4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

II. TINJAUAN PUSTAKA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) DI PERAIRAN LAMPUNG ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

3. METODE PENELITIAN

KAJIAN STOK IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, JAKARTA UTARA

3.3 Pengumpulan Data Primer

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

3. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari


JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

POTENSI UDANG DOGOL (Metapenaeus ensis) DI KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH. Abstrak

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

ASPEK BIOLOGI IKAN LAYUR (Trichiurus lepturus) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN DI PPP MORODEMAK

Transkripsi:

26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan oleh pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan masyarakat maupun nelayan dalam kegiatan perikanan. Lokasi PPP Labuan berada pada titik koordinat 06 24 30 LS dan 105 49 15 BT (Kartika 2007). Kondisi curah hujan rata-rata tahunan di PPP Labuan adalah sebesar 1.814 mm, sedangkan hari hujan rata-rata tahunan sebesar 101 hari. Musim hujan pada umumnya jatuh pada bulan Januari, Februari, Maret, November, dan Desember dengan curah hujan rata-rata 374 mm/bulan. Musim kemarau jatuh pada bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober dengan curah hujan 209 mm/bulan (Kartika 2007). PPP Labuan terdiri dari TPI 1 dan TPI 3 yang berada di muara sungai Cipunteun, serta TPI 2 yang berada di tepi pantai terbuka. Jenis kapal motor yang dioperasikan di TPI 1 dan TPI 3 berukuran 0-5 GT dan 5-10 GT yang merupakan pelabuhan bagi armada kapal obor, rampus, dan cantrang, sementara kapal motor yang dioperasikan di TPI 2 berukuran lebih dari 10 GT karena merupakan pelabuhan bagi armada kapal purse seine, dengan operasi penangkapan terjadi sepanjang tahun baik musim barat maupun musim peralihan. Kondisi daerah penangkapan yang terhalang oleh pulau-pulau kecil membantu nelayan melakukan operasi penangkapan karena terlindung dari pengaruh gelombang (Kartika 2007). 4.1.2. Kondisi perikanan Swanggi di PPP Labuan Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan salah satu ikan hasil tangkapan yang bersifat komersial dan banyak didaratkan di PPP Labuan, hal ini dibuktikan dengan selalu terdapatnya ikan swanggi pada bulan-bulan pengamatan yaitu pada bulan Maret sampai Oktober 2011. Ikan swanggi menempati urutan kelima hasil tangkapan terbanyak ikan-ikan demersal. Berikut ini merupakan diagram data hasil tangkapan dominan di PPP Labuan Banten (Gambar 4).

27 8.25% 6.89% Kue 13.70% 24.70% Kurisi Kuniran 23.04% 23.43% Kapasan Swanggi Jolod Gambar 4. Komposisi hasil tangkap ikan demersal kecil di Labuan (Sumber: Wulandari 2012) Daerah penangkapan ikan swanggi adalah di sekitar pulau-pulau kecil misalnya Pulau Liwungan, Pulau Sebesi, Pulau Panaitan, dan Pulau Papole. Penangkapan ikan swanggi menggunakan alat tangkap cantrang yang dioperasikan dengan kapal motor berukuran 6-24 GT dan jaring rampus menggunakan kapal motor berukuran 2-6 GT. Cantrang memiliki ukuran mata jaring bagian kantong adalah 1.5 3 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar adalah 8 inchi, sedangkan ukuran mata jaring rampus 2 inchi. 4.1.3. Hubungan panjang bobot Hubungan panjang dan bobot dianalisis untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan swanggi (Priacanthus tayenus). Panjang dan bobot memiliki hubungan keeratan yang digambarkan oleh r (koefisien korelasi) dan R 2 (koefisien determinasi). Gambar 5 merupakan grafik pola pertumbuhan ikan swanggi (Priacanthus tayenus). 200.00 200.00 bobot (gram) 150.00 100.00 50.00 W= 0.00013L 2.56 R² = 0.85 bobot (gram) 150.00 100.00 50.00 W = 0.001L 2.05 R² = 0.90 0.00 0 100 200 300 panjang (mm) 0.00 0 100 200 300 panjang (mm) (a) (b) Gambar 5. Hubungan panjang bobot betina (a) dan jantan (b)

28 Berdasarkan grafik diatas didapatkan persamaan hubungan panjang dan bobot untuk ikan swanggi betina adalah W = 0.00013L 2.56 dan ikan swanggi jantan adalah W = 0.001L 2.05. Nilai b pada ikan swanggi betina sebesar 2.56 sedangkan pada ikan swanggi jantan sebesar 2.05, keduanya menunjukkan besarnya nilai b yang kurang dari 3, Setelah dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji t, diketahui bahwa nilai b 3, hal ini memaksudkan bahwa pola pertumbuhan ikan swanggi betina dan jantan bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan daripada pertumbuhan bobot. Koefisien determinasi pada ikan betina sebesar 0.85, artinya variabel panjang ikan betina dapat menjelaskan bobot sebesar 85% dan pada ikan jantan sebesar 0.90 artinya variabel panjang ikan jantan dapat menjelaskan bobot sebesar 90%, sedangkan besarnya r (koefisien korelasi) panjang dan bobot untuk ikan betina sebesar 0.92 dan untuk ikan jantan sebesar 0.95. Nilai koefisien korelasi tersebut yang nilainya lebih besar dari 0.8 ini baik pada ikan swanggi betina maupun jantan menunjukkan bahwa hubungan antara panjang dan bobot adalah sangat erat. 4.1.4. Faktor kondisi Faktor kondisi merupakan suatu keadaan yang menyatakan kemontokan ikan (Lagler 1961 in Effendie 1979). Berikut adalah grafik faktor kondisi ikan swanggi betina dan jantan berdasarkan selang kelas ukuran panjang (Gambar 6). 2 Faktor kondisi 1.6 1.2 0.8 0.4 0 selang kelas panjang (mm) Gambar 6. Faktor kondisi betina berdasarkan selang kelas panjang

29 2 Faktor kondisi 1.6 1.2 0.8 0.4 0 selang kelas panjang (mm) Gambar 7. Faktor kondisi jantan berdasarkan selang kelas panjang Berdasarkan grafik faktor kondisi diatas diketahui bahwa faktor kondisi ratarata ikan swanggi jantan lebih tinggi dibandingkan dengan ikan swanggi betina. Faktor kondisi rata-rata terbesar ikan swanggi betina terletak pada kisaran panjang 181-199 mm dengan nilai 1.05 dan ikan swanggi jantan berada pada kisaran panjang 162-180 mm dengan nilai 1.75. Selain faktor kondisi rata-rata ikan swanggi yang diamati berdasarkan selang kelas ukuran panjang, Berikut ini disajikan grafik faktor kondisi rata-rata swanggi betina dan jantan berdasarkan bulan pengamatan (Gambar 8 dan Gambar 9). Faktor kondisi 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Bulan Pengamatan Gambar 8. Faktor kondisi betina berdasarkan bulan pengamatan

