Dr. Ir. Suradi Wijaya Saputra, M.S. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan Universitas Diponegoro

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

DISTRIBUSI DAN RUAYA UDANG JARI (Metapenaeus elegans de Man 1907) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN CILACAP JAWA TENGAH

(Metapenaeus elegans de Man 1907) Berdasarkan Model Thompson dan Bell di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah

POTENSI UDANG DOGOL (Metapenaeus ensis) DI KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH. Abstrak

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

ANALISIS STOK UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis de Man ) MENGGUNAKAM MODEL HASIL RELATIF PER REKRUIT (Y /R) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN CILACAP

3. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

MOLTING PADA HEWAN CRUSTACEA

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim Pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh dapat berupa udang muda atau

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DINAMIKA POPULASI UDANG JARI (Metapenaeus elegans de Man 1907) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN, CILACAP, JAWA TENGAH

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. (Metapenaeus elegans), udang dogol (Metapenaeus ensis), udang pasir

KONDISI PERAIRAN SEGARA ANAKAN CILACAP BERDASARKAN VARIABEL SALINITAS DAN KEKERUHAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS STOK UDANG PENAEID DI PERAIRAN PANTAI SELATAN KEBUMEN JAWA TENGAH

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

3. METODE PENELITIAN

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN Latar Belakang

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

Aspek Reproduksi dan Daerah Pemijahan Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) di Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah

3. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

TINJAUAN PUSTAKA. Udang putih berdasarkan klasifikasinya termasuk ke dalam Kingdom

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

BAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2)

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.3 Pengumpulan Data Primer

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II

3. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

Transkripsi:

Dr. Ir. Suradi Wijaya Saputra, M.S. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan Universitas Diponegoro ISBN. 978.979.704.596.8 Cetakan pertama 2008 Diterbitkan oleh Badan Penerbit Universitas Diponegoro @ Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak, menjiplak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa seijin tertulis dari penerbit ISBN. 978.979.704.596.8

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia dan rahmatnya sehingga buku yang berjudul Biologi, Dinamika Populasi dan Pengelolaan Udang Metapenaeus elegans de Man 1907 di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah dapat terselesaikan. Buku ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis, yang isinya terdiri atas 10 bab. Bab 1, Pendahuluan, berisi tentang pentingnya penelitian dilakukan, dan selintas tentang dinamika populasi dan dinamika stok. Bab 2 menjelaskan tentang kondisi ekosistem Laguna Segara Anakan, yang berisi tentang laju sedimentasi Laguna Segara Anakan, kualitas Perairan Laguna Segara Anakan, zonasi perairan Laguna Segara Anakan berdasarkan salinitas dan kekeruhan, potensi pencemaran serta kondisi hutan mangrove. Bab 3 berisi tentang perikanan di Laguna Segara Anakan, menjelaskan sumberdaya perikanan yang terkandung di perairan Laguna Segara Anakan, seperti komposisi dan produksi dan sumberdaya udang ikan, udang, Crab dan moluska. Disamping itu juga menjelaskan komposisi alat tangkap yang beroperasi di Laguna Segara Anakan, posisi strategis Laguna Segara Anakan dalam produksi udang Pantai Selatan Jawa serta keterkaitan ekonomi perikanan udang di Segara Anakan dan Laut/Pantai Cilacap. Bab 4 menjelaskan aspek biologi udang M. elegans, yang meliputi klasifikasi, morfologi dan daur hidup udang M. elegans serta aspek reproduksi udang M. elegans yang meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, strategi reproduksi, distribusi M. elegans berdasarkan tingkat kematangan gonadnya serta daerah pemijahannya. Bab 5 berisi tentang pertumbuhan udang M. elegans yang berisi konsep pertumbuhan udang, struktur ukuran, hubungan panjang dan berat, faktor kondisi, ukuran udang rata-rata tertangkap apong, pertumbuhan populasi model Von Bertalanffy, serta metode penentuan titik perubahan kecepatan tumbuh (t tp ). Bab 6 menjelaskan tentang distribusi dan ruaya udang M. elegans antara lain berisi tentang distribusi udang M. elegans berdasarkan ukuran panjang karapas dan pergerakan ruaya pemijahan udang M. elegans di Laguna Segara Anakan. Bab 7 berisi tentang penambahan baru atau recruitment, menjelaskan tentang waktu atau musim terjadinya penambahan baru M. Elegans, sedangkan Bab 8 menjelaskan tentang mortalitas, baik mortalitas total, alami maupun mortalitas karena panangkapan. Bab 9 menjelaskan tentang analisis stok menggunakan model analitik, antara lain berisi tentang analisis kohort dan Virtual Population Analysis (VPA ) M. elegans di

Kata Pengantar Laguna Segara Anakan, analisis model hasil per penambahan baru (Y/R), analisis biomassa per rekrut (B/R) dari Beverton dan Holt, analisis stok model Thompson dan Bell, produksi maksimum berkelanjutan (MSY) relatif M. elegans, serta memaparkan tentang produksi maksimum berkelanjutan secara biologi (MSY) dan ekonomi (MSE) M. elegans di Laguna Segara Anakan. Bab 10 menjelaskan tentang kesimpulan penelitian, konsep dan strategi pengelolaan M. elegans di Laguna Segara Anakan, yang kemudian ditutup dengan daftar referensi yang dijadikan rujukan dalam penulisan buku ini. Buku ini sangat penting untuk dibaca oleh mereka yang tertarik dan ingin mendalami masalah dinamika populasi dan manajemen sumberdaya perikanan, baik para pengambil keputusan di bidang perikanan, dosen dan mahasiswa. Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan Proyek DUE- Like Bath III Universitas Diponegoro yang telah memberikan kesempatan dan bantuan biaya kepada penulis untuk melakukan penelitian di Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penulisan buku ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya saran dan kritik sangat diharapkan dari para pembaca demi untuk penyempurnaan dan perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga buku ini dapat bermanfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan. Semarang, Februari 2008 Penulis Dr.Ir. Suradi Wijaya Saputra, MS. ii

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii xiv ix BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1 B. DINAMIKA POPULASI... 4 C. DINAMIKA STOK... 5 BAB II. EKOSISTEM LAGUNA SEGARA ANAKAN A. SEDIMENTASI LAGUNA SEGARA ANAKAN... 7 B. KUALITAS PERAIRAN LAGUNA SEGARA ANAKAN... 9 1. Salinitas... 9 2. Kekeruhan... 12 3. Suhu Permukaan Air... 14 4. Kedalaman Perairan... 15 5. ph... 17 C. ZONASI PERAIRAN LAGUNA SEGARA ANAKAN BERDASARKAN SALINITAS DAN KEKERUHAN... 17 D. PENCEMARAN LAGUNA SEGARA ANAKAN... 25 1. Pencemaran Limbah Domestik... 25 2. Pestisida dan Pupuk... 26 E. KERUSAKAN HUTAN MANGROVE... 26 BAB III. PERIKANAN DI LAGUNA SEGARA ANAKAN A. KOMPONEN UTAMA PERIKANAN LAGUNA SEGARA ANAKAN... 29 B. KOMPOSISI UDANG YANG TERTANGKAP DI SEGARA ANAKAN... 31 C. PRODUKSI UDANG JARI DI LAGUNA SEGARA ANAKAN... 36

