BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian dalam bidang morfologi memang telah banyak dilakukan oleh para linguis. Hal ini membantu penelitian ini sehingga dapat membuka wawasan topik yang sama. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian Chattri Sigit Widyastuti (2008) dalam tesisnya yang berjudul Nomina Deverba dalam Bahasa Indonesia membahas pembentukan nomina dari dasar verba yang berkaitan dengan verba meng-d, meng-d-i, dan meng-d-kan serta kemungkinannya bertalian dengan nomina peng-d, peng-d-an, dan D-an. Penelitian tersebut berusaha mencari kaidah penominalan yang digunakan secara umum dan wajar di dalam bahasa Indonesia. Pembahasan mengenai pembentukan nomina juga telah dilakukan oleh Edi Subroto pada tahun 2012 dalam bukunya yang berjudul Pemerian Morfologi Bahasa Indonesia Berdasarkan Perspektif Derivasi dan Infleksi Proses Afiksasi. Dalam tulisan itu dibahas tentang konsep teoretik masalah derivasi dan infleksi serta penerapan konsep tersebut dalam morfologi bahasa Indonesia. Penelitian Widyastuti dalam Jurnal Humanika yang berjudul Proses Pembentukan Nomina Bahasa Muna Dialek Gu-Mawasangka mendeskripsikan proses pembentukan nomina berdasarkan bentuk morfologis, perangai sintaksis, dan perangai semantik. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam bahasa 13
14 Muna Dialek Gu-Mawasangka terjadi proses pembentukan nomina melalui prefiks, sufiks, dan konfiks yang diturunkan melalui kelas kata adjektiva, verba, atau nomina itu sendiri. Pembahasan yang berkaitan dengan pembentukan nomina dengan afiksasi telah dilakukan oleh Ida Basaria dalam tulisannya berjudul Morfologi Nomina dalam Bahasa Pakpak Dairi. Tulisan itu memberikan deskripsi tentang ciri-ciri nomina bahasa Pakpak Dairi, proses morfologi nomina, dan bentuk-bentuk nomina bahasa Pakpak Dairi. Dalam tulisan tersebut dinyatakan bahwa proses morfologi nomina mencakup proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses pemajemukan. Berdasarkan kajian-kajian di atas, penelitian tentang derivasi dan infleksi dalam bahasa Indonesia terutama tentang pembentukan nomina yang berasal dari nomina lain menurut penulis masih perlu dilakukan. Hal ini akan menambah keragaman penelitian tentang kajian morfologi. Meskipun penelitian tentang pembentukan nomina telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, tetapi penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitianpenelitian sebelumnya menggunakan objek bahasa daerah, misalnya bahasa Pakpak Dairi di atas, sedangkan penelitian ini menggunakan objek bahasa Indonesia. Meskipun penelitian Chattri S. Widyastuti juga menggunakan bahasa Indonesia, namun pembahasan yang dilakukan berbeda. Chattri S. Widyastuti membahas tentang pembentukan nomina yang berasal dari verba, sedangkan penelitian ini membahas tentang pembentukan nomina yang berasal dari nomina lain. Meskipun Edi Subroto juga telah menerbitkan buku yang di dalamnya
15 membahas tentang pembentukan nomina yang berasal nomina lain, tetapi penulis merasa penelitian tentang hal itu masih perlu dilakukan secara mendalam. B. Landasan Teori Dalam bab ini penulis menguraikan pengertian-pengertian pokok yang digunakan sebagai acuan dalam menganalisis data. 1. Morfologi Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasikan satuansatuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal (Verhaar, 2010:97). Kridalaksana menyatakan bahwa morfologi dipandang sebagai subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata (Kridalaksana, 2009:10). Adapun menurut M. Ramlan yang dimaksud dengan morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahanperubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik (Ramlan, 1985:19). Morfologi adalah salah satu studi kebahasaan yang membicarakan atau mempelajari seluk-beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap kelas dan arti kata (Putrayasa, 2008:3). Morfologi di dalam kajian linguistik menurut Abdul Chaer berarti ilmu mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata (Chaer, 2008:3). Pendapat lain juga dikemukakan oleh John Lyons yang menyatakan bahwa
