BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

Transkripsi

1 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 (UU No.8/2012) tentang Pangan sebagai dasar perlindungan pangan bagi warga negaranya. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional. Kebijakan pangan merupakan kebijakan yang strategis mengingat bahwa pangan merupakan kebutuhan primer manusia. Kebijakan peningkatan produksi pangan memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi karena pangan memiliki dukungan pembangunan ekonomi dari kontribusi produksi, kontribusi pasar dan kontribusi faktor produksi serta kontribusi devisa (Habbakkuk, 1970:10). Prioritas pembangunan pertanian di Indonesia penting karena sebagai negara yang beriklim tropis dan sebagian besar penduduk yang masih banyak

2 2 tinggal di pedesaan, penguatan pembangunan pangan dapat mendorong peningkatan pendapatan masyarakat selain di sektor industri. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar tentunya harus menyiapkan kebutuhan pangan bagi warga negaranya agar mampu mandiri dan berdaulat secara pangan. Penyiapan pangan tentunya membutuhkan dukungan lahan yang digunakan untuk tanaman pertanian. Besarnya luas wilayah Indonesia serta beragam ketersediaan tanah sebagai sumber daya hayati seharusnya dapat dikelola untuk pemenuhan pangan warga negaranya. Kebijaksanaan penggunaan tanah di Indonesia sumber utamanya adalah Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya Pasal 33 yang intinya yakni negara menguasai dan memelihara tanah untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia melalui: 1. Pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah 2. Mengatur perbuatan hukum orang terhadap tanah 3. Perencanaan persediaan peruntukkan dan penggunaan tanah untuk kepentingan umum. Tanah sebagai suatu kekayaan yang dikuasai oleh negara dan diperuntukkan sebagai kesejahteraan rakyatnya harus dikelola dengan baik untuk

3 3 memenuhi kebutuhan rakyatnya. Belum lama ini pemerintah memiliki target pengelolaan pertanahan dalam rangka peningkatan produksi pangan. Target yang ingin dicapai antaralain adalah terpenuhinya kembali swasembada pangan di Indonesia. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk di Indonesia maka akan meningkat juga kebutuhan pangan dan kebutuhan tempat tinggal maka akan semakin banyak tanah yang dipergunakan untuk kegiatan tersebut. Ide pemerintah pusat menggerakan program ketahanan pangan dengan meciptakan keunggulan komparatif melalui harmonisasi penataan pertanahan mendorong pemerintah daerah untuk dapat menghasilkan kebijakan yang membantu dan mendukung penataan pertanian. Beberapa pemerintah daerah kabupaten sudah beroperasi dalam mendukung ketahanan pangan salah satunya penyediaan lahan pertanian pangan, stabilisasi harga saat panen raya serta mendorong koperasi tani. Masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa, karena pembangunan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari masalah ketahanan pangan. Status ketahanan pangan sering dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Pangan sebagai komoditas ekonomi berperan besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi global maupun nasional. Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Ketersediaan

4 4 pangan akan menjamin stabilitas kawasan atau negara tertentu. Sebaliknya krisis penyediaan pangan akan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam dinamika kehidupan sosial politik, sehingga ketahanan pangan dijadikan prasyarat utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi dan politik bangsa (Rita, 2010:32). Dalam bidang pertanahan penyediaan lahan pangan untuk mencapai ketahanan pangan berkaitan erat dengan aspek yuridisnya. Amanat tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Penyiapan ketahanan pangan ini kemudian direspon oleh pemerintah daerah dengan melakukan perencaanaan penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Secara umum tara ruang yang dijalankan haruslah memiliki tiga fungsi yaitu fungsi perencanaan, pengendalian, dan pengaturan. Perencanaan tata ruang yang berbasis ketahanan pangan ini tentunya harus didukung dengan sumber data dan informasi yang akurat. Kebutuhan data yang dimaksud adalah data yang meliputi komponen sumber daya alam yaitu sumber daya lahan, hutan, air, dan sumber daya mineral. Dalam menggambarkan komponen tersebut maka dibutuhkan neraca penatagunaan tanah dengan tujuan memberikan informasi mengenai sebaran

