TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Syarat Tumbuh Sukun Tanaman Sukun merupakan tanaman yang memiliki kemampuan bertahan hidup dari kondisi cekaman lingkungan yang tinggi. Klasifikasi Sukun (Artocarpus communis) menurut Triwiyatno (2003) adalah: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae (tumbuh-tumbuhan) : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) : Angiospermae (berbiji tertutup) : Dicotyledonae (biji berkeping dua) : Urticales : Moraceae : Artocarpus : Artocarpus communis Tanaman sukun dapat tumbuh dan dibudidayakan pada berbagai jenis tanah mulai dari tepi pantai sampai pada lahan dengan ketinggian kurang lebih 600 m dari permukaan laut. Sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang tinggi antara 80-100 inchi per pertahun dengan kelembaban 60-80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak mendapat penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh baik di tempat yang lembab panas, dengan temperatur antara 15-38 C (Irwanto, 2006). Produktivitas pohon sukun cukup tinggi. Dalam satu tahun akan diperoleh buah sukun sebanyak 400 buah pada umur 5 sampai 6 tahun, dan 700-800 buah per tahun pada umur 8 tahun. Produksi sukun di Indonesia terus meningkat dari 35.435 ton (tahun 2000) menjadi 92.014 ton (tahun 2007) dengan luas panen
13.359 ha. Sentra produksi sukun adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Jambi (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007). Peranan Mulsa Terhadap Pertumbuhan Tanaman Pemberian mulsa organik secara nyata juga mempengaruhi peningkatan jumlah daun, luas daun, bobot segar dan bobot kering tajuk, bobot segar dan bobot kering akar. Peningkatan komponen pertumbuhan akan diikuti oleh peningkatan indeks luas daun dan laju pertumbuhan tanaman. Pada panjang akar, penggunaan mulsa ternyata tidak mempengaruhi peningkatannya, serta tidak mempengaruhi peningkatan laju asimilasi bersih maupun indeks panen. Indeks luas daun (ILD) merupakan gambaran tentang rasio permukaan daun terhadap luas tanah yang ditempati oleh tanaman. ILD ini juga menggambarkan kemampuan tanaman menyerap radiasi matahari untuk proses fotosintesis. Semakin tinggi ILD menunjukkan semakin efisien penyerapan cahaya matahari, meningkatkan laju fotosintesis serta hasil asimilatnya (Sunghening dkk, 2008). Salah satu pendekatan untuk mengatasi kehilangan air akibat evaporasi adalah dengan cara pemberian mulsa. Mulsa merupakan material penutup tanah tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan optimal. Penggunaan mulsa jerami padi dapat mengendalikan evaporasi sehingga tanaman tidak mengalami cekaman air (Hamdani, 2009). Pemberian mulsa organik 6 ton/ha-1 dapat meningkatkan lengas tanah 12,02% dan suhu tanah 2,21% o C lebih tinggi daripada tanah tanpa mulsa. Mulsa organik meningkatkan KPK sebesar 4,18 me. 100 g-1, C organik tanah (0,12%),
bahan organik tanah (0,29%), N total (0,12%), K tersedia (0,64 me 100 g-1), nisbah C/N tanah (0,25) lebih tinggi daripada tanpa mulsa, tetapi tidak menunjukkan perbedaan terhadap P tersedia dan ph (H2O) tanah (Puji dkk, 2009) Menurut Pratiwi (2005) penggunaan mulsa organik yaitu berupa sisa pemanenan hasil hutan seperti cabang, ranting, gulma dan daun-daun telah digunakan untuk konservasi tanah dan air melalui penerapan teknik mulsa vertikal. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan mulsa tersebut kedalam saluran atau alur sesuai kontur dan sebaiknya dikombinasikan dengan pembuatan guludan. Penempatan mulsa vertikal dapat dilakukan pada lahan yang baru dibuka maupun di hutan tanaman yang telah membentuk tajuk. Penggunaan mulsa vertikal telah mampu mengurangi laju aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara. Penggunaan mulsa organik memberikan hasil yang baik karena selain mensuplai kebutuhan P bagi tanaman, juga dapat mensuplai hara lainnya. Disamping dapat mernpertahankan kelembaban tanah sehingga kebutuhan air bagi tanaman dapat tersedia dibanding tanpa mulsa (Raihan et al.,2001). Terjadinya dekomposisi dari bahan mulsa organik sehingga mensuplai unsur hara bagi tanaman dan kondisi lingkungan serta mempermudah mineral dari bahan organik untuk digunakan oleh tanaman (Kumalasari et al., 2005). Penggunaan mulsa organik berupa daun-daun telah digunakan oleh masyarakat di pulau Bangka pada tanaman lada. Daun-daun serta ranting dikumpulkan dari hutan dan diletakkan diantara tanaman lada dengan ketebalan daun 30-50 cm. Produksi lada meningkat setelah diberi mulsa daun, karena tidak
terdapat gulma dan menambah kesuburan setelah daun menjadi hancur (Effendi, 2010). Mulsa daun kering yang diletakkan disekitar tanaman akan berfungsi minimal tiga hal yaitu (a) menekan gulma sehingga tanaman pokok tidak bersaing dengan gulma (b) mulsa daun kering yang hancur / terdekomposisi akan hancur dan menjadi unsur hara yang langsung dapat dimanfaatkan oleh akar untuk pertumbuhan dan (c) adanya cacing disekitar tanah dibawah tanaman akan memperbaiki aerasi karena cacing membuat lobang didalam tanah (Hartono, 2012). Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik. Mulsa dibedakan menjadi dua macam dilihat dari bahan asalnya, yaitu mulsa organik dan mulsa anorganik. Mulsa anorganik berasal dari bahan-bahan sintesis yang sukar atau tidak dapat terurai. Contoh mulsa yang tergolong anorganik adalah mulsa plastik bening, mulsa plastik hitam, perak dan mulsa plastik hitam. Mulsa organik berasal dari bahan-bahan alami yang mudah terurai seperti sisa-sisa tanaman, jerami dan alang-alang (Umboh, 2002). Pemberian mulsa organik pada tanah akan pengaruh yang baik bagi perbaikan sifat fisik tanah, meningkatkan penyerapan air tanah, mengurangi kisaran suhu dan dapat mengurangi kisaran suhu tanah dan dapat mengendalikan pertumbuhan gulma, mempertinggi kadar humus tanah dan memperbaiki aerasi dan drainase tanah sehingga akar dapat berkembang dengan baik dan pertumbuhan tanaman akan lebih subur (Rukmana 2005).
Syaifuddin dan Pranowo, (2007) menyatakan bahwa, perlakuan tanpa mulsa menyebabkan perubahan kandungan air tanah cukup besar, sehingga terjadi defisit air yang menghambat pertumbuhan tinggi tanaman. cekaman air akan menyebabkan suhu daun meningkat, stomata menutup, dan fotosintesis menurun, sebagai akibatnya respirasi meningkat yang dapat mengurangi hasil asimilasi netto. Peranan Air dalam Pertumbuhan Tanaman Ketersediaan air yang cukup pada media tanam akan menjamin kelangsungan pertumbuhan, perkembangan, dan hasil tanaman. Salah satu faktor penentu ketersediaan air tanah adalah penyiraman, baik jumlah maupun frekuensi penyiraman. Interval penyiraman yang semakin panjang akan menurunkan ketersediaan air dalam tanah dan mengakibatkan tanaman berada pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Setiawan etal (2013) menunjukkan bahwa penyiraman dengan interval 9 hari sekali menurunkan kadar lengas tanah sekitar 51,2% dibandingkan penyiraman setiap hari dan penyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan. Penyiraman 12 hari menghasilkan berat kering yang lebih rendah daripada penyiraman 2 hari sekali, namun demikian tidak memengaruhi pembagian asimilat ke bagian tanaman. Terbentuknya asimilat yang lebihrendah pada