BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan 1. Penelitian yang berjudul Bentuk Fungsi Makna Afiks men- dalam Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar disusun oleh Rois Sunanto NIM (2001) mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Hasil penelitiannya berupa bentuk, fungsi, dan makna afiks men- yang ada dalam pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti tidak memuat bentuk, fungsi, makna afiks men- tetapi bentuk dan makna verba berprefiks ber- yang digunakan dalam kalimat-kalimat yang ada pada wacana cerpen karya siswa. Metode penyediaan data yang digunakan oleh Rois (2001) adalah metode simak yang disejajarkan dengan metode observasi dan dilanjutkan dengan menggunakan metode studi dokumentasi, sedangkan metode yang digunaka oleh peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode simak dengan teknik dasar sadap dan kemudian dilanjutkan dengan mengklasifikasi data dengan menggunakan teknik catat. 2. Penelitian yang berjudul Tinjauan Bentuk dan Makna Kata Berafiks yang Berkategori Verba dalam Majalah Tempo dan Forum yang disusun oleh Diah Budiana (2011) mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil Penelitiannya berupa bentuk dan makna kata berafiks yang berkategori verba, objek yang digunakan diambil dari majalah, dan teknik yang digunakan yaitu teknik dokumentasi dan teknik catat, sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti lebih dipersempit dan lebih di khususkan lagi yaitu mengenai bentuk dan makna verba berprefiks ber- yang digunakan dalam kalimat-kalimat yang ada pada wacana cerpen karya siswa dengan menggunakan teknik sadap dan teknik catat. 7

2 8 B. Bahasa 1. Pengertian Bahasa Bahasa merupakan lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Achmad,dkk., 2012:3). Bahasa itu meliputi dua bidang yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti (makna) yang tersirat dalam arus bunyi (Keraf, 1984: 15). Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan lambang bunyi yang arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap dan memiliki arti (makna) tersirat yang dipergunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. 2. Bentuk dan Makna Menurut Keraf (1984:16) bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat terdiri dari dua bagian yang besar yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Bentuk kebahasaan ialah bentuk fonetis yang bermakna (Soegijo, 1989:5). Sedangkan menurut Keraf (1984: 16) bentuk bahasa adalah bagian dari bahasa yang dapat dicerap panca indera baik dengan mendengar atau dengan membaca. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk bahasa ialah bentuk fonetis yang bermakna yang dapat dicerap panca indera baik dengan mendengar atau dengan membaca. Selanjutnya Keraf (1984:16) membagi bentuk bahasa menjadi dua bagian yaitu unsur-unsur segmental dan unsur-unsur supresegmental. Unsur-unsur segmental adalah bagian dari bentuk bahasa yang dapat dibagi-bagi atas bagian-nagian yang lebih kecil (wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, morfem, suku kata, dan fonem). Unsur-unsur suprasegmental bahasa terdiri dari intonasi dan unsur-unsur bawahnya, yang kehadirannya tergantung dari unsur-unsur segmental bahasa.

3 9 Makna adalah isi yang terkandung dalam sebuah bentuk yang dapat menimbulkan reaksi tertentu (Keraf, 1984:16). Istilah makna dapat dibedakan menjadi dua yaitu makna leksikal dan makna gramatikal (Soegijo, 1989:5). Chaer (2007:289) menyatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna yang apa adanya. Soegijo (1989:5) menyatakan bahwa makna leksikal ialah makna perkamusan. Artinya kamuskamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna leksikal merupakan makna yang sebenarnya atau makna yang apa adanya. Oleh karena itu, makna leksikal biasa juga disebut dengan makna perkamusan karena biasanya dalam kamus dasar hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskan. Makna gramatikal makna yang timbul akibat proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi (Chaer, 2007:290). Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber- pada bentuk dasar sepatu menjadi bersepatu melahirkan makna gramatikal mengenakan atau memakai sepatu. Makna gramatikal dapat dibedakan menjadi makna morfologis dan sintaktis (Soegijo, 1989:5-6). Makna morfologis atau arti ialah makna yang timbul akibat proses morfologis atau akibat hubungan antar bagian-bagian itu (Soegijo, 1989:6). Contoh dari makna morfologis ada pada kata berbaju yang memiliki makna memakai baju makna tersebut timbul karena adanya kombinasi antara prefiks ber- dengan baju. Berbeda dengan makna morfologis Soegijo (1989:6) berpendapat mengenai makna sintaktis yaitu makna yang terjadi akibat proses sintaksis, contohnya baju ibu; kata-kata baju dan ibu masing-

4 10 masing telah memiliki makna leksikal. Jika baju dan ibu digabungkan menjadi baju ibu, timbullah makna yang menimbulkan hubungan antar kata yaitu milik. Makna itulah yang disebut makna sintaktis. C. Morfologi 1. Pengertian Morfologi Morfologi ialah ilmu cabang tata bahasa yang membicarakan hubungan gramatikal bagian-bagaian intern kata (Soegijo, 1989:4). Menurut Ramlan morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata (2012:20). Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Keraf (1984:51) berpendapat bahwa morfologi adalah bagian dari tatabahasa yang membicarakan bentuk kata. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah cabang ilmu tatabahasa yang membicarakan hubungan gramatikal bagian-bagian intern kata serta pengaruh perubahan bentuk kataterhadap golongan dan arti kata. 2. Morfem dan Alomorf Morfem adalah bentuk-bentuk berulang yang paling kecil beserta artinya (Muslich, 2009:3). Morfem merupakan satuan terkecil, atau satuan gramatikal terkecil (Achmad, dkk., 2013:55). Selanjutnya Soegijo (1989:6) berpendapat mengenai morfem, menurutnya morfem adalah bentuk kebahasaan terkecil yang bermakna. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa morfem adalah bentuk-bentuk satuan berulang terkecil beserta arti yang bermakna. Maksud dari bagian terkecil