30 Faktor kondisi 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Bulan Pengamatan Gambar 9. Faktor kondisi jantan berdasarkan bulan pengamatan Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa ikan swanggi betina dan ikan swanggi jantan mengalami fluktuasi terhadap faktor kondisi, pada ikan swanggi betina dan ikan swanggi jantan faktor kondisi rata-rata tertinggi terdapat pada bulan Juli, untuk ikan swanggi betina faktor kondisi rata-rata sebesar 1.15 dan pada ikan swanggi jantan sebesar 2.01. 4.1.5. Nisbah kelamin Nisbah kelamin hasil tangkapan merupakan perbandingan antara jumlah ikan jantan dan betina. Di bawah ini merupakan proporsi hasil tangkapan ikan contoh pada ikan swanggi (Priacanthus tayenus) disetiap bulan pengamatan dan proporsi total ikan swanggi selama delapan bulan pengamatan. 100% Proporsi jenis 80% 60% 40% 20% 0% Betina Jantan Bulan Pengamatan Gambar 10. Nisbah kelamin berdasarkan bulan pengamatan

31 Berdasarkan Gambar 10 terdapat variasi komposisi hasil tangkapan antara betina dan jantan berdasarkan waktu pengamatan, yaitu selama delapan bulan. Ikan betina lebih dominan tertangkap dibandingkan ikan jantan. Persentase tertinggi hasil tangkapan ikan betina terdapat pada bulan Maret sebesar 83.08% dan terendah terdapat pada bulan September sebesar 24%. Persentase tertinggi hasil tangkapan ikan jantan terdapat pada bulan September sebesar 76% dan terendah pada bulan Maret sebesar 16.92%. Sedangkan proporsi kelamin ikan swanggi secara total, dengan jumlah ikan contoh 478 ekor diperlihatkan pada Gambar 11. 51.26% 48.74% jantan betina Gambar 11. Nisbah kelamin total Proporsi hasil tangkapan di atas didasarkan pada total ikan contoh yang diambil selama delapan bulan pengamatan, dapat terlihat bahwa ikan betina lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan jantan, dengan proporsi ikan betina sebesar 51.26% atau sekitar 245 ikan dan ikan jantan sebesar 48.75% atau sekitar 233 ekor dari 478 jumlah ikan contoh total. Nisbah kelamin ikan swanggi secara total antara jantan dengan betina adalah 1: 1.05. Selain nisbah kelamin yang diamati berdasarkan bulan pengamatan, dan secara total. berikut ini disajikan nisbah kelamin atau proporsi hasil tangkapan ikan swanggi pada TKG IV sampai TKG VI (mature dan ripe) (Gambar 12).

32 Proporsi jenis (%) 100 80 60 40 20 0 Betina Jantan Bulan pengamatan Gambar 12. Nisbah kelamin TKG IV sampai VI Berdasarkan Gambar 12 ikan swanggi betina matang gonad banyak tertangkap pada bulan Maret dan sedikit ditemukan pada bulan April dan Juli. Ikan swanggi jantan matang gonad banyak tertangkap pada bulan September dan sedikit ditemukan pada bulan Oktober. Pada bulan Oktober komposisi proporsi hasil tangkapan ikan swanggi betina dengan jantan yang matang gonad adalah sama yaitu 50%. Nisbah kelamin ikan swanggi yang telah matang gonad antara jantan dengan betina sebesar 1: 1.29. 4.1.6. Tingkat kematangan gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Berikut ini merupakan diagram tingkat kematangan gonad ikan swanggi berdasarkan bulan pengamatan (Gambar 13 dan Gambar 14). Frekuensi relatif 100% 80% 60% 40% 20% 0% Bulan pengamatan TKG VII TKG VI TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Gambar 13. Tingkat kematangan gonad betina berdasarkan bulan pengamatan

33 Frekuensi relatif 100% 80% 60% 40% 20% 0% TKG VII TKG VI TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Bulan Pengamatan Gambar 14. Tingkat Kematangan Gonad jantan berdasarkan bulan pengamatan Berdasarkan Gambar 13 dan Gambar 14 terlihat bahwa TKG yang ditemukan bervariasi. Ikan swanggi betina pada bulan Maret didominasi oleh TKG IV sebesar 46.29%, pada bulan April didominasi oleh TKG I sebesar 50%, pada bulan Mei didominasi oleh TKG III sebesar 33.33%, pada bulan Juni didominasi oleh TKG II sebesar 30.21%, pada bulan Juli sebesar 100% didominasi oleh TKG I, pada bulan Agustus sebesar 87.5% didominasi oleh TKG I, pada bulan September sebesar 33.33% didominasi oleh TKG V, dan pada bulan Oktober sebesar 68.57% didominasi oleh TKG I. Ikan swanggi jantan pada bulan Maret didominasi oleh TKG II sebesar 36.36%, pada bulan April didominasi oleh TKG I sebesar 61.11%, pada bulan Mei didominasi oleh TKG I sebesar 41.38%, pada bulan Juni didominasi oleh TKG II sebesar 40%, pada bulan Juli didominasi oleh TKG I sebesar 59.18%, pada bulan Agustus didominasi oleh TKG I sebesar 43.33%, pada bulan September didominasi oleh TKG II sebesar 31.58%, dan pada bulan Oktober didominasi oleh TKG I sebesar 80%. Maka berdasarkan grafik tersebut diindikasikan bahwa pemijahan dapat terjadi setiap bulan kecuali pada bulan April dan Juli, dengan musim puncak pemijahan terjadi pada bulan Maret dan September. Selain diamati secara keseluruhan. Berikut merupakan diagram tingkat kematangan gonad ikan swanggi berdasarkan selang kelas panjang (Gambar 15 dan Gambar 16).

