pada wilayah berhirarki 1, luas RTH yang terkonversi tiap tahun relatif kecil namun memiliki laju yang besar. Hal ini karena luas RTH yang ada pada wilayah berhirarki 1 kecil namun terus terjadi konversi RTH menjadi penggunaan lahan lain sehingga laju yang dihasilkan terlihat besar. 5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Luas RTH Perubahan luas RTH yang terjadi di Kota Bekasi pada periode tahun 2003-2010 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi dilakukan dengan

53 menggunakan analisis regresi berganda dengan metode stepwise regression. Variabel yang digunakan dalam membuat regresi bertatar berjumlah 21 variabel, yaitu satu variabel tujuan (Y) dan 20 variabel penduga (X). Hasil analisis regresi tertera pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Regression Summary for Dependent Variable: perubahan RTH R=,770 R²=,593 Adjusted R²=,529 F(7,44)=9,1893 p Variabel/Intersep Beta Std.Err. B Std.Err. t(44) p-level Intersep 1,140 2,648 0,431 0,669 Jarak ke pusat kota -0,262 0,134-0,389 0,198-1,960 0,056 Luas RTH tahun 2003-0,399 0,154-0,080 0,031-2,588 0,013 Jarak ke fasilitas sosial terdekat 0,089 0,134 0,541 0,817 0,663 0,511 Perubahan lahan terbangun 2003-2010 -0,514 0,139-0,227 0,061-3,700 0,001 Luas lahan kosong tahun 2003 0,376 0,126 0,099 0,033 2,973 0,005 Jarak ke fasilitas pendidikan terdekat 0,216 0,110 2,378 1,205 1,973 0,055 Perubahan jumlah fasilitas ekonomi -0,146 0,109-0,011 0,008-1,343 0,186 Tabel 13 menjelaskan bahwa persamaan regresi yang dihasilkan memiliki nilai R-square (R 2 ) sebesar 0,59. Dari nilai R-square tersebut, diketahui bahwa terdapat 41% ragam di luar variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis ini yang mempengaruhi perubahan RTH. Berdasarkan Tabel 10 tersebut, variabel penduga yang yang berpengaruh sangat nyata (p-level < 0,05) adalah luasan RTH pada tahun 2003, perubahan lahan terbangun 2003-2010, dan luasan lahan kosong pada tahun 2003. Variabel yang berpengaruh nyata adalah jarak ke kabupaten yang membawahi, jarak ke fasilitas sosial, jarak ke fasilitas pendidikan, dan perubahan jumlah fasilitas ekonomi. Secara lebih rinci, faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi adalah sebagai berikut: 1. Jarak ke pusat kota Hasil regresi menunjukkan bahwa jarak ke pusat kota bernilai negatif dengan koefisien sebesar -0,262. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu satuan jarak ke kabupaten maka potensi penurunan luas RTH sebesar 0,2 satuan (ha). Semakin jauh jarak ke kabupaten maka penurunan luas

54 RTH semakin besar. Hal tersebut terjadi pada Kota Bekasi diduga karena semakin jauh dari kabupaten, perkembangan wilayahnya pun belum cukup pesat sehingga luas RTH yang tersedia lebih besar. Hal ini memungkinkan untuk menggunakan lahan ini menjadi area terbangun dalam upaya pengembangan kota. 2. Luas RTH tahun 2003 Hasil Regresi menunjukkan bahwa variabel luas RTH tahun 2003 bernilai negatif dengan koefisien sebesar -0,399. Penambahan satu satuan luas RTH tahun 2003 maka potensi penurunan luas RTH sebesar 0,39 satuan (ha). Kota Bekasi bagian Selatan mempunyai RTH privat berupa kebun warga yang cukup luas dibandingkan dengan luasan RTH privat di seluruh kota bekasi. Penggunaan lahan tersebut rawan digunakan menjadi penggunaan lain karena warga dan pembangun cenderung menggunakan lahan tersebut untuk digunakan sebagai perumahan atau bangunanbangunan lain. 3. Jarak ke fasilitas sosial Hasil regresi yang bernilai positif dengan koefisiensi 0,089 menunjukkan bahwa penambahan satu satuan jarak ke fasilitas sosial maka potensi penambahan luas RTH sebesar 0,089 satuan (ha). Hal ini diduga karena pembangunan fasilitas sosial ini tidak disertai dengan pengalokasian sebagian lahannya untuk RTH. Semakin jauh jarak ke fasilitas sosial dapat diartikan bahwa potensi penggunaan lahan-lahan untuk RTH semakin besar. 4. Perubahan lahan terbangun tahun 2003-2010 Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan lahan terbangun 2003-2010 bernilai negatif dengan koefisien sebesar -0,514. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu satuan lahan terbangun periode 2003-2010 maka potensi penurunan RTH sebesar 0,514 satuan (ha). Semakin besar pertumbuhan lahan terbangun maka luas RTH yang tersedia semakin sedikit. Kondisi ini menggambarkan bahwa Kota Bekasi dalam melakukan pembangunan banyak menggunakan lahan-lahan RTH

