BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pertukaran Sosial Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori pertukaran sosial. Fung et al., (2012) menyatakan bahwa teori pertukaran sosial merupakan pandangan karyawan ketika mereka telah diperlakukan dengan baik oleh organisasi, mereka akan cenderung untuk bersikap dan berprilakau lebih positif pada organisasi. Fung et al., (2012) mengasumsikan bahwa setiap individu selalu akan berusaha untuk mebalas budi terhadap siapapun yang telah memberikannya keuntungan. Teori pertukaran sosial dan norma timbal balik menjelaskan bagaimana menjaga keseimbangan pertukaran sosial antara karyawan dan organisasi. Pertukaran dapat terjadi ketika dua belah pihak antara karaywan dan organisasi mampu memberikan sesuatu hal satu sama lain yang didasari pada kepercayaan (Fung et al., 2012). Karyawan akan cenderung membalas budi pada organisasi ketika mereka diperlakukan adil dan di ikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan dan mendapatkan dukungan dari pimpinan (Lee et al., 2013) 2.1.2 Kepuasan Kerja Menurut Mathieu dan Hamel (1889) (dalam Ratnaningsih, 2013) kepuasan kerja adalah konsep praktis yang sangat penting, karena merupakan dampak dari keefektifan performance dan kesuksesan dalam bekerja, sementara kepuasan yang 11
rendah pada organisasi adalah sebagai rangkaian penurunan moral organisasi dan meningkatnya absensi. Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai masalah karyawan atau pegawai maka Ostroff (1992) mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan dan kondisi kerja yang baik mempunyai hubungan kerja yang signifikan dengan kinerja, selanjutnya karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya biasanya mereka bekerja lebih keras dan lebih baik dibanding dengan karyawan yang mengalami stress yang disebabkan dengan kondisi kerja yang tidak kondusif. Adapun menurut Robbins (2009) (dalam Achmad Sani 2013) menyatakan bahwa kepuasan kerja mengacu pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan yang tinggi, menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaan. Sebaliknya, seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaan (Crossman, dan Bassem, 2003). Kepuasan kerja adalah emosi positif yang dihasilkan dari perasaan nyaman setiap karyawan pada saat melaksanakan pekerjaan. Menurut Tranggono dan Kartika (2008) kegembiraan yang dirasakan karyawan akan berdampak positif kepada organisasi. Apabila karyawan merasa puas akan pekerjaan yang dijalaninya, maka rasa senang pun akan datang, sehingga akan menimbulkan rasa aman dan nyaman untuk selalu bekerja di lingkungan kerjanya. Menurut Wicker (2011) kepuasan kerja adalah rasa bangga dan kepuasan batin yang dicapai ketika seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu. Sedangkan menurut Hamermesh (dalam Westover, J.H., 2012) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap multidimensi terhadap pekerjaan mereka. 12
Robbins dan Judge (2008:107) mendefinisikan kepuasan kerja adalah sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Kepuasan kerja menggambarkan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya terlihat pada perilaku dan sikap karyawan, biasanya ditunjukkan dengan tanggapan positif dalam bekerja. Kepuasan kerja merupakan faktor yang mendorong karyawan untuk lebih giat dalam bekerja (Suwardi dan Utomo, 2011). Menurut Tranggono dan Kartika (2008) kegembiraan yang dirasakan karyawan akan berdampak positif pada organisasi. Apabila karyawan merasa puas akan pekerjaan yang dijalaninya, maka rasa senang pun akan datang, sehingga akan menimbulkan rasa aman dan nyaman untuk selalu bekerja di lingkungan kerjanya. Di lain pihak, karyawan dengan kepuasan kerja yang tinggi diharapkan membuatnya menjadi semakin setia kepada organisasi, termotivasi, merasa senang dalam bekerja, dan pada akhirnya akan tercapai tujuan perusahaan. Karyawan yang tidak puas cenderung menghindar dari tugas dan tanggung jawab, sehingga dapat mengganggu proses pencapaian tujuan perusahaan (Indrawan dan Dewi, 2014). Diaksa dan Dewi (2014) berpandangan sebaiknya perusahaan lebih meningkatkan perhatian terhadap jumlah bonus yang diberikan kepada karyawan sesuai dengan keahlian dari masing-masing karyawan sehingga tidak ada keluhan yang bisa mengakibatkan penurunan kepuasan kerja. Menurut Robbins dan Judge (2008:112) ada dampak dari ketidakpuasan karyawan, yaitu: 13