5 5 distribusi komponen yang dimaksud. Neraca penatagunaan tanah inilah yang nantinya dapat menyajikan data mengenai inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal dalam perencanaan lahan pertanian. Aspek perencanaan tersebut sangat dibutuhkan mengingat pemenuhan ketersediaan pangan harus didukung dengan penyediaan lahan pertanian yang efektif untuk tanaman pangan. Perencanaan tersebut tidak akan efektif jika tidak ada kerjasama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Perlunya dukungan yang bersifat mutualisme sangat berpengaruh terhadap kesuksesaan pelaksanaan dan praktek di lapangan. Dalam tulisan ini peneliti mengambil contoh Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merespon amanat UU No.41/2009 dan UU No.18/2012 melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 (Perda No.11/2011) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dengan tujuan menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Pembagian lahan pertanian tersebut dibagi kedalam beberapa kabupaten sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pembagiannya Sleman luas lahan ,59 hektar, Bantul hektar, Kulonprogo hektar dan Gunungkidul hektar. Laju peningkatan jumlah rumah tangga petani di Propinsi DIY tidak sebanding dengan luas penguasaan lahan. Rata-rata luas kepemilikan lahan bagi petani adalah 0,30 Ha. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya jumlah petani gurem dan buruh tani (tuna kisma) di Propinsi DIY. Hal ini berdampak pada sulitnya upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan di

6 6 kawasan perdesaan. Di sisi lain, proses urbanisasi yang tidak terkendali berdampak pada meluasnya aktivitas-aktivitas perkotaan yang makin mendesak aktivitas-aktivitas pertanian di kawasan perdesaan yang berbatasan langsung dengan perkotaan. Melihat fenomena tersebut masih di Propinsi DIY namun dalam administrasi kabupaten yaitu Kabupaten Sleman nampaknya aktivitas terjadinya perubahan area pedesaan menjadi perkotaan telah terjadi. Hal ini terjadi karena Sleman berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Perkembangan area perkotaan ini terjadi karena ketidakmampuan Kota Yogyakarta menampung pertumbuhan penduduk yang membutuhkan tempat bermukim dan berakitvitas sehingga menyebabkan konversi lahan. Fenomena alih fungsi lahan pertanian merupakan dampak dari transformasi struktur ekonomi (pertanian ke industri), dan demografi (pedesaan ke perkotaan) yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non-pertanian. Persoalan ini harus dicarikan solusi pemecahannya karena melihat juga dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan ini dapat merugikan petani di Kabupaten Sleman dan terancamnya produksi tanaman pangan. Adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah akan mempengaruhi produksi beras yang mana merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Akibatnya alih fungsi penggunaan tanah tidak dapat dicegah, dimana sawah-sawah pertanian subur dan sawah beririgasi teknis di sekitarnya semakin lama semakin luas dialihgunakan menjadi tempattempat kegiatan ekonomi dan pemukiman.

7 Permasalahan Penelitian Peningkatan jumlah penduduk yang pesat di Propinsi Yogyakarta baik secara alami maupun non-alami berdampak pada perkembangan area perkotaan. Perkembangan dan perubahan kota merupakan dampak kemajuan kota yang dapat menyebabkan perubahan struktur keruangan kota. Perubahan struktur ruang kota dipengaruhi oleh pola distribusi permukiman. Perubahan yang terjadi merupakan proses perkembangan perkotaan yang terjadi karena interaksi manusia dengan manusia maupun manusia dengan lingkungannya. Berkembangnya fasilitas di daerah perkotaaan baik itu infrastruktur maupun aksesibilitas menyebabkan area perkotaan berkembang hingga ke wilayah pinggiran sehingga terdapat asosiasi perkembangan kota dengan daerah pinggiran. Peningkatan kebutuhan permukiman sayangnya tidak sejalan dengan perkembangan terhadap alokasi kebutuhan lahan pertanian yang seharusnya juga disiapkan sebagai ketersediaan lahan pangan untuk memenuhi kebutuhan primer penduduknya. Perkembangan ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara lahan terbangun dengan lahan terbuka di Propinsi Yogyakarta. Sleman sebagai Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta ikut terpengaruh perkembangannya karena adanya aktivitas yang begitu besar di Kota Yogyakarta sehingga mengakibatkan adanya perubahan pola keruangan di Kabupaten Sleman. Masalah dan tantangan yang dihadapi Kabupaten Sleman untuk mencapai status ketahanan pangan yang mantap masih cukup berat. Bagi Kabupaten Sleman upaya yang harusditempuh untuk memantapkan ketahanan pangan mencakup aspek kuantitatif maupun kualitatif. Pola konsumsi pangan penduduk masih

