HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil Analisis Kandungan Karbohidrat Kulit Talas Kimpul

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk organik cair

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Fisik. dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA II.

III. METODOLOGI PE ELITIA

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Ampas Aren. tanaman jagung manis. Analisis kompos ampas aren yang diamati yakni ph,

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik

II. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah

PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. yang baik yaitu : sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami

PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. jerami padi dan feses sapi perah dengan berbagai tingkat nisbah C/N disajikan pada

Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil

KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot. Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Niken Wijayanti, Winardi Dwi Nugraha, Syafrudin Jurusan Teknik Lingkungan,Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro

EVALUASI KINERJA CO-COMPOSTING BAGAS DENGAN BLOTONG PADA KAPASITAS PROSES YANG DITINGKATKAN MOH SUBIYANTORO

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. lingkungan atau perlakuan. Berdasarkan hasil sidik ragam 5% (lampiran 3A)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

I. PENDAHULUAN. kebutuhan unsur hara tanaman. Dibanding pupuk organik, pupuk kimia pada

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN RASIO KARBON TERHADAP NITROGEN (C/N) PADA PROSES PENGOMPOSAN DENGAN PERLAKUAN AERASI DALAM PEMANFAATAN ABU KETEL DAN SLUDGE INDUSTRI GULA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar. Kadar air, ph, C-Organik, Bahan Organik, N total. Berikut data hasil analisis

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO

STUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Kompos Pelepah Daun Salak. (terkontrol) dengan hasil akhir berupa humus dan kompos (Simamora dan Salundik,

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

BAB I PENDAHULUAN. Tanah mengandung fosfat (P) sebagai salah satu unsur hara makro yang

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Jamur Tiram. digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUN PUSTAKA. Sifat sifat Kimia Tanah. tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat

PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN

PENGOMPOSAN K1UDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

TINJAUAN PUSTAKA. A. Salak Pondoh. Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING ABU KETEL DAN BLOTONG ELVA SURYA AL GHIFARY

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Limbah Padat

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. selanjutnya diaplikasikan pada tanaman jagung manis (Zea Mays Saccharata

Transkripsi:

IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi dengan adanya nutrisi yang cukup. Bahan yang paling penting dalam penyediaan nutrisi adalah karbon (C) sebagai sumber energi dan nitrogen (N) sebagai zat pembentuk protoplasma (Gaur 1983). Proses pengomposan yang optimum, kisaran C/N yang baik digunakan adalah 2-4 (Rynk 1992). Kecepatan dekomposisi sangat dipengaruhi sumber dan komposisi bahan organik yang digunakan. Bahan yang mudah didekomposisikan seperti gula, pati, protein, dan hemiselulosa. Sedangkan bahan organik yang lambat didekomposisikan seperti lignin, lilin, dan lainlain. Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan nilai C/N abu ketel dan limbah sludge, hasil analisis bahan baku kompos dapat ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis Limbah Abu Ketel Limbah Sludge 1. Kadar Air (%) 45.16 34.7 2. Kadar Abu (%) 49.33 54.24 3. Total Kjedhal Nitrogen (%).6.26 4. Kadar Nitrit (ppm).5.42 5. Kadar Nitrat (ppm) 2. 11. 6. Kadar Karbon Organik (%).33.62 7. Kadar Nitrogen (%).6.26 8. Nilai C/N 52.22 24.33 Nilai C/N abu ketel masih cukup tinggi, yaitu 52.22, sedangkan nilai C/N sludge sudah mencapai rentang kondisi bahan baku yang baik, yaitu 24.33 (C/N baik: 2-4) digunakan untuk pengomposan. Nilai C/N abu ketel yang terlalu tinggi dapat menyebabkan lamanya proses pengomposan, oleh karena itu agar nilai C/N masuk kepada kisaran bahan baku pengomposan yang baik, perlu dilakukan pencampuran sludge yang memiliki kadar N lebih tinggi (.26%) dibandingkan dengan N yang terdapat pada abu ketel (.6%). 2. Formulasi Karakteristik Bahan Baku Kompos Tingkat kematangan kompos dan lama proses pengomposan ditentukan oleh nilai C/N yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme untuk memperoleh sumber energi dan pembentukan sel mikroorganisme. Pengomposan yang optimal membutuhkan perbandingan sumber karbon dan sumber nitrogen dari bahan baku yang ditentukan dalam proses pengomposan dengan nilai C/N yaitu 2-4. 15