5 11 adalah bahwa bentuk kebahasaan tersebut tidak dapat dianalisis menjadi bagian atau unsur yang lebih kecil lagi tanpa harus merusak maknanya. Dengan kata lain, pembagian bentuk menjadi bentuk yang lebih kecil lagi akan merusak makna bentuk itu. Misalkan berbaju dapat dipisahkan menjadi ber- dan baju. Kedua bentuk tersebut masing-masing memiliki makna. Prefiks ber- bermakna menggunakan, baju memiliki makna pakaian, dengan demikian berbaju terdiri atas dua morfem. Dalam bahasa Indonesia morfem dapat dibagi menjadi dua macam yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas ialah morfem yang berpotensi mandiri dan dapat diisolasikan dari morfem-morfem yang lain (Soegijo, 1989:6-7). Sedangkan menurut Chaer (2008:151), morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Achmad, dkk. (2012:57) berpendapat bahwa morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam ujaran. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa morfem bebas adalah morfem yang berpotensi mandiri dan dapat diisolasikan dari morfem-morfem yang lain sehingga tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam ujaran atau petuturan. Menurut Soegijo (1989:8) morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat mandiri dan tidak dapat diisolasikan dari morfem-morfem yang lain. Morfen terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem yang lain tidak dapat muncul dalam ujaran (Achmad, dkk., 2012:57). Chaer (2008:152) berpendapat bahwa semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat mandiri dan tidak dapat diisolasikan dari morfem-morfem yang lain sehingga tanpa

6 12 digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam ujaran. Dalam bahasa Indonesia semua bentuk afiks merupakan morfem terikat. Contohnya terdapat pada kata kata berambut. Kata rambut merupakan morfem bebas karena kata rambut dapat berdiri sendiri, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti prefiks ber- disebut dengan morfem terikat. Kata berambut terbentuk dari prefiks ber- + rambut. Prefiks ber- yang bertemu dengan fonem /r/ pada kata rambut mengakibatkan fonem /r/ lesap sehingga pengucapannya tidak panjang. Perubahan bentuk ber- menjadi ber, be- atau bel- disebut dengan alomorf ber-. Alomorf adalah anggota suatu morfem yang wujudnya berbeda, tetapi mempunyai fungsi dan makna yang sama (Alwi, dkk., 2003: 29). 3. Kata Menurut Keraf (1984:53) kata adalah kesatuan-kesatuan yang terkecil yang diperoleh sesudah sebuah kalimat dibagi atas bagian-bagiannya, dan yang mengandung suatu ide. Menurut Ramlan (2012:34) kata adalah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata lain, setiap satuan-satuan bebas merupakan kata. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata adalah kesatuan-kesatuan yang terkecil yang diperoleh sesudah sebuah kalimat dibagi atas bagian-bagian yang satuannya bebas dan mengandung suatu ide. Menurut Ramlan (2012:33) kata merupakan dua macam satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem. Misalnya, kata belajarterdiri dari tiga suku ialah be-, la-, jar. Suku be terdiri dari fonem /b/ dan /ə/, suku la terdiri dari fonem /l/ dan /a/, dan suku jar terdiri dari fonem /j/, /a/, /r/. Jadi kata belajar terdiri tiga suku

7 13 kata dan tujuh fonem / b, ə, l, a, j, a, r /. Sebagai satuan gramatik kata mempunyai satu atau beberapa morfem. Misalnya, belajar terdiri dari dua morfem ber- + ajar = belajar. D. Proses Morfologis 1. Pengertian Proses Morfologis Muslich (2009:32) berpendapat bahwa proses morfologis adalah proses perubahan morfem menjadi sebuah kata yang baru. Sedangkan menurut Soegijo (1989:18) proses morfologis adalah proses perubahan bentuk dasar dalam rangka pembentukan kata-kata baru. Dari pendapat yang telah dipaparkan oleh para ahli peneliti dapat menarik sebuah kesimpulan mengenai proses morfologis. Proses morfologis adalah proses perubahan pada bentuk dasar dari morfem dalam rangka pembentukan kata-kata baru. Dalam bahasa Indonesia proses morfologis meliputi: afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. 2. Afiksasi Afiksasi adalah proses penambahan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar (Chaer, 2008:177). Sejalan dengan pendapat sebelumnya Achmad, dkk.(2012:63) berpendapat bahwa afiksasi adalah proses penambahan afiks pada sebuah bentuk dasar. Menurut Putrayasa (2010:5) afiksasi atau pengimbuhan adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks. Menurut Soegijo (1989:19) afiksasi adalah proses morfologis dalam rangka pembentukan kata-kata kompleks. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa afiksasi adalah proses morfologis dalam rangka pembentukan kata dengan mebubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun bentuk dasar kompleks.

8 14 a. Pengertian Afiks Menurut Ramlan (1997: 55) afiks ialah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam satu kata merupakan unsur yang bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Pendapat tersebut diperkuat oleh Muslich (2009: 41) yang berpendapat bahwa afiks merupakan bentuk kebahasaan terikat yang hanya mempunyai arti gramatikal, yang merupakan unsur langsung suatu kata, tetapi bukan merupakan bentuk dasar, yang memiliki kesanggupan untuk membentuk kata baru. Pendapat tersebut diperkuat oleh Chaer (2007:177), yaitu afiks merupakan sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata.dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa afiks adalah suatuan gramatik terikat dalam satu kata merupakan unsur yang bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru dalam proses pembentukan kata. b. Jenis Afiks Mempelajari mengenai afiks tentu harus mempelajari berbagai macan jenisnya. Berdasarkan posisi melekatnya pada bentuk dasar, ada empat macam afiks, yaitu menjadi prefiks atau awalan (ber-, meng-, peng-, dan per-), infiks atau sisipan (-erdan el-), dan sufik atau akhiran (-an, -kan, -i). Disebutkan juga bahwa, Gabungan antara Prefiks dan Sufiks yang membentuk suatu kesatuan disebut konfiks (Alwi,dkk., 2003: 31-32). Kata berdatangan merupakan konfiks karena tidak ada bentuk berdatang- atau datangan, dalam kata ini secara serentak diletakan konfiks ber-an.