55 karena minimnya lahan yang tersedia. Dalam kasus ini RTH yang paling banyak digunakan adalah RTH privat berupa kebun-kebun milik warga. 5. Lahan kosong tahun 2003 Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa lahan kosong 2003 bernilai positif dengan koefisiensi sebesar 0,376. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu-satuan luas lahan kosong tahun 2003 maka potensi penambahan luas RTH sebesar 0,37 satuan (ha). Masih tersedianya lahan kosong bisa menyelamatkan keberadaan RTH karena pembangunan yang terjadi kemungkinan besar akan menggunakan lahan kosong terlebih dulu. Terdapat juga kemungkinan lahan-lahan kosong difungsikan menjadi ruang terbuka hijau dalam upaya meningkatkan areal RTH. 6. Jarak ke fasilitas pendidikan Hasil analisis regresi variabel jarak ke fasilitas pendidikan yang bernilai positif dengan koefisien sebesar 0,216 menunjukkan bahwa penambahan satu satuan jarak ke fasilitas pendidikan maka potensi penambahan luas RTH sebesar 0,216 satuan (ha). Hal ini diduga karena pembangunan fasilitas pendidikan ini tidak disertai dengan pengalokasian sebagian lahannya untuk RTH. Semakin jauh jarak ke fasilitas pendidikan dapat diartikan bahwa potensi penggunaan lahan-lahan untuk RTH semakin besar. 7. Perubahan jumlah fasilitas ekonomi Hasil analisis regresi untuk perubahan fasilitas ekonomi menunjukkan nilai negatif dengan koefisien sebesar -0,146. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu satuan jumlah fasilitas ekonomi maka potensi penurunan luas RTH sebesar 0,146 satuan (ha). Semakin banyak fasilitas ekonomi maka luas RTH yang terpakai semakin besar. Hal ini diduga karena pembangunan fasilitas-fasilitas ekonomi menggunakan lahan-lahan RTH karena lahan-lahan kosong yang strategis telah minim jumlahnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suwarli (2011), menunjukkan bahwa salah satu variabel penting yang mempengaruhi terjadinya perubahan luas RTH adalah jumlah penduduk. Namun, hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak memiliki peran

56 penting. Perbedaan prosedur penelitian serta unit analisis tidak mengkonfirmasi pentingnya peranan variabel jumlah penduduk. Dalam penelitian sebelumnya, unit analisis adalah tahun, sementara dalam penelitian ini unit analisis adalah wilayah administrasi, yaitu kelurahan. Artinya, pada penelitian sebelumnya aspek keberagaman pengamatan relatif tidak berperan karena unit analisis merupakan agregasi dari seluruh wilayah, keberagaman jumlah penduduk secara spasial tidak tergambarkan dan tidak mempengaruhi hasil analisis. Untuk mendukung penjelasan tersebut dilakukan analisis korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan perubahan luas RTH. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil korelasi antara perubahan jumlah penduduk tahun 2003-2009 dengan perubahan luas RTH tahun 2003-2010 sebesar -0,006. Kecilnya korelasi antara jumlah penduduk di berbagai wilayah keluarahan dengan luas perubahan RTH antar kelurahan mengindikasikan rendahnya peranan jumlah penduduk dalam analisis regresi berganda yang melibatkan beberapa variabel lainnya. 5.6. Analisis Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH Pembuatan peta arahan areal yang berpotensi untuk dijadikan perluasan lahan RTH ditentukan berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan Kota Bekasi pada Tahun 2010, yaitu berupa lahan kosong. Dipilih penggunaan lahan kosong karena penggunaan lahan jenis ini memungkinkan untuk dikembangkan menjadi penggunaan lain tanpa mengganggu penggunaaan lahan lainnya. Sebaran spasial areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan luasannya tertera pada Gambar 11 dan Gambar 12. Gambar 11. Grafik Luasan Areal yang Berpotensi Sebagai RTH per Kecamatan di Kota Bekasi

