Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ;

BAB II LANDASAN TEORITIS

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

BAB IV PENGOLAHAN DATA

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1 ( )

A. Metode Pengambilan Data

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI MODEL IKLIM REGIONAL RegCM3 UNTUK REKONSTRUKSI DATA IKLIM HISTORIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

7. PERUBAHAN PRODUKSI

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU

UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 2015

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Arti Penting Kalender Tanam (Katam) Padi

Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi dan BTR kelapa sawit

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

REGRESI KUADRAT TERKECIL PARSIAL UNTUK STATISTICAL DOWNSCALING

1. BAB I PENDAHULUAN

Gambar 1. Diagram TS

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) , , , S E M A R A N

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang cukup tinggi. Namun seperti telah disampaikan di depan bahwa luaran dari RegCM3 masih mengandung bias. Oleh sebab itu diperlukan koreksi agar data dari luaran RegCM3 bisa mendekati kondisi aktual (data observasi). Berikut disajikan pola curah hujan dan suhu udara antara data luaran RegCM3(sebelum dan sesudah dikoreksi) dengan data observasi. Data curah hujan yang digunakan untuk menentukan faktor koreksi pada penelitian ini adalah data curah hujan harian dari 1 Januari 1998 sampai dengan 31 Desember 2010. Gambar 8 berikut ini adalah grafik yang menunjukkan pola hubungan curah hujan rata-rata harian antara data observasi dengan data luaran RegCM3. 25 Grafik Pola Hubungan Rata-rata CH Harian (Obs dan RegCM3) Rata-rata CH Harian (mm/hari) 20 15 10 5 0 RegCM3 RegCM3 terkoreksi Observasi Hari Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi Gambar 8 menunjukkan pola curah hujan harian rata-rata antara data model (sebelum dan sesudah koreksi) dengan data observasi. Data curah hujan model sebelum dikoreksi (garis biru) mempunyai pola yang tidak begitu fluktuatif, 32

hampir sama dari hari ke hari. Bahkan tidak bisa menggambarkan adanya pengaruh musim hujan dan musim kemarau, karena dari hari ke hari nilainya hampir sama, yaitu berkisar 2-7 mm/hari. Sedangkan untuk curah hujan observasi (garis hijau) sangat fluktuatif, yaitu kisarannnya antara 0-17 mm/hari dan terlihat jelas dari adanya pengaruh musim. Dari gambaran itu menunjukkan bahwa curah hujan model sebelum dikoreksi tidak bisa menggambarkan kondisi aktual (observasi). Namun setelah dilakukan koreksi bias, data curah hujan model terkoreksi (garis merah) polanya sangat mirip dengan pola yang ditunjukkan oleh curah hujan observasi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya koreksi bias, data curah hujan model RegCM3 memiliki karakteristik yang sama dengan data curah hujan observasi (besaran curah hujan dan pola temporalnya). Sehingga secara grafis, model RegCM3 yang telah dikoreksi ini dapat dikatakan sudah handal untuk digunakan analisis lebih lanjut. Data curah hujan harian di atas apabila disederhanakan menjadi data bulanan, akan tampak seperti gambar 9 berikut ini. 400 Grafik Pola Hubungan Rata2 CH Bulanan Obs dan RegCM3 Rata2 CH Bulanan (mm/bln) 350 300 250 200 150 100 50 RegCM3 RegCM3 Terkoreksi Observasi 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Gambar 9. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Bulanan RegCM3 (Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi Gambar 9 memperlihatkan pola curah hujan rata-rata bulanan dari data model dan data observasi. Seperti halnya dengan pola curah hujan rata-rata harian 33

pada Gambar 8, data dari model RegCM3 sebelum dikoreksi (garis biru) polanya tidak begitu fluktuatif sehingga kurang jelas dalam menggambarkan pengaruh musim yang terjadi. Setelah data model RegCM3 dikoreksi polanya sangat sesuai dengan data observasinya. Hal ini ditunjukkan dengan garis merah (model RegCM3 terkoreksi) dan garis hijau ( observasi) yang berimpit pada setiap bulannnya. Dari Gambar 9 tersebut dapat kita ketahui juga bahwa tipe hujan di daerah penelitian adalah monsunal. Tipe hujan monsunal ditandai dengan bentuk pola hujan yang bersifat unimodal, yaitu memiliki satu puncak musim hujan (sekitar bulan Desember-Februari) dan satu puncak musim kemarau. Dalam pola hujan ini terdapat perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau dimana biasanya terjadi masing-masing selama enam bulan (Boerema dalam Boer 2003). Bulan yang paling basah adalah pada bulan Januari, dengan curah hujan rata-rata nya adalah 350 mm/bulan dan bulan paling kering adalah pada bulan Agustus dengan curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm/bulan. Selain curah hujan, pada penelitian ini juga dilakukan koreksi bias suhu udara. Data yang digunakan untuk menentukan faktor koreksi suhu udara pada penelitian ini adalah data suhu udara bulanan mulai bulan Januari 1990 sampai dengan bulan Desember 1997. Gambar 10 menunjukkan grafik pola hubungan suhu udara bulanan antara data observasi dengan data luaran RegCM3. Pola rata-rata suhu udara bulanan yang ditunjukkan pada Gambar 10 memperlihatkan bahwa antara data model dengan data observasi sangat mirip sekali, dimana suhu udara rata-rata bulanan maksimum terjadi pada bulan Oktober baik untuk data model maupun data observasi dan suhu rata-rata bulanan minimum terjadi pada bulan Juli. Namun data model RegCM3 sebelum dikoreksi masih menunjukkan perbedaan nilai dengan data observasi. Hal ini terlihat jelas dari garis biru (RegCM3 sebelum dikoreksi) masih berada di bawah garis hijau (observasi). Setelah dilakukan koreksi, data RegCM3 menunjukkan kesamaan dengan data observasinya, hal ini ditunjukkan dengan garis merah (RegCM3 terkoreksi) selalu berimpit dengan garis hijau (observasi) pada setiap bulannya. 34

