4 Hasil dan Pembaha san Pada penelitian mengenai kandungan metabolitt sekunder dari kulit batang Intsia bijuga telah berhasil diisolasi tiga buah senyawaa turunan flavonoid yaitu aromadendrin (26), luteolin (30) dan apigenin (31). Penentuan struktur ketiga senyawa tersebut dilakukan berdasarkan data spektrum UV-Vis, spektrum Inframerah, dan 1 H-NMR. 4.1 Aromadendrin (25) Senyawa aromadendrinn diperoleh dari fraksi E4(13-20)(4-6) dalam bentuk padatan berwarna putih agak kekuningann dengan jumlah 22 mg. Dari studi literatur dan analisis kromatogram diperkirakan senyawa yang diperoleh adalah senyawa flavonoid. Hal ini didukung dengan data spektroskopi UV, inframerah dan 1 H-NMR. Dari spektrum UV aromadendrin dalam metanol (Gambar 4.1), terlihat adanya dua puncak yaitu pada panjang gelombangg 215 dan 291 nm serta adanya bahu pada panjang gelompang sekitar 340 nm. Kedua puncak tersebut menunjukkan pola kromofor yang khas pada senyawa flavonoid sedangkan bahu mengindikasikan bahwa senyawa flavonoid tersebut adalah jenis flavanon. (a) (b) Gambar 4.1 Spektrum UV-Vis senyawa aromadendrinn (25) (a) dalam metanol, (b) dalam metanol + NaH Ketika ditambahkan pereaksi NaH terlihat adanya pergeseran batokromik sebesar 30 nm. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa tersebutt memiliki gugus fenolik bebas. Penambahan
NaH mengakibatkann terjadinyaa ionisasi pada semua gugus hidoksi bebas yang menyebabkan terjadinya pergeseran batokromikk pada pita I maupun pita II. Pada penambahan reagen geser AlCl 3, ternyata terjadi pergeseran batokromik sebesar 23 nm dan tidak ada pergeseran hipsokromik yang teramati ketika ditambahkan HCl (Gambar 4.3). Hal ini mengindikasikan senyawa tersebut tidak mengandung gugus orto dihidroksi. Pergeseran batokromikk menandakann bahwa terjadi pembentukan kelat antara ion Al 3+ dengan gugus hidroksi pada posisi C-5 dan gugus karbonil padaa C-4 Penambahan asam tidak menyebabkan pergeseran batokromik karena kelat yang terbentuk bersifat stabil terhadap penambahan asam. Apabila senyawa tersebut mengandung gugus ortodihidroksi maka dengan penambahan asam akan terjadi pergeseran hipsokromik karena kelat yang terbentuk pada posisii orto dihidroksi bersifat tidak stabil terhadap penambahan asam. Berikut adalah gambaran reaksi yang terjadi pada penambahan AlCl 3 dan HCl. (Gambar 4.2) H H Cl H H AlCl 3 Al 3+ Cl HCl H H Cl Al 3+ Cl Cl Al 3+ Cl Gambar 4.2 Reaksi penambahan AlCl 3 dan HCl pada senyawa flavonoid Gambar 4.3 Spektrum UV-Vis senyawa aromadendrinn (25) (a) dalam metanol+ AlCl 3 (b) dalam methanol+ AlCl 3 +HCl Berdasarkan data spektoskopi inframerah (KBr), terlihat adanya puncak lebar pada bilangan gelombangg 3537 cm -1, 3487 cm -1, 3342 cm -1, 3171 cm -1 yang menunjukkan serapan vibrasi ulur pada gugus -H bebas serta adanya ikatan hidrogen yang menyebabkan puncak tersebut melebar. Serapan tajam pada bilangan gelombang 1643 cm m -1 menunjukkan adanya gugus 30