57 Gambar 12. Sebaran Areal Potensial untuk Pertambahan RTH Terdapat lima kecamatan yang mempunyai luas areal yang besar untuk dijadikan RTH, yaitu Kecamatan Mustika Jaya, Jati Sampurna, Medan Satria, Bantar Gebang, dan Jati Asih. Kelima kecamatan ini secara umum mempunyai kepadatan penduduk yang rendah dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya sehingga masih memiliki cukup lahan untuk bisa dikembangkan menjadi RTH. Kecamatan-kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi seperti Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Timur, Bekasi Barat, dan Pondok Gede memiliki areal perluasan RTH yang kecil. Hal ini dikarenakan lahan di kecamatankecamatan tersebut telah menjadi lahan terbangun sehingga kecil kemungkinan untuk menambah lahan RTH. Pada Tabel 14 tertera luas RTH eksisting dan RTH arahan pertambahan dibandingkan dengan luas kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk.

58 Tabel 14. Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dibandingkan dengan RTH Eksisting dan RTH Arahan Pertambahan. Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Luas Lahan (ha) RTH per Kecamatan Menurut Permen PU no 5 tahun 2008 RTH eksisting Luas areal arahan pertamba han RTH Luas RTH eksisting dan areal arahan pertambah an RTH Selisih RTH (eksisting dan arahan) Dengan Proporsi Menurut Permen PU No 5 Tahun 2008 (Ha) Bantar Gebang 95.957 1.704 191,91 366,58 71,921 438,50 246,59 Bekasi Barat 270.569 1.889 541,14 106,50 17,717 124,21-416,93 Bekasi Selatan 203.596 1.496 407,19 139,80 40,884 180,69-226,51 Bekasi Timur 248.046 1.349 496,09 97,30 24,350 121,65-374,44 Bekasi Utara 310.198 1.965 620,40 90,74 39,343 130,08-490,31 Jati Asih 199.496 2.200 398,99 411,84 60,300 472,14 73,15 Jati Sampurna 103.513 1.449 207,03 321,90 103,228 425,13 218,10 Medan Satria 161.617 1.471 323,23 67,12 84,233 151,36-171,88 Mustika Jaya 160.381 2.473 320,76 538,32 54,467 592,78 272,02 Pondok Gede 246.413 1.629 492,83 105,92 15,902 121,82-371,01 Pondok Melati 129.219 1.857 258,44 126,82 16,457 143,28-115,16 Rawalumbu 207.484 1.567 414,97 174,75 12,885 187,63-227,34 Jumlah 2.336.489 21.049 4672,98 2547,59 541,686 3089,27-1583,71 Berdasarkan hasil analisis, luas areal lahan kosong yang berpotensi untuk dijadikan RTH sebesar 541,686 ha. Luasan tersebut masih belum bisa mencukupi kekurangan RTH berdasarkan jumlah penduduk di Kota Bekasi. Kekurangan luasan pertambahan RTH tersebut masih sangat besar, yaitu 1.583,71 ha. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya lahan kosong sehingga sulit untuk melakukan perluasan lahan RTH di Kota Bekasi. Terdapat beberapa kecamatan yang telah dapat memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduknya (Bantar Gebang, Jati Asih, Jati Sampurna, dan Mustika Jaya), namun kecamatankecamatan tersebut merupakan kecamatan-kecamatan yang memang telah terpenuhi kebutuhan RTH-nya walaupun luasan RTH-nya belum ditambahkan dengan luas arahan pertambahan RTH. Meskipun demikian, penambahan luas RTH sangat berarti untuk perkotaan walaupun tidak menyebar rata pada seluruh wilayah kota karena bagian kota yang berupa RTH umumnya suhunya 2-5 derajat lebih rendah dibandingkan dengan bagian lahan-lahan terbangun. Perbedaan suhu antara bagian kota tersebut dapat menyebabkan terjadinya aliran udara sehingga dapat menurunkan rata-rata suhu udara di perkotaan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Saputro (2010) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa

