BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasif anak yang mengakibatkan gangguan keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Autisme mempengaruhi perkembangan anak, baik fisik maupun mental. Apabila tidak dilakukan intervensi secara dini dengan tatalaksana yang tepat, perkembangan yang optimal pada anak tersebut sulit diharapkan. Mereka akan semakin terisolir dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri dengan berbagai gangguan mental serta perilaku yang semakin mengganggu. Tentu semakin banyak pula dampak negatif yang akan terjadi (Veskariyanti, 2008). Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Leo Kanner tahun 1943, seorang psikiater dari John Hopkins University yang menangani sekelompok anak-anak yang mengalami kelainan sosial berat, hambatan komunikasi, dan masalah perilaku. Anak-anak ini menujukkan sifat menarik diri (withdrawal), membisu, dengan aktivitas repetitive, dan stereotipik serta memalingkan pandangannya dari orang lain (Davidson, 2008). Anak autisme dianggap mempunyai salah satu dari sekelompok kelainan perkembangan fungsi otak yang mengakibatkan berbagai macam kelainan perilaku. Dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental), anak autisme secara kolektif digolongkan pada pervasive developmental disorder (Kasran, 2003). ` Autisme bisa mengenai siapa saja, tidak ada perbedaan status sosial-ekonomi, pendidikan, golongan etnis, atau bangsa. Biasanya autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding perempuan, dengan angka perbandingan 5 : 1. Penyebab terjadinya autisme hingga saat ini belum diketahui secara pasti, tapi diperkirakan disebabkan oleh kelainan sistem saraf dalam berbagai derajat berat ringannya penyakit (Sarwono, 2009).
Saat ini jumlah anak autisme semakin meningkat. Berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa pada tahun 2006, menunjukkan peningkatan anak autisme yang lebih besar yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran, atau satu diantara 150 penduduk. Tahun 2008, rasio anak autisme 1 dari 100 anak, maka di tahun 2012, terjadi peningkatan yang cukup memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak saat ini mengalami autisme. Prevalensi terbaru ini dikemukakan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) America Serikat pada Maret 2013 prevalensi anak autisme meningkat menjadi satu berbanding 50 dalam kurun waktu setahun terakhir. Di Inggris saat ini perbandingan antara anak normal dan autisme 1:100. Pada beberapa daerah di Amerika angka ini bisa mencapai satu diantara 100 penduduk. Angka sebesar ini dapat dikatakan sebagai wabah, sehingga di Amerika autisme telah dinyatakan sebagai national alarming. Berdasarkan data dari Departemen Pendidikan Amerika bahwa angka peningkatan anak autisme di Amerika cukup mengerikan, yaitu sebesar 10% sampai 17% pertahun. Jumlah anak autisme di Amerika saat ini sebanyak 1,5 juta orang anak. Pada dekade berikut diperkirakan akan terdapat sekitar empat juta anak autisme di Amerika (Sutadi, 2008). Yayasan Autisme Indonesia menyatakan adanya peningkatan prevalensi autisme, dimana sepuluh tahun yang lalu jumlah anak autisme di Indonesia diperkirakan 1 : 5000 anak, sekarang meningkat menjadi 1 : 500 anak. Tahun 2.000 silam, staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak anak autisme di Indonesia (Moore, 2010). Apabila anak autisme tidak mendapat penanganan secara dini, kondisi autis akan menjadi permanen. Oleh karena itu tatalaksana terapi harus dilakukan pada usia sedini mungkin, yaitu dibawah usia 3 tahun. Pada usia ini
perkembangan otak anak berada pada tahap cepat dan mempunyai keberhasilan yang cukup tinggi terutama bagi anak autisme murni tanpa penyulit lain. Mengingat intensitas terapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesembuhan anak autisme, untuk mencapai hasil terapi yang maksimal anak autisme harus ditangani selama anak bangun. Intensitas yang ideal adalah 40 jam dalam seminggu rata-rata 8 jam sehari. Pada anak yang masih berusia balita, terputusnya proses terapi selama satu minggu saja sudah menyebabkan kemunduran perilaku yang sangat banyak (Handojo, 2003). Permasalahan yang sering muncul meskipun anak autisme telah mengikuti program terapi di tempat terapi autisme dan mendapat terapi obat-obatan, namun masih ditemukan anak autisme yang tidak memperoleh kesembuhan secara optimal. Oleh karena itu tanggung jawab program terapi anak autisme bukan hanya pada terapis atau dokter, tetapi yang terpenting adalah asuhan dari orang tua. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplin serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaanya sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Aisyah, 2010). Yusuf (2009), menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Menurut Harlock (2008), pola asuh orangtua anak autisme dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, kelas sosial dan pekerjaan, konsep tentang peran orangtua, kepribadian orangtua, kepribadian anak, dan usia anak. Mengingat bahwa pola asuh orang tua pada anak autisme sangat penting, maka perlu dikaji seberapa besar pengaruhnya terhadap anak autisme.
Berdasarkan dari kondisi permasalahan tersebut, peneliti tertarik mengkajinya melalui penelitian tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak autisme. 1.2. Perumusan Masalah Bagaimanakah perbedaan tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan. 1.3.2. Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan informasi pola asuh orangtua yang memiliki anak autisme. 2. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme berdasarkan usia. 3. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme berdasarkan tingkat pendidikan. 4. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme berdasarkan pekerjaan. 1.4. Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya penanganan anak autisme. Adapun secara khusus penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat sebagai berikut: 1.4.1. Bagi ilmu pengetahuan, yaitu dapat menambah keragaman ilmu pengetahuan dan penelitian bagi dunia kedokteran umumnya, khususnya ilmu kedokteran jiwa.
1.4.2. Bagi pihak pengelola sekolah luar biasa autisme, yaitu memberikan masukan dalam rangka pemberian informasi yang berkaitan dengan pola asuh orang tua terhadap anak autisme. 1.4.3. Bagi peneliti selanjutnya, yaitu dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian yang berkaitan tentang autisme.