Rata2 Suhu Bulanan (oc) 26.5 26 25.5 25 24.5 Grafik Pola Hubungan Rata2 Suhu Bulanan RCM dan Obs RegCM3 RegCM3 Terkoreksi Observasi 24 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Gambar 10. Pola Hubungan Suhu Rata-rata Bulanan RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi Kesamaan pola dari data suhu udara model RegCM3 terkoreksi dengan suhu udara observasi pada Gambar 10 di atas mengindikasikan bahwa data suhu udara dari luaran model RegCM3 terkoreksi secara grafis bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut. Gambar 10 di atas juga menginformasikan bahwa suhu udara ratarata bulanan di daerah penelitian berkisar antara 24,7 o C 26 o C. Suhu udara tertinggi terjadi pada Februari, Mei dan Oktober, yaitu sekitar 26 0 C dan terendah terjadi pada Juli dengan suhu 24,7 o C. 4.2 Evaluasi Kehandalan Data Model Luaran RegCM3 Data luaran model RegCM3 setelah dilakukan koreksi bias perlu diuji kehandalannya secara statistik untuk mengetahui apakah data luaran model RegCM3 bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut atau tidak. Data model bisa digunakan atau dikatakan handal untuk analisis lanjutan apabila memenuhi kriteria seperti yang telah disebutkan di BAB III, yaitu dilihat dari nilai error, koefisien determinasi (R 2 ) dan NSE terhadap data observasi. antara hasil simulasi model RegCM3 35

Tabel 4 berikut merupakan hasil perhitungan statistik data model sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi untuk mengetahui apakah data luaran model RegCM3 handal dan bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut atau tidak. Tabel 4. Nilai R 2, Error,dan NSE (Sebelum dan Setelah Koreksi Bias) Parameter Sebelum Koreksi R 2 MSE NSE Curah Hujan Harian 0.4160 19.5724-0.1921 Bulanan 0.4740 495.4142-0.2452 Suhu Bulanan 0.7710 0.0930 0.3020 Parameter Setelah Koreksi R 2 MSE NSE Curah Hujan Harian 0.8530 4.8861 0.7024 Bulanan 1.0000 0.1007 0.9997 Suhu Bulanan 1.0000 0.0000 1.0000 (Hasil perhitungan) Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai R 2 dan NSE untuk parameter curah hujan bulanan dan suhu bulanan setelah dikoreksi bernilai 1 dan mendekati 1. Hal ini berarti bahwa antara model dan observasi menunjukkan kesamaan. Sedangkan untuk parameter curah hujan harian setelah dikoreksi nilai R 2 =0.8530 dan NSE= 0.7024. Nilai tersebut meskipun belum mendekati sempurna, tetapi secara statistik sudah sangat layak digunakan untuk analisis lebih lanjut karena nilai R 2 dan NSE mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Indikator nilai error (MSE) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perbandingan nilai error antara data RegCM3 sebelum dan sesudah dikoreksi mengalami penurunan yang signifikan, terutama untuk parameter curah hujan bulanan dan suhu bulanan. Nilai error untuk kedua parameter tersebut mendekati nol. Berdasarkan uji kehandalan tersebut, dapat dikatakan bahwa data luaran model RegCM3 setelah dikoreksi mampu merekonstruksi dan menggambarkan kondisi iklim lokal yang mendekati kondisi lapangan. Oleh sebab itu data luaran model RegCM3 bisa diaplikasikan untuk analisis selanjutnya. Penelitian Hay (2002) juga menunjukkan bahwa RegCM2 dalam menggambarkan kondisi iklim lokal menunjukkan performa yang baik. Hal ini terbukti dalam mensimulasikan 36

runoff di Amerika Serikat dengan menggunakan data luaran RegCM2 menunjukkan hasil yang signifikan dengan runoff observasi. RegCM3 merupakan hasil downscaling dinamik dari model iklim yang resolusi spasialnya lebih besar, seperti GCM. Dengan adanya downscaling ini menjadikan performa RegCM3 menjadi akurat jika diterapkan untuk analisis hidrolologi pada skala lokal. 4.3 Keadaan Curah Hujan Berdasarkan Data Luaran RegCM3 Besarnya curah hujan di suatu daerah tergantung dari posisi daerah tersebut terhadap laut dan pegunungan. Atau dengan kata lain besarnya curah hujan sangat tergantung dari topografi. Kecenderungan yang ada bahwa semakin tinggi suatu tempat maka curah hujan akan semkin tinggi. Gambar 11 menunjukkan hubungan ketinggian tempat dengan besarnya curah hujan di daerah penelitian berdasarkan data luaran model RegCM3 terkoreksi. Grafik Hubungan Ketinggian dengan Curah Hujan Rata-rata CH Tahunan (mm/th) 2500 2000 1500 1000 500 0 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 Ketinggian (m) Gambar 11. Hubungan ketinggian tempat dengan curah hujan Gambar 11 tersebut menunjukkan bahwa di daerah penelitian, besarnya curah hujan model tidak selalu tergantung dengan ketinggian tempatnya. Hal ini ditujukkan oleh garis kecenderungan yang relatif datar. Ada tempat dengan elevasi yang rendah tetapi curah hujannya lebih tinggi dibandingkan pada tempat yang elevasinya lebih tinggi. Misalnya pada lokasi dengan ketinggian 5 m dpal curah hujan tahunannya 2.235 mm/tahun sedangkan daerah yang paling tinggi, yaitu 3.000 m dpal curah hujannya 1.950 mm/tahun. 37