D. HASIL TANGKAPAN PER UNIT UPAYA (CPUE) UDANG JARI 38 E. KOMPOSISI DAN KERAGAMAN IKAN DI LAGUNA SEGARA ANAKAN... 41 F. KOMPOSISI DAN KERAGAMAN CRAB... 44 G. KOMPOSISI DAN KERAGAMAN MOLUSKA... 45 H. KOMPOSISI ALAT TANGKAP YANG BEROPERASI DI LAGUNA SEGARA ANAKAN... 45 I. POSISI STRATEGIS LAGUNA SEGARA ANAKAN DALAM PERIKANAN UDANG PANTAI SELATAN JAWA... 49 J. KETERKAITAN EKONOMI PERIKANAN UDANG DI SEGARA ANAKAN DAN LAUT/PANTAI CILACAP... 52 Daftar Isi BAB IV. BIOLOGI UDANG M. elegans A. KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI UDANG M. elegans... 55 B. DAUR HIDUP UDANG M. elegans... 57 C. REPRODUKSI UDANG M. elegans... 60 D. 1. Organ Reproduksi... 60 2. Nisbah Kelamin M. elegans... 62 3. Strategi Reproduksi Udang M. elegans... 65 4. Tingkat Kematangan Gonad... 69 5. Distribusi M. elegans Berdasarkan Struktur TKG... 72 6. Ukuran Udang M. elegans Pertamakali Matang Gonad... 77 7. Indek Kematangan Gonad (IKG) M. elegans... 80 8. Daerah Pemijahan Udang M. elegans di Perairan Segara Anakan.. 81 BAB V. PERTUMBUHAN UDANG M. elegans A. KONSEP PERTUMBUHAN UDANG... 86 B. ANALISIS PERGESERAN MODUS PANJANG KARAPAS UDANG M. elegans... 90 C. HUBUNGAN PANJANG DAN BERAT... 96 iv

D. HUBUNGAN PANJANG KARAPAS (CL) DAN PANJANG TOTAL (TL) M. ELEGANS... 98 E. FAKTOR KONDISI... 100 F. UKURAN RATA-RATA UDANG SAAT PERTAMAKALI TERTANGKAP APONG (L C50% )... 102 G. MODEL PERTUMBUHAN VON BERTALANFFY... 104 1. Sampel Tunggal Ford-Walfort plot... 104 2. Sampel Ganda... 105 Daftar Isi BAB VI. DISTRIBUSI DAN RUAYA UDANG M. elegans A. DISTRIBUSI UDANG M. elegans BERDASARKAN UKURAN PANJANG KARAPAS... 118 B. PERGERAKAN RUAYA UDANG M. elegans... 122 BAB VII. PENAMBAHAN BARU (REKRUITMEN) C. PENAMBAHAN BARU (REKRUITMEN)... 126 D. POLA HUBUNGAN PEMIJAHAN DAN PENAMBAHAN BARU. 130 BAB VIII. MORTALITAS A. LAJU MORTALITAS TOTAL... 135 1. Metode Kurva Tangkapan Berbasis Data Panjang... 135 2. Metode Beverton dan Holt... 137 3. Watherall plot... 137 B. LAJU MORTALITAS ALAMI... 138 1. Rumus Emperis Pauly... 138 2. Metode Richter dan Efanov... 139 C. MORTALITAS PENANGKAPAN... 140 D. LAJU MORTALITAS M. elegans DI LAGUNA SEGARA ANAKAN... 140 v

Daftar Isi BAB IX. ANALISIS STOK A. PENGERTIAN STOK... 145 B. ANALISIS KOHORT DAN VIRTUAL POPULATION ANALYSIS (VPA... 147 C. ANALISIS KOHORT M. elegans DI LAGUNA SEGARA ANAKAN... 150 D. MODEL HASIL PER PENAMBAHAN BARU (Y/R)... 153 A. Y /R UDANG M. elegans DI SEGARA ANAKAN... 156 E. MODEL BIOMASSA PER REKRUT DARI BEVERTON DAN HOLT... 164 F. BIOMASSA PER REKRUIT M. elegans DI SEGARA ANAKAN... 166 G. ANALISIS STOK MODEL THOMPSON DAN BELL... 171 H. PRODUKSI MAKSIMUM BERKELANJUTAN (MSY) RELATIF M. elegans... 179 I. PRODUKSI MAKSIMUM BERKELANJUTAN SECARA BIOLOGI (MSY) DAN EKONOMI (MSE) M. elegans... 181 BAB X. KONSEP DAN STRATEGI PENGELOLAAN A. KONSEP PENGELOLAAN... 185 B. STRATEGI PENGELOLAAN UDANG M. elegans DI PERAIRAN SEGARA ANAKAN... 190 1. Pengaturan Ukuran Udang yang Boleh Ditangkap... 190 2. Pengaturan Musim dan Daerah Penangkapan... 192 3. Pengendalian Upaya Tangkap dan Laju Eksploitasi... 195 4. Pengendalian Sedimentasi pada Laguna Segara Anakan... 196 5. Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove... 197 DAFTAR PUSTAKA... 199 APPENDIKS... 214 vi

DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengurangan luas Laguna Segara Anakan... 9 2 Kualitas perairan selama penelitian (Februari Desember 2004) berdasarkan waktu pengamatan di perairan Segara Anakan... 10 3 Kualitas perairan selama penelitian berdasarkan lokasi pengamatan di perairan Segara Anakan... 11 4 Komposisi hasil tangkapan (%) udang dominan di Perairan Segara Anakan Cilacap... 33 5 Produksi udang jari dan udang total per bulan di perairan Segara Anakan tahun 2004... 37 6 Produksi udang M. elegans, upaya (unit) dan CPUE bulanan di Perairan Segara Anakan tahun 2004... 39 7 Jenis Ikan Dominan di Segara Anakan... 42 8 Spesies udang yang menggambarkan keterkaitan perairan Segara Anakan dan perairan sekitarnya... 51 9 Nisbah kelamin (jantan : betina) udang M. elegans di Laguna Segara Anakan tahun 2004... 63 10 Nisbah kelamin (jantan : betina) udang M. elegans berdasarkan struktur ukuran... 64 11 Distribusi udang M. elegans berdasarkan TKG menurut zona dan waktu di perairan Segara Anakan tahun 2004... 73 12 Udang M. elegans betina matang gonad berdasarkan waktu dan lokasi pengamatan di perairan Segara Anakan tahun 2004... 74 13 Variabel hubungan panjang karapas dan bobot M. elegans di Segara Anakan... 97 14 Variabel panjang karapas dan panjang total M. elegans di perairan Segara Anakan... 99 15 Parameter pertumbuhan udang M. elegans di Perairan Segara Anakan... 110