59 peningkatan suhu udara pada area yang ternaungi lebih rendah sekitar 0,33 o C- 0,84 o C. Arahan ini dapat diimplementasikan namun harus mempehatikan faktorfaktor lain seperti kepemilikan lahan (milik pemerintah daerah atau bukan), biaya yang dibutuhkan, dan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. 5.7. Rekomendasi Upaya Penambahan RTH Penyusunan upaya penambahan RTH di Kota Bekasi dilakukan berdasarkan pada hasil analisis SWOT. Faktor internal dan eksternal yang diduga mempengaruhi keberadaan RTH di Kota Bekasi adalah sebagai berikut: 1. Strengths (Kekuatan) a. Terdapat pembagian tugas dalam pengelolaan RTH. Dinas yang bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH Kota Bekasi adalah Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah), Distarkim (Dinas Tata Ruang dan Permukiman), Disbertaman (Dinas Kebersihan dan Pertamanan), dan DPLH (Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup). b. Di Kota Bekasi Bagian Selatan masih banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan sehingga ke depannya dapat dikembangkan menjadi RTH. c. Sistem utilitas Kota Bekasi seperti IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri), IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Tinja), dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dapat memberikan kontribusi terhadap keberadaan RTH. d. Disbertaman memiliki program yaitu melakukan penghijauan kota melalui antisipasi pohon yang mati dan mengganti dengan yang baru, penghijauan terhadap lahan bekas pembangunan, dan penyiraman tanaman. e. Kegiatan Gerakan Rehabilitas Lahan Kritis Tahun 2005 oleh DPLH. Kegiatan ini adalah program penanaman pohon/penghijauan yang diprioritaskan pada daerah aliran sungai, sempadan jalan, lahan kosong milik petani dan milik pemerintah seperti fasum dan fasos, dan TPA Bantar Gebang.

60 f. Kegiatan Bekasi Teduh Tahun 2007 oleh DPLH. Kegiatan ini merupakan penggalakan penanaman pohon di seluruh Kota Bekasi. g. Program pengendalian RTH melalui insentif dan disinsentif kepada lembaga swasta dan perorangan yang dapat memberi penyediaan RTH publik. Contoh insentif yang ditawarkan adalah kemudahan prosedur perizinan dan keringanan pajak sedangkan contoh disinsentif yang diberikan adalah pengenaan pajak lebih tinggi dan penyediaan RTH di tempat lain. h. Pemerintah Kota Bekasi, dalam RPJMD 2008-2013, menuangkan program pengelolaan Ruang Terbuka Hijau dengan target pengembangan luasan RTH publik menjadi 15,5 % dari luas kota pada tahun 2013. 2. Weaknesses (Kelemahan) a. Hanya sebagian kecil dari kegiatan pembangunan di Kota Bekasi, baik kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa, permukiman, dan industri yang menyediakan pertamanan dengan proporsi memadai. b. Belum adanya koordinasi yang baik antara dinas-dinas yang bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH sehingga menimbulkan tumpang tindih pekerjaan, program, atau untuk beberapa jenis RTH tidak ada yang mengelola secara rutin. Contohnya, berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Disbertaman yang tercantum dalam laporan penyusunan rencana induk penataan, pengelolaan, dan pengendalian ruang terbuka hijau Kota Bekasi, Sampai saat ini belum ada koordinasi dari instansi-instansi tertentu seperti dalam proyek pelebaran jalan, sehingga proyek pelebaran jalan sering kali menebang pohon dan tidak memperhatikan keberadaan sempadan jalan untuk RTH. Pihak Disbertaman selaku dinas yang bertanggung jawab terhadap keberadaan RTH tidak bisa melakukan apa-apa karena bentuk pengendalian RTH belum jelas dan belum ada koordinasi antara Dinas PU selaku pihak pembangun dan Disbertaman. Selain itu Disbertaman