Proses pengomposan terdiri dari tiga perlakuan, yaitu abu ketel tanpa pencampuran sludge yang berfungsi sebagai kontrol, abu ketel dengan pencampuran sludge sebesar 2%, dan abu ketel dengan pencampuran sludge sebesar 4%. Pemilihan pencampuran sludge maksimum sampai 4% diharapkan dapat memanfaatkan abu ketel minimal sebanyak 6%. Selain itu, pada pencampuran sludge sebesar 2% dan 4% sudah mencapai nilai C/N yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku kompos. Di bawah ini rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai C/N. %C bahan 1 bobot bahan 1 + %C bahan 2 bobot bahan 2 =Nilai C/N %N bahan 1 bobot bahan 1 + %N bahan 2 bobot bahan 2 Pendekatan rumus ini digunakan untuk mengetahui nilai C/N berdasarkan bobot bahan baku yang telah ditentukan. Total bahan baku kompos yang digunakan ditentukan sebanyak 5 kg berat kering, perhitungan formulasi C/N bahan baku kompos terdapat pada Lampiran 2. Nilai C/N bahan baku abu ketel dengan pencampuran sludge sebesar 2% dan 4% seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Formulasi nilai C/N bahan baku kompos Komposisi Sludge Bobot Abu Ketel (kg) Bobot Sludge (kg) Nilai C/N % 5-52.22 2 % 4 1 38.65 4 % 3 2 32.24 B. Penelitian Utama 1. Temperatur Temperatur merupakan kontrol langsung terhadap aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi karbon organik. Menurut Murbandono (1993), temperatur optimum pengomposan berkisar antara 3-45 o C. Grafik perubahan temperatur kompos dengan perlakuan aerasi aktif dan pasif yang dilakukan selama 3 hari, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 9 dan 1. Suhu ( C) 35 3 25 2 15 1 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1112 1314 151617 1819 221 222324 2526 272829 3 Waktu (hari) Gambar 9. Perubahan temperatur pengomposan aerasi aktif % Sludge Aktif 2% Sludge Aktif 4% Sludge Aktif 16