karbonil yang terkonjugasi. Terlihat juga adanya serapan vibrasi ulur dari C=C aromatik pada bilangan gelombang 1517 cm -1, 1461 cm -1 dan 1409 cm -1. (Gambar 4.4) Gambar 4.4 Spektrum inframerah senyawa aromadendrin (25) dalam KBR Berdasarkan kedua data spektroskopi ultraviolet dan inframerah maka kemungkinan besar struktur senyawa tersebut adalah sebagai berikut H B H A C H Gambar 4.5 Struktur dasar senyawa hasil isolasi Spektrum 1 H-NMR menunjukkan adanya sinyal-sinyal proton pada daerah alifatik, daerah aromatik dan daerah heteroatom. Sinyal tajam pada geseran kimia δ 11,71 ppm dengan multiplisitas singlet menunjukkan adanya proton yang terikat dengan heteroatom dan membentuk kelat. Sinyal tersebut adalah sinyal proton dari gugus H pada posisi C-5. Kemudian pada geseran kimia δ 9,95 ppm dan δ 8,66 ppm dengan multiplisitas singlet menunjukkan gugus H yang masing-masing terdapat pada posisi C-7 dan C-4. 31
Gambar 4.6 Spektrum 1 H-NMR senyawa aromadendrin (25) dalam pelarut aseton (500 MHz) Gambar 4.7 memperlihatkan adanya dua sistem cincin aromatik (δ 6-8 ppm). Pada δ 6,0 ppm (1H, d, J=2,45 Hz) dan δ 5,95 ppm (1H, d, J=2,45 Hz), menunjukkan proton masing-masing pada posisii C-8 dan C-6 dari cincinn A yang memiliki korelasi kopling meta (J ~ 2 Hz). Dari analisis kedua sinyal ini maka dapat disimpulkan bahwa terdapat gugus hidroksi pada posisi C-7. Sinyal proton pada δ 7,42 ppm (2H, d, J= =8,55 Hz) dan δ 7,9 ppm (2H, d, J=8,55 Hz). Kedua dataa tersebut mengindikasikan bahwa proton-protonn pada cincinn B memiliki simetri. Dengan demikian, posisi yang mungkin untuk gugus hidroksi adalah posisi C-4. Proton pada geseran kimia yang lebih shielding merupakan proton dari posisi C-3 dan C-5 sedangkan pada daerah yang deshielding adalah proton padaa posisi C-2 dan C-6. Perbedaan geseran kimia ini disebabkan oleh gugus hidroksi pada posisi C-4. Gugus hidroksi sebagai gugus pendorong elektron akan memberikan efek perlindungan secara mesomeri pada proton di posisi orto maupun para sehingga menyebabkan proton pada posisii C-3 dan C-5 lebih shielding daripada posisi C-2 dan C-6. 32
Gambar 4.7 Spektrum 1 H-NMR senyawa aromadendri in (25) padaa daerah aromatik Pada daerah alifatik (Gambar 4.9) terlihat adanya 3 buah sinyal proton yaitu pada δ 4,66 ppm (1H, dd, J= =11,6; 3,65 Hz), δ 4,75 ppm (1H, d, J=3,65 Hz) dan δ 5,08 ppm (1H, d, J=11,6 Hz). Sinyal pada δ 4,66 ppm menunjukkan proton pada posisi C-3 yang berkorelasi secara kopling geminal dengan proton dari gugus hidroksi, sedangkan proton pada gugus H ditunjukkann oleh sinyal pada δ 4,75 ppm. Proton pada δ 4,66 ppm juga memilikii korelasi kopling visinal trans diaksial dengan proton δ 5,08 ppm yang ditunjukkan dengan nilai konstanta kopling sebesar 11,6 Hz. leh karena itu, proton padaa δ 5,08 ppm dapat disimpulkan sebagai proton pada posisi C-2. Dari hasil analisis spektrum 1 H-NMR, maka unit-unit penyusun senyawa aromadendrin dapat digambarkan sebagai berikut: Kopling meta Kopling orto (sistem simetri) 33