Daftar Tabel 16 Kunci hubungan panjang karapas (mm) dan botot (gr) udang M. elegans di perairan Segara Anakan (W = alb)... 111 17 Hasil Perhitungan Titik Perubahan Kecepatan Tumbuh M. elegans... 114 18 Proporsi bulanan penambahan baru udang M. elegans betina di perairan Segara Anakan... 124 19 Hasil analisis kohort dan VPA (virtual population analysis) udang M. elegans di perairan Segara Anakan... 152 20 Variabel yang diperlukan dalam perhitungan Y /R... 157 21 Mortalitas penangkapan, faktor mortalitas alami dan harga udang M. elegans di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah... 173 22 Hasil analisis model Thompson dan Bell udang M. elegans di Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah (faktor F = 1)... 175 viii

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Keseimbangan dinamis populasi di suatu wilayah perikanan... 5 2 Keseimbangan dinamis stok ikan di suatu wilayah perikanan... 6 3 Citra Satelit Perairan Laguna Segara Anakan dan sekitarnya... 8 4 Salinitas bulanan di perairan Segara Anakan tahun 2004... 12 5 Kekeruhan bulanan di perairan Segara Anakan tahun 2004... 13 6 Suhu permukaan air di perairan Segara Anakan tahun 2004... 14 7 Kedalaman perairan berdasarkan lokasi pengamatan di perairan Segara Anakan... 15 8 ph air rata-rata di perairan Segara Anakan (A: berdasarkan waktu, B: berdasarkan lokasi)... 19 9 Dendrogram berdasarkan salinitas dan kekeruhan... 20 10 Pengelompokkan lokasi pengamatan hasil cluster analysis berdasarkan salinitas dan kekeruhan... 21 11 Penyederhanaan perpindahan energi di Segara Anakan (Smith, 1995)... 28 12 Komposisi Hasil Tangkapan di Laguna Segara Anakan (Didasarkan pada data Amin dan Hariati (1991) dan Duewel (1994)... 29 13 Komposisi Hasil Tangkapan Ikan di Laguna Segara Anakan (Dudley, 2000)... 30 14 Komposisi udang hasil tangkapan di Laguna Segara Anakan (Sumber Dudley, 2000)... 31 15 Komposisi udang yang tertangkap berdasarkan bobot (234 kilogram) di perairan Segara Anakan tahun 2004... 32 16 Komposisi udang hasil tangkapan dari Perairan Pantai Cilacap (Dudley, 2000)... 35 17 Hubungan antara produksi udang M. elegans dengan upaya penangkapan (trip apong) di perairan Segara Anakan tahun 2004... 39

Daftar Gambar 18 Hubungan antara CPUE udang jari dan upaya penangkapan (trip) di perairan Segara Anakan tahun 2004... 40 19 Komposisi Ikan Hasil tangkapan di perairan Laguna Segara Anakan (Dudley, 2000 a)... 41 20 Komposisi Alat Tangkap di Laguna Segara Anakan (Dudley, 2000a)... 46 21 Morfologi Udang M. elegans... 56 22 Siklus Hidup Udang M. elegans (Dall et al., 1990)... 58 23 Organ reproduksi Udang M. elegans (a = thelicum, b = petasma)... 62 24 Distribusi udang M. elegans betina berdasarkan TKG di perairan Segara Anakan tahun 2004... 75 25 Udang M.elegans betina matang gonad berdasarkan waktu pengamatan di perairan Segara Anakan... 76 26 Udang M. elegans betina matang gonad berdasarkan lokasi pengamatan di perairan Segara Anakan... 77 27 Ukuran udang M. elegans betina pertamakali matang gonad.... 79 28 Fluktuasi IKG udang M. elegans di perairan Segara Anakan tahun 2004.. 81 29 Lokasi Pemijahan udang M. elegans di perairan Segara Anakan... 82 30 Histogram panjang karapas udang M. elegans (jantan dan betina) selama penelitian di perairan Segara Anakan tahun 2004... 91 31 Histogram panjang karapas udang M. elegans jantan penelitian di Laguna Segara Anakan tahun 2004... 93 32 Histogram panjang karapas udang M. elegans betina selama penelitian di perairan Segara Anakan tahun 2004... 94 33 Hubungan panjang karapas (mm) dan berat (gr) (W = alb) M. elegans di perairan Segara Anakan... 98 34 Hubungan panjang total (mm) dengan panjang karapas (mm) M. elegans di perairan Segara Anakan... 99 35 Faktor kondisi udang M. elegans berdasarkan lokasi/daerah pengamatan perairan Segara Anakan tahun 2004... 101 x

Daftar Gambar 36 Ukuran rata-rata panjang karapas (mm) M. elegans pertama tertangkap apong di perairan Segara Anakan (a : gabungan, b : jantan, c : betina)... 103 37 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy M. elegans gabungan... 110 38 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy M. elegans jantan... 112 39 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy M. elegans betina... 112 40 Kurva pertumbuhan panjang M. elegans di perairan Segara Anakan... 120 41 Kurva pertumbuhan berat M. elegans di perairan Segara Anakan... 121 42 Distribusi udang berdasarkan panjang karapas karapas ( mm ) pada waktu sampling (A) dan lokasi sampling (B) di perairan Segara Anakan tahun 2004... 124 43 Pengelompokkan habitat berdasarkan panjang karapas... 130 44 Pola ruaya udang M. elegans di perairan Segara Anakan... 134 45 Pola penambahan baru tahunan udang M elegans di perairan Segara Anakan... 140 46 Pola hubungan antara pemijahan dan penambahan baru... 158 47 Kurva tangkapan yang dikonversi ke panjang untuk menduga nilai Z... 160 48 Hubungan antara laju eksploitasi dengan Y /R dan B /R... 158 49 Hubungan antara nilai c dengan Y /R, pada berbagai tingkat eksploitasi (E) dan tiga tingkat M/K... 160 50 Hubungan antara laju eksploitasi (E) dengan Y /R pada beberapa nilai c dan tiga tingkat M/K... 162 51 Hubungan Y /R, c dan E udang M. elegans di perairan Segara Anakan.. 164 52 Hubungan B /R dan E dengan variasi nilai c, pada tiga tingkat M/K... 167 53 Hubungan B /R dengan c pada berbagai tingkat laju eksploitasi (E), pada tiga nilai M/K... 168 54 Hubungan antara B /R dengan c dengan laju eksploitasi (E) udang M. elegans di perairan Segara Anakan... 170 xi