8 8 terdominasi beras, padahal ketergantungan yang berlebihan terhadap satu jenis komoditas sangatlah rawan (Bappeda Sleman, 2014). Saat ini Sleman diuntungkan dengan banyaknya investasi yang masuk di daerah. Namun jika tidak terkontrol, maka dampak negatif dari pembagunan. Tentu akan ada perbedaan kebutuhan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, tidak bisa disamakan. Inilah yang perlu menjadi perhatian agar tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat. Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan (DP2K) Sleman mencatat luas lahan pertanian di wilayah setempat pada 2014, hektare. Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu hektare. Penyusutan lahan pertanian ini merupakan salah satu persoalan serius di Sleman. Terlebih jika melihat potensi Kabupaten Sleman sebagai penyangga sekitar 60 %, dari kebutuhan pangan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama 14 tahun terakhir ini telah terjadi fenomena perkembangan permukiman dengan pengurangan lahan-lahan pertanian. Data menunjukkan bahwa di tahun 2007 alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Kalasan, Sleman rata-rata mencapai 2,5% pertahun. Kondisi tersebut dipertegas oleh data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman menyebutkan,bahwa pada tahun 2005 lahan pertanian mencapai ha dengan lahan pekarangan dan bangunan ha, kemudian 2006 lahan pertanian turun menjadi ha dengan lahan pekarangan dan bangunan ha. Hingga kurun waktu 2014 lahan pertanian kembali menyusut menjadi sampai dengan ha, sedangkan lahan pekarangan dan bangunan meningkat menjadi ha (DP2K, 2014).

9 9 Berdasarkan permasalahan yang telah disampaikan diatas Peneliti mencoba menuliskan pemikiran dalam penelitian ini dengan membuat pertanyaan untuk yang bersumber dari latarbelakang yang telah disebutkan di atas dan rumusan masalah, dirumuskan dalam suatu pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimana kondisi sebaran penatagunaan tanah di Kabupaten Sleman dengan menurunya lahan untuk pertanian? 2. Bagaimana kondisi neraca penatagunaan tanah di Kabupaten Sleman dengan meningkatnya luas lahan pekarangan dan permukiman? 3. Bagaimana dampak neraca penatagunaan tanah terhadap kondisi Ketahanan Pangan Pokok di Kabupaten Sleman? 1.3. Keaslian Penelitian Penelitian ketahanan pangan telah dilakukan oleh berbagai peneliti. Beberapa penelitian yang telah membahas ketahanan pangan antara lain adalah: 1. Dampak Alih Fungsi Lahan Persawahan Terhadap Produksi Beras Dalam Rangka Ketahanan Pangan (Studi Kasus Di Kabupaten Tangerang) oleh Dyah May Karini Tahun Analisis Faktor-Faktor Yang berpengaruh Terhadap Konversi Lahan Sawah Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun oleh Deviet Afrianto Setyohatmoko Tahun Analisis Produksi, Pendapatan, Ketahanan Pangan Dan Keberlanjutan Usahatani Padi Di Sekitar Tambang Batubara Kabupaten Kutai Kartanegara oleh Erwan Wahyudi Tahun 2014