61 selama ini hanya bersifat menunggu kebijakan dari BAPPEDA, seakan tidak memiliki kewenangan dalam penataan RTH Kota Bekasi. c. Dana untuk pembangunan dan pemeliharaan RTH minim bahkan belum memiliki anggaran khusus untuk pengelolaan RTH sehingga tidak mencukupi untuk membangun taman-taman baru berskala kota. d. Sumberdaya manusia sebagai pelaksana pemeliharaan RTH secara kuantitas dan kualitas kurang sehingga ada RTH-RTH yang menjadi tidak terawat. SDM yang ada baru untuk tahap pemeliharaan harian dan tidak pada semua lokasi, sedangkan untuk pengawasan dan pengendalian belum dilakukan secara rutin. e. Hampir semua situ yang ada di Kota Bekasi tidak mempunyai daerah pengaman situ, baik berupa sempadan situ yang merupakan ruang terbuka hijau pada radius 200 m dari pinggir situ maupun ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air. f. RTRW Kota Bekasi bersifat terlalu umum sehingga acuan terhadap pengendalian RTH kurang begitu jelas. 3. Opportunities (Peluang) a. Terdapat beberapa pihak ketiga (swasta/badan usaha) yang bekerja sama dengan pemerintah Kota Bekasi dalam pengelolaan RTH. b. Terdapat keterlibatan pihak developer perumahan dan masyarakat yang berdampak positif pada kondisi taman yang ada di sekitar lingkungan taman. c. Berdasarkan pengembangan wilayah Bekasi bagian Utara dan Tengah, kantong-kantong permukiman tidak teratur akan diremajakan menjadi hunian vertikal dan campuran jasa komersial untuk efisiensi lahan, menciptakan RTH, dan pembukaan akses kawasan. d. Berdasarkan UU No 26 tahun 2007, wilayah kabupaten atau perkotaan harus membuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang RTH sebesar minimal 30% dari luas wilayah.

62 4. Threats (Ancaman) a. Kepadatan (11.100 jiwa/km 2 pada tahun 2010) dan laju pertumbuhan jumlah penduduk (3,8 % per tahun) di Kota bekasi yang diperkirakan semakin meningkat akan mempengaruhi kebutuhan RTH baik secara luasan maupun jenis komponen RTH. b. Bagian Utara Kota Bekasi mengalami pertumbuhan kota yang sangat pesat dan merupakan kawasan terbangun yang padat sehingga tidak banyak dijumpai ruang hijau. c. Lahan yang ada makin sempit dan harga lahan mahal sehingga secara ekonomi lebih dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan. Dari hasil identifikasi faktor eksternal dan internal, maka dapat disusun kerangka SWOT sebagaimana tercantum dalam Tabel 15. Tabel 15. Matriks Kombinasi Strategi Penambahan RTH di Kota Bekasi Opportunities (Peluang) Threats (Ancaman) Strategi SO Strengths (Kekuatan) 1. Mengoptimalkan kinerja badanbadan pengelola RTH dengan sistem koordinasi pembagian tugas yang jelas. 2. Peningkatan hubungan kerja sama pemerintah dengan pihak ketiga. 3. Memanfaatkan wilayah Kota Bekasi Bagian Selatan yang masih berpotensi tinggi untuk RTH dan Optimalisasi lahan di wilayah Utara Kota Bekasi dengan pembangunan vertikal. 4. Pengambilan kebijakan tegas dari pemerintah untuk mewujudkan target luasan RTH sesuai dengan UU No 26 tahun 2007 dan RPJMD 2008-2013 Strategi ST 1. Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif terutama di wilayah Utara Kota Bekasi. 2. Mengoptimalkan areal atau jalur di sekitar sistem utilitas kota untuk RTH. Weaknesses (Kelemahan) Strategi WO 1. Optimalisasi kerja sama dengan pihak ketiga untuk penggalangan dana pengelolaan RTH. 2. Pengembangan RTH selain di atas tanah. 3. Memberdayakan masyarakat sekitar dalam pemeliharaan RTH di lingkungan sekitar masyarakat. Strategi WT 1. Optimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH. 2. Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan. 3. Penyusunan anggaran khusus RTH.