Kopling visinal trans diaksial Gambar 4.8 Unit-unit penyusun senyawa aromadendrinn (25) Gambar 4.9 Spektrum 1 H-NMR senyawaa aromadendrin (25) padaa daerah alifatik Senyawa aromadendrin telah ditemukan pada I. palembanica. Pada Tabel 4.1menunjukkan hasil perbandingan geseran kimia senyawa aromadendrin hasil penelitian dengan literatur. Perbandingan data 1 H-NMR menunjukkan adanya sedikit perbedaan yaitu pada proton posisi C-3. Senyawa aromadendrin hasil penelitiann terdapat 2 sinyal proton sedangkan pada literatur hanya terdapat 1 sinyal proton. Perbedaan ini dapat dikarenakan senyawa aromadendrin hasil isolasi sangat kering sehingga puncak H pada posisi C-3 dapat teramati sedangkan senyawa aromadendrin pada literatur kemungkinan tidak terlalu kering sehingga sinyal H tidak teramati karena membentuk ikatan hidrogen dengan air. 34
Tabel 4.1 Data 1 H-NMR senyawa aromadendrin hasil isolasi (aseton-d6) dengan standar (piridin- d 5 ) No. atom karbon Aromadendrin hasil isolasi Aromadendrin standar* 2a 5,08 (1H, d, J=11,6 Hz). 5,28 (1H, d, J=11,6 Hz). 3a 3e 4,66 (1H, dd, J=11,6; 3,65 Hz) 4,75 (1H, d, J=3,65 Hz) 4,73 (1H, d, J=11,6 Hz). 6 5,95 (1H, d, J=2,45 Hz) 5,87 (1H, d, J=2,45 Hz) 8 6,0 (1H, d, J=2,45 Hz) 5,90 (1H, d, J=1,8 Hz) 2 dan 6 7,9 (2H, d, J=8,55 Hz) 7,74 (2H, d, J=8,55 Hz) 3 dan 5 7,42 (2H, d, J=8,55 Hz) 7,25 (2H, d, J=8,55 Hz) * (Nafady, 2003) Berdasarkan data-data spektroskopi yang telah diperoleh dan membandingkannya dengan literatur maka senyawa yang telah berhasil diisolasi memiliki struktur seperti dibawah ini. H H H B A C H H H Gambar 4.10. Struktur senyawa aromadendrin (25) Senyawa aromadendrin juga yang telah ditemukan terdapat pada beberapa spesises lainnya yaitu Intsia palembanica, Cudrania javanensis, dan Dillenia retusa. Akan tetapi, diisolasinya senyawa aromadendrin dari kulit batang Intsia bijuga baru pertama kali dilaporkan. 4.2 Luteolin (30) Senyawa luteolin diperoleh dari fraksi E7(11-13) dan F5(5) dalam bentuk serbuk berwarna kuning dengan massa 6 mg. Berdasarkan kromatogram kromatografi lapis tipis (KLT) diperkirakan senyawa ini adalah senyawa kelompok flavonoid. Data spektroskopi UV-Vis (Gambar 4.11 (a)) menunjukkan adanya dua puncak yang teramati pada panjang gelombang 347 dan 254 nm. Kedua puncak tersebut merupakan puncak kromofor yang khas pada senyawa flavonoid jenis flavon. (Markham, 1982). Penambahan NaH menunjukkan adanya pergeseran batokromik sebesar 54 nm yang mengindikasikan adanya gugus fenolik bebas pada senyawa tersebut. (Gambar 4.11 (b)) 35