Fenomena besarnya curah hujan seperti disebutkan di atas bisa disebabkan pengaruh daerah bayang-bayang hujan. Yaitu suatu lereng pegunungan yang sangat kecil menerima curah hujan karena curah hujan telah jatuh di lereng pegunungan sebaliknya. Daerah bayang-bayang hujan identik dengan curah hujan yang kecil karena angin yang berhembus tidak membawa uap air. Hubungan ketinggian dengan curah hujan di atas, akan nampak lebih jelas lagi dengan adanya peta sebaran curah hujan di daerah penelitian. Gambar 12 memperlihatkan sebaran rata-rata curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna berdasarkan data luaran model RegCM3 terkoreksi. Gambar tersebut menunjukkan bahwa di daerah dataran rendah yang dekat pantai (Pati dan Rembang), curah hujan tahunannya paling rendah dengan rata-rata kurang dari 1.700 mm/tahun. Fakta ini seusai dengan penelitian yang dilakukan oleh Turyanti (1995) dan Jadmiko (2011). Turyanti dan Jadmiko dalam penelitiannya menyatakan bahwa curah hujan daerah di pantai utara pulau Jawa lebih rendah dibandingkan dengan curah hujan di daerah pantai selatan pulau Jawa. Semakin ke atas curah hujan akan semakin besar. Ke arah utara, yaitu ada Gunung Muria yang ada di Kabupaten Kudus, curah hujan semakin meningkat. Begitu juga ke arah Barat Daya ada Gunung Merapi. Daerah di lereng Gunung Merapi, seperti Boyolali dan Salatiga curah hujan juga mengalami peningkatan. Meskipun sama-sama di lereng gunung, antara daerah yang ada di lereng Gunung Muria dengan dareah yang ada di lereng Gunung Merapi menunjukkan besaran rata-rata curah hujan tahunan yang berbeda. Sebagai contohnya daerah Boyolali yang ada di lereng Gunung Merapi curah hujannya lebih rendah dibandingkan daerah Kudus yang ada di lereng Gunung Muria. Hal ini dimungkinkan di lereng timur laut dari Gunung Merapi merupakan daerah bayang-bayang hujan, sehingga meskipun ketinggiannya hampir sama dengan lereng Gunung Muria, tetapi curah hujan di daerah lereng Gunung Merapi ini lebih kecil. Gambar 12 juga menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Sub DAS Seluna curah hujan rata-rata tahunannya sebesar 1.701 2.200 mm/tahun. Daerah-daerah tersebut meliputi sebagian besar Kabupaten Grobogan, Kudus, Demak, Boyolali, Semarang, Salatiga,Sragen dan Blora. 38

39 Gambar 12. Curah Hujan Wilayah rata-rata tahunan di Sub DAS Seluna

Curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna dari tahun ke tahun kecenderungannya mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan IPCC Projected Climate Change, dalam Lavinson (2009), yang menyatakan bahwa total presipitasi dari tahun ke tahun di prediksikan akan mengalami peningkatan. Kecenderungan curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna dari tahun 1990 2010 digambarkan pada Gambar 13. 4000 Grafik Kecenderungan Curah Hujan CH Tahunan (mm/tahun) 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 Tahun Gambar 13. Kecenderungan Curah Hujan Tahunan (1990 2010) Gambar 13 di atas selain menunjukkan kecenderungan curah hujan tahunan dari tahun ke tahun yang mengalami peningkatan juga dapat diketahui bahwa curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna memiliki pola 2 puncak dan 2 lembah dalam kurun waktu 21 tahun (1990-2010). Tahun-tahun paling kering dalam kurun waktu tersebut terjadi pada tahun 1991 dan 2004 dan tahun-tahun paling basah terjadi pada tahun 1998 dan 2010. Berdasarkan www.ggweather.com tahun 1991 dan 2004 merupakan tahun kejadian El Nino dan tahun 1998 dan 2010 merupakan tahun La Nina. Bahkan pada tahun 2010 merupakan kejadian La Nina kuat, hal ini sesuai dengan Gambar 13 di atas, bahwa pada tahun 2010 merupakan tahun paling basah. Fakta tersebut menunjukkan bahwa data luaran model RegCM3 mampu menggambarkan fenomena El Nino dan La Nina yang terjadi. 40

4.4 Keadaan Suhu Udara Berdasarkan Data Luaran RegCM3 Variasi spasial dari suhu udara juga sangat dipengaruhi oleh topografi permukaannya. Sesuai dengan hukum Mock bahwa setiap kenaikan 100 m dpal, maka suhu udara akan mengalami penurunan sebesar 0. 6 0 C. Jadi semakin tinggi suatu tempat maka suhu udara akan mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan fenomena yang ditunjukkan oleh data suhu udara hasil luaran model RegCM3. Hubungan ketinggian dengan perubahan suhu udara di Sub DAS Seluna ditunjukkan oleh Gambar 14. Grafik Hubungan Ketinggian dengan Suhu Udara Rata-rata Suhu Tahunan (derajat C) 28 27 26 25 24 23 22 21 20 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 Ketinggian (m) Gambar 14. Hubungan antara ketinggian tempat degan suhu udara Gambar 14 menunjukkan garis kecenderungan suhu semakin menurun, artinya bahwa besarnya suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian tempatnya. Semakin tinggi suatu tempat, maka suhu udara akan semakin menurun. Gambar 14 menunjukkan bahwa pada ketinggian antara 0 100 m dpal, besarnya suhu udara sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 25,5 o C 27,5 o C. Seiring dengan bertambahnya ketinggian, suhu udara semakin menurun. Contohnya pada ketinggian 300 m dpal, suhu udara berkisar pada 23,5 o C dan pada titik tertinggi yang ada di Sub DAS Seluna yaitu 3.000 m dpal, suhu udaranya paling rendah, yaitu sekitar 20,6 o C. 41