63 Hasil akhir dari analisis SWOT merupakan formulasi strategi dari faktorfaktor internal dan eksternal Kota Bekasi yang telah diidentifikasi sehingga menghasilkan dua belas strategi dalam mengupayakan penambahan RTH di Kota Bekasi, yaitu: 1. Mengoptimalkan kinerja badan-badan pengelola RTH dengan mengkoordinasikan tugas masing-masing secara jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam upaya pengelolaan RTH dan tidak terjadi penelantaran RTH yang ada akibat dari ketidakjelasan badan mana yang bertanggung jawab. 2. Peningkatan hubungan kerja sama pemerintah daerah dengan pihak ketiga (swasta/badan usaha) dalam upaya pengadaan dan pemeliharaan RTH. 3. Memanfaatkan wilayah Selatan Kota Bekasi (Jati Sampurna, Jati Asih, Bantar Gebang, dan Mustika Jaya) yang pembangunannya masih relatif belum banyak dan masih banyak ditemukan lahan-lahan belum terbangun sehingga pengembangan RTH dengan luasan memadai masih dapat direalisasikan. Untuk wilayah Utara Kota Bekasi yang mayoritas merupakan kawasan terbangun, dapat dilakukan optimalisasi lahan dengan menganjurkan pada developer untuk melakukan pembangunan vertikal. 4. Pengambilan kebijakan tegas dari pemerintah daerah untuk mewujudkan target luasan RTH sesuai dengan UU No 26 tahun 2007 dan RPJMD 2008-2013, contohnya dengan cara refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau alami dari okupasi pemukiman liar, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol, bawah jalan layang, bantaran sungai,saluran teknik irigasi, tepian pantai, bantaran rel kereta api, jalur SUTET, tempat pemakaman umum, dan lapangan olahraga 5. Mengoptimalkan kerja sama dengan pihak ketiga (swasta/badan usaha) dalam usaha penggalangan dana untuk pengelolaan dan penyediaan RTH. 6. Pengembangan RTH selain di atas tanah untuk kawasan-kawasan yang sudah terbangun, seperti RTH di atas bangunan, di dalam bangunan, atau di bawah bangunan sehingga dapat mengkompensasi lahan-lahan yang telah telanjur digunakan sebagai lahan terbangun.

64 7. Memberdayakan masyarakat sekitar dalam pemeliharaan RTH di lingkungan sekitar masyarakat. 8. Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif pada pihak yang akan mendirikan bangunan sebagai upaya pengendalian agar penggunaan lahan dapat sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kota Bekasi. 9. Optimalisasi areal atau jalur di sekitar sistem utilitas kota untuk RTH, seperti IPAL, IPLT, dan TPA yang seharusnya memiliki buffer yang membatasi daerah tersebut dengan aktifitas di luarnya. Buffer ini dapat berupa salah satu jenis RTH yang dapat berkontribusi bagi RTH Kota Bekasi keseluruhan. 10. Mengoptimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH sehingga ada pedoman-pedoman yang tepat dalam pelaksanaan penyelenggaraan dan pengelolaan RTH. 11. Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan agar setiap kegiatan pembangunan yang ada baik kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa, permukiman, dan industri dapat menyediakan lahan pertaman yang memadai sebagai RTH privat. 12. Penyusunan anggaran khusus untuk RTH sehingga rencana-rencana pengelolaan dan penyelenggaraan RTH dapat berjalan dengan baik.