9 15 Tabel 1.1 Jenis Afiks Berdasarkan Tempat Melekatnya Prefiks Infiks Sufiks Konfiks men- -el- -an ber an ke- -er- -kan ber kan di- -em- -i ke-an pen- -nya pe an Per- per an ter- se nya sebermengpeng- (Putrayasa, 2010: 10 dan Alwi,dkk., 2003: 31-32) Dalam penelitian ini penulis membatasi teori jenis afiks yang akan digunakan yaitu prefiks ber- dalam cerpen karya siswa di SMP Negeri 2 Purwokerto. E. Prefiks ber- Prefiks ber- merupakan sebuah imbuhan yang diletakkan di awal bentuk dasar. Dilihat dari bentuknya, prefiks ber- dapat mengalami perubahan bentuk. Terdapat tiga bentuk prefiks ber- jika diletakkan pada bentuk dasar. Ketiga bentuk tersebut adalah ber-, be-, bel-. Prefiks ber- mempunyai fungsi dan memiliki arti setelah bersentuhan dengan bentuk dasar. 1. Kaidah Morfofonemik Prefiks ber- Mempelajari prefiks ber- ini tidak terlepas dari proses morfofonemik. Proses morfofonemik dapat menyebabkan terjadinya perubahan fonem. Perubahan itu terjadi pada fonem prefiks. Akibat proses morfofonemik ini prefiks ber- dapat mengalami perubahan bentuk. Terdapat tiga bentuk yang dapat terjadi jika prefiks ber- dilekatkan pada bentuk dasar. Ketiga bentuk tersebut adalah ber-, bel-, dan be- (Putrayasa, 2010:17).

10 16 Menurut Ramlan (1997:101) terdapat tiga kaidah morfofonemik untuk perfiks ber- yang dapat dipelajari, yaitu: ber - be- ber- bel- ber- ber- Apabila diikuti bentuk dasar yang berawal dengan fonem /r/, dan beberapa bentuk dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /ər/. Contoh : ber- + rantai berantai ber- + kerja bekerja Apabila diikuti bentuk dasar ajar. Contoh : ber- + ajar belajar Apabila diikuti bentuk dasar selain yang tertera diatas, ialah bentuk dasar yang tidak berawal dengan fonem /r/, bentuk dasar yang suku pertamanya tidak berakhir dengan /ər/, dan bentuk dasar yang bukan morfem ajar. Misalkan : ber- + kata berkata ber- + tugas bertugas ber- + sejarah bersejarah Pendapat mengenai proses morfofonemik pada prefiks ber- di atas hampir sama dengan yang dipaparkan oleh Keraf (1984: 93-94). Menurutnya proses morfofonemik dibagi menjadi tiga, yaitu : a) Morfem ber- dirangkaikan saja di depan sebuah kata dengan tidak mengalami perubahan apapun. Contohnya : ber- + kuda berkuda ber- + sepedah bersepedah b) Bila fonem awal dimulai dengan fonem /r/ maka ber- mengambil bentuk lain yaitu /be-/ Contoh : ber- + rambut berambut (*bukan berrambut*) ber- + ternak beternak (*bukan berternak*)

11 17 c) Fonem /r/ dapat berubah menjadi /l/ karena proses disimilasi yaitu pada kata belajar yang terbentuk dari ber- + ajar = belajar. 2. Fungsi Prefiks ber- Menurut Keraf (1984:95-96) fungsi prefiks ber- adalah membentuk kata kerja. misalnya bersiul, bergerak, berjalan, dan sebagainya. Tetapi hal ini perlu diperhatikan karena berdasarkan fraseologi suatu kata dapat disebut kata kerja bila dapat diperluas dengan dengan + kata sifat. Contoh: bersiul dengan riang bergerak dengan cepat, dan sebagainya. Ternyata kata-kata semacam itu dapat diperluas dengan cara tersebut. Tetapi disamping itu ada sejumlah kata yang tidak dapat menggunakan prosedur itu. Kita tidak bisa mengatakan: Contoh: beribu dengan baik berlayar dengan putih bila ber- itu diartikan mempunyai atau memiliki. Dengan pengertian mempunyai, kata-kata itu akan diperluas dengan yang + kata sifat : Contoh: beribu yang baik berlayar yang putih Jadi kelompok kata itu memiliki ciri seperti kata benda. Kesimpulannya adalah ber- mempunyai dua fungsi yaitu: a. Membentuk kata kerja Ciri-ciri kata kerja Kata kerja memiliki ciri-ciri yaitu: (1) verbal memiliki fungsi utama sebagai predikat, (2) verbal mengandung makna perbuatan, proses, keadaan yang bukan sifat