10 10 4. Dinamika Ketahanan Pangan Daerah (Studi Kasus Dinamika Ketahanan Pangan Di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman) oleh Kurnia Nur Fitriana Tahun Merujuk pada penelitian sebelumnya yang telah disampaikan oleh peneliti maka penelitian yang akan diambil oleh peneliti masih relevan untuk dilaksanakan. Perbedaan terhadap metode yang digunakan dan variabel dalam analisis yang akan digunakan akan menghasilkan output yang berbeda dan menghasilkan penelitian yang dapat menambah referensi bagi para stakeholder. Tabel 1.1 Penelitian yang Berkaitan dengan Ketahanan Pangan No. Nama Peneliti 1. Dyah May Karini (Tesis, 2013) 2. Deviet Afrianto Setyohatmoko (Tesis, 2013) 3. Erwan Wahyudi (Disertasi, 2014) 4. Kurnia Nur Fitriana (Tesis, 2014) Judul Dampak Alih Fungsi Lahan Persawahan Terhadap Produksi Beras Dalam Rangka Ketahanan Pangan (Studi Kasus Di Kabupaten Tangerang) Analisis Faktor-Faktor Yangberpengaruh Terhadap Konversilahan Sawah Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun Analisis Produksi, Pendapatan, Ketahanan Pangan Dan Keberlanjutan Usahatani Padi Di Sekitar Tambang Batubara Kabupaten Kutai Kartanegara Dinamika Ketahanan Pangan Daerah (Studi Kasus Dinamika Ketahanan Pangan Di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman) Metode Penelitian Kuantitatif - Kualitatif Induktif- Kuantitatif Induktif- Kuantitatif Kualitatif- Deskriptif Pembahasan dan Kesimpulan Luas lahan sawah secara nyata berpengaruh pada peningkatan produksi padi secara total, luas lahan sawah yang beralih fungsi ke non sawah belum dapat membuktikan berpengaruh menurunkan produksi padi total Konversi lahan sawah dapat berakibat pada kerugian dan ketimpangan pembangunan di suatu daerah seperti masalah ketahanan pangan dan masalah penatagunaan tanah Penerapan pertanian berkelanjutan di kawasan sekitar tambang batubara termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan dan untuk kawasan luar tambang batubara cukup berkelanjutan Terjadi penguatan ketahanan pangan dengan kondisi perubahan terbaik berada pada subsistem produksi atau ketersediaan pangan

11 11 Peneliti ingin menggunakan neraca penatagunaan tanah dalam menganalisis kondisi ketahanan pangan pokok wilayah Kabupaten Sleman dengan melihat luasan daerah pertanian yang tersedia serta kecocokan terhadap kebijakan penataan pertanahannya. Peneliti berharap dapat menemukan model penataan pertanahan untuk ketahanan pangan yang berbasis pada neraca penatagunaan tanah. Hal ini perlu dilakukan agar penataan pertanahan dapat dioptimalisasikan dan melihat ketersediaan tanah pertanian yang sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan pokok wilayah. Peneliti berpendapat bahwa penelitian yang akan dilakukan ini belum pernah dilaksanakan oleh peneliti terdahulu sehingga penelitian ini memiliki keaslian yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya dapat dijelaskan pada tabel berikut ini : 1.4. Tujuan Penelitian Dalam melakukan penelitian ini peneliti memiliki beberapa tujuan yaitu 1. Melihat kondisi sebaran penatagunaan tanah yang terkena dampak pada meningkatnya luas pekarangan dan permukiman di Kab. Sleman 2. Menganalisa perimbangan (neraca) penggunaan tanah pertanian dan dampaknya terhadap ketahanan pangan pokok wilayah Kabupaten Sleman 3. Mengetahui tingkat kerawanan pangan untuk mendukung analisis ketahanan pangan pokok wilayah di wilayah Kabupaten Sleman

12 Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk para stakeholder khususnya dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan penggunaan tanah Kabupaten Sleman 2. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan mengenai kebijakan pengendalian penggunaan tanah Kabupaten Sleman 3. Penelitian bermanfaat bagi para calon peneliti lainnya yang tertarik terhadap pola kebijkan keberlanjutan lahan pertanian pangan 4. Penelitian ini diharapkan mampu menyajikan data tekstual dan spasial untuk melihat kondisi ketahanan pangan Kabupaten Sleman dalam bentuk sistem informasi.