Seperti halnya dengan kecenderungan curah hujan dari tahun ke tahun yang meningkat, kecenderungan suhu udara pun juga mengalami peningkatan. Gambar 15 menunjukkan kondisi suhu udara di Sub DAS Seluna dalam kurun waktu 1990 2010 mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Suhu Udara (oc) 26.2 26.1 26 25.9 25.8 25.7 25.6 25.5 25.4 25.3 Grafik Kecenderungan Suhu Udara 25.2 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 Tahun Gambar 15. Kecenderungan suhu udara tahunan (1990 2010) Pola sebaran spasial suhu udara rata-rata tahunan di Sub DAS Seluna digambarkan pada Gambar 16. Gambar 16 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna rata-rata suhu udara tahunannya antara 25,6 o C -26,5 o C. Daerah-daerah tersebut adalah sebagian besar Grobogan, Kudus, Demak dan Sragen. Suhu tertinggi yang ada si Sub DAS Seluna adalah antara 27,6-28,5 o C. Daerah dengan suhu tertinggi tersebut ada di Kabupaten Pati yang berdekatan dengan laut. Sedangkan suhu terendah yang ada di Sub DAS Seluna sebesar 20,6-21,5 o C. Daerah dengan suhu terendah tersebut ada di Kabupaten Boyolali yang berada di lereng gunung Merapi. 42

43 Gambar 16. Suhu Udara Rata-rata Tahunan Sub DAS Seluna

4.5 Evaluasi Kehandalan Model Kekeringan Uji ini digunakan untuk mengetahui hubungan luas kekeringan yang dihasilkan dari model dengan luasan kekeringan aktual di daerah penelitian.wilayah yang digunakan untuk sampling adalah Kabupaten Kudus, karena persentase luas wilayah Kabupaten Kudus adalah yang terluas di Sub DAS Seluna (Tabel 2). Luasan kekeringan aktual pada uji ini dengan menggunakan data kekeringan tanaman padi, sehingga pada model yang dihitung luasan kekeringannya adalah pada penggunaan lahan sawah. Gambar 17 menunjukkan tingkat korelasi dari hubungan kekeringan aktual dengan kekeringan model pada kondisi air 0%KL sampai dengan 50%KL. 0.60 Grafik Nilai Korelasi Kekeringan Aktual dan Model Nilai Korelasi 0.55 0.50 0.45 0.40 0.35 r hitung r tabel 0.30 50%KL 40%KL 30%KL 20%KL 10%KL 0%KL Kondisi Air Tersedia Gambar 17. Nilai Korelasi Kekeringan Aktual dan Model menurut %KL Gambar 17 tersebut menginformasikan bahwa model kekeringan yang handal ditunjukkan pada kondisi air tersedia 40%KL -10% KL, karena nilai r hitung di atas nilai r tabel. Dari keempat model yang handal tersebut, yang menunjukkan hubungan paling kuat adalah model pada kondisi air tersedia 30%KL, dimana r hitung nya 0.6. Koefisien korelasi 0.5-0.7 menunjukkan tingkat hubungan yang kuat. Hubungan yang kuat ini mengindikasikan bahwa fluktuasi luasan kekeringan terhadap waktu antara model dan aktual menunjukkan kemiripan. Artinya pada saat luas kekeringan akutal mengalami peningkatan, maka luasan kekeringan model juga mengalami peningkatan, dan sebaliknya. Hasil analisis ini sesuai 44

dengan penelitian yang dilakukan oleh Supijatno (2012). Penelitian Supijatno menunjukkan bahwa ada beberapa varietas padi gogo yang masih bisa beradaptasi pada kondisi air tersedia 30% - 40% KL. Sehingga pada kondisi air tersedia dibawah 30% KL, tanaman padi sudah mengalami cekaman kekeringan. Dari analisis kehandalan model kekeringan dan didukung dari penelitian Supijatno, maka dapat dikatakan bahwa di daerah penelitian, padi mulai mengalami cekaman kekeringan pada kondisi air tersedia 30% KL. Luasan kekeringan dari model (untuk semua % kapasitas lapang) menunjukkan perbedaan dengan luasan kekeringan aktual tanaman padi. Luasan yang dihasilkan dari model sedikit overestimate. Informasi ini bisa dikatakan bahwa model belum mampu menggambarkan luasan kekeringan aktual dengan cukup baik. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu periode tertentu lahan sawah tidak semuanya ditanami padi melainkan ada yang ditanamai tanaman pertanian lainnya. Sehingga pada saat model mensimulasikan lahan sawah pada periode tertentu mengalami kekeringan, tetapi secara aktual pada saat tersebut yang tercatat hanya kekeringan tanaman padi, untuk tanaman lainnya tidak. Atau tanaman lain yang ditanam pada lahan sawah merupakan tanaman yang bisa beradaptasi terhadap cekaman kekeringan. Sehingga pada saat itu yang mengalami cekaman kekeringan hanya tanaman padi. 4.6 Karakteristik Kekeringan di Sub DAS Seluna 4.6.1 Pola Sebaran Persentase Kapasitas Lapang di Sub DAS Seluna berdasarkan kejadian El Nino, La Nina dan Normal Pola kekeringan (digambarkan dengan kondisi persentase kapasitas lapang) yang ada di Sub DAS Seluna dikelompokkan berdasarkan tahun-tahun kejadian El Nino, La Nina dan Normal. Pengelompokkan pola kekeringan dilakukan karena adanya variasi kekeringan yang sangat beragam. Pengelompokan ini menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis). Tujuan dari analisis ini untuk mentransformasi peubah-peubah asal yang berkorelasi menjadi peubah baru yang saling bebas satu sama lain. 45