34 100% 80% 60% 40% 20% 0% Maret Juli 100% 80% 60% 40% 20% 0% April Agustus 100% 80% 60% 40% 20% 0% Mei September 100% 80% 60% 40% 20% 0% 105-123 124-142 143-161 162-180 181-199 200-218 219-237 238-256 257-275 276-294 Juni Oktober Gambar 15. Tingkat kematangan gonad betina berdasarkan selang kelas panjang

35 100% 80% 60% 40% 20% 0% 100% 80% 60% 40% 20% 0% Maret April Juli Agustus 100% 80% 60% 40% 20% 0% Mei September 100% 80% 60% 40% 20% 0% 105-123 124-142 143-161 162-180 181-199 200-218 219-237 238-256 257-275 276-294 Juni Oktober Gambar 16. Tingkat kematangan gonad jantan berdasarkan selang kelas panjang Gambar 15 dan Gambar 16 memperlihatkan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan swanggi berdasarkan selang kelas ukuran panjang yang diamati selama pengamatan. Terlihat bahwa pada umumnya semakin panjang ukuran ikan maka TKG semakin meningkat. Ikan swanggi betina pada bulan Maret berada pada selang kelas 143 mm-199 mm. Dominasi TKG betina terdapat pada TKG IV, sedangkan pada selang kelas yang lebih besar yaitu 181-199 mm dominasi TKG terdapat pada TKG V, demikian juga yang terdapat pada ikan swanggi jantan pada bulan Maret berada pada kisaran panjang 200-237 mm. Selang kelas 200-218 mm didominasi

36 oleh TKG IV dan pada selang kelas 219-237 mm didominasi oleh TKG V. Ikan swanggi betina pada bulan April berada pada selang kelas 124 mm-199 mm, sedangkan pada ikan swanggi jantan memperlihatkan bahwa pada bulan April berada pada kisaran panjang 124-218 mm, pada bulan Mei baru beberapa persen saja dari ikan swanggi betina yang matang gonad, yaitu yang sudah berada pada TKG IV maupun V, sedangkan pada ikan swanggi jantan diselang kelas panjang 238-294 mm telah mengalami matang gonad. Ikan swanggi betina pada bulan Juni berada pada selang kelas 162 mm-237 mm dan ditemukan TKG yang telah matang gonad, sedangkan pada ikan swanggi jantan pada selang kelas tertentu ditemukan TKG IV yaitu pada selang kelas 200-218 mm. Ikan swanggi betina pada bulan Juli berada pada selang kelas 105-161 mm, semua TKG berada pada fase I, atau tidak masak. Ikan swanggi betina pada bulan Agustus berada pada selang kelas 124-142 mm dan beberapa telah matang gonad, demikian halnya dengan ikan swanggi jantan. Ikan swanggi betina pada bulan September berada pada selang kelas 162-237 mm. Selang kelas yang lebih kecil yaitu 162-180 mm dominasi TKG betina terdapat pada TKG IV, sedangkan pada selang kelas yang lebih besar yaitu 219-237 mm, dominasi TKG terdapat pada TKG VI, demikian juga yang terdapat pada ikan swanggi jantan pada bulan September berada pada kisaran panjang 200-294 mm. Selang kelas 200-218 mm didominasi oleh TKG III dan pada selang kelas 276-294 mm didominasi oleh TKG VII. Ikan swanggi betina pada bulan Oktober berada pada selang kelas 124-199 mm. Pada bulan Oktober selang kelas matang gonad pertama kali untuk ikan swanggi betina adalah 163-161 mm, demikian juga yang terdapat pada ikan swanggi jantan kisaran panjang 143-180 mm ditemukan TKG V dengan persentase sebesar 6.68%. 4.1.7. Indeks kematangan gonad Indeks kematangan gonad (IKG) yaitu nilai dalam % (persen) sebagai hasil perbandingan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan. Nilai IKG dapat dijadikan indikator terhadap tingkat kematangan. Maka semakin tinggi nilai Indeks Kematangan Gonad (IKG) dapat diindikasikan semakin meningkat pula Tingkat Kematangan Gonad (TKG). Berikut ini merupakan indeks kematangan gonad pada setiap bulan pengamatan (Gambar 17).

37 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Maret Agustus 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 April September 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Juni I II III IV V VI VII Oktober I II III IV V VI VII Juli Gambar 17. Indeks kematangan gonad bulanan Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa pada setiap bulan pengamatan didapatkan hasil IKG ikan swanggi betina lebih besar daripada ikan jantan. Pada musim puncak pemijahan yaitu di bulan Maret dan September IKG memiliki nilai yang tinggi yaitu sebesar 6.83% di bulan September pada TKG IV untuk ikan swanggi betina, sedangkan ikan jantan IKG maksimum terdapat di bulan Maret

38 sebesar 9.6% yaitu pada TKG IV. Berikut ini merupakan grafik indeks kematangan gonad keseluruhan selama pengamatan (Gambar 18). IKG (%) 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Bulan pengamatan (a) 0.80 IKG (%) 0.60 0.40 0.20 0.00 Bulan pengamatan (b) Gambar 18. Indeks kematangan gonad rata-rata berdasarkan bulan pengamatan betina (a) dan jantan (b) Berdasarkan grafik Indeks Kematangan Gonad (IKG) diatas terlihat bahwa nilai IKG ikan swanggi betina lebih tinggi dibandingkan dengan IKG ikan swanggi jantan. Namun baik ikan swanggi betina maupun ikan swanggi jantan memiliki nilai IKG yang berfluktuasi setiap bulannya. Hal ini terlihat bahwa puncak IKG yaitu saat nilai IKG tinggi pada ikan swanggi betina maupun ikan swanggi jantan terletak pada bulan Maret dan September, sedangkan IKG terendah terdapat pada bulan-bulan yang diduga tidak terjadi pemijahan misalnya pada bulan April dan Juli. IKG yang rendah pada ikan swanggi betina diakibatkan Tingkat Kematangan Gonad yang

39 rendah, atau belum terjadi pada fase matang gonad. Pada bulan Mei terjadi diskontinuitas nilai IKG yang disebabkan oleh missing data. Sehingga nilai IKG pada bulan tersebut tidak dapat diketahui. Ikan swanggi betina di bulan Maret memiliki nilai IKG sebesar 4.67%, dan ikan swanggi Jantan sebesar 0.40%, sedangkan pada bulan September nilai IKG ikan swanggi betina sebesar 4.92% dan ikan swanggi jantan sebesar 0.26%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai IKG maksimum ikan swanggi betina terdapat pada bulan September dan ikan swanggi jantan terdapat pada bulan Maret. Nilai IKG minimum ikan swanggi betina terdapat pada bulan Juli sebesar 0.38% dan ikan swanggi jantan terdapat pada bulan Oktober sebesar 0.09%. 4.1.8. Faktor kondisi, TKG, dan IKG Faktor kondisi, indeks kematangan gonad (IKG), dan tingkat kematangan gonad (TKG) sangat berkaitan. Faktor kondisi dapat mengalami perubahan, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain indeks relatif penting makanan dan indeks kematangan gonad. Faktor kondisi yang tinggi sebanding dengan peningkatan IKG, dan TKG. Sehingga saat indeks kematangan gonad tinggi dapat diindikasikan sebagai musim pemijahan, khususnya bagi ikan betina serta nilai IKG yang tinggi dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi fase pematangan gonad pada tahap tersebut (Effendie 2002). Selain perubahan faktor kondidi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada tiap waktu akan bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba. Persentase komposisi tingkat kematangan gonad pada setiap saat dapat digunakan untuk menduga waktu pemijahan. Berikut ini merupakan grafik yang memperlihatkan keterkaitan antara Faktor kondisi, IKG, dan TKG dari ikan swanggi baik betina maupun jantan.

