TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH

dokumen-dokumen yang mirip
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

V. TABEL 1-0 JAWA TENGAH: SUATU TEMUAN WIRIS

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

III. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

Nilai Tukar Petani Kabupaten Magelang Tahun 2013

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

Pembangunan ekonomi berhubungan erat dengan perkembangan jumlah. penduduk, penyediaan kesempatan ke ja, distribusi pendapatan, tingkat output yang

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. semakin banyaknya jumlah angkatan kerja yang siap kerja tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pengamatan empiris menunjukkan bahwa tidak ada satupun

Produk Domestik Regional Bruto

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

BAB II LANDASAN TEORI. tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)


III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

Transkripsi:

VII. KONTRIBUSI SEKTOR SUSU DAN PETERNAKAN SAP1 PERAH TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH Perekonomian suatu wilayah dapat bertumbuh karena dua hal: pertama, bersumber dari faktor-faktor dalam wilayah yang meliputi distribusi faktor produksi tanah, tenaga kerja dan modal; kedua, faktor luar daerah mencakup permintaan wilayah lain terhadap komoditi yang dihasilkan. Salah satu teori pertumbuhan regional dari dalam yang paling sederhana adalah teori sektor. Teori ini mengatakan bahwa kenaikan pendapatan per kapita di berbagai wilayah pada berbagai waktu umumnya diikuti oleh realokasi sumberdaya. Dalam teori sektor tersebut, diikhtisarkan bahwa suatu proses pertumbuhan didasarkan pada asumsi peningkatan pendapatan per kapita. Dampak dari tiap sektor komponen perekonomian wilayah dicerminkqn oleh besaran pengaruh pengganda dari masing-masing sektor yang bersangkutan. Nilai-nilai pengganda akan memberikan informasi yang baik sekali berkenaan dengan respons suatu sektor terhadap berbagai perubahan kegiatan ekonomi yang terjadi. Melalui nilai tersebut dapat diisolir sektor-sektor yang akan menunjang tambahan tertinggi bagi output, pendapatan dan kesempatan kerja. Dengan demikian, dapat diketahui sektor-sektor yang perlu mendapat perhatian khusus jika pertumbuhan ekonomi ingin didorong. Asumsinya adalah bahwa sektor

yang mempunyai nilai pengganda paling tinggi akan menywn- bang tambahan terbesar bagi wilayah. 1. ~m$j;lbuibrhdm4mhmu~ Dampak investasi yang ditanamkan pada suatu sektor sangat tergantung kepada jumlah investasi yang dilakukan serta intensitas hubungan antar sektor. Dampak investasi yang paling sering diukur di dalam suatu struktur perekonomian adalah pengaruh ganda terhadap pendapatan (income multipua) dan kesempatan kerja (swbmenli mu- tivlisr) masyarakat. Pada dasarnya, Pengaruh Ganda Pendapatan (PGP) adalah besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit. Artinya, apabila permintaan akhir terhadap output sektor tertentu meningkat sebesar sa- E tu rupiah, maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang bekerja gada sektor tersebut sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. Ada dua tipe PGP, yaitu tipe I dan tipe 11. PGP tipe I merupakan penjumlahan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung dibagi dengan pengaruh langsung. Pengganda tipe I ini berguna untuk mengetahui besarnya Perubahan pendapatan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung dari setiap perubahan satu unit permintaan akhir suatu sektor. PGP tipe I1 diperoleh dari penjumlahan pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dan