16 morphology deals with the internal structure of words (morfologi berurusan dengan struktur dalam kata-kata), artinya morfologi hanyalah penyelidikan bentuk-bentuk (Lyons, 1968:194). Pernyataan itu senada dengan pendapat Katamba (1993:14) yang menyebutkan bahwa morphology, the study of the internal structure of words (morfologi, studi tentang struktur internal kata). Morfologi adalah cabang linguistik yang menyelidiki morfem bahasa dan penggabungan morfem tersebut menjadi satuan lingual yang dikenal dengan kata polimorfemik (Rohmadi dkk, 2012:5). Nida mengungkapkan morphology is the study of morphemes and their arrangements in forming words (Morfologi adalah studi tentang morfem dan susunan-susunannya dalam membentuk kata) (Nida, 1949:1). Adapun morfologi menurut Edi Subroto ialah cabang linguistik yang meneliti dan memerikan aturan-aturan pembentukan kata dalam suatu bahasa (Subroto, 2007:29). Dengan demikian dapat ditarik suatu pengertian bahwa morfologi sebagai salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang pembentukan kata dan pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya perubahan-perubahan tersebut. 2. Kata dan Leksem Derivasi dan infleksi berkaitan dengan kata dan leksem. Istilah kata dan leksem sering dibedakan oleh para ahli bahasa. Edi Subroto (2011:40) membagi pengertian kata menjadi tiga, yaitu pengertian kata secara fonologis, pengertian kata sebagai kata gramatikal, dan pengertian kata sebagai leksem.
17 Pengertian kata secara fonologis adalah satuan terkecil yang memiliki arti yang tersusun dari fonem-fonem yang jenis dan urutannya berbeda. Misalnya, palu, panu, paku diperlakukan sebagai kata yang berbeda karena jenis fonem pendukungnya berbeda. Jenis fonem pendukung yang berbeda itu terlihat pada fonem /l/ pada palu, fonem /n/ pada panu, dan fonem /k/ pada paku. Contoh lainnya, misalnya, ramah, marah, dan haram. Satuan tersebut dianggap sebagai kata yang berbeda meskipun jenis fonem pendukungnya sama, yaitu fonem /r/, /a/, /m/, /a/, dan /h/. Satuan-satuan itu dianggap sebagai kata berbeda meskipun jenis fonem pendukungnya sama karena susunan atau urutan fonem-fonem itu berbeda. Pengertian kata sebagai kata gramatikal menurut pendapat Edi Subroto dapat dijelaskan sebagai bentuk kata yang berbeda dari leksem yang sama. Kemunculan bentuk-bentuk yang berbeda itu karena tuntutan sintaksis bahasa yang bersangkutan. Edi Subroto mencontohkan dengan leksem WRITE (V) dalam bahasa Inggris yang membentuk beberapa kata yang berbeda, yaitu write, writes, wrote, writing, dan written. Berkaitan dengan hal ini, Katamba menyatakan bahwa pockling and pockle, pockles and pockled are all in sense different manifestations of the same abstract vocabulary item ( pockling dan pockle, pockles dan pockled merupakan perwujudan yang berbeda dari satuan abstrak yang sama ) (1993:17). Katamba menyebutkan bahwa leksem adalah the same abstract vocabulary item (Katamba, 1993:18). Leksem merupakan satuan terkecil (tidak dapat diperkecil lagi), baik simpel maupun kompleks. Lyons (1968:23) menyatakan lexemes are the words that a dictionary would list under a
18 separate entry yang berarti bahwa leksem merupakan kata yang menjadi entri dalam kamus. Pendapat lain tentang pengertian kata juga diungkapkan oleh banyak ahli bahasa. Di antaranya adalah sebagai berikut. Kata merupakan satuan terbesar dalam morfologi dan sekaligus satuan terkecil dalam sintaksis (Kridalaksana, 2009:8). Muslich menyatakan bahwa kata adalah satuan ujaran bebas terkecil yang bermakna (Muslich, 2014:5). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bloomfield bahwa a word is a minimum free form. Verhaar menyatakan bahwa kata adalah satuan atau bentuk bebas dalam tuturan (Verhaar, 2010:97). Lebih lanjut Abdul Chaer menyatakan kata dalam morfologi merupakan satuan terbesar, dibentuk melalui salah satu proses morfologi (afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi) (Chaer, 2008:5). 3. Kelas Kata Beberapa ahli bahasa yang membicarakan tentang kelas kata dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. Pembagian kelas kata menurut Kridalaksana (2005:51-121) yaitu (1) verba, (2) adjektiva, (3) nomina, (4) pronomina, (5) numeralia, (6) adverbia, (7) interogativa, (8) demonstrativa, (9) artikula, (10) preposisi, (11) konjungsi, (12) kategori fatis, dan (13) interjeksi. Hasan Alwi (dalam TBBBI, 2003: 87-304) membagi kelas kata menjadi (1) verba, (2) adjektiva, (3) adverbial, (4) nomina, (5) pronomina, (6) numeralia, (7) kata tugas, (8) interjeksi, dan (9) artikula.