penyiraman 12 hari sekali disebabkan padakondisi kering diduga terjadi penurunan penyerapanair per unit massa akar dan mungkin juga serapanhara berkurang (Sakya dkk, 2015). Ketersediaan air di dalam tanah merupakan salah satu faktor lingkungan abiotik yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Setelah 120 hari ditanam pada tanah jenuh air tanpa penyiraman di dalam rumah kaca fiber, semua varietas/nomor yang diuji terlihat mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan gugurnya sebagian daun tua. Rendahnya intensitas mata hari di dalam rumah kaca disebabkan oleh kondisi atap fiber glass yang digunakan sudah relatif lama dan hanya mampu meneruskan cahaya matahari sebesar 1.000 lux, sehingga menyebabkan laju evaporasi dan transpirasi menjadi relatif rendah dan lambat. Lambatnya evapotranspirasi tanah menyebabkan tanaman nilam mampu mencari air dengan memperpanjang akarnya ke tanah bagian bawah pot yang lebih lembap. Hal tersebut sama halnya dengan ubi jalar yang mampu memperpanjang akarnya ke dasar tanah sampai 2 m untuk mencari air pada saat terjadi kekeringan (Onwueme, 1978 dalam Djazuli 2010). Tanaman pada kondisi cekaman kekeringan akan lebih banyak menggunakan unsur hara untuk proses pertumbuhan terutama pemanjangan akar. Tanaman padi hitam dengan tinggi tanaman yang lebih tinggi akan mempunyai indeks luas daun lebih besar, sehingga lebih mampu menangkap dan memanfaatkan cahaya matahari untuk fotosintesis. Fotosintesis akan berjalan baik, hasil fotosintesis meningkat dan menghasilkan lebih banyak berat kering. Penurunan net fotosintesis melalui penurunan luas daun, penggulungan daun, dan kerusakan daun. Hambatan umpan balik transport fotosintat ke organ sink seperti ovari dan polen menyebabkan kesuburannya menjadi menurun atau melalui pertumbuhan tajuk yang lebih terhambat sedangkan peningkatan biomasa akar lebih besar sehingga rasio tajuk akar menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi cekaman kekeringan menurunkan daya hasil melalui penurunan net fotosintesis serta reduksi source dan sink, dimana produksi asimilat lebih banyak
digunakan untuk pertumbuhan akar atau memproduksi osmotic adjustment termasuk antosianin (Samyuni dkk. 2015). Mekanisme Adaptasi terhadap Cekaman Kekeringan Akar adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tanaman dan mempunyai fungsi yang sama pentingnya dengan bagian atas tanaman, potensi pertumbuhan akar perlu dicapai sepenuhnya untuk mendapatkan potensi pertumbuhan bagian atas tanaman, ini berarti bahwa semakin banyak akar semakin tinggi hasil tanaman, konsep keseimbangan morfologi merupakan yang paling sering digunakan sebagaimana yang dilakukan dalam hubungan allometrik. Konsep ini yang mempunyai pengertian bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman diikuti dengan pertumbuhan bagian lain. Hubungan akar dengan tajuk mula-mula lebih banyak ditekankan dari segi morfogenetik seperti dalam pandangan semakin banyak akar semakin baik hasil tanaman. Tetapi tanaman yang tumbuh dalam keadaan kurang air akan membentuk akar yang lebih banyak dengan hasil yang lebih rendah dari tanaman yang tumbuh dalam cukup air (Guritno dan Sitompul, 1995). Tanaman tanaman dengan keadaan stress seringkali mengalokasikan sebagian besar hasi fotosintesisnya ke organ-organ penyimpanan yang sering terdapat didalam tanah. Disamping adaptasi morfologis ini, spesies tanaman juga berbeda- beda kemampuan akarnya untuk mengekstraksi air dari tanah. Namun dengan bertambahnya kehilangan air dari daun dan karena akumulasi larutan di daun dan di xylem akar, beberapa spesies yang tumbuh di iklim yang lebih kering dapat mengabsorpsi lebih banyak air dari tanah, hingga memberikan titik layu permanen sebesar -20 sampai -30 bar. Pada kondisi yang lebih kering tanaman