pengaruh induksi dibagi dengan pengaruh langsung. Dalam pengganda ini pengaruh dari perubahan pendapatan terhadap konsumsi rumah tangga yang akan memberikan induksi terhadap sektor-sektor lainnya telah ikut diperhitungkan. Dalam ha1 ini, pengaruh langsung merupakan peningkatan pendapatan pada suatu sektor secara langsung sebagai akibat penanaman investasi pada sektor tersebut. Suatu investasi yang ditanamkan pada sektor tertentu (sektor 1) akan meningkatkan output sektor tersebut. Untuk meningkatkan output tadi diperlukan peningkatan permintaan input yang dibeli dari output sektor-sektor lain. Guna memenuhi permintaan sektor 1, sektor-sektor lainnya harus meningkatkan outputnya juga melalui peningkatan permintaan output sektor 1 sebagai inputnya. Peningkatan pendapatan sektor lain akibat peningkatan permintaan terhadap outputnya merupakan pengaruh tidak langsung. Selanjutnya, pengaruh langsung dan tidak langsung menyebabkan pendapatan rumah tangga pada sektor satu meningkat. Hal ini akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap output sektor 1 yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor 1. Inilah yang disebut pengaruh induksi - (LMwd effpldi). Adapun besaran PGP tipe I dan I1 dari sektor-sektor perekonomian Jawa Tengah disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Nilai Pengaruh Ganda Pendapatan (PGP) Sektor Perekonomian Jawa Tengah, 1983 Nomor Sektor Pengaruh Ganda Pendapatan Tipe I Tipe I1 Peringkat

Seperti terlihat pada Tabel 16, maka urutan sektor-sektor yang mempunyai nilai PGP tipe I dan I1 mulai dari yang terbesar hingga terkecil adalah: (1) Industri makanan, minuman dan tembakau, (2) Industri makanan ternak, (3) Susu dan peternakan sapi perah, (4) Hotel dan restoran, (5) Peternakan lainnya, (6) Koperasi lainnya, ( 7) Koperasi susu, (8) Industri pendinginan susu, (9) Industri lainnya, (10) Bangunan (11) Padi, (12) Angkutan dan komunikasi, (13) Perkebunan, (14) Listrik, gas dan air minum, (15) Perikanan, (16) Tanaman bahan makanan lainnya, (17) Jasa-jasa, (18) Pertarnbangan, (19) Bank dan jasa keuangan, (20) Kehutanan, (21) Perdagangan dan (22) Pemerintahan. Dari Tabel 16, terlihat bahwa nilai PGP tipe I dan tipe I1 sektor susu/peternakan sapi perah masing-masing sebesar 2.61 dan sebesar 2.91, menduduki peringkat ke-3 dari 22 sektor, yaitu setelah sektor industri makanan, minuman lainnya dan tembakau (sektor 10) dan sektor industri makanan ternak (sektor 9). Nilai tersebut merupakan indikasi bahwa penanaman investasi di sektor susu dan peternakan sapi perah memberikan sumbangan yang relatip lebih tinggi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dibandingkan 19 sektor lainnya. Apabila strategi pembangunan ekonomi wilayah Jawa Tengah menginginkan pertumbuhan pendapatan yang cepat maka sektor susu dan peternakan sapi perah harus

diletakkan pada prioritas ketiga dalam ha1 penanaman mo- dal (asumsi faktor lainnya sama). 2. ILQ~fihSITahara~gpludhi~nAmrn~~~=baa Perkembangan populasi dapat dianggap sebagai faktor positip dalam rangka merangsang pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi yang sering menjadi persoalan adalah, apakah peningkatan yang cepat dari pertumbuhan persediaan atau penawaran surplus tenaga kerja memberikan pengaruh positip terhadap kemajuan ekonomi. Karena masalah kesempatan kerja ini erat hubungannya dengan pengangguran, kemiskinan dan distribusi pendapatan. Tenaga kerja mempunyai penawaran yang terus menerus menaik sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sedangkan permintaan akan tenaga kerja tergantung pada kenaikan permintaan akan barang jadi serta tingkat dan macam teknologi. Banyaknya angkatan kerja di wilayah Jawa Tengah pada tahun 1980 sebesar 10 101 217 jiwa dan kenaikan populasi penduduk selama Pelita I11 rata-rata 1.52 persen per tahun. Jika seseorang ingin mengetahui berapa banyak tenaga kerja yang diabsorpsi secara langsung untuk menghasilkan satu satuan output dari sektor tertentu, dapat diketahui melalui penghitungan produksi komoditi yang bersangkutan. Jika sebaliknya ingin mengetahui kebutuhan tidak langsung dan induced untuk tenaga kerja di dalam suatu sistem produksi sektor yang saling berkaitan satu