Suhu (C) 35 3 25 2 15 1 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 17 18 19 2 21 22 23 24 25 26 27 28 29 3 Waktu (hari) Gambar 1. Perubahan temperatur pengomposan aerasi pasif % Sludge Pasif 2% Sludge Pasif 4% Sludge Pasif Hasil pengamatan temperatur pada perlakuan aerasi aktif dan pasif hampir mengalami kesamaan yaitu, temperatur pengomposan cenderung naik dari minggu pertama sampai minggu kedua. Temperatur awal kompos dari 25 o C pada perlakukan aerasi aktif naik mencapai temperatur maksimum 31,58 o C, sedangkan aerasi pasif mencapai temperatur 32,17 o C. Pada minggu ketiga sampai minggu keempat secara bersamaan pada perlakuan aerasi aktif maupun pasif terjadi penurunan temperatur. Pada minggu keempat, temperatur uji coba kompos stabil mendekati temperatur ruang (28 o C). Suhu selama pengomposan dapat dilihat pada Lampiran 3. Terjadinya peningkatan temperatur pada minggu pertama dan kedua mengindikasikan bahwa terjadi aktifitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan karbon organik menjadi gas CO 2, air, dan panas (kalor). Mikroorganisme tumbuh optimal pada kondisi pengomposan ini adalah mikroorganisme mesofilik karena temperatur yang dapat dicapai antara 1-45 o C. Akan tetapi, temperatur maksimum yang dihasilkan selama pengomposan tidak mencapai temperatur termofilik (45-65 o C). Kondisi ini disebabkan karbon organik yang terkandung dalam bahan baku abu ketel maupun sludge jumlahnya sedikit, sehingga proses dekomposisi tidak berlangsung lama. Berdasarkan hasil analisis bahan baku pada minggu ke-, kadar karbon hanya bersekitar 3-4%. Karbon organik yang sedikit ini menyebabkan panas yang dihasilkan dari dekomposisi mikroorganisme rendah. Menurut Indrasti dan Wimbanu (26), temperatur kompos yang tidak mencapai suhu termofilik disebabkan dimensi gundukan yang terlalu kecil sehingga panas yang dihasilkan dari proses degradasi tidak tertahan dalam bahan dan ikut terbawa bersama udara. Selain itu, ukuran partikel yang terlalu kecil dan membentuk struktur yang rapat sehingga air tertahan dalam bahan yang menghambat pencampaian suhu termofilik. Perlakuan aerasi aktif pada minggu pertama menyebabkan temperatur sedikit terhembus oleh aliran udara, sehingga temperatur pengomposan sedikit lebih rendah dibandingkan temperatur yang dihasilkan pada perlakukan aerasi pasif. Berdasarkan pendapat Indrasti dan Elia (24), kondisi termofilik yang tidak tercapai pada pengomposan menunjukkan kelompok mikroorganisme termofillia tidak berkembang secara optimum. Kondisi termofilik pada proses pengomposan akan membantu mematikan mikroorganisme patogen. Kondisi temperatur yang tidak optimal menyebabkan mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak secara tidak wajar, sehingga proses pengomposan berlangsung secara lambat. Perbedaan komposisi pencampuran sludge sedikit berpengaruh terhadap perubahan temperatur. Abu ketel dengan pencampuran 4% sludge memiliki temperatur yang yang lebih tinggi dibandingkan komposisi lainnya. Hal ini disebabkan abu ketel dengan pencampuran 4% sludge mempunyai kandungan karbon organik sedikit lebih tinggi dari pada komposisi lainnya, sehingga aktivitas mikrooganisme dalam menghasilkan panas (kalor) lebih tinggi. 17

2. Derajat Keasaman (ph) Perubahan ph dalam pengomposan menunjukkan aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik. Derajat keasaman yang ideal adalah 6-8.5 (CPIS 1992). Nilai ph selama pengomposan diamati seminggu sekali selama sebulan. Perubahan nilai ph bahan uji coba kompos dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. ilai ph 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 Gambar 11. Perubahan ph pengomposan aerasi aktif % sludge 2% sludge 4% sludge ilai ph 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 Gambar 12. Perubahan ph pengomposan aerasi pasif % sludge 2% sludge 4% sludge Perubahan ph selama pengomposan cenderung sedikit berfluktuasi, pada minggu pertama nilai ph mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena terjadinya pembentukan asam. Penguraian bahan organik oleh mikroorganisme menghasilkan asam laktat dan asam organik lainnya. Menurut Noor et al. (25), ph kompos yang cenderung naik pada awal pengomposan menunjukkan telah terbentuknya asam-asam organik yang merupakan asam lemah. Pada minggu kedua sampai minggu kelima terjadi peningkatan ph mencapai 9.43 yang terjadi pada bahan abu ketel dengan campuran % sludge dengan perlakuan aerasi pasif. Peningkatan nilai ph selama pengomposan terjadi karena penguraian nitrogen oleh mikrooganisme menjadi NH 3, Kemudian, NH 3 berikatan dengan air membentuk NH 4 OH yang bersifat basa. Menurut Polpraset (1993), asam-asam organik sederhana yang terbentuk pada dekomposisi awal tadi dikonversi menjadi methana dan CO 2 oleh bakteri pembentuk methana. Noor et al. (25), menyatakan bahwa adanya peningkatan ph pada hari selanjutnya disebabkan oleh perubahan asam-asam organik menjadi CO 2 dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan kompos. Menurut CPIS (1992), nilai ph yang terlalu tinggi menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada kondisi ph yang terlalu rendah (asam) dapat menyebabkan mikroorganisme mati. Berdasarkan grafik, terlihat sedikit perbedaan antara perlakuan aerasi aktif dan pasif. Perlakuan aerasi aktif menghasilkan nilai ph yang lebih rendah daripada perlakuan aerasi pasif. Penambahan udara pada perlakuan aerasi aktif dapat menyebabkan terjadinya aktivitas mikroorganisme aerobik yang mengurai bahan organik menjadi asam laktat. Berdasarkan grafik 18