40 Faktor kondisi rata-rata 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 7.00 6.00 5.00 IKG (%) 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Frekuensi relatif (%) 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 TKG IV TKG V TKG VI Bulan pengamatan Gambar 19. Faktor kondisi, Indeks kematangan gonad, dan Tingkat kematangan gonad ikan swanggi (P.tayenus) betina

41 2.5 Faktor kondisi rata-rata 2 1.5 1 0.5 0 IKG (%) 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 frekuensi relatif (%) 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 TKG IV TKG V TKG VI (b) Gambar 20. Faktor kondisi, Indeks Kematangan Gonad, dan Tingkat Kematangan Gonad ikan swanggi (P.tayenus) jantan Berdasarkan Gambar 19 dan Gambar 20 faktor kondisi, IKG dan TKG memiliki pola yang hampir sama dan saling berkaitan saat menuju fase matang gonad yaitu saat nilai IKG meningkat. Salah satu faktor yang mempengaruhi faktor kondisi adalah indeks kematangan gonad khususnya pada ikan betina (Effendie 2002). Bulan pengamatan

42 4.1.9. Ukuran pertama kali matang gonad Ukuran pertama kali ikan swanggi matang gonad ditentukan dengan melihat Tingkat Kematangan Gonad (TKG) yang telah matang gonad pertama kali dari semua selang kelas panjang berdasarkan analisis langsung di laboratorium. Di bawah ini merupakan diagram yang memperlihatkan ukuran pertama kali matang gonad dari ikan swanggi (Priacanthus tayenus) (Gambar 21). 100% 80% 60% 40% 20% 0% 100% 80% 60% 40% 20% 0% selang kelas panjang (mm) (a) selang kelas panjang (mm) (b) Gambar 21. Ukuran matang gonad ikan swanggi berdasarkan selang kelas panjang betina (a) dan jantan (b) Berdasarkan selang kelas panjang diatas diperoleh informasi bahwa ikan betina mulai memasuki fase matang gonad yaitu pada selang kelas panjang 124-142 mm sebab pada selang kelas tersebut telah ditemukan TKG matang gonad yaitu TKG V persentase yang sangat kecil. Demikian juga dengan ikan swanggi jantan yang mulai memasuki TKG IV (matang gonad) pada selang ukuran panjang yaitu 124-142 mm. Hal ini menunjukan bahwa umur matang gonad ikan swanggi betina dan jantan adalah sama. Namun metode ini belum dapat dipastikan karena

43 hanya berdasarkan pengamatan sesaat oleh karena itu dilakukan analisis menggunakan metode King (2006) untuk mengetahui umur matang gonad berdasarkan proporsi 50% kurva sigmoid matang gonad. Berikut ini merupakan grafik dari umur pertama kali matang gonad ikan swanggi (Gambar 23). Proporsi matang gonad (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0-10 -20 0 25 50 75 100 (a) (b) Gambar 22. Ukuran matang gonad teoritis betina (a) dan jantan (b) Berdasarkan perhitungan teoritis menurut metode King (2006) didapatkan hasil bahwa ikan swanggi betina matang gonad pada ukuran 173 mm dan ikan swanggi jantan pada ukuran 156 mm. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ikan jantan lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan betina. Pada grafik tersebut terlihat bahwa jumlah proporsi matang gonad (TKG V) tidak mencapai 50% namun maksimum adalah berkisar 19-20%. 4.1.10. Fekunditas 125 150 Panjang (mm) 175 200 Fekunditas merupakan jumlah telur masak yang siap dikeluarkan saat ikan memijah atau jumlah telur yang terkandung di dalam ovarium. Fekunditas dapat dihubungkan dengan panjang maupun bobot. Namun jika dihubungkan dengan bobot dapat bersifat tidak linear, karena bobot dapat berubah secara cepat tergantung kondisi lingkungan dan fisiologis ikan. Berikut ini adalah grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan fekunditas dengan bobot (Gambar 23). 225 250 Proporsi matang gonad (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0-10 -20 325 300 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 Panjang (mm)

44 Fekunditas (butir) 1000000 800000 600000 400000 200000 F = 0.001L 3.39 R² = 0.04 Fekunditas (butir) 1000000 800000 600000 400000 200000 F = 11.62W 2.00 R² = 0.14 0 0 0 100 200 300 0 100 200 Panjang (mm) Bobot (gram) Gambar 23. Hubungan fekunditas dengan panjang dan bobot Secara eksponensial hubungan fekunditas dengan panjang dirumuskan F=0.001L 3.39 dengan koefisien determinasi sebesar 0.04 yang artinya hanya 4% yang dapat dijelaskan panjang terhadap fekunditas dan hubungan fekunditas dengan bobot dirumuskan F=11.62W 2.00 dengan koefisien determinasi 0.14, artinya hanya 14% yang dapat dijelaskan bobot terhadap fekunditas. Koefisien korelasi (r) antara fekunditas dengan panjang sebesar 0.2 dan antara fekunditas dengan bobot sebesar 0.37. Nilai r yang kurang dari 0.5 menujukkan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut adalah tidak ada korelasi atau hubungan. 4.1.11. Pola pemijahan Pola pemijahan ditentukan berdasarkan analisis ukuran diameter telur. Di bawah ini merupakan sebaran frekuensi diameter telur ikan swanggi yang diamati untuk menduga pola pemijahan (Gambar 24). 30.00 Frekuensi relatif (%) 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 Selang kelas (mm) Gambar 24. Sebaran diameter telur