sama lain, maka hanya dapat diketahui melalui matriks pengganda (I-A)-' dan tidak dapat diperoleh dengan suatu pengamatan langsung. Pengaruh Ganda Tenaga Kerja (PGTK) tipe I dan tipe I1 menggambarkan dampak kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh suatu sektor per unit kenaikan permintaan akhir terhadap output sektor yang bersangkutan. Semakin besar nilai PGTK suatu sektor berarti semakin besar kesempatan kerja yang tersedia pada sektor tersebut. Nilai PGTK dari seluruh sektor perekonomian wilayah Jawa Tengah disajikan pada Tabel 17. Seperti terlihat pada tabel tersebut, PGTK sektor susu dan peternakan sapi perah adalah sebesar 2.48 untuk tipe I dan 3.20 untuk tipe 11. Sektor ini menduduki peringkat ke-3 dari 22 sektor yang ada. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan sektor yang bersangkutan dalam meningkatkan penggunaan tenaga kerja yang dibutuhkan relatip besar untuk setiap perubahan peningkatan satu unit output pada permintaan akhir. Oleh karena itu, dalam konteks pemerataan pendapatan, maka sektor susu dan peternakan sapi perah perlu mendapat prioritas pengembangan setelah sektor industri makanan, rninuman dan tembakau serta sektor industri makanan ternak. Struktur tenaga kerja di dalam sistem usahatani sektor ini terdiri dari pria dewasa (suarni), wanita dewasa

Tabel 17. Nilai Pengaruh Ganda Tenaga Kerja (PGTK) Sektor perekonomian Jawa Tengah, 1983 Nomor PGTK Peringkat PGTK Peringkat Sektor Tipe I Tipe I1

(istri) dan anak terutama anak laki-laki. Pada umumnya kebutuhan akan tenaga kerja tersebut dipenuhi oleh tenaga kerja dalam keluarga, terutama untuk golongan peternak rakyat. Dari 169 contoh peternak rakyat dalam penelitian ini hanya 29 contoh (17.16 persen) yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga, sedangkan pada contoh perusahaan sapi perah seluruhnya menggunakan tenaga kerja upahan. 3 EwaLbUm_Ei~kwn,-&ad&m~ Kerangka 1-0 Leontief merupakan dasar dari hipote- sis kaitan (L-ES) terdependensi sektoral. yang digunakan untuk mengukur in- Hubungan aktivitas (cgnce~$ ef Unkagm) dari apli- kasi model 1-0 sangat bermanfaat di dalam pembangunan ekonomi. Dengan demikian dapat diukur tingkat ketergan- tungan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian dan diketahui sejauh mana pertumbuhan suatu sektor dipenga- ruhi oleh sektor-sektor lainnya. Pemahaman antar kaitan pertumbuhan berbagai sektor perekonomian penting guna me- rencanakan strategi pembangunan yang tepat. Salah satu penyebab kegagalan dari strategi untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi suatu wilayah di- tandai dengan lemahnya sektor industri dan kurang Kuat- nya kaitan antara pertanian tradisional dengan sektor- sektor industri modern. Karena lemahnya kaitan, anti- sipasi efek spill Q ~ dari Z sektor industri tidak