(a) (b) Gambar 4.11 Spektrum UV-Vis senyawa luteolin (30) (a) dalam metanol, (b) dalam metanol + NaH Penambahan reagen pengkelat, AlCl 3, menunjukkan adanya pergeseran batokromikk sebesar 75 nm.dann ketika ditambahkan dengan HCl ternyata terlihat pergeseran hipsokromik pada pita I yang menandakann adanya gugus orto dihidroksi pada cincin B. (Gambar 4.12) ). Dengan demikian, dari data tersebut telah diketahui bahwa senyawa ini merupakan senyawa flavon dengan ortoo dihidroksi pada cincin B. (a) (b) Gambar 4.12 Spektrum UV-Vis senyawa luteolin (30) (a) dalam methanol +AlCl 3 3, (b) dalam metanol + AlCl 3 + HCl Berdasarkan data spektroskopi inframerah terlihat adanya puncak serapan -H yang cukup tajam padaa bilangan gelombang 3446 cm -1 dan pada bilangan gelombang 1654 cm -1 terdapat serapan dari karbonil terkonjugasi. Terlihat juga adanya puncak serapan pada bilangan gelombangg 1516 cm- 1 dan 1444 cm -1 menunjukkan adanyaa C=C aromatik. Berdasarkan data ini maka dapat disimpulkan bahwa senyawa tersebut memiliki gugus hidroksi, C= karbonil yang terkonjugasi dan suatu gugus aromatik yang sesuai dengan kerangka flavonoid. 36
Gambar 4.13 Spektrum inframerah dari senyawa luteolin (KBr) Spektrum 1 H-NMR senyawa luteolin (Gambar 4.14) memperlihatkan adanya puncak-puncak yang khas dari senyawa kelompok flavonoid yaitu pada daerah aromatik dan daerah heteroatom. Pada δ 12,9 ppm (1H, s) terdapat puncak singlet yang menunjukkan proton dari gugus hidroksi pada posisi C-5 senyawa flavonoid yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan gugus karbonil. Pada δ 9,0 ppm (br) terdapat sinyal proton yang menggambarkan atom hidrogen pada gugus H yang membentuk ikatan hidrogen, sedangkan pada daerah aromatik (6-8 ppm) terdapat lima buah puncak. Perbesaran sinyal-sinyal pada daerah aromatik dapat dilihat pada Gambar 4.15. 37
Gambar 4.14 Spektrum 1 H-NMR senyawa luteolin (30) dalam pelarut aseton-d 6 (500 MHz) Hasil perbesaran sinyal-sinyal proton pada daerah aromatik menunjukkan adanya dua sistem aromatik yang khas pada flavonoid yaitu pada geseran kimia sekitar 6 ppm dan 7 ppm. Pada geseran kimia 6,22 ppm (1H, d, J = 2,5 Hz) dan 6,49 ppm (1H, d, J = 2,5 Hz) yang memiliki multiplisitas doblet dengan konstanta kopling (J = 2,5 Hz) menunjukkan pada posisi meta di cincin A yakni C-6 dan C-8. Sedangkan sinyal pada geseran kimia 6,97 ppm (1H, d, J = 8,6 Hz); 7,44 ppm (IH, dd, J = 2,5 dan 8,6 Hz) dan 7,47 ppm (1H, d, J = 2,5 Hz) menunjukkan adanya suatu sistem spin ABX pada cincinn B dengan multiplisitass masing- dobel masing doblet, dobel doblet dan doblet. Sinyal pada 7,444 ppm dengan multiplisitas doblet memiliki korelasi kopling orto (J=8,6 Hz) dengan proton pada 6,97 ppm dan kopling meta (J=2, 5 Hz) dengan proton pada 7,47 ppm. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa ketiga sinyal tersebut mengindikasikan proton masing-masing pada posisi 6, 5 dan 2 dari cincin B flavonoid. Pada geseran kimia 6,55 ppm terdapat sinyal proton dengan multiplisitas singlet yang menunjukkan proton pada posisi C-3. 38