Daftar Gambar 55 Kurva hasil analisis Thompson dan Bell berbasis panjang pada udang M. elegans di perairan Segara Anakan... 177 56 Konsep pengelolaan sumberdaya udang (dimodifikasi dari King (1995) 189 xii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan langka, terletak di antara Pantai Selatan Kabupaten Cilacap dan Pulau Nusakambangan, dihubungkan dengan Samudra Hindia oleh dua buah alur, yaitu celah barat Pulau Nusakambangan dan alur timur Sungai Kembangkuning (Selat Nusakambangan). Ekosistem Segara Anakan saat ini diperkirakan terdiri dari perairan sekitar 500 ha dan 5 000 ha hutan mangrove yang menunjang produktivitas perairan. Perairan laguna Segara Anakan merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai, antara lain Sungai Citanduy, Kayumati, Cikujang, Cibeureum, Cikonde, Muaradua, Ujungalang dan Donan. Perairan Segara Anakan menerima endapan setiap tahun sekitar 3 000 000 m 3, sebagian besar diendapkan di Laguna Segara Anakan (ECI-ADB 1994). Segara Anakan merupakan habitat berbagai jenis organisme perairan dan daratan, diantaranya sumber daya udang. Jenis udang yang menempati perairan Laguna Segara Anakan berkait dengan siklus hidupnya, terutama dari famili Penaidae, antara lain jenis-jenis udang jari (Metapenaeus elegans), M. ensis, M. affinis, M. dobsoni, udang Jerbung (Penaeus merguiensis), P. indicus, udang Windu (P. monodon), udang Pacet (P. semisulcatus), udang Krosok (Parapenaopsis sp), udang Cikaso (Penaeus sp.), famili Palaemonidae dan famili Hippolytidae (Dudley 2000b). Spesies M. elegans merupakan spesies yang seluruh daur hidupnya berada di Segara Anakan, sedangkan spesies lainnya umumnya akan beruaya kembali ke laut. Komposisi hasil tangkapan udang di Laguna Segara Anakan didominasi oleh spesies M. elegans, P. merguiensis, P. indicus, P. monodon, M. dobsoni, dan M. ensis. Metapenaeus elegans de Man (1907) disebut juga fine shrimp (Inggris), crevette elegance (Prancis), camaron fino (Spanyol) (Chan 1998), dengan nama lokal udang Jahe, udang Jari atau Dogol hijau. Spesies ini seluruh daur hidupnya berada di muara sungai atau laguna dengan salinitas rendah. Udang jari hampir tidak pernah ditemukan di laut, hanya sesekali ditemukan di mulut laguna selama pasang tinggi. Udang M. elegans umumnya tertangkap oleh traps, push nets, set nets dan alat-alat tangkap artisanal. Di perairan laguna Segara Anakan dan sekitarnya udang jari tertangkap dengan alat tangkap jaring apong. Bentuk jaring apong sama dengan trawl, hanya pengoperasiannya statis,

Pendahuluan dengan menghadang arus. Alat tangkap ini sangat berkembang, oleh karena merupakan alat yang paling efektif untuk menangkap udang. Apong berkembang sekitar awal tahun 80-an, sesaat setelah trawl dilarang beroperasi di kawasan perairan barat. Jumlah apong di Segara Anakan saat ini mencapai 1660 unit. Penelitian di Laguna Segara Anakan telah banyak dilakukan dan tidak kurang dari 80 judul penelitian dengan berbagai aspek kajian. Sebagian besar penelitan tersebut tentang keanekaragaman sumber daya, kebijakan dan upaya konservasi laguna, yang terkait dengan kegiatan proyek yang dikelola oleh Badan Pengelola Konservasi Segara Anakan (BPKSA). Penelitian tentang sumber daya udang yang telah dilakukan antara lain komposisi dan keragaman sumber daya udang (Dudley 2000; Zarochman 2001, 2003), P. merguiensis (Djamali 1991, Purnamaji 2003), P. monodon (Asbar 1994), dan Metapenaeus ensis (Suman, 2004). Penelitian tentang Metapenaeus elegans di Segara Anakan dan perairan lain di Indonesia sejauh ini belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang menyebutkan keberadaan spesies ini antara lain dilaporkan oleh Dudley (2000), Zarochman (2001, 2003); dan Purnamaji (2003). Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui adanya indikasi: 1) Terjadi penurunan volume produksi udang, yaitu dari 750 ton / tahun pada tahun 1987/1988 (Amin dan Hariati 1991) menjadi 200 ton / tahun pada tahun 1999-2000 (Dudley 2000a). 2) Udang yang tertangkap adalah stadia juvenil dan udang muda yang ukurannya masih sangat kecil, yaitu berkisar antara 4 5 gram per ekor atau 200-250 ekor per kilogram (Dudley 2000a). 3) Penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) atau laju tangkap apong dari 15.1 kg/trip pada tahun 1987/1988 (Amin dan Hariati 1991), menjadi 6.5 kg/trip pada tahun 1999/2000 (Dudley 2000a) Penurunan produksi dan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) di atas mengindikasikan terjadinya penurunan stok udang di perairan Laguna Segara Anakan. Penurunan stok tersebut diduga akibat: 1) Terjadinya peningkatan intensitas eksploitasi terhadap sumber daya udang, sehingga mengakibatkan terjadinya tangkap lebih (over eksploited), 2) Terjadinya penurunan daya dukung perairan, baik karena pendangkalan dan penyempitan perairan laguna, menurunnya kualitas air dan kerusakan habitat sebagai daerah asuhan sehingga meningkatnya mortalitas alami sebagai akibat dari penurunan daya dukung lingkungan. Peningkatan intensitas eksploitasi dapat dilihat dari dua hal, yakni: 2

