II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

PENDAHULUAN Latar Belakang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

STRATEGI UMUM DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

Peran Pemerintah dalam Perlindungan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR

Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Skala peta = 1: Jangka waktu perencanaan = 20 tahun

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

FUNGSI TANAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM TANAH NASIONAL (ASPEK PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

PENDAHULUAN Latar belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

SUMBANGAN PIHAK KETIGA PERDA KABUPATEN KONAWE SELATAN NO. 2 TAHUN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN Latar Belakang

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

TINJAUAN PUSTAKA. tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KABUPATEN TEMANGGUNG

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BERKAITAN DENGAN RENCANA PEROLEHAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO. Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

Pengendalian pemanfaatan ruang

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

II PENATAAN TAMAN KOTA DALAM KONTEKS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KUPANG

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

BAB I P E N D A H U L U A N Latar Belakang RTRW Kabupaten Serdang Bedagai

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2009), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Suatu wilayah yang luas dapat mempunyai beberapa inti dengan hirarki (orde) tertentu. Sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih rendah. Secara teoritis, hirarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas-kapasitas perekonomiannya (Rustiadi et al., 2009). Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari jumlah sarana pelayanan, jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta kualitas sarana pelayanan. Semakin banyak jumlah dan jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktivitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang berarti juga menunjukkan hirarki pusat yang tinggi (Rustiadi et al., 2009). Banyaknya jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pusat-pusat yang berhirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah di samping juga melayani hinterland di sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat

5 dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah sedangkan kegiatan-kegiatan yang semakin kompleks dilayani oleh wilayah yang berhirarki tinggi. 2. 2 Kota Kota adalah tempat dengan konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya (Pontoh dan Kustiawan, 2009). Kota sebagai pusat pelayanan selalu berinteraksi dengan wilayah sekitarnya. Dalam konteks hubungan antara kota sebagai pusat pelayanan dan wilayah sekitarnya sebagai hinterland maka terdapat empat kemungkinan sifat interaksi (Sadyohutomo, 2008). Sifat hubungan yang pertama adalah hubungan saling menguntungkan. Kota berfungsi sebagai pasar dan rantai produk perdagangan dari pedesaan. Hal ini berdampak positif bagi penduduk sekitar kota dalam memperoleh pekerjaan. Migrasi penduduk desa bagi kota juga memberi manfaat, yaitu penduduk desa ikut andil dalam menggerakan perekonomian kota. Selain memberikan dampak positif (lapangan kerja dan pendapatan), pembangunan di kota juga dapat merugikan ekonomi wilayah sekitar. Hal ini menunjukkan sifat hubungan yang kedua yaitu hubungan yang merugikan desa. Kondisi ini ditimbulkan akibat adanya ketimpangan dalam sistem ekonomi desakota, yaitu nilai tukar yang tidak seimbang antara produk pedesaan dengan produk perkotaan, surplus dari wilayah pedesaan banyak diserap ke kota, dan alokasi dana pembangunan yang tidak seimbang antara desa dan kota. Sifat hubungan desa-kota yang ketiga yaitu hubungan tidak menguntungkan untuk pemerintah kota, tetapi menguntungkan desa. Pertumbuhan penduduk kota dikarenakan pertumbuhan penduduk alami (kelahiran dikurangi kematian) dan ditambah adanya migrasi penduduk desa-kota. Migrasi masuk kota mengakibatkan beban kota meningkat dalam hal penyediaan prasarana dan utilitas penduduk kota. Sementara itu, penduduk migrant tidak banyak menyumbangkan pendapatan bagi pemerintah kota, karena sebagian besar mereka bekerja di sektor informal yang luput dari pajak. Hal ini menimbulkan masalah perkotaan, antara lain munculnya pemukiman kumuh, pendudukan liar, beban prasarana kota yang melebihi kapasitas, dan kemacetan lalu lintas.

6 Sifat hubungan yang keempat yaitu interaksi yang saling merugikan kedua belah pihak. Misalnya migrasi para petani muda ke kota karena tertarik gaya hidup kota, tetapi tidak mempunyai keahlian di sektor perkotaan. Di kota merek menjadi pengangguran atau pelaku tindak kriminal. Akibatnya desa kehilangan tenaga produktif, sedangkan kota menanggung beban sosial pengangguran. 2. 3 Lahan dan Penggunaan Lahan Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibatakibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep ini. Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil dan spiritual (Arsyad, 2006). Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan menjadi 10 jenis, yaitu : (1) lahan pemukiman; (2) lahan industri dan perdagangan; (3) lahan bercocok tanam; (4) lahan peternakan dan penggembalaan; (5) lahan hutan ; (6) lahan mineral atau pertambangan; (7) lahan rekreasi; (8) lahan pelayanan jasa; (9) lahan transportasi; dan (10) lahan tempat pembuangan. Menurut Arsyad (2006) penggunaan lahan dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan seperti penggunaan lahan tegalan, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, sawah, hutan lindung, hutan produksi, padang alang-alang, dan lain sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian dibagi berdasarkan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan pertambangan. Hampir setiap aktivitas manusia melibatkan penggunaan lahan dan karena jumlah aktivitas manusia bertambah dengan cepat, maka lahan menjadi sumber yang langka. Keputusan untuk mengubah pola penggunaan lahan mungkin memberikan keuntungan atau kerugian yang besar, baik ditinjau dari pengertian