1) keluar (exit): perilaku yang ditunjukan untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri. 2) aspirasi (voice): secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja. 3) kesetiaan (loyalty): secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecam eksternal dan mencapai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang benar. 4) pengabaian (neglect): secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus menerus, kurangnya usaha dan meningkatnya angka kesalahan. Tobing (2009) mendefinisikan kepuasan kerja adalah suatu efektivitas atau respons emosional karyawan terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi tersebut menjelaskan bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal yang berarti pengukuran kepuasan kerja tidak hanya diukur melalui satu aspek melainkan berbagai aspek. Mengacu pada penelitian Puspitawati dan Riana (2014) indikator yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja meliputi: 1) beban kerja, merupakan sejumlah kegiatan yang harus di selesaikan oleh karyawan. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai pekerjaan sekarang ini sesuai dengan keahliannya. 2) gaji, merupakan sejumlah pemberian imbalan terhadap hasil kerja karyawan. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai gaji 14
yang diterima sudah sesuai dengan beban kerja yang diberikan perusahaan. 3) kenaikan jabatan, merupakan kesempatan bagi karyawan untuk terus maju dan berkembang sebagai bentuk pengembangan diri. Indikator ini diukur dari perepsi responden mengenai puas dengan kesempatan untuk memperoleh promosi kenaikan jabatan. 4) pengawas, merupakan kemampuan pimpinan untuk menunjukkan perhatian dan memberikan bantuan kepada karyawan saat mereka mengalami kesulitan kerja. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai atasan selalu bersikap adil terhadap karyawannya. 5) rekan kerja, merupakan sejauh mana karyawan bisa menjalin persahabatan dan saling mendukung di dalam lingkungan kerja. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai hubungan kerja sama mereka dengan rekan kerja di tempat mereka bekerja sudah terjalin dengan baik. 2.1.3 Komitmen Organisasional Menurut Porter (1974) (dalam Bola Adekola, 2012), komitmen organisasional adalah keyakinan dalam diri anggota organiasasi dalam mencapai tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk mengerahkan usaha yang dilakukan atas nama organisasi, dan keinginan yang pasti untuk mempertahankan keanggotaan organisasi. Komitmen organisasional dapat dilihat dari sikap penerimaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan suatu organisasi. Komitmen merupakan faktor pendorong yang kuat untuk 15
mempertahankan kenggotaan dalam organisasi demi tercapainya tujuan organisasi (Suwardi dan Utomo, 2011). Adapun menurut Luthans (2006) (dalam Achmad Sani, 2013) mendefinisikan komitmen sebagai sikap yang memiliki berbagai definisi dan pengukuran luas. Komitmen sebagian besar didefinisikan sebagai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha mencapai tujuan yang sama dengan tujuan organisasi. Meyer dan Allen (1991) (dalam Yenen et al., 2014) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai rasa memiliki seorang karyawan terhadap suatu organisasi sehingga memiliki tujuan yang sama dengan organisasi dan keinginan seorang karyawan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Yenen et al., (2014) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai tingkat keterikatan karyawan terhadap organisasi. Komitmen organisasional dianggap sebagai indikator yang penting dalam keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya. Keberhasilan organisasi dapat dicapai apabila karyawan dapat berprilaku positif terhadap diri mereka sendiri dan organisasi, melalui kejelasan tujuan, menentukan peran karyawan, pemberdayaan karyawan, otonomi di tempat kerja, kepuasan kerja dan iklim kerja yang positif akan dapat mendorong prestasi, kreativitas dan kemampuan karyawan sehingga karyawan dapat bersikap positif terhadap organisasi (Arabiyat et al., 2011). Kartika, dkk. (2014) menambahkan bahwa komitmen organisasional merupakan suatu ikatan dan sikap loyalitas yang dimiliki karyawan untuk melibatkan diri secara aktif dalam organisasi demi kemajuan organisasi. 16