45 Diameter telur ikan swanggi berkisar pada 0.08-0.79 mm. Berdasarkan sebaran frekuensi diameter telur dapat diketahui bahwa terdapat setidaknya lebih dari satu modus ukuran diameter telur. Diameter telur ini bervariasi dengan ukuran yang berbeda. Maka dapat diindikasikan bahwa pola pemijahan dari ikan swanggi adalah partial spawner atau pemijahan sebagian, artinya ikan swanggi mengeluarkan telur masak secara bertahap. Ikan swanggi berdiameter tebanyak berkisar pada ukuran 0.20-0.25 mm yaitu berjumlah 1995 butir (28.30%) dan ikan swanggi berdiameter terkecil berkisar pada ukuran 0.08-0.13 mm yaitu berjumlah 188 butir (2.67%). Persentase ukuran diameter telur berdasarkan bulan pengamatan juga dilakukan sehingga dapat diperlihatkan proporsi ukuran diameter telur setiap bulannya. Persentase ini dihubungkan dengan bulan-bulan pengamatan, sehingga sebaran ukuran diameter telur dapat diamati dengan lebih jelas lagi dan dipastikan persentase per ukuran diameter telur pada setiap bulannya. Gambar 26 memperlihatkan persentase diameter telur pada setiap bulan pengamatan. Frekuensi relatif 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Bulan pengamatan 0.86-0.91 mm 0.80-0.85 mm 0.74-0.79 mm 0.68-0.73 mm 0.62-0.67 mm 0.56-0.61 mm 0.50-0.55 mm 0.44-0.49 mm 0.38-0.43 mm 0.32-0.37 mm 0.26-0.31 mm 0.20-0.25 mm 0.14-0.19 mm 0.08-0.13 mm Gambar 25. Persentase ukuran diameter telur berdasarkan bulan pengamatan Berdasarkan Gambar 25 ukuran diameter telur ikan swanggi menyebar pada setiap bulan pengamatan dengan ukuran yang hampir sama yaitu berkisar pada selang kealas diameter 0.26-0.86 mm baik pada bulan Maret sampai Oktober ukuran diameter tersebut selalu ditemukan sehingga diduga bahwa terdapat beberapa ukuran

46 diameter telur. Modus diameter telur berada pada selang kelas panjang 0.20-0.25 mm dan 0.38-0.43 mm. Ukuran 0.20-0.25 mm memiliki dominasi pada bulan Maret, Juni, September, dan Oktober dengan persentase masing-masing sebesar 25.35%, 27%, 29%, dan 42.62%, sedangkan ukuran 0.38-0.43 mm memiliki dominasi pada bulan April, Juli, dan Agustus dengan persentase masing-masing sebesar 31.92%, 25.33%, dan 28.89%. 4.1.12. Potensi reproduksi Potensi reproduksi ikan swanggi dapat ditentukan melalui fekunditas. Ikan swanggi memiliki potensi reproduksi yang cukup besar dengan fekunditas 10.678-835.805 butir. 4.2. Pembahasan Berdasarkan analisis hubungan panjang dan bobot, pola pertumbuhan ikan swanggi betina dan jantan bersifat allometrik negatif, yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan bobot (Effendie 1979). Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan karang demersal dan bersifat karnivora pemakan udang-udangan maupun ikan-ikan kecil (Powell 2000), karena ikan ini mencari makan di perairan karang dapat dimungkinkan kondisi karang di perairan Selat Sunda telah mengalami perubahan sehingga mempengaruhi jumlah makanan yang tersedia bagi ikan swanggi. Jika organisme yang struktur trofiknya berada di bawah trofik level ikan swanggi jumlahnya berkurang karena penangkapan maupun predator lain, maka jumlah makanan ikan swanggipun pada akhirnya mengalami pengurangan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan panjang yang lebih dominan karena dugaan lingkungan yang kurang menyediakan makanan yang cukup bagi pertumbuhan ikan swanggi. Pertambahan rongga tubuh yang memanjang mengakibatkan pertambahan panjang gonad sehingga bentuk gonad adalah memanjang tidak membulat, ukuran telur yang dibentukpun tidak sama. Maka dari itu diperkirakan bahwa pola pemijahan swanggi adalah partial spawner atau pemijahan yang bertahap. Hal ini dibuktikan dengan analisis laboratorium yang menunjukkan bahwa ukuran telur swanggi yang diteliti selama delapan bulan pengamatan bervariasi dengan kisaran

47 0.08-0.79 mm, dengan persentase berbeda-beda disetiap bulan pengamatan seperti yang terlihat sebelumnya pada Gambar 25 serta diketahui memiliki lebih dari satu modus. Berdasarkan pengamatan secara morfologi setiap bulannya ditemukan ukuran telur dengan diameter yang tidak sama serta kisaran panjang yang cukup berbeda, maka sesuai dengan De Jong (1940) in Effendie (2002) ikan ini termasuk kedalam tipe pemijahan kedua yaitu sebelum terjadi pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang berpisah. Sesudah berpijah didapatkan selain kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur yang berukuran lebih besar yang sedang mengalami tahap pematangan dan akan dikeluarkan dalam pemijahan berikutnya. Jika dilihat berdasarkan musim pemijahan yang hampir terjadi setiap bulan selama pengamatan menunjukan bahwa telur-telur dikeluarkan sebagian dan mengakibatkan pemijahan dapat terjadi setiap bulan. Hal ini dimungkinkan karena sifat ikan swanggi yang bermigrasi secara lokal (Gollani et al. 2011) menuju feeding ground maupun spawning ground, sehingga tidak membutuhkan energi yang terlalu banyak dibandingkan ikan yang bermigrasi jauh, oleh karena itu energi ini dapat digunakan untuk perkembangan gonad. Pola pemijahan yang bersifat partial spawner dari ikan swanggi (Priacanthus tayenus) sama dengan pola pemijahan ikan Priacanthus hamrur yang diteliti di pantai India. Sivakami et al. (2001) memperlihatkan bahwa ikan Priacanthidae yaitu Priacanthus hamrur merupakan ikan yang memiliki pola pemijahan terputus-putus. Telur matang didapatkan lebih dari satu kelompok yang mungkin berbeda dengan kelompok lain tetapi memiliki proses berkesinambungan, terdapat dua ukuran telur, dan bentuk pemijahan adalah pemijahan sebagian sehingga masa pemijahannya dikategorikan masa pemijahan yang panjang atau lama. Pola pertumbuhan memiliki keterkaitan dengan faktor kondisi. Pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif memperlihatkan bahwa kemontokan ikan tidak terlalu besar. Kemontokan ikan ini dapat dilihat berdasarkan faktor kondisi ikan swanggi. Berdasarkan hasil analisis terdapat perbedaan faktor kondisi antara ikan swanggi betina dan jantan. Jika diamati menurut selang kelas panjang faktor kondisi ikan jantan lebih tinggi daripada ikan betina hal ini berarti bahwa ikan