BAB II EKOSISTEM LAGUNA SEGARA ANAKAN A. SEDIMENTASI LAGUNA SEGARA ANAKAN Perairan laguna Segara Anakan merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai, antara lain Sungai Citanduy, Kayumati, Cikujang, Cibeureum, Cikonde, Muaradua, Ujungalang dan Donan. Perairan Segara Anakan menerima endapan setiap tahun sekitar 3 000 000 m 3, sebagian besar diendapkan di Laguna Segara Anakan (ECI-ADB 1994). Akibat pengendapan tersebut luas dan kedalaman perairan Laguna Segara Anakan dan sekitarnya cenderung terus berkurang. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1903 luas Laguna Segara Anakan 6 450 hektar, pada tahun 1984 menjadi 3 270 hektar, pada tahun 1992 menjadi 1 800 hektar. Pada tahun 2015 diperkirakan Laguna Segara Anakan tinggal daratan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan bakau (Atmawidjaja 1995). Berbagai kajian dan upaya pengendalian pengendapan untuk mencegah hilangnya ekosistem laguna tersebut telah dilakukan, baik melalui kegiatan fisik (seperti penyodetan sungai Cikonde) maupun sosial (penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat), namun belum menunjukkan hasil yang nyata. Salah satu hasil kajian merekomendasikan dilakukannya penyodetan Sungai Citanduy, namun tidak dapat dilaksanakan karena sebagian masyarakat menolak kegiatan tersebut. Disamping itu, penebangan bakau ilegal maupun peningkatan beban pencemaran dari daerah sekitarnya, akan berpengaruh terhadap ekosistem perairan Laguna Segara Anakan. Kondisi tersebut merupakan ancaman yang serius bagi sumber daya perikanan pada umumnya dan sumber daya udang jari khususnya, yang keberadaannya bergantung pada ekosistem Laguna Segara Anakan. DAS Segara Anakan meliputi luas 96.000 hektar, dengan pola penggunaan lahan hutan dan perkebunan 27.000 ha, dataran tinggi 11.000 ha, pemukiman dan pekarangan 11.000 ha, sawah 23.000 hektar dan laguna (termasuk hutan mangrove) 24.000 hektar (Napitupulu, 1980) yang disitir oleh Atmawidjaja (1995).

Ekosistem Laguna Segara Anakan Gambar 3. Citra satelit perairan Laguna Segara Anakan dan sekitarnya. Sungai Citanduy merupakan sungai terbesar, dengan massa air pembawa bahan sedimen yang terbanyak. Bahan sedimen tersebut berasal dari debu Gunung Galunggung, tanah pertanian andosol dan latosol yang mengandung liat, pasir kuarsa, senyawa kimia pestisida dan pupuk serta limbah industri dan rumah tangga (Atmawidjaja, 1995). Laju sedimentasi yang terjadi di Segara Anakan dapat dilihat dari berkurangnya luasan Laguna Segara Anakan, sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengurangan Luas Laguna Segara Anakan Tahun Luas Perairan 1890 6.898,00 1903 6.400,00 1944 6.060,00 1971 4.290,00 1986 2.700,00 1992 1.800,00 2001* 800,00 2002* 600,00 Sumber : Proyek induk pengembangan wilayah Sungai Citanduy, Cibulan, Ditjen Pengairan, Departemen KIMPRASWIL *) Sumber : Badan Pengelola Kawasan Konservasi Segara Anakan berdasarkan data Landsat type TM hasil interpretasi citra satelit. Laju sedimentasi tersebut disamping dipengaruhi oleh tingginya partikel lumpur yang terbawa massa air sungai, juga dipengaruhi oleh morfometrik laguna dan adanya hutan mangrove. B. KUALITAS PERAIRAN LAGUNA SEGARA ANAKAN 7

BAB III PERIKANAN DI SEGARA ANAKAN A. KOMPONEN UTAMA PERIKANAN LAGUNA SEGARA ANAKAN Sebagaimana dijelaskan pada Bab 2 bahwa Laguna Segara Anakan merupakan habitat bagi berbagai jenis ikan, dan oleh sebab itu Laguna Segara Anakan juga merupakan tempat yang baik bagi kegiatan penangkapan ikan. Berdasarkan data dari Amin dan Hariati (1991) dan Duewel (1994) komposisi hasil tangkapan ikan di Segara Anakan adalah 48 % ikan, 25% udang dan crab 10% (Gambar 12). lainnya; 17% "crab"; 10% ikan; 48% udang; 25% Gambar 12. Komposisi Hasil Tangkapan di Laguna Segara Anakan (Didasarkan pada data Amin dan Hariati (1991) dan Duewel (1994). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Dudley (2000) dengan menggunakan data pada periode 1999 sampai dengan tahun 2000 komposisi hasil tangkapan bergeser, dimana pada tahun 1991-1994 hasil tangkapan dominan adalah ikan, namun berdasarkan data tahun 1999-2000 hasil tangkapan terbesar adalah udang (41%) (Gambar 13). "crab"; 13% lainnya; 7% ikan; udang; 41% Gambar 13. Komposisi Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan di Laguna Segara Anakan (Dudley, 2000)

Perikanan Laguna Segara Anakan Terjadinya pergeseran ini terkait erat dengan meningkatnya tekanan dan perubahan lingkungan, terutama terkait dengan proses sedimentasi yang terjadi di Laguna Segara Anakan. Hal ini berakibat menurunnya daya dukung lingkungan, baik dilihat dari titik pandang ruang (space) maupun makanan (energi). Disamping adanya persaingan ruang dan makanan, diduga kuat juga telah terjadinya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang melebihi kapasitas potensi lestarinya. Disamping itu, diduga banyak spesies ikan yang tidak lagi mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan Segara Anakan, terutama terkait dengan perubahan salinitas dalam rentang yang luas dan laju sedimentasi yang tinggi. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya kelimpahan sediaan (stok), yang dapat dilihat dari indikasi semakin menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) menggunakan alat standar apong (sebagai alat paling dominan dan hasil tangkapannya terbesar). B. KOMPOSISI UDANG YANG TERTANGKAP DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Produksi udang per satuan upaya (CPUE) menurun tajam, dari 15,1 kg/trip pada tahun 1987-1988 menjadi 6,5 kg/trip alat tangkap Apong pada tahun 1999-2000 (Zarochman, 2001). Disamping itu juga terjadi penurunan ukuran udang yang tertangkap dan keragaman jenisnya. Komposisi udang yang tertangkap di Laguna Segara Anakan pada tahun 2000 disajikan pada Gambar 14 (Dudley, 2000a). P. monodon; 3% P. indicus; 8% Nematopalaemon tenuipes; 18% M. ensis; 1% M. dobsoni; 3% Udang lainnya; 9% P. merguiensis; 25% M. elegans; 51% Gambar 14. Komposisi udang hasil tangkapan di Laguna Segara Anakan (Sumber: Dudley, 2000) Jenis udang yang paling banyak tertangkap (dalam satuan ton per tahun) adalah jenis Metapenaeus elegan (51%) dan disusul jenis Penaeus merguiensis (25%). Namun 24