menguntungkan usaha-usaha pembangunan dalam sektor per-, tanian. Kaitan sektoral dicerminkan oleh gerakan-gerakan per- tumbuhan (g,zowth hmwhw) dari satu sektor ke sektor lainnya yang disebabkan oleh terobosan teknologi dalam sektor yang bersangkutan. Gerakan-gerakan pertumbuhan tersebut tidaklah dapat dipindahkan secara memuaskan karena berbagai kekakuan struktural yang inheren dalam tahap awal pertumbuhan. _Ka.ilzm-&BdBbm~~~ Indeks kaitan ke belakang langsung dari suatu sek- tor dapat digunakan untuk mengukur jumlah input antara yang diperlukan dari berbagai sektor lainnya untuk meng- hasilkan satu unit output sektor tersebut. Indeks yang dikembangkan oleh Chenery dan Wanatabe (1958) ini meru- pakan rasio pembelian input antara sektor terhadap nilai total produksi sektor tersebut. Kaitan ke belakang mendorong produksi melalui penye- rapan input yang diperlukan oleh sifat teknologi dari produksi tiap sektor ekonomi. Hirschman (1958) mengemukakan bahwa kaitan-kaitan ke belakang lebih tepat sebagai suatu petunjuk untuk mem- - - buat pola strategi pembangunan ekonomi. Hal ini disebab- kan peningkatan permintaan input-input antara memberikan stimulus yang lebih baik dibandingkan peningkatan pena- waran input.

Nilai dari pengaruh kaitan langsung ke belakang (PKLB) sektor-sektor perekonomian Jawa Tengah disajikan pada Tabel 18. Pada nilai PKLB Tabel 18 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai- dari masing-masing sektor mulai dari urutan tertinggi hingga terendah adalah: (1) Sektor industri ma- kanan, minuman dan tembakau 0.79, (2) Sektor susu dan pe- ternakan sapi perah 0.70, (3) Sektor industri makanan ternak 0.60, (4) Sektor bangunan 0.60, (5) Sektor koperasi lainnya 0.89, (6) Sektor hotel dan restoran 0.55, (7) Sektor koperasi susu 0.55, (8) Sektor industri pendeinginan susu 0.42, (9) Sektor jasa lainnya 0.32, (10) Sektor peternakan lainnya 0.32, (11) Sektor listrik, gas dan air minum 0.29, (12) Sektor perkebunan 0.27, (13) Sektor padi 0.22, (14) Sektor perikanan 0.21, (15) Sektor ang- kutan dan komunikasi 0.19, (16) Sektor tanaman bahan ma- kanan lainnya 0.17, (17) Sektor kehutanan 0.14, (18) Sek- tor bank dan'jasa keuangan 0.10, (19) Sektor industri la- innya 0.07, (20) Sektor pertambangan 0.06, (21) Sektor perdagangan 0.04 dan (22) Sektor pemerintahan 0. Sektor susu dan peternakan sapi perah ternyata mem- punyai nilai PKLB relatip tinggi di dalam struktur pere- konomian wilayah, yaitu sebesar 0.70 dengan urutan ke-2 dari 22 sektor.

Tabel 18. Pengaruh Kaitan Langsung ke Depan (PKLD) dan ke Belakang (PKLB) Sektor-sektor Perekonomian Jawa Tengah, 1983 Nomor PKLD Peringkat PKLB Peringkat Sektor

Indeks kaitan ke depan langsung adalah untuk mengu- I kur besarnya output dari suatu sektor yang di suplai untuk penggunaan antara ke berbagai sektor perekonomian sebagai suatu proporsi dari total permintaannya. Jadi indeks ini merupakan rasio permintaan antara dari berbagai sektor terhadap total output suatu sektor tertentu. Hubungan ke depan merupakan ukuran dari hasil dorongan pemakaian output sebagai input antara suatu industri atau sektor lain. Kekuatan hubungan ke depan tergantung pada proporsi output yang dimanfaatkan untuk penggunaan antara. Nilai pengaruh kaitan ke depan langsung (PKLD) dari masing-masing sektor disajikan pada Tabel 18. Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa urutan-urutan nilai PKLD mulai dari yang tertinggi hingga terendah adalah: (1) Sektor industri makanan, minuman dan tembakau 0.95, (2) Sektor padi 0.61, (3) Sektor perdagangan 0.54, (4) Sektor bank dan jasa keuangan 0.52, (5) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 0.49, (6) Sektor angkutan dan komunikasi 0.43, (7) Sektor industri lainnya 0.34, (8) Sektor jasa-jasa lainnya 0.30, (9) Sektor perkebunan 0.30, (10) Sektor industri makanan, minuman dan tembakau 0.95, (11) Sektor hotel dan restoran 0.22, (12)-Sektor peternakan lainnya 0.20, (13) Sektor pertambangan 0.19, (14) Sektor industri makanan ternak 0.17, (15) Sektor koperasi lainnya 0.14, (16) Sektor listrik, gas dan air