48 jantan lebih montok dibandingkan dengan ikan betina meskipun memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif atau pertumbuhan panjang lebih dominan daripada bobot. Faktor kondisi berfluktuasi disetiap bulan pengamatan. Faktor kondisi dapat mengalami kenaikan maupun penurunan, hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya indeks relatif penting makanan atau perubahan makanan (Effendie 2002) dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Faktor kondisi yang rendah pada bulan Mei diduga diakibatkan oleh berkurangnya ketersediaan makanan. Saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Effendie 2002) atau jika ketersediaan makanan cukup saat itu penurunan faktor kondisi diakibatkan karena terdapat ikan-ikan yang telah mengalami pemijahan sehingga sesuai dengan Harahap & Djamali (2005) in Triana (2011) energi yang dimiliki digunakan untuk pertumbuhan yang mengakibatkan penurunan faktor kondisi. Faktor kondisi, indeks kematangan gonad (IKG), dan tingkat kematangan gonad (TKG) sangat berkaitan. IKG ikan betina lebih tinggi daripada IKG ikan jantan, seperti yang diungkapkan oleh Yustina &Arnentis (2002) bahwa ikan betina pada umumnya memiliki Indeks Kematangan Gonad (IKG) yang lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini dikarenakan pada ovari butir-butir telur akan mengalami perkembangan, sehingga semakin besar diameter telur IKG akan semakin meningkat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) di India terhadap ikan satu genus Priacantus tayenus yaitu Priacanthus hamrur diketahui bahwa IKG bernilai maksimum terdapat pada bulan Juni 3.07% untuk jantan dan 4.01% untuk betina. IKG ini berbeda dengan IKG ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di Selat Sunda yang nilai maksimumnya terdapat pada bulan September untuk ikan betina sebesar 4.92% dan bulan Maret untuk ikan jantan sebesar 0.40%. Oleh karena itu berdasarkan Pulungan et al. (1987) in Yustina & Arnentis (2002) IKG swanggi di Selat Sunda yang besarnya kurang dari 20% diindikasikan bahwa ikan tersebut dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahun. Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Selat Sunda memiliki musim pemijahan pada bulan Maret, Mei, Juni, Agustus, September, dan Oktober, dengan

49 puncak pemijahan adalah bulan Maret dan September. Hal ini memperlihatkan suatu kesamaan dengan ikan Priacanthus hamrur yang diteliti oleh Premalatha (1997) di sepanjang Pantai Barat Daya India umumnya telah berada pada tingkat matang gonad yang matang pada bulan Maret sampai April. Persentase ikan swanggi betina dengan jantan yang telah matang gonad berbeda-beda setiap bulannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ikan swanggi diduga memijah sepanjang tahun maka sesuai dengan yang dikemukan oleh Effendie (2002) bahwa ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun akan memiliki komposisi tingkat kematangan gonad dengan persentase yang tidak sama setiap pengambilan contoh. Secara umum, semakin besar panjang dan bobot ikan maka semakin besar nilai TKG, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Yustina & Arnentis 2002). Namun tidak demikian dengan ikan swanggi di Selat Sunda, pada saat tertentu ditemukan ikan yang telah matang gonad pada selang kelas yang lebih kecil maka menurut Yustina & Arnentis (2002) pada ukuran panjang dan bobot yang sama belum tentu berada pada TKG yang sama. Menurut Keown & Brian (1984) perubahan kematangan gonad yang berbeda pada setiap spesies ikan dipengaruhi oleh faktor perubahan morfologi, tingkah laku maupun fisiologi ikan tersebut. Menurut Taylor & Francis (2009) selain ketersediaan makanan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap reproduksi ikan adalah lama pencahayaan, suhu, curah hujan, arus dan tekanan. Peningkatan kematangan gonad dipengaruhi kenaikan suhu (suhu meningkat mempengaruhi perkembangan gonad, sedangkan pada suhu rendah gonad sulit berkembang). Misalnya pada ikan laut gillchthys mirabilis (De Vlaming 1972 in Keown & Brian 1984). Peningkatan kematangan gonad terjadi sebagai respon dari perubahan lamanya waktu penyinaran banyak spesies ikan mengalami kematangan gonad dipengaruhi oleh lamanya waktu penyinaranan (Peeter & Cr1am 1979 in Keown & Brian 1984 ). Suhu yang terjadi diperairan Selat Sunda berkisar 29 o C-30 o C (Yusfiandani 2004) suhu yang hangat ini dapat mempengaruhi perkembangan gonad, sehingga selama periode pengambilan contoh banyak ditemukan ikan-ikan yang matang gonad. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya faktor kondisi, IKG, dan TKG saling berkaitan dan mempengaruhi. Misalnya adalah bulan Maret dan September yang diindikasikan sebagai musim puncak pemijahan, nilai IKG, TKG, dan faktor

50 kondisi berada dalam titik yang maksimum seperti terlihat pada Gambar 19 dan Gambar 20. Penurunan IKG diduga dapat diakibatkan karena banyak TKG IV ditemukan dan pemijahan diindikasikan terjadi pada TKG IV, sehingga pada TKG V atau VI mengalami penurunan, seperti yang terjadi pada ikan swanggi betina di bulan September. Namun pada dasarnya pemijahan dimungkinkan terjadi saat ikan berada pada TKG V (masak II) sebab telur-telur dan sperma sudah berkembang dengan baik dan siap dipijahkan. TKG meningkat saat nilai IKG meningkat, sehingga banyak ikan menuju fase matang gonad dan masak sehingga dapat memijah, maka faktor kondisi juga meningkat yang dapat diakibatkan oleh perubahan makanan oleh ikan-ikan yang memasuki fase matang gonad, makanan dibutuhkan dalam jumlah yang banyak untuk menyeimbangkan fase matang gonad, oleh karena itu kemontokan ikan dapat meningkat namun jika terjadi suatu keadaan yang buruk misalnya lingkungan yang tidak mendukung atau setelah fase pemijahan maka faktor kondisi menurun. Berdasarkan nisbah kelamin hasil tangkapan pada umumnya ikan-ikan betina lebih dominan tertangkap dari pada ikan jantan, sehingga dapat diasumsikan bahwa proporsi ikan swanggi betina lebih dominan dari pada ikan swanggi jantan. Hasil analisis didapatkan perbandingan 1:1.05. Namun pada bulan April dan Juli jumlah ikan betina yang tertangkap lebih sedikit dibandingkan dengan ikan jantan. Pada bulan Juli proporsi tangkapan 24.61% untuk ikan betina dan 75.38% untuk ikan jantan. Hal ini menunjukan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) bahwa dominasi Priacanthus hamrur betina diketahui melimpah pada setiap bulan pengambilan contoh kecuali bulan April, Juli, dan Desember, sedangkan berdasarkan Premalatha (1997) nisbah kelamin dari ikan Priacanthus hamrur yang diteliti oleh Premalatha di pantai barat daya India didominasi oleh ikan betina setiap bulannya, kecuali bulan Juli. Diperairan Selat Sunda sendiri berdasarkan pengamatan ikan swanggi pada bulan Juli memiliki nisbah kelamin 1:1.05 setelah diuji lanjut menunjukkan beda nyata yang artinya nisbah ini menyimpang dari nilai ideal yaitu 1: 1(Ball & Rao 1984 in Adisti 2010). Hal ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Rahardjo (2006) bahwa nisbah kelamin di daerah tropis seperti Indonesia bersifat variatif dan menyimpang dari 1:1.