Gambar 4.15 Spektrum 1 H-NMR senyawa luteolin (30) pada daerah aromatik Adapun perbandingan 1 H-NMR antara senyawa luteolin (30) hasil literatur diperlihatkan pada Tabel 4.2 isolasi dengan dari Tabel 4.2 Perbandingan 1 H-NMR antara luteolin hasil isolasi (aseton-d 6 ) dengann standar (CD 3 D) No. atom karbon 3 6 8 2 5 6 * (Calis, et al., 2004) Luteolin hasil isolasi 6,55 (1H, s) 6,22 (1H, d, J = 2,5 Hz) 6,40 (1H, d, J = 2,5 Hz) 7,47 (1H, d, J = 2,5 Hz) 6,97 (1H, d, J = 8,6 Hz) 7,44 (1H, dd, J = 2,5 dan 8,6 Hz) Luteolin standar* 6, 73 (1H, s) 6.36 (1H, d, J = 2.0 Hz) 6.71 (1H, d, J = 2.0 Hz) 7.40 (1H, d, J = 2,1 Hz ) 6.86 (1H, d, J = 8.7 Hz) 7.39 ( 1H, dd, J = 2,1 dan 8,7 Hz) Hasil perbandingan 1 H-NMR antara luteolin hasil isolasi dengan literatur tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Perbedaan geseran kimia antara kedua data tersebut hanya disebabkan efek dari pelarut. Jadi, senyawa yang diperoleh memang merupakan luteolin. 39
Berdasarkan data-data spektroskopi di atas maka unit-unit penyusun senyawa luteolin dapat digambarkan sebagai berikut: (Gambar 4.16) Kopling meta Sistem ABX C H Proton pada C-3 Gambar 4.16 Unit-unit penyusun senyawa luteolin (30) Dari unit-unit penyusun senyawaa luteolin tersebut maka dapat disusun suatu struktur senyawa luteolin yang utuh. Struktur senyawa luteolin ditunjukkan padaa Gambar 4.17 H A C B H H H Gambar 4..17 Struktur senyawa luteolin (30) Senyawa luteolin telah ditemukan juga pada spesies Fabaceae yang lain misalnya Senna siamea dan Cyclopia intermedia. Beberapa literatur juga menyebutkan bahwaa luteolin memiliki berbagai aktivitas biologis diantaranya sebagai antioksidan, antiinflamatory agent, antialergi dan antikanker (Post, et al., 1992), (Pettit, et al. 1996), (Kimata, et al., 2000) 40
4.3 Apigenin (31) Apigenin diperoleh dari fraksi E5+ 6(4) dalam bentuk serbuk berwarna kuning dengan massa 5 mg. Struktur senyawa apigenin ditentukan berdasarkan data spektoskopi UV-Vis, inframerah, dan 1 H-NMR. Dari data spektroskopi UV-Vis senyawa apigenin (31) dalam metanol (Gambar 4.18( (a)) teramati adanya dua puncak padaa panjang gelombang 268 nm dan 333 nm. Pola serapan ini hampir sama dengan pola serapan pada senyawa luteolin tetapi luteolin memiliki puncak serapan maksimal pada 254 nm dan 347 nm. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa senyawa apigenin memiliki struktur yang sama yaitu flavon. Perbedaan puncak serapan maksimum antra apigenin dan luteolin kemungkinan disebabkan gugus auksokrom pada luteolin lebih banyak daripada pada apigenin. Penambahan reagen geser NaH menunjukkan adanya pergeseran batokromik sebesar 59 nm pada pita I dan 7 nm pda pita II. Pergeseran batokromik ini mengindikasikann adanya gugus fenolik pada senyawa tersebut, baik di cincin A maupun di cincin B. (Gambar 4.18 (b)). (a) (b) Gambar 4.18 Spektrum UV-Vis senyawa apigenin (31) (a) sampel dalam metanol (b) sampel dalam metanol + NaH Penambahan reagen pengkelat, AlCl 3 menunjukkan adanya pergeseran batokromikk sebesar 12 nm dan ketika ditambahkan HCl ternyata tidak ada pergeseran hipsokromik yang teramati. Hasil tersebutt mengindikasikan bahwa senyawa apigenin tidak mengandung gugus orto dihidroksi tetapi mengandung gugus hidroksi pada posisi C-5. Tidak adanya pergeseran hipsokromik yang teramati menggambarkan bahwa senyawa tersebut membentuk kelat yang stabil antara gugus hidroksi pada posisi C-5 dengan gugus karbonil padaa C-4. (Gambar 4.19) 41