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional merupakan salah satu faktor penting di dalam mencapai tujuan organisasi. Peran anggota organisasi yang memiliki kompetensi yang tinggi akan sangat dibutuhkan untuk keberhasilan suatu organisasi. Upaya yang dapat dilakukan organisasi guna mempertahankan karyawan adalah meningkatkan kepuasan yang dirasakan di dalam organisasi. Apabila karyawan merasa bahwa mereka telah diberlakukan secara adil maka karyawan akan merasa puas sehingga dapat menumbuhkan rasa komitmen yang tinggi terhadap organisasi. Menurut Meyer dan Allen (1991) indikator komitmen organisasional meliputi: 1) komitmen afektif (affective commitment) berkaitan dengan hubungan emosional karyawan terhadap organisasi. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai perasaan senang untuk menghabiskan karir di organisasi dan merasa menjadi bagian dari keluarga di organisasi. 2) komitmen berkelanjutan (continuance commitment) berkaitan dengan kesadaran karyawan akan kerugian jika meninggalkan organisasi. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai perasaan sulit untuk meninggalkan organisasi dan kehidupannya akan sangat terganggu bila meninggalkan organisasi. 3) komitmen normatif (normative commitment) menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai nilai harus setia terhadap organisasi dan tidak etis jika berpindah ke organisasi lain. 17
2.1.4 Organizational Citizenship Behavior Ratnaningsih (2013) menyebutkan bahwa OCB adalah sebuah perilaku positif, dalam hal ini adalah perilaku membantu pekerjaan individu lain yang ditunjukkan oleh seseorang dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Kontribusi yang ditunjukkan oleh pekerja itu berupa pekerjaan di luar pekerjaan yang harus dia lakukan, pekerja tersebut menunjukkan perilaku menolong pada orang lain dalam sebuah perusahaan sehingga tindakan tersebut mungkin dapat memperbaiki kinerja organisasi atau perusahaan tersebut. Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan perilaku karyawan, Organizational Citizenship Behavior (OCB) mengacu pada konstruk perilaku extra role (ERB), yang didefinisikan sebagai perilaku yang menguntungkan organisasi atau berniat untuk menguntungkan organisasi yang secara langsung mengarah ke peran harapan itu sendiri (Darsana, 2013). Organizational Citizenship Behavior (OCB) juga dikenal sebagai perilaku extra role yang merupakan tindakan melebihi persyaratan dari pekerjaan yang seharusnya, dimana peran ekstra disini berarti kontribusi individu yang melebihi atau melampaui perannya dan tidak diakuin oleh system reward (Yaghoubi et al., 2011). Dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan: 1) perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan perusahaan. 2) perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, dan 18
tidak diperintah secara formal. Dimensi dalam organizational citizenship behavior menurut Dennis W.Organ (Ratnaningsih 2007, Purba dan Seniati 2004). 1) Altruism Altruism adalah tindakan suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau pun kelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Sedangkan menurut Walstern dan Piliavin (dalam Irfa, 2012), perilaku altruistik adalah perilaku menolong yang timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan norma-norma tertentu. Refleks menolong akan muncul apabila individu yang altruistif melihat seseorang yang perlu untuk dibantu, seperti orang yang sudah dikenalnya ataupun orang asing yang belum dikenal (stranger). Ciri-ciri lain dari perilaku ini adalah only inoneshot episode yang berarti bahwa ketika seseorang melakukan tindakan altruisme pada beberapa orang, tindakan altruisme tersebut tidak berhubungan dengan tindakan altruismenya yang lain, karena individu yang altruistif tersebut memang tidak mengharapkan ada imbalan dari tindakannya tersebut di masa depan. 2) Conscientiousness Conscientiousness mengacu pada sikap lebih berhati-hati dan mendengarkan kata hati. Big Five Theory memaparkan individu yang mempunyai skor tinggi pada traits conscientiousness memiliki kontrol diri yang bagus, lebih terorganisir, memprioritaskan tugas, mengikuti norma 19