19 Adapun M. Ramlan (1985) membagi kelas kata menjadi 12, yaitu (1) kata verbal, (2) kata nominal, (3) kata keterangan, (4) kata tambah, (5) kata bilangan, (6) kata penyukat, (7) kata sandang, (8) kata tanya, (9) kata suruh, (10) kata penghubung, (11) kata depan, dan (12) kata seruan. C.A. Mess (1953) membagi kelas kata menjadi sepuluh, yakni (1) kata benda, (2) kata keadaan, (3) kata ganti, (4) kata kerja, (5) kata bilangan, (6) kata sandang, (7) kata depan, (8) kata keterangan, (9) kata sambung, dan (10) kata seru. Abdul Chaer (2008) mengklasifikasikan kata menjadi dua, yaitu (1) kata kelas terbuka yakni nomina, verba, dan ajektifa, dan (2) kata kelas tertutup yakni adverbial, pronominal, numeralia, preposisi, konjungsi, artikulus, interjeksi, dan partikel. 4. Morfem, Afiks, dan Proses Morfologis Pendapat mengenai definisi morfem memang banyak. Namun, definisi umum tentang morfem yang lazim digunakan adalah satuan (unit) tata bahasa terkecil yang memiliki arti. Sehubungan dengan itu, Nida (1949:6) menyebutkan morfem sebagai the minimal meaningful units yang berarti bahwa morfem sebagai satuan terkecil yang memiliki arti. Katamba menambahkan dengan mengemukakan the term morpheme is used to refer to the smallest, indivisible units of semantics content or grammatical function which words are made up of (istilah morfem digunakan untuk menunjuk satuan terkecil yang tak dapat dibagi lagi yang memiliki arti atau fungsi gramatika yang mana kata dibentuk darinya) (1993:20).
20 Edi Subroto (2012:20) menyebutkan bahwa secara umum morfem dibedakan atas morfem dasar dan morfem afiks. Morfem dasar adalah morfem yang ditempeli oleh morfem afiks dalam pembentukan kata, sedangkan morfem afiks bersifat menempel pada morfem dasar dalam pembentukan kata. Kaitannya dengan afiks, Katamba mengemukakan bahwa An affix is a morpheme which only occurs when attached to some other morpheme or morpheme such as a root or stem or base (1993:44). Pendapat lain dikemukakan oleh Verhaar (2010:107) dengan menyebutkan bahwa afiks terdiri dari empat macam, yaitu prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks. Contoh dari afiks-afiks tersebut, misalnya, prefiks (laut pe-laut), infiks (getar gemetar), sufiks (ikat ikat-an), dan konfiks (menteri ke-menteri-an). Proses morfologis merupakan proses pembentukan kata. Salah satu yang termasuk proses morfologis yaitu proses afiksasi. 5. Nomina Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (2013:966) dijelaskan bahwa nomina adalah kelas kata yang dalam bahasa Indonesia yang ditandai oleh tidak dapatnya bergabung dengan kata tidak, biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa. Nomina juga dapat disebut sebagai kata benda seperti yang diungkapkan oleh Hasan Alwi dkk., yaitu kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian (Hasan Alwi dkk, 2003:213). Nomina menurut Kridalaksana adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, tetapi
21 mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari, yang menurut bentuknya dapat dibedakan menjadi nomina dasar, nomina turunan, nomina paduan leksem, dan nomina paduan leksem gabungan (Kridalaksana, 2005:68). Lebih lanjut Kridalaksana menyebutkan bahwa nomina berbentuk: a. Nomina dasar, misalnya: batu, kertas, radio, udara, dan lain sebagainya. b. Nomina turunan. Nomina turunan terbagi lagi atas nomina berafiks (misalnya: keuangan, perpaduan), nomina reduplikasi (misalnya: rumahrumah, pohon-pohon), nomina hasil gabungan proses (misalnya: batubatuan, kesinambungan), dan nomina yang berasal dari berbagai kelas kata lain. c. Nomina paduan leksem, misalnya, daya juang, loncat indah, jejak langkah, dan lain sebagainya. d. Nomina paduan leksem gabungan, misalnya, kejaksaan tinggi, pendayagunaan, dan lain sebagainya. 6. Pembentukan Nomina Nomina dapat dibentuk dari kelas kata yang lain. Menurut Edi Subroto, nomina dapat dibentuk dari verba, nomina yang lain, adjektiva, numeralia, dan adverbia (Subroto, 2012:37-62). Hal ini tentunya tidak terlepas dari proses afiksasi. 1. Pembentukan nomina yang berasal dari verba dapat dibentuk melalui verba kelas I (V I) dan verba kelas II (V II). a. Pembentukan melalui V I meliputi (1) pembentukan nomina kategori peng-d, peng-d-an, dan D-an, (2) pembentukan nomina deverba pe- D, dan (3) nomina deverba kategori ke-ter-d-an.