(a) (b) Gambar 4.19 Spektrum UV-Vis senyawaa apigenin (31) (a) dalam methanol +AlCll 3 (b) dalam methanol + AlCl 3 +HCl Spektrum inframerah senyawa apigenin (Gambar 4.20) menunjukkan adanya serapan puncak H pada 3408 cm -1. Pada bilangan gelombang 1695 cm -1 dan 1610 cm -1 menunjukkan serapan ulur dari gugus karbonil yang terkonjugasi sedangkan pada 1444 cm -1 dan 1494 cm - 1 menunjukkan senyawa tersebut memilikii gugus aromatik. Dengan demikian, data spektroskopi inframerah mendukung data spektroskopi UV-Vis bahwa senyawaa tersebut merupakan senyawa kelompok flavonoid. Gambar 4.20 Spektrum inframerah senyawa apigenin (31) dalam KBR Spektrum 1 H-NMR senyawa apigenin dalam CD 3 D ditunjukkan padaa (Gambar 4. 21). Dari spektrum tersebut dapat diketahui bahwa senyawa apigenin yang diukur sangat encer. Hal ini ditunjukkann oleh puncak pelarut yang sangat tinggi sedangkan puncak sampel sangat rendah. 42
Selain itu, teramati pula sinyal-sinyal pengotor yang terlihat memiliki intensitas yang hampir sama dengan sinyal sampel. Berdasarkan analisis spektrum UV-Vis dan inframerah dapat diperkirakan senyawa apigenin adalah senyawa flavon. Spektrum 1 H-NMR (Gambar 4.21) menunjukkan adanya 5 sinyal proton pada daerah aromatik. Sinyal padaa geseran kimia 6,21 ppm (1H, s) dan 6,45 ppm (1H, s) dengan multiplisitas singlet menunjukkan proton padaa posisi C-6 dan C-8 dari cincin A. Biasanya multiplisitas sinyal proton pada kedua posisi tersebut adalah doblet dengan korelasi kopling meta (J = 2,5 Hz) sedangkan pada Gambar 4.21 puncak yang ditunjukkan adalah singlet. Hal ini disebabkan karenaa senyawa yang diukur terlalu encer sehingga pembelahan puncak tersebut tidak dapat teramati secara sempurna. Sinyal tajam pada geseran kimia 6,93 ppm (1H) dengan multiplisitas singlet mengindikasikan proton pada C-3. Gambar 4.21 Spektrum 1 H-NMR senyawa apigenin (31) dalam metanol-d4 (500 MHz) Perbesaran sinyal-sinyal aromatik pada cincinn B dapat dilihat padaa Gambar 4..22. Dari perbesaran sinyal tersebut terlihat bahwa sinyal pada daerah aromatik dari senyawa apigenin (31) (Gambar 4.22) memiliki tipe yang sama seperti sinyal aromatik dari senyawa aromadendrin (Gambar 4.7). Padaa geseran kimia 6,93 ppm (2H, d, J = 8,55 Hz) dan 7,85 ppm (2H, d, J = 8,55 Hz) terlihat adanya sinyal dengan multiplisitas doblet yang memiliki korelasi kopling orto (JJ = 8,55 Hz) dengan integrasi masing-masing 2 atom hidrogen. Sinyal tersebut menggambarkan bahwa pada cincin B terdapat sistem simetri dari sistem para hidroksi benzen sehingga dapat dipastikan bahwa sinyal pada geseran kimia 6,93 ppm menunjukkan proton pada posisi 3 dan 5 dan sinyal pada geseran kimia 7,85 ppm menunjukkan proton pada posisi 2 dan 6. 43