tahunan berkayu cenderung mempunyai daun bila suplai ainya cukup untuk transpirasi. Pada permulaan kekeringan yang panjang, kehilangan air berkurang secara dramatis dengan absisi daun (Fitter dan Hay, 1991). Bila suatu tanah tidak lagi mengandung air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan suatu tanaman, sehingga tanaman yang tumbuh disitu mulai layu, maka kita akan katakan, bahwa tanah itu sudah sampai pada persenan layu atau pada titik layunya. Persenan ini disebut juga koefisien-layu. Sudah tentu titik layu itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis tanah. Titik layu juga berlainan sesuai dengan jenis tanaman. Tanah yang sudah terlalu kering untuk suatu higrofit misalnya, tanah itu masih cukup bagi suatu serofit. Kalau sepanjang hari penguapan terus menerus lebih hebat daripada peresapan air oleh akar, maka tanaman tersebut ada di dalam keadaan layu sepanjang hari. Jika pada malam hari pemasukan air lebih banyak dari pengeluaran, maka pulihlah turgor dan tanaman tampak segar lagi (Dwijoseputro,2009). Pada potensial air tanah dan tanaman yang tinggi tanaman tersebut mempertahankan stomatanya terbuka untuk sebagian besar waktu dalam sehari, walaupun pembukaan stomata kadang- kadang dapat berkurang oleh faktor- faktor lain daripada potensial air (misalnya oleh kekurangan kejenuhan uap air udara). Bila potensial air tanah menurun tanaman tersebut menutup stomatanya selama periode- periode yang meningkat dalam sehari, biasanya pada akhir pagi hari dan setelah tengah hari ketika suhu udara dan suhu daun dan beban penyinaran semuanya tinggi. Dibawa kecekaman tanaman tersebut sering kali mengurangi beban penyinaran dengan menggerakkan daun- daunnya secara paraheliotropik atau vertikal, dengan peruntuhan daun yang lebih tua dengan membentuk daun-
daun yang lebih kecil dibawah cekaman daripada yang terbentuk dibawah kondisi cukup air (Goldsworthy dan Fisher, 1992). Kondisi Rumah Kaca Pada rumah kaca, bukan hal yang tidak mungkin terjadi perubahan temperatur dan kelembaban yang sangat drastis. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal, terutama oleh kondisi lingkungan di rumah kaca. Misalnya cuaca yang panas, jika terjadi dalam waktu yang relatif lama, maka hal ini akan mempengaruhi kondisi di dalam rumah kaca tersebut. Hal serupa juga bisa terjadi dengan kelembaban relatif, jika terjadi perubahan yang ekstrem, maka tanaman tertentu akan terganggu pertumbuhannya. Untuk itu kestabilan temperatur dan kelembaban dalam rumah kaca perlu dijaga agar tanaman yang ditanam dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Dalam upaya untuk menjaga kestabilan temperatur dan kelembaban dalam rumah kaca, dapat dibuat suatu alat yang akan mengendalikan temperatur dan kelembaban secara otomatis. Dengan adanya otomatisasi ini, tentu saja hal ini akan membantu pekerjaan manusia (Kristanto, 2005). Cekaman kekeringan akan menurunkan pertumbuhan dan fotosintesis. Penurunan fotosintesis pada kondisi kekeringan disebabkan oleh penutupan stomata dan pengaruh metabolis. Defisit air akan menurunkan konsentrasi CO 2 seluler, sedangkan dehidrasi pada sel mesofil daun dapat menyebabkan kerusakan organ fotosintesis. Berbeda hal nya dengan tanaman yang toleran, umumnya mampu menghadapi cekaman air dengan mengurangi fungsi metabolis yang dilanjutkan berfungsi kembali setelah terjadi peningkatan potensial airnya pada sel (Sopandie, 2014).