Tahun-tahun kejadian El Nino kurun waktu 1990-2010 berdasarkan www.ggweather.com adalah 1991,1994,1997,2002,2004,2006, dan 2009. Tahuntahun kejadian La Nina adalah 1995, 1998, 1999, 2000, 2007, dan 2010. Sedangkan tahun normal adalah tahun-tahun selain kejadian El Nino dan La Nina. Dalam setiap periode tersebut dibuat nilai rata-rata kekeringan tiap bulannya. Sehingga didapatkan rata-rata fluktuasi kekeringan dalam setahun untuk setiap kelompok. Gambar 18, 19, dan 20 menunjukkan sebaran persentase kapasitas lapang berdasarkan kejadian El Nino, La Nina dan Normal di Sub DAS Seluna. POLA PERSENTASE KAPASITAS LAPANG PADA PERIODE EL NINO Gambar 18. Pola Persentase Kapasitas Lapang Periode El Nino di Sub DAS Seluna Gambar 18 menunjukkan bahwa pada periode El Nino, kluster persentase kapasitas lapang yang ada di Sub DAS Seluna terdapat 5 kluster. Dari 5 kluster tersebut, 4 kluster menunjukkan adanya kejadian kekeringan di wilayah Sub DAS Seluna. Hal ini ditunjukkan adanya garis grafik biru (persentase kapasitas lapang) yang berada di bawah batas kekeringan (30% KL). Hanya ada 1 kluster yang selama kejadian El Nino tidak terjadi kekeringan, yaitu kluster 1. Wilayah yang termasuk dalam kluster 1 ini ada di sebagian Kabupaten Boyolali. 46

Awal dan akhir dari kejadian kekeringan pada saat El Nino di Sub DAS Seluna berbeda-beda antara kluster yang satu dengan kluster yang lainnya. Sehingga lama berlangsungnya kekeringan pun juga berbeda. Dari Gambar 18 nampak bahwa sebagian besar awal kekeringan terjadi pada bulan Juni, yaitu pada kluster 3 dan 5. Sedangkan pada Kluster 2 mulai terjadi kekeringan pada bulan Juli dan kluster 4 pada bulan Agustus. Sebagian besar dari wilayah Sub DAS Seluna masuk dalam kluster 2. Kejadian kekeringan di kluster 2 terjadi mulai Juli sampai dengan November, sehingga kekeringan terjadi selama 5 bulan.wilayah yang paling lama mengalami kekeringan saat periode El Nino terjadi di kluster 5 dengan lama kekeringan selama 6 bulan (Juni-November). Wilyah yang masuk ke dalam kluster 5 meliputi Kabupaten Pati dan Rembang. POLA PERSENTASE KAPASITAS LAPANG PADA PERIODE LA NINA Gambar 19. Pola Persentase Kapasitas Lapang Periode La Nina di Sub DAS Seluna Gambar 19 menunjukkan bahwa pada periode La Nina, di Sub DAS Seluna terdapat 2 kluster persentase kapasitas lapang. Dari kedua kluster yang terbentuk tersebut, hampir seluruh wilayah Sub DAS Seluna masuk dalam kluster 1. Pola persentase kapasitas lapang pada kluster 1 menunjukkan bahwa tiap-tiap bulan dalam setahun tidak pernah terjadi kekeringan. Hal ini tampak dari garis grafik 47

biru (persentase kapasitas lapang), selalu di atas garis merah (batas terjadinya kekeringan). Informasi di atas mengindikasikan bahwa pada periode La Nina di Sub DAS Seluna sebagian besar wialyahnya tidak pernah mengalami kekeringan sepanjang tahunnya. Kluster 2, saat periode La Nina menunjukkan adanya kejadian kekeringan, yaitu terjadi pada bulan Agustus Oktober. Wilayah yang masuk kedalam kluster 2 ini adalah sebagian Kabupaten Pati dan Kudus. POLA PERSENTASE KAPASITAS LAPANG PADA PERIODE NORMAL Gambar 20. Pola Persentase Kapasitas Lapang Periode Normal di Sub DAS Seluna Gambar 20 menunjukkan pola persentase kapasitas lapang pada tiap-tiap kluster di Sub DAS Seluna pada periode tahun normal. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna masuk dalam kluster 1. Kluster 1 pada saat periode tahun normal menunjukkan adanya kejadian kekeringan pada bulan Agustus Oktober. Dari penjelasan di atas, nampak bahwa sebagian besar wilayah sub DAS Seluna pada saat periode El Nino mengalami kekeringan selama 5 bulan, yaitu 48