12 18 atau kualitas, (3) verbal, khususnya yang bermakna keadaan tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti paling, (4) pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan kesangatan, oleh karena itu tidak ada bentuk agak belajar, sangat pergi(alwi, dkk., 2003: 87). Sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam frase, yakni dalam hal kemungkinan satuan itu didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya satuan itu dengan partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih, atau agak. Selain itu, verba juga dapat dicirikan oleh perluasan kata tersebut dengan rumus V + dengan kata sifat. Keraf (dalam Muslich, 2009:113) menjelaskan kata kerja adalah segala macam kata yang dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat. b. Merupakan transformasi dari kata mempunyai atau memiliki. Dengan demikian kita dapat memperoleh kata-kata yang memiliki macam arti, dengan akibat cara perluasannya juga bebeda. Contoh: *berniat dengan tulus *berniat yang tulus: mempunyai niat (yang tulus) Alwi (2003:138) menambahkan sebuah pendapat mengenai penggunaan verba pada adjektiva. Karena verba dan adjektiva kodrat sintaksisnya sangat dekat, ber- pada verba yang diturunkan dari adjektiva ini sebenarnya bersifat manasuka pula tetapi kadang-kadang muncul sedikit perbedaan makna dan pemakaiannya. Contoh: gembira (ber-) gembira bahagia (ber-) berbahagia sedih (ber-) sedih

13 19 3. Makna Prefiks ber- Makna secara gramatikal akan muncul dari sebuah afiks. Prefiks ber- yang diikuti sebuah kata akan memunculkan makna tambahan, yaitu makna-makna yang muncul akibat bergabungnya perfiks ber- dengan bentuk dasar yang dilekatinya. Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam perfiks ber-, berikut ini beberapa pendapat dari para ahli. Menurut Muslich (2009:69) bentuk dasar yang dapat bergabung dengan imbuhan ber- dapat dikelompokkan atas empat kelas, yaitu bentuk dasar yang berkelas verba (kata kerja), nomina (benda), ajektiva (kata sifat), dan numeralia (bilangan). Berikut ini disajikan secara berkelompok arti imbuhan ber- pada setiap kata tersebut. Apabila bentuk dasarnya berkelas kata kerja, maka imbuhan ber- mempunyai makna seperti berikut : a. dalam keadaan seperti bentuk dasar berada dalam keadaan ada berkembang dalam keadaan (meng) kembang b. menjadi seperti bentuk dasar berubah menjadi berubah c. melakukan seperti bentuk dasar bekerja melakukan kegiatan kerja berlari melakukan kegiatan lari Apabila bentuk dasarnya berkelas kata benda, imbuhan ber- memiliki beberapa kemungkinan makna sebagai berikut : a. memakai atau mengenakan, misalnya : bersepatu memakai atau mengenakan sepatu berdasi memakai atau mengenakan dasi b. mempunyai apa yang tersebut pada bentuk dasarnya, misalnya: bersuami mempunyai suami berkumis mempunyai kumis c. mengeluarkan. Misalnya: berdarah mengeluarkan darah d. mengerjakan, misalnya : berladang mengerjakan atau menggarap ladang

14 20 e. Mengendarai atau mengpergunakan, misalnya : berkuda mengendarai kuda/mempergunakan kuda f. bermain seperti bentuk dasar bertinju bermain tinju bercatur bermain catur Apabila bentuk dasarnya berkelas kata sifat, imbuhan ber- mempunyai makna dalam keadaan, misalnya berduka, bersedih, bergembira, dan masih banyak lagi.apabila bentuk dasarnya berkelas kata bilangan, imbuhan ber- mempunyai makna menjadi atau kumpulan yang terdiri atas jumlah yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya bersatu kumpulan yang terdiri atas satu, berdua, berlima, dan sebagainya. Bila ada proses pengulangan pada kelas numeralia ini, maka morfem ber- menuju makna dalam jumlah kelipatan seperti tersebut bentuk dasar. Misalnya berpuluhpuluh dalam jumlah kelipatan sepuluh, berjuta-juta, dan sebagainya. Menurut Putrayasa (2010: 18), makna yang dapat didukung oleh prefiks ber- setelah bersentuhan dengandengan bentuk dasar dapat dikelompokkan seperti berikut: a. Prefiks ber- mengandung makna memiliki atau mempunyai. Contohnya: beribu, berkaki, berlayar; b. Mempergunakan atau memakai sesuatu yang disebut dalam kata dasar. Contohnya: berkereta, berkacamata, berkalung; c. Mengerjakan sesuatu atau mengadakan sesuatu. Contohnya: berkedai, berkuli, bertukang, bernafas; d. Memperoleh atau menghasilkan sesuatu. Contohnya: berhujan, berpanas, bersiul, beranak; e. Berada pada keadaan sebagai yang disebut dalam kata dasar. Contohnya: beramai-ramai, bergegas, bermalas; f. Jika kata dasarnya adalah bilangan atau kata benda yang menyatakan ukuran, bermengandung arti himpunan. Contohnya: berempat, bertahun-tahun, berkilogram; g. Menyatakan perbuatan yang tidak transitif. Contohnya: berkata, berjalan, berdiri, berubah; h. Menyatakan perbuatan mengenai diri sendiri atau refleksif. Contohnya: berlindung, berhias, bercukur; i. Menyatakan perbuatan berbalas atau resiprok. Contohnya: berkelahi, bertinju, bergulat; j. Jika dirangkaikan di depan sebuah kata yang berobjek, ber- mengandung arti mempunyai pekerjaan tersebut. Contoh: berkedai nasi, bermain bola, bertolak pinggang, bermata-mata.