BAB IV BIOLOGI UDANG Metapenaeus elegans A. KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI UDANG M. elegans Metapenaeus elegans de Man (1907) disebut juga fine shrimp (Inggris), crevette elegance (Prancis), camaron fino (Spanyol), dan nama lokal udang jahe, udang jari dan udang dogol hijau. Selanjutnya dinyatakan panjang tubuh maksimum udang M. elegans betina 11,8 cm dan jantan 8,4 cm. Sistematika udang M. elegans adalah sebagai berikut (Lovett, 1981; Motoh, 1981; Dall et al., 1990 dan Chan, 1998) : Filum : Arthropoda Sub filum : Mandibulata Klas : Krustasea Subklas : Malacostraca Seri : Eumalacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Natantia Seksi : Penaeidea Famili : Penaidae Subfamili : Penaeinae Genus : Metapenaeus Spesies : elegans (de MAN, 1907). M. elegans dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama brown shrimp. Ciri yang menonjol dari spesies ini adalah kulitnya keras, antennular Panjang rostrum Panjang Dorsal crest berwarna kecoklatan seperti warna jahe. Pewarnaan tubuh coklat kekuningan transparan Panjang abdomen telson sampai coklat seperti warna anten Lempeng pleopoda periopoda jahe, dengan bintik-bintik uropoda endpopod Flagella kecil berwarna hitam. Udang M. elegans Pada udang matang gonad, bintik hitam tersebut akan berwarna coklat kemerahan, terutama pada bagian dorsal cephalothorac. Pada kaki jalan jernih sampai berwarna pink, dan pada kali jalan belang-belang warna pink. Pada tepi dan bagian ujung kedua upopodnya juga berwarna pink. Kedua antenna juga berwarna pink. Rostrum kuat, cenderung lurus, dengan ujung yang tajam. Pada bagian atas terdapat 9 12 gerigi tetapi yang terbanyak 9 gerigi. Pada

Biologi Udang Metapenaeus elegans bagian bawah tidak terdapat gerigi, tapi banyak ditemukan bulu-bulu halus. Gigi dorsal terdepan terletak di dekat ujung rostrum. Adrostral carina berakhir di antara gigi epigastric dan gigi berikutnya. Sulcus adrostral epigastric, mencapai 1/3 anterior dari panjang karapas. Postrostral carina berlanjut ke posterior 1/10 1/12 dari panjang karapas. Flagella luar lebih panjang dari pada dalam, 2/5 dari panjang karapas dan 3/5 dari antennular penducle. Postantenna inferior mencapai ujung segmen I melampaui ujung kornea, 2/5 dari segmen pertama. Organ reproduksi pada udang merupakan salah satu kunci utama yang cepat untuk membedakan dengan spesies lain secara morfologi. Pada udang jantan, distolateral projection pipih dan biloped, tumpang tinggih dengan distomedian projection. Jarak diantara distomedian projection lebih dari ½ dari panjang total petasma, dan jarak diantara distolateral projection sekitar 1/3 dari total. Appendix masculine dengan ujung pipih, tertekan ke arah posterior, memanjang seperti buah pear. Pada udang betina, thelicum dengan lempeng anterior seperti lidah, dengan bagian posterior lebih kecil/sempit. Bagian median tertekan ke dalam kearah posterior, dan dengan lempeng lateral berbentuk L dan secara keseluruhan menyerupai mangkok dengan bukaan yang lebar bagian posterior. B. DAUR HIDUP UDANG M. elegans Berdasarkan daur hidupnya, udang penaid terbagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu : 1) Udang yang seluruh daur hidupnya berada di estuarin, seperti M. bennetae, M. elegans, dan M. insolitus. 2) Seluruh daur hidupnya berada di laut, seperti Parapenaeus, Hymenopenaeus, Aristaeomorpha dan Funchalia, dan 3) udang yang dalam daur hidupnya terbagi menjadi dua, yaitu fase lautan dan fase muara sungai, seperti udang Penaeus (Kirkegaard, 1973) yang disitir Asbar (1994). Dall et al. (1990) merangkum berbagai hasil penelitian, membedakan 4 tipe daur hidup udang penaid, yaitu : Tipe 1. Udang penaid yang seluruh daur hidupnya berada di estuarin (Gambar 22). Termasuk dalam tipe ini antara lain Metapenaeus benettae, M. conjunctus, M. elegans, M. moyebi dan M. brevicornis (Miquel,1982). Pascalarva cenderung migrasi ke bagian hulu sungai dengan salinitas rendah. Setelah tumbuh menjadi 43

BAB V PERTUMBUHAN UDANG Metapenaeus elegans A. KONSEP PERTUMBUHAN UDANG Pertumbuhan adalah perubahan ukuran panjang atau berat dalam suatu periode waktu tertentu (Effendie, 1997). Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan dalam individu adalah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Hartnoll (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat diekspresikan sebagai pertambahan panjang, volume, berat basah atau berat kering dalam periode waktu tertentu. Anggoro (1992) menyatakan pertumbuhan adalah perubahan bentuk atau ukuran, baik panjang, bobot atau volume dalam jangka waktu tertentu. Secara fisik pertumbuhan diekspresikan dengan perubahan jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh dalam rentang waktu tertentu. Secara morfologis pertumbuhan digambarkan dalam perubahan bentuk (metamorfosis), dan secara energetik, pertumbuhan dapat dijelaskan dengan perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh pada periode waktu tertentu. Effendie (1997) membedakan pertumbuhan menjadi pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan nisbi. (1) Pertumbuhan mutlak ialah perbedaan panjang atau berat dalam dua saat ( dg = L t L o atau dg = W t W o )... 5 (2) Pertumbuhan nisbi ialah panjang atau berat yang dicapai dalam satu periode tertentu dihubungkan dengan panjang atau berat awal periode : RG = (L t L o )/L o ) atau RG = (W t W o )/W o.... 6 Pada organisme yang tidak memiliki eksoskeleton pertumbuhan dapat berlangsung terus menerus, tapi pada krustasea hal itu tidak dapat terjadi karena dibatasi oleh adanya eksoskeleton, sehingga proses pertumbuhan menjadi terputus-putus (Hartnoll, 1982). Pada udang pertumbuhan ditandai dengan adanya pergantian kulit (molting, ekdisis). Pertumbuhan krustasea pada umumnya adalah sebagai berikut:

Pertumbuhan Udang M. elegans 1. Udang berganti kulit, melepaskan dirinya dari kulit luarnya yang keras (eksoskeleton), 2. Air diserap (absorbed), ukuran udang bertambah besar, 3. Kulit luar yang baru terbentuk dan 4. Air secara bertahap diganti dengan jaringan baru. Oleh karenanya pertumbuhan panjang individu merupakan fungsi berjenjang (step function), tubuh bertambah panjang pada setiap ganti kulit dan tidak bertambah panjang antar ganti kulit (intermolt). Pada setiap ganti kulit integumen membuka, pertumbuhan terjadi cepat pada periode waktu yang pendek, sebelum integumen yang baru menjadi keras (Hartnoll, 1982). Pertumbuhan larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara proses perubahan struktur melalui metamorfosis dan ganti kulit (molting), serta meningkatnya biomass sebagai proses transformasi materi dan energi pakan menjadi masa tubuh udang (Hartnoll, 1982). Pada tingkat individu, udang mempunyai pola pertumbuhan yang terputus-putus (discontinu), karena tidak terjadi pertumbuhan saat diantara ganti kulit. Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan udang penaid sangat cepat dan ukuran maksimum bervariasi dari panjang total 8,4-12 cm pada spesies penaid yang kecil (Metapenaeus spp) sampai dengan 30 cm pada spesies udang besar seperti P monodon, dicapai pada umur sekitar 2 tahun. Secara sederhana prinsip faali dan karakteristik ganti kulit pada udang mengikuti alur proses sebagai berikut (Yamaoka dan Scheer, 1970; Wickins, 1982) yang dikutip Anggoro (1992). (a) Mobilisasi dan akumulasi cadangan material metabolik, seperti Ca, P dan bahan organik ke dalam hepatopankreas selama akhir periode antar ganti kulit (intermolt akhir). (b) Pembentukan kulit baru diiringi dengan resorpsi material organik dan anorganik dari kulit lama selama periode persiapan (awal) ganti kulit (premolt). (c) Pelepasan kulit lama pada saat ganti kulit dan diikuti dengan absorpsi air dari media eksternal dalam jumlah besar, (d) Pembentukan dan pengerasan kulit baru dari cadangan material organik dan arorganik yang berasal dari hemolimfe (darah) dan hepatopankreas (sebagian kecil berasal dari media eksternal), yang terjadi pada periode setelah ganti kulit (postmolt), 71

BAB VI DISTRIBUSI DAN RUAYA UDANG M. elegans Penyebaran udang penaeid mulai dari daerah muara-muara sungai sampai ke perairan laut dalam, bervariasi menurut fase dalam kehidupannya. Larva bergerak dari daerah pemijahan di tengah laut ke teluk dan muara sungai secara pasif terbawa arus sebagai pasca-larva. Juvenil ditemukan pada lingkungan muara sungai dan goba-goba, dan menyenangi perairan yang terdapat hutan mangrove (Kirkegaard, et al. 1970 yang disitir oleh Naamin, 1984). Udang dewasa biasanya ditemukan pada perairan pantai yang dangkal. Udang muda (juvenil) dan udang dewasa mempunyai kisaran toleransi terhadap suhu antara 10 40 o C, tetapi jarang ditemukan pada perairan dengan suhu 36 o C. Udang muda mampu beradaptasi terhadap salinitas hingga 5 o / oo dan udang dewasa jarang terdapat pada perairan dengan salinitas lebih dari 33 36 o / oo (Munro, 1968 yang disitir Naamin, 1984). Perairan yang disenangi adalah perairan yang agak keruh dengan dasar lumpur yang lumer atau campuran pasir dengan lumpur (Unar, 1965; Penn, 1975 yang disitir Naamin, 1984). Udang penaeid yang umumnya hidup di daerah tropis dikenal beruaya dari pantai ke tengah laut dan sebaliknya, migrasi sepanjang pantai dan melakukan pergerakan vertikal dalam kolom air. Larva udang juga diketahui melakukan ruaya secara vertikal pada jam-jam gelap, tetapi tingkah laku ini hilang setelah pascalarva yang berada di sungai. Beberapa jenis udang penaeid mempunyai kebiasaan mengelompok (schooling) dan sifat membenam diri dalam substrat lumpur. Menurut Penn (1981) P. merguensis termasuk golongan yang jarang membenam diri dan hampir selalu aktif. Hindley (1975 yang disitir Naamin, 1984) menyatakan bahwa P. merguensis tidak diketahui membenamkan diri ke dalam substrat dasar perairan. P. monodon dan P. indicus lebih senang membenamkan diri dalam lumpur pada siang hari dan keluar pada saat malam hari. Udang pada semua fase hidupnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan habitatnya. Suhu, oksigen, salinitas, kekeruhan, densitas plankton, intensitas cahaya, fase bulan, cuaca, keberadaan hutan mangrove, merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan udang. Demikian juga tekstur sedimen, kandungan bahan organik dan keberadaan organisme bentik. Pada perairan tropis, curah hujan, makanan, kekeruhan dan perubahan-perubahan yang terjadi atas faktor tersebut lebih penting daripada suhu yang tidak terlalu bervariasi. Tingkat sintasan (survival) larva dan

Distribusi dan Ruaya Udang M. elegans juvenil udang dipengaruhi oleh kombinasi pengaruh suhu dan salinitas. Kombinasi suhu rendah dan salinitas rendah sangat tidak disukai udang. Suhu juga merupakan salah satu variabel utama (selain keadaan sungai dan sedimen) yang mempengaruhi penyebaran udang (Garcia dan Le Reste, 1981). Beberapa faktor yang merangsang udang muda untuk beruaya adalah perubahan yang mencolok dari suhu, salinitas dan arus (terkait dengan perubahan musim aliran sungai) (Rothchild dan Gulland, 1982). A. DISTRIBUSI UDANG M. ELEGANS BERDASARKAN UKURAN PANJANG KARAPAS Ukuran panjang karapas rata-rata paling besar ditemukan pada bulan November dan Desember. Berdasarkan lokasinya, ukuran rata-rata panjang karapas paling besar ditemukan pada stasiun pengamatan perairan laguna sebelah timur Karanganyar. Udang yang berasal dari Zona Timur dan Tengah umumnya lebih kecil dibanding udang yang berasal dari Zona Barat (Gambar 39). Ukuran terkecil ditemukan pada udang yang tertangkap di perairan Tritih Kulon (Zona Timur) dan di perairan sebelah Barat Kutawaru (Zona Tengah). Hasil cluster analysis menunjukkan bahwa udang M. elegans dari perairan Tritih Kulon memiliki kemiripan ukuran dengan udang yang tertangkap di perairan Barat Kutawaru, dimana keduanya memiliki ukuran terkecil (Gambar 40). Ukuran udang yang tertangkap di perairan Karangtalun memiliki kemiripan dengan udang yang tertangkap di perairan Timur Motean. Berdasarkan ukuran panjang karapas udang M. elegans yang tertangkap, maka perairan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, terdiri dari lokasi pengamatan Tritih Kulon dan Barat Kutawaru. Kelompok kedua terdiri dari perairan Karangtalun, muara Sungai Donan, perairan Timur Motean dan Barat Motean. Kelompok ketiga yang berada pada Zona Barat atau perairan laguna (laguna dekat Klaces, laguna dekat muara Sungai Cibeureum dan laguna sebelah timur Karanganyar). 95