51 Ikan betina yang lebih dominan tertangkap mengindikasikan bahwa kelestarian suatu populasi masih dapat dipertahankan, sebab menurut Purwanto et al. (1986) in Sulistiono et al. (2001b) jika rasio antara ikan jantan dengan betina adalah sama atau ikan betina lebih banyak jumlahnya di perairan populasi masih dapat dipertahankan di perairan, karena menurut Saputra et al. (2009) dengan rasio demikian mengakibatkan peluang pembuahan sel telur oleh spermatozoa sampai menjadi individu baru akan semakin besar. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan proporsi kelamin dapat bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal dapat berupa tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhannya sedangkan faktor eksternal berupa ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan (Effendie 2002). Tingkah laku ikan salah satunya berhubungan dengan pergerakan ikan. Menurut Nikolsky (1963) umumnya ikan betina lebih aktif mencari makanan untuk menutrisi tubuhnya agar perkembangan gonad dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan telur yang baik pula. Misalnya proporsi yang berbeda antara bulan Juli dan Agustus, bulan Juli merupakan bulan menuju pemijahan sedangkan pada bulan Agustus merupakan bulan yang diindikasikan terjadi pemijahan dilihat berdasarkan analisis TKG, sehingga diindikasikan ikan betina tidak banyak terdapat di wilayah penangkapan pada bulan Juli. Dominasi ikan jantan pada bulan April maupun Juli diduga diakibatkan adanya ikan jantan yang sedang melakukan ruaya salah satunya untuk menuju daerah pemijahan. Menurut Sulistiono et al. (2001b) pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina, sedangkan untuk ikan-ikan yang belum matang gonad, banyaknya ikan jantan yang ditemukan di daerah penangkapan pada bulan tersebut dapat diduga karena ikan jantan sedang beruaya menuju feeding ground yaitu tempat untuk mencari makan dalam proses pematangan gonadnya. Berdasarkan parameter pertumbuhan terlihat bahwa ikan betina memiliki koefiesien pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada ikan jantan yaitu 0.3 untuk ikan betina dan 0.15 untuk ikan jantan hal ini berarti ikan betina akan lebih cepat mencapai panjang asimtotik dan

52 lebih cepat mengalami kematian. Maka dari itu panjang maksimum yang ditemukan untuk ikan betina lebih kecil daripada ikan jantan. Panjang asimtotik ikan betina sebesar 233.62 mm dan jantan sebesar 319.09 mm. Sedangkan berdasarkan analisis mortalitas total diketahui bahwa ikan jantan memiliki nilai mortalitas total (Z) yang lebih tinggi daripada ikan betina yaitu sebesar 0.55 (Adilaviana 2012). Fluktuasi nisbah kelamin per bulan juga dapat diakibatkan oleh perbedaan musim saat penangkapan dan perilaku menggerombol yang dilakukan oleh ikan-ikan berukuran sama atau ikan-ikan tersebut ditangkap pada kedalaman yang tidak terlalu dalam, sebab menurut CMFRI (1991) kelimpahan maksimum ikan swanggi terdapat pada perairan dengan kedalaman 80-300 m. Proporsi kelamin ini penting untuk diketahui, sebab dengan rasio yang baik atau jumlah betina lebih dominan mengakibatkan peluang pembuahan sel telur oleh spermatozoa sampai menjadi individu baru akan semakin besar, seperti yang dikemukakan oleh Saputra et al. (2009). Hal ini tidak lepas dari banyaknya telurtelur yang terkandung di dalam ovarium. Maka dari itu aspek fekunditas juga perlu diketahui untuk menduga potensi reproduksi. Berdasarkan analisis diketahui bahwa fekunditas ikan swanggi di Selat Sunda berkisar pada 10.676-835.805 butir. Menurut Yustina & Arnentis (2002) fekunditas berkisar 100.000-300.000 butir termasuk kedalam fekunditas besar. Maka dapat diduga bahwa ikan swanggi di perairan Selat Sunda memiliki potensi reproduksi yang besar. Jumlah fekunditas swanggi yang berada di Selat Sunda berbeda dengan fekunditas yang dihasilkan oleh Priacanthidae di sepanjang pantai India. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) fekunditas Priacanthidae berkisar pada 155.800 722.313 butir.serta berdasarkan Premalatha (1997) di pantai barat daya India fekunditas ikan Priacanthus dari spesies Priacanthus macracanthus rata-rata adalah 109.411 butir. Fekunditas yang berbeda dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain perbedaan spesies, perbedaan lingkungan perairan, serta kondisi fisiologis ikan. beberapa telur yang matang gonad memiliki fekunditas yang kecil karena gonad dilapisi oleh lapisan pelindung yang tebal, sedangkan jumlah telur tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan telur yang memiliki pelindung telur yang tipis.

53 Menurut Brojo et al. (2001); Yustina & Arnentis (2002) menyatakan bahwa fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi lingkungannya termasuk makanan dan ukuran ikan. Hal ini didukung oleh pendapat Sjafei et al. (1993) in Novitriana et al. (2004) bahwa apabila ikan hidup pada kondisi yang banyak ancaman predator maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak atau fekunditas akan semakin tinggi sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan regenerasi keturunannya, sedangkan ikan yang hidup di habitat yang sedikit predator maka telur yang dikeluarkan akan sedikit atau fekunditas rendah, sedangkan Warjono (1990); Nikolsky (1969) in Effendie (2002) mengemukakan bahwa variasi fekunditas disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah, akibatnya penyebaran produksi telur yang tidak merata. Ikan muda memiliki fekunditas relatif yang lebih tinggi dibandingkan ikan tua atau yang sudah pernah memijah. Sehubungan dengan perbedaan kelompok ukuran, setiap bulannya ikan swanggi yang diteliti berada pada suatu kisaran kelompok umur, dan berdasarkan Adilaviana (2012) pada setiap bulan pengamatan memiliki lebih dari satu kelompok ukuran, dan pada setiap kelompok ukuran tersebut didapati ikan yang matang gonad sehingga fekunditas dapat bervariasi. Faktor lain adalah penggunaan gabungan alat tangkap yang selektif dan tidak selektif mengakibatkan bias terhadap data, yang artinya pada alat tangkap yang bersifat selektif pada panjang dan bobot yang sama fekunditas ikan belum tentu sama, sehingga menurut (Batts 1972 in Effendie 2002) dapat mengakibatkan perbedaan fekunditas pada ikan yang memiliki panjang maupun bobot yang sama. Oleh karena adanya variasi dalam fekunditas ini mengakibatkan terjadinya batas kisar yang ekstrim dari fekunditas pada ikan dengan ukuran yang sama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Dennison & Bulkley (1972) in Effendie (2002) terhadap ikan yang ditelitinya Katsuwonus pelamis, maka dari itu nilai koefisien korelasi (r) pada ikan swanggi yang diteliti antara fekunditas dengan panjang dan bobot bernilai rendah yaitu kurang dari 0.5. Sehingga berdasarkan Warjono (1990); Brojo et al. (2001) jika nilai koefisien keeratan rendah maka dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara fekunditas dengan panjang maupun dengan bobot. Selain itu nilai r yang rendah