pada bulan Juli - November. Dan pada saat periode La Nina, sebagian besar wilayahnya tidak pernah mengalami kekeringan setiap bulannya. Sedangkan pada periode normal sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna mengalami kekeringan selama 3 bulan, yaitu bulan Agustus-Oktober. Hasil simulasi kekeringan dengan menggunakan data luaran RegCM3 di atas menunjukkan bahwa model RegCM3 dalam menggambarkan kekeringan di Sub DAS Seluna identik dengan karakteristik kejadian El Nino, La Nina dan Normal. Dimana kejadian El Nino diidentikkan dengan kekeringan yang berkepanjangan dan kejadian La Nina kebalikan dari El Nino (musim penghujan yang panjang). Dan tahun normal, ditandai dengan pengaruh pergerakan angin barat dan angin timur (monsoon) yang terjadi secara periodik tiap bulannya. Karakteristik kekeringan dari adanya pengaruh El Nino, La Nina dan Normal juga dapat diketahui dari deret hari kering di daerah penelitian. Kejadian El Nino ditandai dengan kekeringan yang berkepanjangan dari tahun-tahun normal. Sedangkan kejadian La Nina ditandai dengan musim penghujan yang berkepanjangan. Gambar 21 merupakan jumlah deret hari kering di Sub DAS Seluna dari tahun 1990 sampai dengan 2010. Gambar 21 tersebut menunjukkan bahwa jumlah deret hari kering di Sub DAS Seluna dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan La Nina. Pada tahun-tahun kejadian El Nino pada umumnya jumlah deret hari kering di atas rata-rata, yaitu berkisar 160 DHK. Nilai ini menunjukkan bahwa pada saat El Nino, rata-rata kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna selama 5 bulan lebih berturut-turut. Pada tahun-tahun La Nina, jumlah deret hari kering berkurang dari rata-ratanya, yaitu berkisar 80 DHK. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kejadian kekeringan terjadi kurang dari 3 bulan berturut-turut. 49

Jumlah DHK (hari) 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Grafik Rata-rata Jumlah Deret Hari Kering Di Sub DAS Seluna = El Nino = La Nina Tahun Gambar 21. Rata-rata Jumlah Deret Hari Kering Tahun 1990-2010 4.6.2 Variasi temporal rata-rata kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna (1990-2010). Fluktuasi dari CH rata-rata, nilai peluang terjadinya kekeringan rata-rata dan besarnya kadar air tersedia berdasarkan % kapasitas lapang rata-rata disajikan pada Gambar 22. Gambar 22 memperlihatkan bahwa pola % KL mengikuti pola curah hujan. Saat curah hujan mengalami penurunan, %KL juga mengalami penurunan dan sebaliknya. Garis mendatar menunjukkan batas ambang kekeringan dari hasil uji kehandalan model kekeringan, yaitu pada kondisi air 30%KL. Berdasarkan nilai ambang batas tersebut, di daerah penelitian rata-rata mulai mengalami kekeringan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober. Dan puncak kekeringan paling parah terjadi pada bulan September, yaitu dengan kondisi air tersedia lebih kurang 12%KL dan peluang terjadinya adalah 83%. Sedangkan paling basah terjadi pada bulan Januari, dengan kondisi air 90,3%KL. Peluang untuk terjadi kekeringan pada bulan-bulan Desember sampai dengan April kurang dari 10%, sehingga pada bulan Desember-April apabila dilakukan penanaman padi sangat cocok. Karena padi merupakan tanaman yang membutuhkan air tersedia cukup banyak dan bisa dipenuhi pada periode Desember-April. 50

Grafik Pola Hubungan Rata2 CH,Peluang dan % KL CH rata2 (mm/bulan) 400 350 300 250 200 150 100 50 CH % KL Peluang 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 % KL dan Peluang (%) 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 0 Bulan Gambar 22. Pola CH rata-rata, %KL rata-rata dan Peluang rata-rata 4.6.3 Variasi spasial rata-rata kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna (1990-2010). Sebaran kekeringan di Sub DAS Seluna dan grafik hubungan antara luasan kekeringan aktual dengan model berdasarkan kabupaten/kota yang ada di Sub DAS Seluna dapat disajikan pada Gambar 23. Gambar 23 (a) menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Sub DAS Seluna pada saat bulan-bulan terkering, yaitu bulan Agustus, September dan Oktober telah mengalami kekeringan. Persentase luas wilayah dengan kondisi air tersedia 0%-10% KL adalah 4,5%, kemudian secara berturut turut pada kondisi air tersedia 10%-20%KL, 20%-30%KL, 30-40%KL, dan 40%-52%KL adalah 51,17%, 37,67%, 6,67%, dan 0.02%. 51

(a) 70000 Hubungan Luas Kekeringan Aktual dan Model 120 Luas Kekeringan Model (ha) 60000 50000 40000 30000 20000 10000 Luas Model Luas Aktual r= 0.61 100 80 60 40 20 Luas Kekeringan Aktual (ha) 0 0 (b) Gambar 23. (a) Rata-rata Kondisi Air Tersedia pada Bulan Agustus-Oktober Menurut %KL, (b) Hubungan Luasan Kekeringan Aktual dan Model menurut Kabupaten/Kota 52