7 ekonomis, maupun terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, membuat keputusan tentang penggunaan lahan merupakan aktivitas politik, dan sangat dipengaruhi keadaan sosial dan ekonomi (Sitorus, 2004). 2. 4 Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. (Wahyunto et al., 2001), dalam Wirustyastuko D (2010). Perubahan penggunaan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan pada titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam periode waktu tertentu dapat dibangun model perubahan penggunaan lahan yang mampu memprediksi penggunaan lahan yang akan terjadi (Munibah, et al., 2006). Hal ini telah dilakukan oleh Munibah (2008) dengan membangun model perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan Cellular Automata (CA). Model ini menghasilkan peta prediksi penggunaan lahan di tahun 2018 dan 2030. Kemudian dilanjutkan dengan melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian dan luas lahan pemukiman, baik berdasarkan peta penggunaan lahan aktual (2006) maupun prediksi (2018 dan 2030). Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible (tidak dapat diubah). Contohnya, lahan sawah yang dikonversikan menjadi pemukiman atau berbagai aktivitas urban sangat mempunyai kemungkinan yang kecil untuk dikembalikan lagi menjadi lahan sawah. Perubahan penggunaan lahan yang paling intensif adalah lahan sawah dan hutan yang dikonversi menjadi pemukiman sebagai akibat dari pertambahan penduduk (Bappeda Kota Bogor, 2006). Secara umum, struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (a) Struktur permintaan atau kebutuhan lahan; (b) Struktur penawaran atau ketersediaan lahan; (c) Struktur penguasaan

8 teknologi yang berdampak pada produktifitas sumberdaya alam (Saefulhakim, 1999). Menurut Kaiser dan Weiss, dalam Pontoh dan Sudrajat (2005) secara konsepsional proses perubahan penggunaan lahan di pinggir kota dipengaruhi oleh : (1) Urban Interest, yaitu meningkatnya kebutuhan lahan kota, sehingga kawasan pinggir kota menjadi potensial dan guna lahan yang ada mulai bergeser; (2) Posisi strategis dan dinamika kota menjadi bahan pertimbangan bagi pengusaha untuk membeli dan mengembangkan lahan di perkotaan; (3) Mulai diprogram untuk pembangunan, dibangun dan dihuni oleh penduduk. 2. 5 Tata Ruang, Penataan Ruang, dan Pengendalian Ruang Menurut UU No. 26 Tahun 2007, tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 pasal 3 dikemukakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang

9 tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda. Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, atau pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, antara lain berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi atau penalti. Pengenaan sanksi merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam undang-undang ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. 2. 6 Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dilakukan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang sudah sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Bentuk realisasi dari RTRW adalah pemanfaatan ruang yang terjadi di suatu wilayah. Kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari RTRW. Dirjen Penataan Ruang (2003) menyatakan, bahwa inkonsistensi tata ruang dapat disebabkan oleh permasalahan lain, yaitu : 1. Adanya ketidakseragaman standar peta (skala, legenda, notasi, sumber) yang dapat menyebabkan kesulitan dalam pemberian perizinan dan evaluasi pemanfaatan ruang.

10 2. Lemahnya fungsi otoritas, perangkat yang kurang memadai, dan sistem kelembagaan yang memiliki wewenang dalam pengawasan dan pengendalian pembangunan. 3. Belum efektifnya pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan ruang. Hal ini disebabkan antara lain karena belum adanya petunjuk teknis, operasional, dan peran serta masyarakat dalam penataan ruang sebagai penjabaran dari PP No. 69/1996. 2.7 Tinjauan Studi-studi Terdahulu Anjani (2010) dalam penelitiannya mengenai dinamika penggunaan lahan dan penataan ruang di Kabupaten Bekasi mengemukakan bahwa pola konversi terbesar terjadi pada peningkatan lahan terbangun (8790,24 ha) dan penurunan TPLK (5457,9 ha). Dalam rencana tata ruang Kabupaten Bekasi banyak terjadi perubahan yang dilatarbelakangi oleh adanya pemekaran wilayah. Penyimpangan penggunaan lahan Kabupaten Bekasi terhadap alokasi ruang pada kurun waktu 1995-2000 terjadi pada kawasan pemukiman sebesar 13056,97 ha dan umumnya terletak di bagian Utara Kabupaten Bekasi. Penyimpangan penggunaan lahan pada kurun waktu 2006-2009 bervariasi hampir di seluruh bagian Kabupaten Bekasi. Hasil penelitian dari Ruswandi et al. (2007) mendeskripsikan bahwa selama kurun waktu 10 tahun (1992-2002) telah terjadi konversi lahan pertanian di Kabupaten Bandung Utara yang memiliki pola konsentris. Dalam hal ini konversi terjadi mulai dari pusat kota kecamatan (sentral), kemudian bergerak ke arah luar menjauh dari pusat kota. Mulyani (2010) melakukan penelitian di lokasi yang sama mengenai penggunaan lahan dan pola perubahan penggunaan lahan pada tahun 1998-2008. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan telah terjadi peningkatan jenis penggunaan lahan terbangun sebesar 264 ha per tahun. Hal ini mengindikasikan adanya penambahan pembangunan baik berupa fasilitas-fasilitas umum maupun pemukiman penduduk. Hasil penelitian dari Putri (2009) mengenai perubahan penggunaan lahan pada tahun 1997 dan tahun 2007 di Kabupaten Tangerang, menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan didominasi oleh konversi lahan pertanian (TPLB dan TPLK) menjadi lahan terbangun. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten

11 Tangerang menunjukkan adanya pola konsentris yang dipengaruhi oleh jarak terhadap pusat kegiatan, yaitu DKI Jakarta dan Kota Tangerang. Selain jarak terhadap pusat kegiatan, jaringan jalan diduga juga mempengaruhi pola perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tanggerang. Hal ini terlihat pada pola memanjang perubahan penggunaan lahan dari arah Timur ke Barat di bagian tengah Kabupaten Tangerang yang dilalui jalan Tol Nasional Jakarta-Merak.