54 diduga karena penggunaan model analisis yang kurang tepat, seperti yang dikemukakan oleh Senta & Tan (1975) in Brojo & Sari (2002); Rahardjo (2006) penggunaan model yang kurang tepat atau tidak sesuai tidak dapat menjelaskan hubungan fekunditas dengan panjang maupun bobot. Aspek penting lain yang diamati dalam penelitian ini adalah penentuan umur matang gonad, sebab dengan mengetahui umur awal matang gonad dapat diketahui ukuran ikan yang boleh ditangkap dengan yang tidak boleh ditangkap. Selain itu pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan. Ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad dapat digunakan sebagai indikator ketersediaan stok reproduktif (Budimawan et al. 2004). Hasil perhitungan secara teoritis berbeda dengan hasil pengamatan secara langsung. Ikan swanggi betina maupun jantan matang gonad pada selang kelas yang sama yaitu 124-142 mm, sedangkan secara teoritis ikan swanggi betina yang dianalisis membentuk kurva sigmoid dan didapatkan titik perpotongan 50% pada rata-rata panjang 173 mm dan ikan swanggi jantan yang dianalisis belum membentuk kurva sigmoid yang sempurna, karena diduga jumlah contoh yang kurang untuk menganalisis, namun tetap didapatkan titik perpotongan proporsi matang gonad 50% yaitu pada rata-rata panjang 156 mm. Meskipun pada hasil analisis tersebut hanya sekitar 19-20% gonad yang telah matang yang dapat dianalisis secara teoritis. Sehingga jika disimpulkan secara teoritis ketersediaan stok reproduktif pada ikan swanggi betina berada pada ukuran panjang 173 mm dan pada ikan swanggi jantan adalah 156 mm. Perbedaan umur matang gonad secara teoritis pada ikan swanggi betina dan jantan dapat diakibatkan oleh laju pertumbuhan yang berbeda antara ikan betina dan jantan. Berdasarkan tingkat eksploitasi dan mortalitas total diketahui bahwa semakin banyak ikan jantan yang ditangkap maka untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi ikan swanggi jantan yang seharusnya belum matang gonad, pada selang kelas yang lebih kecil mulai mematangkan gonadnya sebelum mencapai panjang asimtotiknya sehingga ukuran ikan matang gonad jantan lebih cepat jika dibandingkan dengan ikan betina jika dilihat secara teoritis. Namun pada kondisi tertentu di alam ikan swanggi betina dan ikan swanggi jantan dapat mengalami matang gonad pada selang

55 ukuran panjang yang sama, hal ini diduga karena pengaruh lingkungan dan penangkapan. Hasil analisis umur matang gonad terhadap ikan swanggi yang didaratkan di PPP Labuan, Banten menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian di India yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) pada spesies satu genus dari Priacanthus tayenus yaitu Priacanthus hamrur meskipun pada selang kelas panjang yang berbeda. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa umur ikan tersebut matang gonad pertama kali untuk ikan jantan sebanyak 53.50% berada pada selang kelas panjang 171-180 mm dan sebesar 58% berada pada selang kelas panjang 181-190 mm, sedangkan pada ikan betina diketahui umur ikan matang gonad pertama kali sebesar 47.57% berada pada selang kelas panjang 182-190 mm dan sekitar 50% berada pada selang kelas panjang 191-200 mm. Umur matang gonad ikan swanggi (Priacanthus tayenus)yang berada di perairan Selat Sunda lebih cepat matang gonad dibandingkan dengan di India, sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Premalatha (1997) di sepanjang pantai barat daya Indiaikan Priacanthus hamrur yang matang gonad memilki ukuran panjang rata-rata 175 mm untuk jantan dan 190 mm untuk betina. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal antara lain perbedaan kondisi lingkungan serta spesies. Ikan swanggi (Priacanthus teyenus) berbeda dengan spesies Priacanthus hamrur, selain itu perbedaan lintang dapat mengakibatkan perbedaan umur matang gonad, serta adanya pengaruh dari kegiatan penangkapan yang berlebihan, sebab menurut Jennings et al. (2001) semakin tinggi intensitas penangkapan mengakibatkan ikan-ikan yang belum matang gonad akan matang gonad lebih awal daripada seharusnya. 4.3. Alternatif Pengelolaan Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan karang demersal di perairan Selat Sunda yang memiliki nilai ekonomi dan ekologis. Maka dalam rangka mempertahankan keberadaannya diperairan aspek pengelolaan ikan swanggi harus diperhatikan. Berdasarkan hasil kajian aspek reproduksi ikan swanggi yang didaratkan di PPP Labuan Banten, maka pengelolaan yang dapat dilakukan adalah konservasi secara ekologi dari habitat ikan swanggi. Ikan swanggi di perairan Selat Sunda

56 memiliki habitat yang meliputi spawning ground, feeding ground, dan nursery ground yang harus dijaga sehingga tetap sesuai sebagai tempat hidup ikan swangg. Penangkapan dilakukan pada wilayah yang bukan merupakan wilayah pemijahan. Kedua penetapan jumlah tangkapan yang disesuaikan dengan nilai JTB (Jumlah Tangkap Boleh) yang diizinkan. Ketiga dalam melakukan upaya pengelolaan harus mempertimbangkan aspek biaya atau ekonomi sehingga hal ini dapat menguntungkan bagi pihak nelayan, maka dapat dilakukan perhitungan jarak dari fishing base sehingga biaya operasi yang tinggi sebelumnya dapat diperhitungkan dan diminimalisasi. Prinsip pengelolaan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sutono (2003) bahwa bentuk-bentuk pendekatan pengelolaan yang dapat dilakukan antara lain pemberlakuan kuota penangkapan. Waktu penangkapan tidak dapat dibatasi sebab ikan swanggi mengalami musim pemijahan setiap bulan sepanjang tahun.