Persentase luasan wilayah berdasarkan kondisi air tersedia pada bulan-bulan terkering menunjukkan bahwa di Sub Das Seluna sebagian besar wilayanya pada kondisi air 10%-20% KL. Menurut Enciso et al (2007) tanaman-tanaman yang sensitif terhadap cekaman kekeringan, saat kondisi air tanah terendah pada 25% KL masih bisa ditolerir. Berarti di bawah 25% KL sudah mulai mengalami cekaman kekeringan. Jika dikaitkan dengan pendapat Enciso tersebut, maka sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna pada bulan Agustus-Oktober telah mengalami cekaman kekeringan. Karena memiliki kondisi air di bawah 25%KL. Wilayah dengan kondisi air tersedia 10%-20% KL tersebut meliputi sebagian besar Blora, Pati, Kudus,Grobogan dan Rembang, serta sebagian kecil Boyolali dan Sragen. Gambar 23 (b) merupakan grafik hubungan luasan kekeringan model (luas kekeringan pada penggunaan lahan sawah) dan luasan kekeringan aktual (luas kekeringan untuk tanaman padi). Proses untuk mendapatkan luas kekeringan model yaitu mula-mula ditentukan grid-grid yang ada di wilayah penelitian masuk kategori kering (%KL <30) ataukah tidak kering (%KL >= 30). Selanjutnya diberikan kode pada masing-masing grid. Kode 1 apabila kondisinya kering dan kode 0 apabila kondisinya tidak kering. Dari kode-kode tersebut diinterpolasi, sehingga dihasilkan peta sebaran kekeringan di lokasi penelitian. Berhubung data kekeringan aktual merupakan data luasan kekeringan tanaman padi, maka pada model yang dihitung adalah luasan kekeringan yang terjadi di penggunaan lahan sawah. Luas kekeringan di penggunaan lahan sawah didapatkan dengan cara overlay peta sebaran kekeringan dengan peta penggunaan lahan. Dari hasil overlay tersebut akan didapatkan luas kekeringan pada berbagai penggunaan lahan. Dan yang dipakai untuk analisis dalam penelitian ini adalah luas kekeringan yang ada di penggunaan lahan sawah. Nilai korelasi antara luasan kekeringan model dengan aktual pada Gambar 23 (b) menunjukkan korelasi r=0.61. Nilai korelasi ini mengandung arti hubungan yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan analisis kekeringan dengan menggunakan input data luaran RegCM3 mampu menggambarkan karakteristik (sebaran) kekeringan di daerah penelitian dengan cukup baik. Gambar 23 (b) jika dihubungkan dengan Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kabupaten/kota yang 53

persentase luas wilayah masuk Sub DAS nya kecil akan menyebabkan berkurangnya nilai korelasi, misalnya Kabupaten Rembang, persentase luas wilayah yang masuk Sub DAS hanya 2,53% menunjukkan pola hubungan luas kekeringan model dengan luas kekeringan aktual yang tidak baik. Demikian juga untuk Kabupaten Semarang (14.24%) dan Kabupaten Sragen (13.86%). Hal ini dikarenakan semakin besarnya error yang dihasilkan. Namun untuk kabupaten/kota yang persentase luas wilayah masuk Sub DAS nya besar, menunjukkan pola hubungan luas kekeringan aktual dan luas kekeringan model yang bagus. Misalnya Kabupaten Kudus (77,06%), Kabupaten Grobogan (73.77%) dan Pati (60.87%). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa persentase luas wilayah yang masuk Sub DAS sangat menentukan keakuratan validasi antara luasan kekeringan aktual dan luasan kekeringan model. Oleh sebab itu agar didapatkan hasil penelitian yang validitasnya baik, maka penelitian selanjutnya supaya dilakukan pada satuan penelitian dengan batas administrasi, sehingga akan didapatkan persentase luas wilayah yang optimal. Nilai korelasi antara luasan aktual dan luasan model meskipun cukup baik, namun luasan yang dihasilkan dari model masih menunjukkan nilai yang overestimate. Sehingga untuk menduga luasan kekeringan untuk tanaman padi di lapangan bisa diduga dari nilai kekeringan model dengan menggunakan persamaan yang dihasilkan dari Gambar 24 berikut ini. 120 Persmaan Garis Lurus Luasan Kekeringan Aktual dan Model Luas Aktual (ha) 100 80 60 40 20 0 y = 0.001x + 23.083 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 Luas Model (ha) Gambar 24. Persamaan garis lurus antara luasan aktual dan model Gambar 24 merupakan hubungan garis lurus antara luasan kekeringan aktual dengan kekeringan model. Persamaan yang dihasilkan adalah: 54

y = 0.001x + 23.083 Keterangan : y = luasan kekeringan aktual (kekeringan padi) (ha) x = luasan kekeringan model (ha) Dengan menggunakan persamaan di atas, maka dapat untuk menduga nilai kekeringan aktual (kekeringan tanaman padi) yang terjadi di lokasi penelitian dengan memasukkan nilai luasan kekeringan yang dihasilkan dari model. 4.6.4 Peluang kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna bersasarkan El Nino, La Nina dan Normal. Seperti telah disebutkan di sub bab viariasi temporal di atas, bahwa kekeringan memiliki variasi yang berbeda-beda tiap bulannya dan tiap tahunnya. Pada sub bab ini akan dibahas mengenai peluang kejadian kekeringan tiap bulan berdasarkan kejadian El Nino, La Nina dan Normal dari perhitungan kekeringan tahun 1990 2010. Gambar 25 berikut menunjukkan peluang kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna dari bulan Januari sampai dengan Desember berdasarkan kejadian El Nino, La Nina dan Normal. Gambar 25 secara umum menunjukkan bahwa pada bulan Januari - April, seluruh wilayah Sub DAS Seluna peluang terjadinya kekeringan < 20%. Karena pada bulan-bulan tersebut merupakan musim penghujan, sehingga tambahan air untuk soil moisture tercukupi. Mulai bulan Mei besarnya peluang kejadian kekeringan semakin meningkat. Peningkatan besarnya peluang kejadian kekeringan ini dimulai dari arah pantai Pati dan semakin bergeser ke arah barat daya (kearah Kabupaten Boyolali). Pada periode El Nino, kekeringan mengalami puncaknya pada bulan Oktober dengan peluang antara 81% - 100% terjadi di hampir seluruh wilayah Sub DAS Seluna. Puncak kekeringan pada saat La Nina dan Normal terjadi pada bulan yang sama, yaitu bulan September, tetapi besarnya peluang berbeda. Besarnya peluang kejadian kekeringan saat puncak kekeringan periode La Nina mulai dari 20% - 100%. Pada bulan ini sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna peluang kekeringannya kurang dari 60% dan hanya sebagian kecil yang peluang kekeringannya antara 81%-100%. Sedangkan pada puncak kekeringan periode Normal sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna memiliki peluang kejadian kekeringan antara 81% -100%, dan sisanya antara 61% - 80%. 55