15 21 Dari penelitian kedua pakar dapat disimpulkan bahwa makna pada prefiks beradalah sebagai berikut: a. mempunyai makna memiliki atau mempunyai. b. mempergunakan atau memakai sesuatu. c. mengerjakan sesuatu atau mengadakan sesuatu. d. memperoleh atau menghasilkan sesuatu. e. berada pada keadaan yang disebut dalam kata dasar. f. jika kata dasarnya adalah bilangan atau kata benda yang menyatakan ukuran maka prefiks ber- mengandung arti himpunan. g. menyatakan perbuatan mengenai diri sendiri atau refleksif. h. menyatakan perbuatan berbalas atau respirok. i. menjadi seperti bentuk dasar. j. melakukan seperti bentuk dasar. k. mengeluarkan seperti pada bentuk dasar. l. mengendarai seperti pada bentuk dasar m. bermain seperti pada bentuk dasar 4. Wacana a. Pengertian dan Jenis Wacana Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Chaer, 2007:267). Satuan pendukung kebahasaanya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh (Mulyana, 2005:1). Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang

16 22 utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Jenis wacana dapat dibagikan sesuai dengan sudut pandang darimana wacana itu dilihat. Berdasarkan media penyampaian wacana dibagi atas wacana lisan dan wacana tulis. Wacana tulis adalah jenis wacana yang disampaikan dalam bentuk tulisan. Sedangkan wacana lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan dan langsung dengan menggunakan bahasa verbal (Mulyana, 2005:51). Jenis wacana berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua yaitu fiksi dan non fiksi. Wacana fiksi adalah wacana yang bentuk dan isinya berorientasi pada imajinasi. Wacana fiksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu: wacana prosa, wacana puisi, dan wacana drama. Wacana non fiksi disebut juga sebagai wacana ilmiah. Jenis wacana ini disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (Mulyana, 54-55). Contoh dari wacana non fiksi yaitu opini, essay, artikel, dan laporan penelitian. Jenis wacana non fiksi berdasarkan isinya yaitu wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi, wacana budaya, wacana hukum dan kriminalitas, dan olahraga dan kesehatan. b. Pengertian Cerpen Cerpen merupakan bentuk kependekan dari cerita pendek (Sudjiman, 1990:16). Cerita merupakan kisahan nyata ataupun rekaan dalam bentuk prosa atau puisi yang tujuannya menghibur atau memberikan informasi kepada pendengar atau pembacanya (Sudjiman, 1990:14). Sejalan dengan pendapat sebelumnya Sastrapardja (1978:82) berpendapat bahwa cerpen merupakan cerita pendek; sejenis cerita rekaan yang banyak tertulis pada majalah-majalah dan lain-lain. Menurut Nurgiyantoro

17 23 (2007:11) karena bentuk cerpen yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas. Dari beberapa pendapat yang telah dipaparkan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan kependekan dari cerita pendek. Cerpen merupakan cerita nyata ataupun rekaan dalam bentuk prosa yang dapat digunakan untuk menghibur pembacanya. Cerita jenis ini dapat ditemukan dimajalah-majalah dan lain-lain. Alasan penulis memilih cerpen sebagai alat penelitian karena setelah penulis mengamati ternyata penulis menemukan banyak fenomena yang memunculkan beberapa pertanyaan, sehingga mendorong penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepustakaan yang Relevan Kajian tentang morfologi bahasa khususnya bahasa Melayu Tamiang masih sedikit sekali dilakukan oleh para ahli bahasa. Penulis menggunakan beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia dan pada undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia dan pada undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bahasa adalah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang

Lebih terperinci

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588).

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588). BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Bahasa mempunyai hubungan yang erat dalam komunikasi antar manusia, yakni dalam berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pengguna bahasa selalu menggunakan bahasa lisan saat

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI DAN FAKTOR PENYEBAB PEMAKAIAN PREFIKS. MeN- YANG DOMINAN DALAM CERPEN MAJALAH STORY EDISI 14/ TH.II/ 25 AGUSTUS - 24 OKTOBER 2010

ANALISIS FUNGSI DAN FAKTOR PENYEBAB PEMAKAIAN PREFIKS. MeN- YANG DOMINAN DALAM CERPEN MAJALAH STORY EDISI 14/ TH.II/ 25 AGUSTUS - 24 OKTOBER 2010 ANALISIS FUNGSI DAN FAKTOR PENYEBAB PEMAKAIAN PREFIKS MeN- YANG DOMINAN DALAM CERPEN MAJALAH STORY EDISI 14/ TH.II/ 25 AGUSTUS - 24 OKTOBER 2010 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi manusia dalam berinteraksi di lingkungan sekitar. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 2. Penelitian dengan judul Analisis Kesalahan Berbahasa pada Surat Pembaca

BAB II LANDASAN TEORI. 2. Penelitian dengan judul Analisis Kesalahan Berbahasa pada Surat Pembaca 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian dengan judul Analisis Kesalahan Berbahasa pada Surat Pembaca dalam Tabloid Mingguan Bintang Nova dan Nyata Edisi September-Oktober 2000,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diberikan akal dan pikiran yang sempurna oleh Tuhan. Dalam berbagai hal manusia mampu melahirkan ide-ide kreatif dengan memanfaatkan akal dan pikiran

Lebih terperinci

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI Nama : TITIS AIZAH NIM : 1402408143 LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI I. MORFEM Morfem adalah bentuk terkecil berulang dan mempunyai makna yang sama. Bahasawan tradisional tidak mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam linguistik bahasa Jepang (Nihon go-gaku) dapat dikaji mengenai beberapa hal, seperti kalimat, kosakata, atau bunyi ujaran, bahkan sampai pada bagaimana bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan mediator utama dalam mengekspresikan segala bentuk gagasan, ide, visi, misi, maupun pemikiran seseorang. Bagai sepasang dua mata koin yang selalu beriringan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam mata

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam mata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peningkatan hasil belajar siswa merupakan tujuan yang ingin selalu dicapai oleh para pelaksana pendidikan dan peserta didik. Tujuan tersebut dapat berupa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo dkk., 1985:

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa konsep seperti pemerolehan bahasa, morfologi, afiksasi dan prefiks, penggunaan konsep ini