minum 0.11, (17) Sektor industri pendinginan susu 0.11, I (18) Sektor koperasi susu 0.10, (19) Sektor kehutanan 0.09, (20) Sektor susu dan peternakan sapi perah 0.07, (21) Sektor perikanan 0.06, (22) Sektor pemerintah 0. Nilai PKLD sektor susu dan peternakan sapi perah sebesar 0.07 (peringkat 20) ternyata lebih rendah dibanding dengan nilai PKLB-nya sebesar 0.70 (peringkat 2). Hasil ini selaras dengan hasil yang terdapat pada Tabel 7 dimana ketergantungan pembelian input sektor susu dan peternakan sapi perah lebih tinggi dibandingkan dengan ketergantungan penjualan outputnya. K&u~fikWslrawKeBehm-g4anKc&w- Pengaruh kaitan tak langsung ke belakang (PKTLB) dan ke depan (PKTLD) disajikan pada Tabel 19. Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa nilai-nilai PKTLD setiap sektor mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah bertbrut-turut adalah: (1) Sektor industri lainnya 2.77, (2) Sektor padi 2.31, (3) Sektor industri makanan, minuman dan tembakau 2.16, (4) Sektor perdagangan 1.71, (5) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 1.71, (6) Sektor bank dan jasa keuangan 1.69, (7) Sektor angkutan dan komunikasi 1.56, (8) Sektor perkebunan 1.35, (9) Sektor jasa-jasa lainnya 1.39, (10) Sektor bangunan 1.35, (11) Sektor peternakan lainnya 1.31, (12) Sektor pertambangan 1.27, (13) Sektor hotel dan restoran 1.26, (14)

Tabel 19. Pengaruh Kaitan Tak Langsung ke Depan (PKTLD) dan ke Belakang (PKTLB) Sektor- Sektor Perekonomian Jawa Tengah, 1983 I Nomor PKTLD Peringkat PKTLB Peringkat Sektor

Sektor koperasi lainnya 1.23, (15) Sektor industri makanan ternak 1.19, (16) Sektor listrik, gas dan air minum 1.15, (17) Sektor kehutanan 1.14, (18) Sektor industri pendinginan susu 1.12, (19) Sektor koperasi susu 1.11, (20) Sektor susu dan peternakan sapi perah 1.08, (21) Sektor perikanan 1.07 dan (22) Sektor pemerintah 1.00. Nilai PKTLD sektor susu dan peternakan sapi perah sebesar 1.08 adalah relatip rendah dan menduduki peringkat 20 dari 22 sektor perekonomian Jawa Tengah. Nilai-nilai PKTLB dari masing-masing sektor perekonomian Jawa Tengah mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah sebagai berikut: (1) Sektor susu dan peternakan sapi perah 2.23, (2) Sektor industri makanan, rninurnan dan ternbakau 2.03, (3) Sektor industri makanan ternak 1.99, (4) Sektor hotel dan restoran 1.85, (5) Sektor koperasi susu 1.82, (6) Sektor koperasi lainnya 1.80 (7) Sektor bangunan 1.65, (8) Sektor industri pendinginan susu 1.59, (9) Sektor peternakan lainnya 1.46, (10) Sektor jasa-jasa lainsya 1.40, (11) Sektor perkebunan 1.34, (12) Sektor listrik, gas dan air minum 1.33, (13) Sektor perikanan 1.30, (14) Sektor padi 1.28, (15) Sektor angkutan dan komunikasi 1.26, (16) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 1.22, (17) Sektor kehutanan 1.17, (18) Sektor bank dan jasa keuangan 1.14, (19) Sektor industri lainnya 1.08, (20) Sektor pertambangan 1.07, (21) Sektor perdagangan 1.06 dan (22) Sektor pemerintahan 1.0.