22 b. Pembentukan melalui V II meliputi (1) nomina deverba kategori peng- D, (2) nomina deverba peng-d-an, (3) nomina deverba D-an, (4) nomina deverba pe- atau per-d, (5) nomina deverba pe- atau per-dan, dan (6) nomina deverba ke-d-an. 2. Pembentukan nomina dari nomina lain meliputi: a. Nomina kategori D menjadi ke-d-an b. Nomina D menjadi nomina pe- atau per-d-an c. Nomina D menjadi D-wan atau D-wati d. Nomina D menjadi D-isme atau D-is e. Nomina D menjadi D-isasi f. Nomina D menjadi D-an 3. Pembentukan nomina yang berasal dari adjektiva a. Penurunan D Adj. menjadi nomina kategori ke-d-an b. Adj. menjadi nomina kategori peng-d c. Penurunan D Adj. menjadi nomina kategori D-isasi dan D-isme d. Penurunan D Adj. menjadi nomina kategori ke-d dan pe-d 4. Pembentukan nomina yang berasal dari numeralia (kata bilangan) a. Numeralia menjadi nomina kategori D-an b. Penurunan D Num. menjadi nomina kategori ke-d-an 5. Pembentukan nomina yang berasal dari D Adv. yaitu adverbia menjadi nomina kategori ke-d-an. 7. Derivasi dan Infleksi Verhaar dalam bukunya Asas-asas Linguistik Umum membedakan antara infleksi dan derivasi sebagai berikut.
23 Fleksi adalah perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan, dan derivasi adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang lain. Misalnya, Inggris friend and friends termasuk leksem yang sama, sedangkan friend dan befriend merupakan leksem-leksem yang berbeda. Verba to befriend adalah hasil derivasi dari nomina friend, bukan hasil infleksi, karena kedua kata itu tidak sama kelasnya yaitu verba dan nomina. Jikalau dua kata dengan dasar yang sama termasuk kelas kata yang sama, tetapi berbeda maknanya, kedua kata itu juga berbeda secara leksikal. Misalnya, friend dan friendship dalam bahasa Inggris, atau kata Indonesia pengajar dan pengajaran, yang sama-sama kelasnya dan dasarnya ({:ajar}) (Verhaar, 2010:143) Berkaitan dengan hal itu, pendapat John Lyons tentang derivasi dan infleksi yakni inflexion is a change made in the form of a word to express its relation to other words in the sentence (infleksi didefinisikan sebagai perubahan yang dibuat pada bentuk kata untuk mengatakan hubungannya dengan kata-kata lain dalam kalimat), sedangkan derivation will list various processes whereby new words are formed from existing words (derivasi mendaftar berbagai proses pembentukan kata-kata baru dari kata-kata yang ada) (Lyons, 1968:195). Adapun infleksi dan derivasi menurut Katamba inflectional morphology deals with syntactically determined affixation processes while derivational morphology is used to create new lexical items (morfologi infleksional menentukan proses afiksasi sedangkan morfologi derivasional digunakan untuk membentuk leksem baru) (1993:205). Bauer dalam Widyastuti (2008: 94) menyatakan bahwa ada sejumlah cara untuk mengetahui apakah sebuah afiks bersifat derivasional atau infleksional, yakni: (a) Jika sebuah afiks mengubah kelas kata bentuk kata dasarnya, afiks itu bersifat derivasional. Afiks-afiks yang tidak mengubah kelas kata bentuk dasarnya biasanya termasuk afiks infleksioanl. Contoh: form