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati Abstrak. Penelitian ini menggambarkan kesalahan penggunaan bahasa Indonesia terutama dalam segi struktur kalimat dan imbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan berbahasa meliputi mendengar, berbicara, membaca, menulis. Keempat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang diterapkan dalam melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK Nama : Wara Rahma Puri NIM : 1402408195 BAB 5 TATARAN LINGUISTIK 5. TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. 5.1 MORFEM Tata bahasa tradisional tidak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Terkait dengan kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk dapat berinteraksi dengan manusia lainnya, di samping itu bahasa dapat menjadi identitas bagi penuturnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. system tulisan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 90,

BAB I PENDAHULUAN. system tulisan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 90, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, karena dengan bahasa kita bisa berkomunikasi satu dengan yang lain. Keraf (2001:1) mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi sesama manusia. Dengan bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga perkembangan bahasa Indonesia saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, bahasa Indonesia semakin berkembang. Dalam penelitiannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, bahasa Indonesia semakin berkembang. Dalam penelitiannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, bahasa Indonesia semakin berkembang. Dalam penelitiannya untuk media cetak, media sosial maupun media yang lainnya. Bahasa kini dirancang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia memerlukan sarana untuk

Lebih terperinci

PEMAKAIAN PREFIKS DALAM CERITA PENDEK DI MAJALAH ANEKA SKRIPSI

PEMAKAIAN PREFIKS DALAM CERITA PENDEK DI MAJALAH ANEKA SKRIPSI PEMAKAIAN PREFIKS DALAM CERITA PENDEK DI MAJALAH ANEKA SKRIPSI Disusun Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Disusun Oleh LISDA OKTAVIANTINA

Lebih terperinci

BUKU AJAR. Bahasa Indonesia. Azwardi, S.Pd., M.Hum

BUKU AJAR. Bahasa Indonesia. Azwardi, S.Pd., M.Hum i BUKU AJAR Bahasa Indonesia Azwardi, S.Pd., M.Hum i ii Buku Ajar Morfologi Bahasa Indonesia Penulis: Azwardi ISBN: 978-602-72028-0-1 Editor: Azwardi Layouter Rahmad Nuthihar, S.Pd. Desain Sampul: Decky

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesalahan berbahasa ini tidak hanya terjadi pada orang-orang awam yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi tertentu, tetapi sering

Lebih terperinci

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Nama : Irine Linawati NIM : 1402408306 BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Fonem adalah satuan bunyi terkecil dari arus ujaran. Satuanfonem yang fungsional itu ada satuan yang lebih tinggi yang disebut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. menggunakan kajian sintaksis sebelumnya pernah diteliti oleh:

BAB II LANDASAN TEORI. menggunakan kajian sintaksis sebelumnya pernah diteliti oleh: 10 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan Penelitian mengenai bahasa khususnya kalimat aktif dan pasif dengan menggunakan kajian sintaksis sebelumnya pernah diteliti oleh: 1. Penelitian yang berjudul

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tertulis (Marwoto, 1987: 151). Wacana merupakan wujud komunikasi verbal. Dari

BAB II LANDASAN TEORI. tertulis (Marwoto, 1987: 151). Wacana merupakan wujud komunikasi verbal. Dari 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Wacana 1. Pengertian Wacana Wacana adalah paparan ide atau pikiran secara teratur, baik lisan maupun tertulis (Marwoto, 1987: 151). Wacana merupakan wujud komunikasi verbal.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sempurna, manusia dibekali dengan akal dan pikiran. Dengan akal dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sempurna, manusia dibekali dengan akal dan pikiran. Dengan akal dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Tuhan yang sempurna. Sebagai makhluk yang sempurna, manusia dibekali dengan akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran yang dimiliki,

Lebih terperinci

BAB1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah

BAB1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah BAB1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah suatu bahasa. Sesuai dengan sifat bahasa yang dinamis, ketika pengetahuan pengguna bahasa meningkat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan satuan pendidikan formal yang

I. PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan satuan pendidikan formal yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah Menengah Kejuruan merupakan satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Bahasa sudah diajarkan sejak dulu baik di keluarga maupun di. peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Bahasa sudah diajarkan sejak dulu baik di keluarga maupun di. peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia pada dasarnya sangat membutuhkan bahasa dalam bermasyarakat. Bahasa sudah diajarkan sejak dulu baik di keluarga maupun di lingkungan formal. Bahasa

Lebih terperinci

SATUAN GRAMATIK. Oleh Rika Widawati, S.S., M.Pd. Disampaikan dalam mata kuliah Morfologi.

SATUAN GRAMATIK. Oleh Rika Widawati, S.S., M.Pd. Disampaikan dalam mata kuliah Morfologi. SATUAN GRAMATIK Oleh Rika Widawati, S.S., M.Pd. Disampaikan dalam mata kuliah Morfologi. Pengertian Satuan Gramatik Bentuk Tunggal dan Bentuk Kompleks Satuan Gramatik Bebas dan Terikat Morfem, Morf, Alomorf,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Kemampuan ini hendaknya dilatih sejak usia dini karena berkomunikasi merupakan cara untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Proses morfologis ialah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan

BAB II LANDASAN TEORI. Proses morfologis ialah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Proses Morfologis Proses morfologis ialah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lain (Samsuri, 1983:25). Proses morfologis juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masuknya istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris ke dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Masuknya istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris ke dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masuknya istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia sudah tidak bisa ditahan lagi. Arus komunikasi kian global seiring berkembangnya

Lebih terperinci

KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL

KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL Rahmi Harahap Program Studi S-1 Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Abstract Research on the structural

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1 ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH Diajukan Oleh: AGUS

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI DAN NOSI PREFIKS PADA KARANGAN SISWA KELAS Vlll E SMP NEGERI 1 PLAOSAN, MAGETAN, JAWA TIMUR