dapat diketahui, bahwa variasi pencampuran komposisi sludge dapat mempengaruhi nilai ph. Semakin banyak pencampuran sludge, maka nilai ph semakin menurun karena sludge mempunyai ph yang lebih rendah (ph=6.86) daripada abu ketel. Nilai ph selama pengomposan dapat dilihat pada Lampiran 4. 3. Kadar Air Kadar air merupakan salah satu parameter yang berpengaruh pada proses pengomposan. Kadar air yang umum digunakan pada pengomposan aerobik adalah 4-6% (Murbandono 1983). Kelebihan kandungan air dalam bahan akan menutupi rongga udara yang mengakibatkan aliran oksigen berkurang sehingga pertumbuhan mikroorganisme aerob menjadi terhambat. Terhambatnya udara dalam bahan pengomposan dapat menyebabkan proses anaerob yang terbentuk yaitu CH 4, CO 2, dan H 2 S. Bahan pengomposan yang terlalu kering dapat mengakibatkan proses pengomposan terganggu karena mikroorganisme membutuhkan air untuk proses metabolisme. Berdasarkan pengamatan, diperoleh grafik perubahan kadar air selama pengomposan seperti Gambar 13 dan 14. Kadar Air (%) 6 5 4 3 2 1 % Sludge 2% Sludge 4% Sludge 1 2 3 4 Gambar 13. Perubahan kadar air pengomposan aerasi aktif Kadar Air (%) 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 % Sludge 2% Sludge 4% Sludge Gambar 14. Perubahan kadar air pengomposan aerasi pasif Berdasarkan Gambar 14 dan 15, dapat diketahui bahwa kadar air pengomposan selama sebulan cenderung mengalami penurunan setiap minggunya. Penurunan kadar air disebabkan sebagian air teruapkan selama pengomposan. Kadar air selama pengomposan untuk perlakuan aerasi aktif dan pasif berkisar antara 41-47%. Nilai ini sudah memenuhi syarat pengomposan. Berdasarkan grafik, perlakuan aerasi aktif mempunyai kadar airnya sedikit tinggi dari pada aerasi pasif. Hal ini dikarenakan udara yang diberikan pada saat aerasi aktif mengandung air sehingga kadar airnya lebih tinggi. Berdasarkan grafik perlakuan aerasi pasif dan aktif, variasi pencampuran komposisi sludge dapat mempengaruhi nilai kadar air. Semakin banyak sludge yang ditambahkan, maka kadar airnya semakin rendah. Hal ini disebabkan sludge mempunyai kadar air yang lebih rendah daripada abu ketel. Nilai kadar air selama pengomposan dapat dilihat pada Lampiran 4. 19