24 adalah nomina, formal adalah adjektiva; berarti, al telah mengubah kelas kata sehingga termasuk afiks derivasional. Formalise adalah verba dan formalizes juga verba berarti s tidak mengubah kelas kata, sehingga kemungkinan termasuk afiks infleksional. (b) Afiks-afiks infleksional selalu menampakkan makna yang teratur atau dapat diprediksikan; sebaliknya, makna dari afiks-afiks derivasional tidak dapat diramalkan. Sebagai contoh afiks infleksional s yang menunjukkan makna jamak dalam bahasa Inggris, seperti: dogs, bycycles, shoes, trees. Lain halnya dengan perubahan makna secara derivasional seperti age dalam bandage pembalut, cleavage perpecahan, mileage jarak mil, shortage kekurangan. (c) Terdapat suatu kaidah umum bahwa bila dapat menambahkan afiks infleksional pada salah satu anggota dari sebuah kelas kata, maka akan dapat menambah afiks infleksional pada semua anggota kelas yang lain, sedangkan afiks derivasional tidak dapat ditambahkan pada setiap anggota kelas. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa afiksafiks infleksional itu bersifat produktif, sedangkan afiks derivasional bersifat tidak produktif. Selain itu, Nida dalam Subroto (1985:269) juga menguraikan tentang perbedaan antara pembentukan secara derivasional dan infleksional. (1) Pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata tertentu) (misalnya, singer (nomina) dari (to) sing (verba) termasuk jenis kata yang sama dengan boy (nomina)), sedangkan pembentukan infleksional tidak (misalnya, verba
25 kompleks atau polimorfemis walked tidak termasuk jenis kata yang sama dengan verba tunggal yang mana pun). (2) Secara statistik, afiks derivasional lebih beragam (misalnya, dalam bahasa Inggris terdapat afiks-afiks pembentuk nomina: -er, -ment, -ion, -ation, - ness (singer, arrangement, correction, nasionalization, stableness); sedangkan afiks infleksional dalam bahasa Inggris kurang beragam atau tertentu: -s, -ed 1, -ed 2, -ing, (walks, walked, walked, walking). (3) Afiks-afiks derivasional dapat mengubah jenis kata, sedangkan afiks-afiks infleksional tidak. (4) Afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang lebih terbatas (misalnya, -er tidak dapat diramalkan selalu terdapat pada dasar verba), sedangkan afiks infleksional mempunyai distribusi yang lebih luas. (5) Pembentukan derivasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan berikutnya (singer singers), sedangkan pembentukan infleksional tidak. C. Kerangka Pikir Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan mendeskripsikan proses pembentukan nomina denomina ke-d-an, pe- atau per-d-an, dan D-an dari nomina dasar dalam bahasa Indonesia serta kaitannya dengan derivasi dan infleksi. Analisis terhadap data menggunakan metode agih sehingga dapat menjelaskan proses pembentukan nomina denomina ke-d-an, pe- atau per-d-an, dan D-an dari nomina dasar dalam bahasa Indonesia serta kaitannya dengan derivasi dan infleksi tersebut. Kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut.
26 Nomina Denomina Nomina Denomina ke-d-an Nomina Denomina pe- atau per-d-an Nomina Denomina D-an 1. Berkorelasi dengan dengan arti kompleks atau yang berkaitan dengan D 2. Berkorelasi dengan dengan arti segala sesuatu yang berkaitan dengan D 1. Berkorelasi dengan arti kompleks atau lingkungan D 2. Berkorelasi dengan arti seluk-beluk/hal-hal yang berkaitan dengan D 3. Berkorelasi dengan arti proses, cara, perbuatan D/me-D/me-D-kan/me- D-i 1. Berkorelasi dengan arti tiap-tiap D 2. Berkorelasi dengan arti hasil me(n)-d 3. Berkorelasi dengan arti sesuatu yang di-d/di- D-kan/di-D-i Analisis dengan metode agih 1. Teknik substitusi 2. Teknik perluas Derivasi Infleksi Temuan