Nilai PKTLB sektor susu dan peternakan sapi perah, menduduki peringkat tertinggi dari semua sektor, yaitu dengan nilai sebesar 2.23. Nilai PKTLB dari sektor ini lebih besar dari nilai PKTLD-nya menunjukkan bahwa pengaruh sektor susu dan peternakan sapi perah terhadap sektor-sektor lain penyedia input adalah lebih besar dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap sektor-sektor yang menggunakan outputnya. Menurut Hirschman (1958) agar sumberdaya wilayah yang sangat terbatas jumlahnya digunakan secara efisien, maka perlu sumberdaya-sumberdaya tersebut terlebih dahulu dipakai untuk membangun sektor yang dapat menciptakan pengaruh kaitan ke belakang dan ke depan yang paling besar. Dalam kerangka tersebut, investasi memegang peranan dominan bagi pembangunan ekonomi sebagai pencipta kapasitas dan tambahan pendapatan. Konsep kaitan tersebut terutama penting sebagai mekanisme untuk menginduksi lebih besar keputusan-keputusan investasi. Berdasarkan konsep tersebut di atas maka dapat disusun klasifikasi sektor berdasarkan prioritas seperti disajikan pada Tabel 20. Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa sektor industri makanan, minuman dan tembakau menduduki prioritas pertama (indeks kaitan ke belakang dan ke depan tinggi). Selanjutnya sektor-sektor yang berada pada prioritas kedua adalah: Sektor susu dan peternakan sapi perah, Sektor

industri pendinginan susu, Sektor bangunan, Sektor hotel dan restoran, Sektor koperasi susu dan Sektor koperasi 1 lainnya mempunyai indeks kaitan ke belakang tinggi'dan ke depan rendah. Prioritas Tabel 20. Kaitan Sebagai Arahan Penentuan Prioritas Sektoral - ----- Nomor Sektor Prioritas ketiga meliputi sektor-sektor: Padi, Ta- naman bahan makanan lainnya, Perkebunan, Industri lain- nya, Perdagangan, Angkutan dan komunikasi, Bank dan jasa keuangan mempunyai indeks kaitan ke belakang rendah dan indeks kaitan ke depan tinggi. Sektor-sektor yang mempunyai kaitan baik ke bela- kang maupun ke depan rendah tergolong ke dalam prioritas keempat, meliputi Peternakan lainnya, Kehutanan, Perikan- an, Pertambangan, Industri makanan ternak, Listrik, gas -- - dan air minum, Jasa-jasa lainnya serta Pemerintah.

Dampak ke depan dan ke belakang dari sejumlah investasi yang ditanamkan pada suatu sektor tertentu terhadap perekonomian secara keseluruhan dinamakan daya penyebaran (Power d Bi3~erfim). Pada hakekatnya daya penyebaran (DP) dapat digolongkan atas DP ke belakang (&&ward Power sf Bispersion) dan DP ke depan (Forward Power of Dispersion). Penyebaran ke belakang dan ke depan pada dasarnya merupakan hasil interaksi yang terjadi apabila permintaan akhir berubah. Daya Penyebaran Ke Belakang Daya penyebaran ke belakang (DPB) merupakan ukuran dampak relatip dari peningkatan output sektor tertentu (sektor n) terhadap peningkatan output sektor-sektor la- in yang menyediakan input sektor n tersebut. Bila koefi- sien kaitannya besar, berarti sektor yang bersangkutan akan menarik' sektor-sektor lainnya untuk meningkatkan outputnya. Dengan perkataan lain, efek hubungan ke bela- kang adalah penyerapan input yang menimbulkan tarikan permintaan bahan baku atau sarana produksi. Semakin be- sar nilai DPB suatu sektor, semakin besar pula dampak ke belakang investasi pada sektor tersebut. - -- Dari Tabel 23 dapat dilihat urut-urutan nilai DPB masing-masing sektor mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil sebagai berikut: (1) Sektor susu dan pe- ternakan sapi perah 1.53, (2) Sektor industri makanan,