4. ilai C/ Nilai C/N merupakan salah satu parameter utama yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan dan kualitas kompos. Nilai C/N diperngaruhi oleh nilai karbon organik dan nitrogen dalam bahan pengomposan. Pada proses pengomposan kandungan karbon organik akan berkurang karena terdekomposisi menjadi CO 2, H 2 O, dan panas, sedangkan nitrogen organik relatif tetap. Hal ini menyebabkan nilai C/N selama pengomposan turun. Menurut Dalzell et al., (1987), nilai C/N yang terlalu tinggi menyebabkan proses pengomposan memakan waktu yang lama karena perkembangan mikroorganisme menjadi lambat, sedangkan jika nilai C/N terlalu rendah maka nitrogen akan dibebaskan ke udara menjadi amoniak. Grafik perubahan nilai C/N setiap minggunya dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. ilai C/ 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 Gambar 15. Perubahan nilai C/N pengomposan aerasi aktif % Sludge 2% Sludge 4% Sludge ilai C/ 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 Gambar 16. Perubahan nilai C/N pengomposan aerasi pasif % Sludge 2% Sludge 4% Sludge Berdasarkan pengamatan, nilai karbon organik selama pengomposan mengalami penurunan, sedangkan nilai nitrogennya relatif konstan sehingga pengomposan dengan perlakuan aerasi aktif dan pasif menunjukkan nilai C/N yang kecenderungan menurun setiap minggunya. Akan tetapi, selama pengomposan penurunan nilai C/Nnya relatif rendah. Hal ini disebabkan bahan organik yang terkandung di dalam bahan pengomposan jumlahnya kecil, sehingga kemampuan mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik pun rendah. Selain itu, bahan baku yang digunakan pada penelitian ini merupakan baku yang sudah mengalami pengomposan secara alami karena sudah tertimbun lama selama 4-5 bulan sehingga nilai C/N yang didapat sudah rendah. Akan tetapi, bila 2

menggunakan limbah fresh akan didapat nilai C/N cukup tinggi. Data hasil analisis kadar karbon, nitrogen dan nilai C/N selama pengomposan seperti pada Lampiran 5. Berdasarkan Gambar 15 dan 16, perlakuan aerasi aktif dan pasif tidak mempengaruhi penurunan nilai C/N. Hal ini dapat disebabkan karena pencampuran udara yang diberikan pada aerasi aktif hanya berlangsung selama seminggu pertama pengomposan, sehingga tidak terlihat perbedaan antara perlakuan aerasi aktif dan pasif. Seharusnya, pengomposan dengan menggunakan aerasi aktif menghasilkan nilai C/N yang lebih rendah daripada perlakuan aerasi pasif. Hal ini disebabkan pada proses aerasi akan membantu mikroorganisme yang membutuhkan oksigen dalam mendekomposisi bahan organik, sehingga kecepatan dekomposisi bahan organik berlangsung lebih optimum pada perlakuan yang menggunakan bantuan aerasi (Indrasti dan Elia 24). Selain itu, berdasarkan grafik dapat diketahui semakin banyak sludge yang ditambahkan maka nilai C/N semakin rendah. Akan tetapi, walaupun bahan baku kompos menggunakan nilai C/N yang rendah tetap saja laju penurunan nilai C/Nnya rendah. Hal ini disebabkan karbon organik yang terkandung dalam bahan baku sedikit. Pada bahan abu ketel dengan campuran 4% sludge memiliki nilai C/N bahan baku yang paling rendah, hanya mengalami penurunan dari 35 hingga 28. Bahan baku abu dengan campuran 4% sludge mempunyai nilai C/N yang rendah bukan karena mempunyai kandungan organik yang banyak, tetapi disebabkan perbandingan antara nilai karbon dan nitrogennya rendah. Berdasarkan perhitungan statistik sidik ragam, dapat diketahui bahwa perlakuan aerasi dan interaksi antara komposisi bahan baku dengan perlakuan aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai C/N. Sedangkan terdapat pengaruh nyata antara perbedaan komposisi bahan baku terhadap nilai C/N dengan F-hitung sebesar 76.59 dan F-tabel sebesar 3.17 (perhitungan terdapat pada Lampiran 6). Perbedaan komposisi bahan baku berpengaruh nyata terhadap nilai C/N, maka dilakukan uji Duncan (uji lanjut terdapat pada Lampiran 7). Berdasarkan hasil uji Duncan, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara bahan baku abu ketel dengan pencampuran % sludge dengan 4% sludge, % sludge dengan 2% sludge, dan 2% sludge dengan 4% sludge. 5. Kualitas Kompos Kompos yang dihasilkan dari berbagai komposisi sludge dengan perlakuan aerasi menghasilkan kualitas kompos yang berbeda. Kualitas kompos yang diamati meliputi, penampakan fisik, nilai C/N, ph, kandungan fosfor, dan kandungan kalium. a. Penampakan Fisik Kompos Kompos yang dihasilkan setelah satu bulan pengomposan dari segi penampakan maupun tekstur tidak berbeda dari bahan baku kompos. Selain itu, tidak ada perbedaan penampakan dan tekstur kompos antara perlakuan aerasi aktif dan pasif. Warna kompos yang dihasilkan hitam kecoklatan, warna cokelat disebabkan pencampuran sludge, sedangkan kompos yang dihasilkan tanpa pencampuran sludge berwarna hitam yang berasal dari warna abu ketel. Bau kompos yang dihasilkan belum tercium bau tanah, berdasarkan SNI 19-73-24 salah satu ciri kompos yang sudah matang tercium bau tanah. Hal ini membuktikan bahwa kompos yang dihasilkan belum matang. Karakteristik fisik kompos dapat dilihat pada Tabel 7. 21