ANALISIS FUNGSI DAN NOSI PREFIKS PADA KARANGAN SISWA KELAS Vlll E SMP NEGERI 1 PLAOSAN, MAGETAN, JAWA TIMUR ANALISIS FUNGSI DAN NOSI PREFIKS PADA KARANGAN SISWA KELAS Vlll E SMP NEGERI 1 PLAOSAN, MAGETAN, JAWA TIMUR NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Afiks dan Afiksasi Ramlan (1983 : 48) menyatakan bahwa afiks ialah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peranan bahasa sangat membantu manusia dalam menyampaikan gagasan, ide, bahkan pendapatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani (Sun + tattein) yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani (Sun + tattein) yang berarti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani (Sun + tattein) yang berarti mengatur bersama-sama (Verhaar dalam Markhamah, 2009: 5). Chaer (2009: 3) menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU

INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU Oleh: Ida Satriyani Kasran Ramsi ABSTRAK Masalah pokok dalam penelitian ini adalah apa sajakah afiks infleksi dalam bahasa Kulisusu, dalam hal ini meliputi pembagian afiks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nominalisasi sebagai salah satu fenomena kebahasaan, mesti mendapatkan perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai peran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk suku Jawa di antaranya Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian wilayah Indonesia lainnya.

Lebih terperinci

DESKRIPSI PENGGUNAAN METODE CERAMAH UNTUK PEMBELAJARAN MORFOLOGI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGGUNAAN MORFEM PADA TEKS PIDATO SISWA KELAS VIII A

DESKRIPSI PENGGUNAAN METODE CERAMAH UNTUK PEMBELAJARAN MORFOLOGI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGGUNAAN MORFEM PADA TEKS PIDATO SISWA KELAS VIII A DESKRIPSI PENGGUNAAN METODE CERAMAH UNTUK PEMBELAJARAN MORFOLOGI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGGUNAAN MORFEM PADA TEKS PIDATO SISWA KELAS VIII A MTsN POPONGAN KABUPATEN KLATEN SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi

Lebih terperinci

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA Arkhais, Vol. 07 No. 1 Januari -Juni 2016 PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA Wahyu Dwi Putra Krisanjaya Lilianan Muliastuti Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembentukan

Lebih terperinci

KATA CINTA DALAM BAHASA INDONESIA KAJIAN MORFOLOGI DAN SEMANTIK

KATA CINTA DALAM BAHASA INDONESIA KAJIAN MORFOLOGI DAN SEMANTIK KATA CINTA DALAM BAHASA INDONESIA KAJIAN MORFOLOGI DAN SEMANTIK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Oleh:

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian jenis proses campur kode menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain karena subjek penelitian mereka pun berbeda-beda, baik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sepanjang hidupnya, manusia tidak pernah terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi tersebut, manusia memerlukan sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia VERBA PREDIKAT BAHASA REMAJA DALAM MAJALAH REMAJA Renadini Nurfitri Abstrak. Bahasa remaja dapat dteliti berdasarkan aspek kebahasaannya, salah satunya adalah mengenai verba. Verba sangat identik dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu penelitian, maka dibutuhkan sebuah metode penelitian. Metode ini dijadikan pijakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara populer orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih tepat lagi,

Lebih terperinci

DRA. NUNUNG SITARESMI, M.PD. FPBS UPI

DRA. NUNUNG SITARESMI, M.PD. FPBS UPI DRA. NUNUNG SITARESMI, M.PD. FPBS UPI Pertemuanke-3 ISTILAH-ISTILAH TEKNIS DALAM MORFOLOGI SATUAN GRAMATIK wacana kalimat sintaksis frasa klausa kata morfem morfologi MORFEM DAN ALOMORF A. MORFEM Morfem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Wolio yang selanjutnya disingkat BW adalah salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa Kerajaan Kesultanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu membuka diri terhadap perkembangan. Hal ini terlihat pada perilakunya yang senantiasa mengadakan komunikasi dengan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam

BAB I PENDAHULUAN. fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam berbahasa, kita sebagai pengguna bahasa tidak terlepas dari kajian fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam berbahasa adalah sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan kalimat tersebut juga harus memperhatikan susunan kata

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan kalimat tersebut juga harus memperhatikan susunan kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia membutuhkan alat untuk berkomunikasi dalam masyarakat. Kalimat berperan penting sebagai wujud tuturan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sesama manusia. Penutur

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengantar Penggunaan afiks dalam ragam informal, terutama dalam situs Friendster, menarik untuk diteliti karena belum banyak penelitian yang membahas hal tersebut.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah untuk menyambut kedatangan siswa baru. Kegiatan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu, rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu, rangkaian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu, rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata, melambangkan suatu konsep. Bahasa juga alat untuk

Lebih terperinci

KESALAHAN AFIKS DALAM CERPEN DI TABLOID GAUL

KESALAHAN AFIKS DALAM CERPEN DI TABLOID GAUL DEIKSIS Vol. 09 No.02, Mei 2017 p-issn: 2085-2274, e-issn 2502-227X hal. 273-282 KESALAHAN AFIKS DALAM CERPEN DI TABLOID GAUL Yulian Dinihari Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Teknik, Matematika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian Terhadap Masalah yang Relevan Sebelumnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian Terhadap Masalah yang Relevan Sebelumnya BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Terhadap Masalah yang Relevan Sebelumnya Dari hasil penelusuran di perpustakaan Universitas Negeri Gorontalo dan Fakultas Sastra dan Budaya ditemukan satu penelitian yang

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI Kita kembali dulu melihat arus ujaran yang diberikan pada bab fonologi yang lalu { kedua orang itu meninggalkan ruang siding meskipun belum selesai}. Secara bertahap