minuman dan tembakau 1.39, (3) Sektor industri makanan ternak 1.37, (4) Sektor hotel dan restoran 1.27, (5) Sektor koperasi susu 1.25, (6) Sektor koperasi lainnya 1.24 (7) Sektor bangunan 1.13, (8) Sektor industri pendinginan susu 1.09, (9) Sektor peternakan lainnya 1.00, (10) Sektor jasa-jasa lainnya 0.96, (11) Sektor perkebunan 0.92, (12) Sektor listrik, gas dan air rninum 0.91, (13) Sektor perikanan 0.89, (14) Sektor padi 0.88, (15) Sektor angkutan dan komunikasi 0.86, (16) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 0.84, (17) Sektor kehutanan 0.80, (18) Sektor bank dan jasa keuangan 0.78, (19) Sektor industri lainnya 0.74, (20) Sektor pertambang.an 0.73, (21) Sektor perdagangan 0.73 dan (22) Sektor pemerintahan Dari urutan di atas tampak bahwa sektor susu dan peternakan sapi perah menduduki urutan pertama dengan nilai DPB sebesar 1.53. Dauaqm~b_?%mnhmm Daya penyebaran ke depan (DPD) merupakan ukuran dampak relatip dari peningkatan output suatu sektor tertentu (sektor n) terhadap dorongan peningkatan output sektor-sektor lainnya yang menggunakan output sektor n seba- - - gai input. Apabila koefisien kaitannya besar, berarti sektor tersebut peka terhadap pengaruh sektor-sektor lainnya. Implikasinya, sektor tadi mempunyai daya dorong yang tinggi terhadap perkembangan sektor-sektor lain,

atau dengan kata lain mempunyai efek hubungan ke muka yang memberikan suplai tinggi. Jadi semakin besar nilai DPD suatu sektor, maka semakin besar pula dampak ke depan atau daya dorong sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah. Nilai DPD untuk setiap sektor dapat dilihat pada Tabe1 21. Tampak bahwa urutan nilai-nilai DPD mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah: (1) Sektor industri lainnya 1.90, (2) Sektor padi 1.59, (3) Sektor industri makanan, minuman dan tembakau 1.48, (4) Sektor perdagangan 1.18, (5) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 1.17, (6) Sektor bank dan jasa keuangan ' 1.16, (7) Sektor angkutan dan komunikasi 1.07, (8) Sektor perkebunan 1.00, (9) Sektor jasa-jasa lainnya 0.95, (10) Sektor bangunan 0.93, (11) Sektor peternakan lainnya 0.90, (12) Sektor pertambangan 0.87, (13) Sektor hotel dan restoran 0.87, (14) Sektor koperasi lainnya 0.84, (15) Sektor industri makanan ternak 0.82, (16) Sektor listrik, gas dan air minum 0.79, (17) Sektor kehutanan 0.78, (18) Sektor industri pendinginan susu 0.77, (19) Sektor koperasi susu 0.76, (20) Sektor susu dan peternakan sapi perah 0.74 (21) Sektor perikanan 0.73 dan (22) Sektor pemerintahan 0.69. Nilai DPD sektor susu dan peternakan sapi perah sebesar 0.74 adalah relatip rendah yaitu menduduki peringkat 20 dari 22 sektor perekonomian Qilayah.