Tabel 7. Karakteristik fisik kompos Perlakuan Komposisi Aerasi Aktif Pasif Sludge Warna Kompos Bau Kompos SNI % 2 % 4% Hitam Hitam agak kecoklatan Hitam kecoklatan Tidak Berbau Tidak Berbau Tidak Berbau Warna : kehitaman % Hitam Tidak Berbau Bau : 2% Hitam agak kecoklatan Tidak Berbau Bau tanah 4% Hitam kecoklatan Tidak Berbau b. ilai C/ Kompos yang dihasilkan selama sebulan dengan berbagai komposisi sludge belum menghasilkan nilai C/N yang sesuai dengan standar mutu kompos. Nilai C/N kompos yang dihasilkan seperti pada Gambar 17. Gambar 17. Nilai C/N mutu kompos Kompos yang dihasilkan dari perlakuan aerasi aktif dan pasif memiliki nilai C/N terendah pada pencampuran 4% sludge, yaitu sekitar 27-28. Sedangkan kompos berdasarkan SNI 19-73-24, nilai C/N berkisar sebesar 1 hingga 2. Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa, kompos yang dihasilkan dari campuran % sludge, 2% sludge, dan 4% sludge belum memasuki Standar Nasional Indoesia (SNI) kompos. Hal ini disebabkan proses penguraian karbon organik berjalan dengan lambat sehingga memerlukan waktu pengomposan yang lama. c. Derajat Keasaman (ph) Kompos yang dihasilkan dari pengomposan selama sebulan dengan menggunakan perlakuan aerasi (aktif/pasif) dan pencampuran berbagai komposisi sludge menghasilkann nilai ph seperti pada Gambar 18. 22

Gambar 18. Nilai ph mutu kompos Berdasarkan grafik nilai ph kompos akhir yang dihasilkan dari campuran % sludge, 2% sludge, dan 4% sludge berkisar antara 8-9. Nilai ph kompos masih tinggi di atas standar kompos SNI 19-73-24, yaitu minimum sebesar 6.8 hingga 7.47. Hal ini dapat disebabkan kurangnya penambahan aerasi selama pengomposan, sehingga ph kompos masih bersifat basa. d. Kandungan Kalium (K 2 O) Ketersediaan kalium dalam bentuk K 2 O merupakan salah satu parameter kualitas kompos. Unsur kalium telah ada di batuan mineral bumi, tetapi senyawa tersebut di dalam bahan baku kompos masih terikat dalam bentuk senyawa mineral. Kalium dalam tanaman berperan dalam mempengaruhi penyerapan zat hara oleh akar tanaman dalam tanah, meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit serta perkembangan akar. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan selama sebulan dengan menggunakan perlakuan aerasi (aktif/pasif) dan pencampuran komposisi sludge menghasilkan kadar kalium (K 2 O) seperti pada Gambar 19. Gambar 19. Kadar kalium mutu kompos Sesuai dengan SNI 19-73-24, kompos yang dihasilkan dari campuran % sludge, 2% sludge dan 4% sludge sudah memasuki standar minimum kadar kalium (K 2 2O) pada kompos yaitu.2%. Berdasarkan perhitungan statistik sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (λ =.5), 23