Gambar 25. Peluang Kejadian Kekeringan Bulanan di Sub DAS Seluna 56

Ditinjau dari topografinya, daerah dataran rendah secara umum memiliki peluang kejadian kekeringan yang lebih besar dibandingkan daerah dataran tinggi. Pada gambar 25 di atas, peluang paling kecil terjadinya kekeringan terjadi di daerah lereng gunung Merapi dan peluang paling besar terjadinya kekeringan di dataran rendah dekat pantai. Fenomena ini bisa disebabkan tingginya suhu udara di wilayah pesisir pantai dan rendahnya suhu udara di wilayah dataran tinggi. Menurut Nicholls (2004), suhu udara yang tinggi akan lebih memperbesar kekeringan, meskipun curah hujannya tidak begitu rendah dari biasanya. Pernyataan Nicholls tersebut diperkuat lagi dengan bukti bahwa meskipun sama-sama terletak pada daerah lereng pegunungan, antara Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Kudus memiliki peluang kekeringan yang berbeda. Peluang kekeringan di Kabupaten Kudus lebih tinggi dibandingkan Kabupten Boyolali, padahal rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Kudus lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena faktor suhu udara. Rata-rata suhu udara di Kabupaten Kudus lebih tinggi sehingga proses evapotranspirasi yang terjadi lebih besar dan simpanan air yang ada di dalam tanah menjadi lebih sedikit. Gambar 25 dapat digunakan sebagai acuan dalam analisis risiko bencana kekeringan. Analisis risiko terhadap bencana kekeringan ini sangat penting, selain dapat diketahui wilayah mana saja yang berisiko menerima dampak dan kerugian akibat kekeringan, juga dapat diketahui wilayah yang menjadi prioritas pelaksanaan program rencana aksi pengurangan risiko bencana. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, misalnya dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Gambar 25 menunjukkan bahwa daerah-daerah yang paling rentan terhadap kejadian kekeringan adalah di Kabupaten Pati, Blora, Rembang, dan sebagian kecil Kabupaten Kudus. Sehingga wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi risiko bencana kekeringan yang paling besar dibandingkan wilayah lainnya. Oleh sebab itu masyarakat di wilayah-wilayah ini haruslah dikenalkan suatu paradigma baru dalam menghadapi bencana, yaitu paradigma pengurangan risiko. Dalam paradigma ini, setiap individu, masyarakat di daerah 57

diperkenalkan dengan berbagai ancaman yang ada di wilayahnya yang terkait dengan bencana kekeringan, bagaimana cara mengurangi ancaman dan kerentanan yang dimiliki, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi setiap ancaman. Misalnya saja dengan mengubah pola tanam yang selama ini telah dilakukan secara turun termurun, membangun jaringan irigasi atau sumursumur bor, sehingga pada saat bencana kekeringan terjadi suplai air masih didapatkan meskipun jumlahnya berkurang. Atau bisa juga dengan menanam tanaman yang bisa beradaptasi terhadap cekaman kekeringan pada saat bulanbulan yang memiliki peluang kejadian kekeringan besar. 4.7 Perbandingan Penggunaan Data Murni RegCM3 dengan Data Campuran (Data Aktual dan Data RegCM3) Data iklim yang ada di Indonesia kebanyakan tidak lengkap dan ada beberapa yang terputus seri waktunya. Hal ini telah dijelaskan pada tinjauan pustaka di depan. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan data iklim yang lengkap dan memiliki panjang data yang lama bisa dilakukan pemutakhiran data dengan mengisi data-data yang kosong dengan menggunakan data hasil pemodelan iklim. Berikut disajikan contoh perbandingan hasil penggunaan data murni model RegCM3 dengan data hasil pemutakhiran (data campuran antara data aktual dan data RegCM3) untuk menghitung luas kekeringan pada lahan sawah di Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobogan. Luas Kekeringan (ha) 25000 20000 15000 10000 5000 0 Grafik Perbandingan Luas Kekeringan Model (data murni RegCM3 dan data campuran) Kabupaten Kudus Data RegCM3 Data Campuran (RegCm3+Aktual) NSE = 0.5 r = 0.76 Kejadian Kekeringan (a) 58

70000 Grafik Perbandingan Luas Kekeringan Model (data murni RegCM3 dan data campuran) Kabupaten Grobogan Luas Kekeringan (ha) 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 NSE = 0.3 r = 0.72 Data RegCM3 Data Campuran (RegCm3+Aktual) Kejadian Kekeringan (b) Gambar 26. Perbandingan Penggunaan Data Model dan Data Pemutakhiran (campuran data aktual dengan data model). (a) Kudus. (b) Grobogan Gambar 26 menunjukkan bahwa antara data model dengan data hasil pemutakhiran ketika digunakan untuk mencari luas kekeringan penggunaan lahan sawah di daerah penelitian menunjukkan kemiripan. Hal ini ditandai dengan nilai efisiensi (NSE) positif dan nilai korelasi yang sangat kuat (r > 7). Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan data model RegCM3 dapat digunakan untuk mengisi data-data yang kosong pada data aktual yang kurang lengkap dan terputus seri waktunya. 59