Tabel 21. Nilai Daya Penyebaran ke Depan (DPD) dan ke Belakang (DPB) Sektor-sektor Perekonomian Jawa Tengah, 1983 Nomor DPB Peringkat DPD Peringkat Sektor

Hybun_@;~n_BPBdanJPD Hubungan antara nilai-nilai DPB dan DPD dari 22 sek- tor disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan nilai-nilai ter- sebut sektor-sektor perekonomian digolongkan ke dalam em- pat kelompok, yaitu: (a) Sektor-sektor ~ang' termasuk ke dalam kategori I mem- punyai nilai DPB > 1.00 dan DPD < 1.00 (Kuadran 1). Sektor-sektor yang termasuk ke dalam kategori ini adalah Sektor susu dan peternakan sapi perah, Sektor industri makanan ternak, Sektor industri pen- dinginan susu, Sektor bangunan, Sektor perdagangan dan Sektor koperasi susu. Sektor-sektor yang berada dalam kategori I ini mempunyai daya tarik lebih besar dari daya tarik ra- ta-rata semua sektor, akan tetapi sektor-sektor ter- sebut mempunyai daya dorong yang lebih kecil dari rata-rata seluruh sektor. (b) Sektor-sektor yang termasuk di dalam kategori I1 mempunyai nilai DPB > 1.00 dan DPD > 1.00 (Kuadran 11). Artinya, setiap permintaan akhir meningkat se- besar satu unit terhadap output suatu sektor terten- tu, maka sektor tersebut akan meningkatkan pembeli- an input antara lebih besar dariptmbelian rata-ra- ta seluruh sektor. Sektor-sektor yang tercakup da- lam kelompok ini adalah Sektor industri makanan, mi- numan dan tembakau.

DPO DPD Garnbar 5. Hubungan Antara DPD dan DPB

(c) Sektor-sektor yang termasuk di dalam kategori I11 mempunyai nilai DPB < 1.00 dan DPD > 1.00 (Kuadran 111). Sektor-sektor ini mempunyai daya tarik lebih kecil dari rata-rata, tetapi mempunyai daya dorong yang lebih besar dari rata-rata semua sektor. Jika permintaan akhir meningkat terhadap output sektor ini, maka sektor ini akan melakukan pembelian out- put dari berbagai sektor untuk input antara dengan jumlah relatip kecil, dan selanjutnya output yang dihasilkan dialokasikan ke berbagai sektor dengan jumlah relatip besar. Sektor-sektor tersebut meliputi 'Sektor padi, Sektor tanaman bahan makanan lainnya, Sektor perke- bunan, Sektor industri lainnya, SekLor perdagangan, Sektor angkutan dan komunikasi serta Sektor bank dan jasa keuangan. (d) Sektor-sektor yang termasuk ke dalam kategori IV mempunyai nilai DPB < 1.00 dan DPD < 1.00 (Kuadran IV). Sektor-sektor yang berada dalam kuadran ini mempunyai daya tarik dan daya dorong yang lebih ke- cil dari rata-rata semua sektor. Jika permintaan akhir meningkat sebesar satu unit terhadap output suatu sektor tertentu, maka sektor tersebut akan membeli output dari sektor-sektor lain dalam jumlah F relatip kecil untuk digunakan sebagai input antara.

Sektor-sektor yang termasuk dalam kategori ini adalah: Sektor peternakan lainnya, Sektor listrik, gas dan air minum, Sektor jasa-jasa lainnya dan Sektor pemerintahan. Sektor yang mempunyai nilai DPB dan DPD lebih besar dari rata-rata seluruh sektor, berarti mempunyai peranan yang amat menentukan terhadap perekonomian wilayah. Hal ini disebabkan kemampuannya menarik dan mendorong banyak sektor untuk berproduksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan wilayah.