dapat diketahui bahwa perlakuan aerasi dan interaksi antara komposisi bahan baku dengan perlakuan aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kalium (K 2 O). Terdapat pengaruh nyata antara perbedaan komposisi bahan baku terhadap kadar kalium (K 2 O) dengan F-hitung sebesar 16.93 dan F- tabel sebesar 5.14 (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 8). Perbedaan komposisi bahan baku berpengaruh nyata terhadap kadar kalium (K 2 O), maka dilakukan uji Duncan (uji lanjut). Berdasarkan hasil uji Duncan, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara bahan baku abu ketel dengan pencampuran % sludge dengan 4% sludge dan pencampuran 2% sludge dengan 4% sludge (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9). Secara teoritis, semakin banyak sludge yang ditambahkan maka kadar kalium yang terkandung di dalam kompos semakin banyak karena sludge mempunyai kadar kalium yang lebih tinggi daripada abu ketel. Berdasarkan grafik, kompos dengan pencampuran 4% sludge memiliki kadar kalium yang sedikit lebih rendah dari pada kompos dengan pencampuran % sludge dan 2% sludge. Hal ini dapat disebabkan selama pengomposan kadar kalium yang terkandung pada kompos dengan campuran 4% sludge banyak yang terlarut dalam air yang berasal dari hasil dekomposisi dan turun secara gravitasi ke dasar reaktor.. e. Kandungan Fosfor (P 2 O 5 ) Kandungan N, P, dan K merupakan unsur hara yang utama bagi pertumbuhan tanaman. Unsur P diserap oleh tanaman dalam bentuk orthophospat primer yaitu H 2 PO 4 dan HPO 2-4. Penyerapan kedua unsur jenis di atas dipengaruhi oleh ph. Nilai ph yang optimal agar tanaman dapat mudah menyerap unsur P adalah 5. - 7.2. Dekomposisi mineral fosfat dipengaruhi oleh derajat keasaman. Pada kondisi netral atau sedikit basa, mikroorganisme mampu mengubah fosfat menjadi senyawa fosfor yang mudah diserap tanaman. Sebaliknya pada kondisi asam, ion fosfat sulit dilarutkan menjadi bentuk yang tersedia oleh tanaman (Rao 1994). Fosfor dalam tanaman berperan dalam pembentukan bunga, buah, dan biji serta mempercepat pematanga buah. Kandungan unsur P semakin tinggi dengan adanya pelapukan bahan organik yang dikomposkan. Menurut Soepardi (1983), kandungan P yang semakin tinggi karena adanya pelapukan bahan organik yang dikomposkan. Pada tahap pematangan, mikroorganisme akan mati dan kandungan fosfor di dalam mikroorganisme akan bercampur dalam bahan kompos yang secara langsung akan meningkatkan kandungan fosfor dalam kompos. Kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan selama sebulan dengan menggunakan perlakuan aerasi (aktif/pasif) dan pencampuran berbagai komposisi sludge menghasilkan kadar fosfat seperti pada Gambar 2. Gambar 2. Kadar fosfor mutu kompos 24

Sesuai dengan SNI 19-73-24, kompos yang dihasilkan dari campuran % sludge, 2% sludge dan 4% sludge sudah memasuki standar minimum kadar fosfat (P 2 O 5 ) pada kompos yaitu.1%. Berbeda dengan kalium, fosfat bukan tergolong dalam senyawa alkali sehingga tidak mudah larut di dalam air, maka kadar fosfat yang dihasilkan tidak berbeda jauh antara kompos dengan pencampuran % sludge, 2% sludge, dan 4% sludge. Berdasarkan perhitungan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (λ =.5), dapat diketahui bahwa perlakuan aerasi, perlakuan komposisi, dan interaksi antara komposisi bahan baku dengan perlakuan aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar fosfat (P 2 O 5 ). Hal ini disebabkan senyawa fosfor sulit didegradasi selama pengomposan sehingga hasil sebelum dan sesudah pengomposan kandunganya tetap. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1. 25