dan peraturan, dan lain sebagainya. Adanya perilaku tersebut dapat mengindikasikan bahwa para pekerja telah menerima dan mematuhi aturan dan prosedur yang ada di dalam perusahaan. Jadi bila ditinjau dalam konteks sebuah perusahaan adanya perilaku ini tentunya akan sangat menguntungkan, karena pekerja dengan conscientiousness yang tinggi akan memiliki sikap yang bagus daripada rekan-rekan kerjanya yang lain dengan menunjukkan ketaatan pada regulasi dan prosedur perusahaan yang lebih baik. 3) Courtesy Dimensi courtesy dapat digambarkan dengan sebuah bentuk tindakan yang bertujuan untuk mencegah munculnya masalah, sedangkan secara arti kata courtesy dapat diartikan dengan sikap sopan, dan mempertimbangkan orang lain. Tindakan courtesy dapat dicontohkan dengan menawari rekan kerja untuk makan bersama, apabila sedang memiliki tugas yang sama selalu mengingatkan teman kerjanya agar tidak lupa atau mungkin menawarinya untuk saling sharing dan bertukar pikiran menyelesaikan tugas tersebut, dan lain sebagainya. 4) Sportsmanship Dimensi sportsmanship dapat dilihat dari aspek toleransi dan keluhan (complain) individu dalam pekerjaannya. Individu dengan sikap sportsmanship yang tinggi akan sangat memperhatikan hal-hal detail dalam pekerjaannya, dapat secara fair menjalankan pekerjaanya dan sedikit mengeluh, dan kemampuan beradaptasi yang tinggi dengan situasi dan 20
lingkungan kerjanya. Dalam konteks sebuah perusahaan sikap ini tentunya akan sangat menguntungkan, karena para pekerja akan dengan mudah beradaptasi dengan perubahan yang ada di perusahaanya, sebagai contoh apabila perusahaan mengeluarkan kebijakan baru mengenai suatu hal, pekerja yang memiliki sikap sportsmanship tinggi akan dengan mudah menerima kebijakan baru itu dan mengesampingkan masalah-masalah kecil yang mungkin muncul disebabkan oleh kebijakan baru tersebut. Jadi individu dengan sikap sportsmanship yang bagus dapat dengan mudah beradaptasi dengan linkungannya dan sedikit mengeluh. Hal tersebut didukung oleh penjelasan Organ et al., (dalam Irfa, 2012) yang mendefinisikan sportsmanship sebagai kemampuan untuk menyesuaian diri dengan perubahan atau masalah, bahkan jika mereka tidak suka atau setuju dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan. 5) Civic virtue Civic virtue ditunjukkan dengan perilaku ikut berpartisipasi serta secara penuh (self involtvement) dan perhatian lebih pada perusahaan dimana individu tersebut bekerja. Individu dengan civic virtue yang tinggi akan sangat memperhatikan kepentingan perusahaannya. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan selalu berperan aktif dan mempunyai ide-ide yang akan berpengaruh dalam semua kegiatan yang ada dalam perusahaan, seperti training pegawai, workshop, dan lain sebagainya, selalu memperhatikan informasi penting baik dari luar ataupun dari dalam perusahaan yang dapat bermanfaat bagi perusahaannya. 21
2.2 Rumusan Hipotesis 2.2.1 Pengaruh kepuasan kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih pada tahun 2013 yang bertempat di Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur dengan jumlah 30 orang responden menemukan bahwa kepuasan kerja dengan indikator gaji, pekerjaan itu sendiri, program pengembangan SDM dan rekan kerja masih menjadi faktor yang signifikan terhadap OCB pada karyawan. Artinya karyawan pada Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur sebagian besar termotivasi untuk melakukan perilaku OCB dipengaruhi oleh kesesuaian antara gaji dengan kinerja yang telah dicapai, tantangan dalam pekerjaan, adanya jenjang karir yang jelas dan hubungan baik dengan rekan kerja. Variabel kepuasan kerja memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,875. Nilai koefisien positif menunjukkan hubungan positif Kepuasan Kerja terhadap tingkat OCB. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan Kepuasan Kerja, maka nilai OCB akan mengalami peningkatan sebesar variabel penyalinya 0,875 dengan asumsi variabel bebas yang lain dianggap konstan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Ratnaningsih pada tahun 2013 ditemukan bahwa variabel kepuasan kerja memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,875. Nilai koefisien positif menunjukkan hubungan positif antara kepuasan kerja dengan OCB. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan Kepuasan Kerja, maka nilai OCB akan mengalami peningkatan sebesar variabel penyalinya 0,875 dengan asumsi variabel bebas yang lain dianggap konstan. 22
Penelitian yang dilakukan oleh Osman et al., (2015) yang melibatkan 300 karyawan di organisasi yang terletak di Amerika menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior. Penelitian yang dilakukan oleh Lu, C. et al., (2013) yang melibatkan 150 responden menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior. Penelitian-penelitian tersebut juga didukung oleh yang dilakukan oleh Maharani dkk (2013) yang menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh secara langsung dan positif terhadap OCB, dengan kata lain kepuasan kerja karyawan mempuyai kontiribusi yang dapat meningkatkan perilaku (OCB). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H1 : Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap Organizational Citizenship Behavior. 2.2.2 Pengaruh komitmen organisasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Dari hasil penelitian yang dilakukan Ratnaningsih pada tahun 2013 ditemukan bahwa komitmen memberikan pengaruh yang positif terhadap OCB. Hal ini dipengaruhi oleh indikasi bahwa karyawan yang memiliki loyalitas dan komitmen akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan dan bertanggung jawab atas segala pekerjaan dan aktif mencari informasi-informasi penting yang berguna bagi organisasi. Selain itu karyawan telah memiliki keterikatan emosional sehingga dengan rela dan ikhlas melakukan perilaku ekstra seperti membantu rekan kerja lain yang membutuhkan tanpa mengharapkan 23
imbalan. Namun komitmen diperoleh tidak signifikan disebabkan responden tidak didominasi oleh karyawan yang telah memiliki loyalitas dan komitmen yang tinggi, karena komitmen tidak dapat muncul dengan setahun atau dua tahun bekerja tetapi butuh proses dan waktu. Dari hasil penelitian yang dilakukan Ratnaningsih pada tahun 2013 ditemukan bahwa variabel komitmen memiliki nilai koefisien sebesar 0,389. Hal ini juga menunjukkan hubungan positif komitmen terhadap OCB. Dapat disimpulkan bahwa jika terjadi kenaikan komitmen maka nilai OCB akan mengalami peningkatan sebesar koefisien penyalinya 0,389 dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2004) yang melibatkan 222 karyawan dari pabrik industri yang mendapatkan hasil bahwa komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior. Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Achmad Sani pada tahun 2013 yang melibatkan 74 karyawan PT Bank Syariah Malang menemukan bahwa komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H2 : Komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap Organizational Citizenship Behavior. 2.3 Kerangka Berpikir Untuk memperjelas keterkaitan antara kepuasan kerja, komitmen karyawan dan organizational citizenship behavior maka perlu dibuat model konseptual yang 24
menggambarkan secara ringkas hubungan antara masing-masing variabel sebagai berikut: Kepuasan Kerja (X1) H1 (+) OCB (Y) Komitmen Organisasional (X2) H2 (+) Gambar 2.1 Model Konseptual Penelitian Pada model konseptual digambarkan tentang jalur pengaruh antara variabel bebas yaitu: kepuasan kerja dan komitmen organiasasi terhadap variabel terikat yaitu : Organizational Citizenship Behavior (OCB). 25