Lebih terperinci

RELASI TEMPORAL ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT PADA WACANA KUMPULAN CERPEN DARI SITUS SKRIPSI

RELASI TEMPORAL ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT PADA WACANA KUMPULAN CERPEN DARI SITUS  SKRIPSI RELASI TEMPORAL ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT PADA WACANA KUMPULAN CERPEN DARI SITUS WWW.SRITI.COM SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Chaer (2008:25) mengemukakan bahwa proses morfologi pada dasarnya adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Chaer (2008:25) mengemukakan bahwa proses morfologi pada dasarnya adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Morfologis Chaer (2008:25) mengemukakan bahwa proses morfologi pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses

Lebih terperinci

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Nama : Khoirudin A. Fauzi NIM : 1402408313 BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Pada bab terdahulu disebutkan bahwa morfologi dan sintaksis adalah bidang tataran linguistik yang secara tradisional disebut

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA DALAM KARANGAN SISWA KELAS X AK 3 SMK NEGERI 1 KOTA JAMBI. Oleh Tuti Mardianti ABSTRAK

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA DALAM KARANGAN SISWA KELAS X AK 3 SMK NEGERI 1 KOTA JAMBI. Oleh Tuti Mardianti ABSTRAK ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA DALAM KARANGAN SISWA KELAS X AK 3 SMK NEGERI 1 KOTA JAMBI Oleh Tuti Mardianti ABSTRAK Mardianti, Tuti. 2014. Analisis Kesalahan Berbahasa dalam Karangan Siswa Kelas X AK 3

Lebih terperinci

ANALISIS MAKNA AFIKS PADA TAJUK RENCANA KOMPAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

ANALISIS MAKNA AFIKS PADA TAJUK RENCANA KOMPAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA ANALISIS MAKNA AFIKS PADA TAJUK RENCANA KOMPAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA Fitri Megawati, Tri Mahajani, Sandi Budiana ABSTRAK Fitri Megawati, Analisis Makna Afiks pada

Lebih terperinci

ANALISIS AFIKSASI DALAM ALBUM RAYA LAGU IWAN FALS ARTIKEL E-JOURNAL. Muhammad Riza Saputra NIM

ANALISIS AFIKSASI DALAM ALBUM RAYA LAGU IWAN FALS ARTIKEL E-JOURNAL. Muhammad Riza Saputra NIM ANALISIS AFIKSASI DALAM ALBUM RAYA LAGU IWAN FALS ARTIKEL E-JOURNAL Muhammad Riza Saputra NIM 100388201040 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda. Proses pembentukan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Media cetak tergolong jenis media massa yang paling populer. Yeri & Handayani (2013:79), menyatakan bahwa media cetak merupakan media komunikasi yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya.sarana yang paling vital untuk menenuhi kebutuhan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya.sarana yang paling vital untuk menenuhi kebutuhan tersebut adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi.di dalam berkomunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Pustaka. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Pustaka. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dianalisis pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa persamaan dan perbedaan perubahan fonem yang terjadi pada proses

Lebih terperinci

PROSES MORFOLOGIS KATA MAJU BESERTA TURUNANNYA INTISARI

PROSES MORFOLOGIS KATA MAJU BESERTA TURUNANNYA INTISARI PROSES MORFOLOGIS KATA MAJU BESERTA TURUNANNYA Pangastryan Wisesa Pramudiah *), Drs. Ary Setyadi, M. S., Riris Tiani, S.S., M.Hum. Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini. Hasil penelitian ini akan dipertanggung jawabkan,

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA BIDANG MORFOLOGI PADA MADING DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA JURNAL ILMIAH

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA BIDANG MORFOLOGI PADA MADING DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA JURNAL ILMIAH ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA BIDANG MORFOLOGI PADA MADING DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA JURNAL ILMIAH Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa Sastra

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA

TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA A. Deskripsi Mata Kuliah Dalam perkuliahan dibahas pengertian morfologi dan hubungannya dengan cabang ilmu bahasa lain, istilah-istilah teknis dalam morfologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga bahasa merupakan sarana komunikasi yang utama. Bahasa adalah

BAB I PENDAHULUAN. sehingga bahasa merupakan sarana komunikasi yang utama. Bahasa adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu melakukan komunikasi antar sesamanya. Setiap anggota masyarakat selalu terlibat dalam komunikasi, baik dia berperan sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. gabungan kata morphe yang berarti bentuk, dan logos yang artinya ilmu. Chaer

BAB II KAJIAN TEORI. gabungan kata morphe yang berarti bentuk, dan logos yang artinya ilmu. Chaer BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Morfologi Morfologi merupakan suatu cabang linguistik yang mempelajari tentang susunan kata atau pembentukan kata. Menurut Ralibi (dalam Mulyana, 2007: 5), secara

Lebih terperinci

AFIKSASI BAHASA MELAYU DIALEK NGABANG

AFIKSASI BAHASA MELAYU DIALEK NGABANG AFIKSASI BAHASA MELAYU DIALEK NGABANG Rinni Juliati simanungkalit, Amriani Amir, Agus Syahrani Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan Pontianak Email: rinnijuliati12@gmail.com

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat dinamis, arbitrer,

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat dinamis, arbitrer, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat dinamis, arbitrer, konvensional, dan memiliki makna. Sifat dinamis itu muncul karena manusia sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Surat Pembaca Edisi Maret sampai April 2012 dengan penelitian sebelumnya,

BAB II LANDASAN TEORI. Surat Pembaca Edisi Maret sampai April 2012 dengan penelitian sebelumnya, 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Agar dapat membedakan penelitian Analisis Kesalahan Berbahasa pada Surat Pembaca Edisi Maret sampai April 2012 dengan penelitian sebelumnya, maka penliti

Lebih terperinci