Gambar 4.22 Spektrum 1 H-NMR senyawa apigenin (31) daerah aromatik, pelarut metanol- d 4 (500 MHz) Perbandingan data 1 H-NMR senyawa hasil isolasi dengan literatur diperlihatkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Perbandingann 1 H-NMR antara apigenin hasil isolasi (CD 3 D) dengan literatur (d 6 - DSM) No. atom karbon 3 6 8 2 dan 6 3 dan 5 δ (integrasi, multiplisitas, J) 6,93 (1H, s) 6,21 (1H, s) 6,45 (1H, s) 7,85 (2H, d, J = 8,55 Hz) 6,93 (2H, d, J = 8,55 Hz) δ* 6,86 (1H, s) 6.44 (1H, d, J = 2.3 Hz) 6.81 (1H, d, J = 2.3 Hz) 7.96 (2H, d, J = 8,9 Hz) 6.94 (2H, d, J = 8.9 Hz) * (Svehlikova, et al., 2004) Berdasarkan data-dataa spektroskopi di atas, maka dapat senyawa apigenin (31).. digambarkan unit-unit penyusun 44
Kopling meta Kopling orto (sistem simetri) C H Proton pada C-3 Gambar 4.23 Unit-unit penyusun senyawa apigenin (31) Berdasarkan unit-unit penyusun senyawa apigenin (31) senyawa apigenin (31). (Gambar 4. 24) maka dapat dirangkai struktur H B H A C H Gambar 4.24 Struktur senyawa apigenin (31) Senyawa apigenin (31) juga telah ditemukan pada spesies lain misalnya Matricariaa recutita (teh kamomil) yang sudah sering digunakan untuk minuman herbal. Beberapa literatur menyebutkan bahwa senyawa apigenin memiliki berbagai aktivitas biologis seperti halnya luteolin yaitu sebagai antikanker, antiinflamasi, antitumor, antimutagenik dan antioksidan. (Mak, et al., 2006), (Birt, et al., 2986), (Yin, et al. 2001) 4.4 Bioaktivitas Hasil uji aktivitas sitotoksik ketiga senyawa tersebut terhadap sel murin leukemia P-388 menunjukkan bahwa senyawa luteolin (30) memiliki aktivitas sitotoksik yang sangat tinggi 45
dengan nilai IC 50 0,27 μg/ml, apigenin (31) 3,6 μg/ml sedangkan aromadendrin (25) tidak aktif dengan nilai IC 50 57 μg/ml. Perbedaan aktivitas sitotoksik dari ketiga senyawa kemungkinan disebabkan oleh perbedaan struktur dari masing-masing senyawa. Gambar 4.25) Aromadendrin (26) tidak memiliki ikatan rangkap pada cincin C sehingga tidak aktif dalam menghambat pertumbuhan sel murin leukimia. Sedangkan apigenin (31) dan luteolin (30) yang masing-masing memiliki ikatan rangkap pada cincin C aktif dalam menghambat pertumbuhan sel murin leukemia P-388. Selain itu, adanya gugus orto dihidroksi pada cincin B menyebabkan aktivitas sitotoksiknya meningkat. Hal ini terlihat dari nilai IC 50 antara apigenin (31) dengan luteolin (30). Dengan demikian, planaritas cincin C dan gugus ortodihidroksi pada cincin B pada struktur senyawa flavonoid dapat meningkatkan aktivitas sitotoksik terhadap sel murin leukemia P-388. H A C B H H A C B H H H H Apigenin (31) luteolin (30) IC 50 3,6 μg/ml IC 50 0,27 μg/ml H H H B A C H H H Aromadendrin (26) IC 50 57 μg/ml Gambar 4.25 Sitotoksik dari senyawa hasil isolasi 46