BAB VIII MORTALITAS Informasi tentang laju mortalitas dalam suatu perikanan yang terekplotasi sangat penting untuk menganalisis dinamika suatu populasi (Gulland, 1955 disitir Widodo, 1991). Sebagaimana dijelaskan dalam bab I, mortalitas merupakan faktor pengurang dalam suatu stok perikanan. A. LAJU MORTALITAS TOTAL Secara umum mortalitas dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu mortalitas alami dan mortalitas karena penangkapan. Parameter yang digunakan untuk menggambarkan kematian disebut laju mortalitas. Laju instantaneous mortalitas total, Z, dapat diestimasi dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analsis kurva tangkapan menggunakan data frekuensi panjang. Beberapa metode pendugaan laju mortalitas total, akan dijelaskan dengan diikuti teladan hasil perhitungannya pada udang M. elegans di Segara Anakan. 1. Metode Kurva Tangkapan Berbasis Data Panjang Pada umumnya analisis kurva tangkapan menggunakan data komposisi umur (Beverton dan Holt,1956; Ricker, 1975). Estimasi laju mortalitas total, Z, metode kurva tangkapan mengansumsikan bahwa populasi memiliki struktur umur stabil. Penambahan baru diasumsikan stabil, dan laju mortalitas total sama untuk semua kelas umur, dan jumlah yang hidup (N t ) cenderung turun secara eksponensial dengan waktu atau umur (t), ditunjukkan dengan rumus : Ln N t = ln N o - Zt.... 31 Pendugaan laju mortalitas total dapat diperoleh dengan memplotkan log natural data kelimpahan relatif klas tahun (N t ) berurutan dengan umur (t). Mortalitas total diduga dari kurva yang menurun pada bagian kanan. Metode ini kadang terkendala oleh karena data tentang umur ikan tropis sulit didapatkan, karena memerlukan waktu dan biaya yang besar. Gulland (1983) menyatakan bahwa data frekuensi panjang dapat digunakan sama dengan data frekuensi umur dalam metode kurva tangkapan. Dinyatakan selanjutnya bahwa pada prinsipnya umur dapat diduga dari panjang secara aljabar dengan menyusun kembali formula pertumbuhan Von

Mortalitas Bertalanffy menjadi fungsi umur dari panjang (Gulland, 1969 disitir Widodo 1988). Prosedur perubahan data distribusi frekuensi panjang menjadi data kurva tangkapan struktur umur dijelaskan oleh Pauly (1983). Pada persamaan kurva penangkapan berdasarkan umur di atas, jika N (kelimpahan) diganti dengan frekuensi panjang (F) antara l 1 dan l 2, dan t menjadi umut antara interval kelas tengah, maka persamaannya menjadi : atau lebih sederhana dapat ditulis sebagai Ln [F(l 1 - l 2 )/dt] = constant Zt(l 1 - l 2 )/2,... 32 Ln [F/dt] = constant Zt,... 33 Kurva tangkapan berdasar panjang adalah plot antara ln (F/dt) dengan t, dimana F adalah jumlah individu pada masing-masing kelompok umur dan t adalah umur relatif. Nilai dt adalah waktu yang dibutuhkan untuk tumbuh dalam klas panjang tertentu. 2. Metode Beverton dan Holt Teknik kuosien Z/K dan modifikasinya dikembangkan oleh Beverton dan Holt (1956), Powell (1979) dan terakhir oleh Wetherall (1986) dan Weterall et al (1987). Validitas metode ini didasarkan pada asumsi bahwa sampel ikan diperoleh dari populasi yang stabil dengan penambahan baru dan laju mortalitas yang konstan serta mengikuti model pertumbuhan von Bertalanffy. Nilai Z/K dapat diduga jika nilai-nilai L, l c dan Î diketahui, dengan persamaan : L - Î Z/K =... 34 Î - l c Atau jika l diketahui dapat digunakan rumus : Z = K [(L - Î) / (Î l )... 35 dimana : K = indek kurva pertumbuhan von Bertalanffy L = panjang infiniti, Î = rata-rata panjang karapas dalam kelompok umur tertentu, l = panjang karapas terkecil dalam sampel l c = panjang karapas udang pertama tertangkap alat. 107

BAB VIII ANALISIS STOK A. PENGERTIAN STOK Stok adalah suatu kelompok organisme dari suatu spesies yang mempunyai karakteristik (parameter stok) yang sama dan menempati suatu daerah geografis tertentu. Parameter stok adalah berbagai indikator dari mortalitas dan keragaan fisiologis, misalnya pertumbuhan badan (Spare et al., 1989). Pada prinsipnya suatu stok adalah kelompok ikan atau udang yang batas geografis persebarannya dapat ditentukan, demikian pula kegiatan perikanan (armada penangkapan) yang mengeksploitasi kelompok ikan atau udang tersebut. Stok harus berasal dari suatu ras yang sama dalam suatu spesies yang sama. Cushing (1968) yang disitir Spare et al. (1989) memberikan definisi stok sebagai ikan yang mempunyai tempat memijah tertentu dan ikan-ikan dewasa kembali dari tahun ke tahun. Selanjutnya dikemukakan bahwa Larkin (1972) mendifinisikan stok sebagai suatu populasi organisme yang mempunyai kumpulan gen yang sama yang menjamin sebagai suatu sistem yang secara mandiri dapat berkelanjutan. Sifat khusus dari suatu stok adalah bahwa parameter populasi tetap sama di seluruh daerah penyebarannya. Ihseen et al. (1981) mendefinisikan stok sebagai suatu kelompok interspesifik dari individu-individu yang berhubungan secara acak dalam kesatuan menyeluruh menurut waktu dan ruang,. Ricker (1975) menjelaskan stok sebagai bagian dari populasi yang berada di bawah pertimbangan pandangan dalam pemanfaatannya, baik secara aktual maupun potensial. Sedangkan Gulland (1983) untuk keperluan pengelolaan menjelaskan bahwa sekelompok atau suatu sub kelompok individu dari suatu spesies dapat diperlakukan sebagai satu stok jika perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan percampuran dengan kelompok lain dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang keliru. Secara umum Rothchild (1989) mengemukakan model yang digunakan untuk pengkajian stok udang dan ikan dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu (1) model baku perikanan (standart fisheries model) dan (2) model non baku perikanan, Model baku perikanan dapat dikelompokkan lagi menjadi 3, yaitu (a) model produksi, (b) model analitik, dan (c) model stok dan penambahan baru (Y/R).

Analisis Stok Model Analitik Gulland (1974) mengelompokkan menjadi dua dilihat dari cara pandang terhadap populasi ikan. Pertama, model-model yang memperlakukan populasi sebagai satu satuan tanpa memperhitungkan strukturnya (komposisi umur dan sebagainya). Kedua, menganggap populasi sebagai kumpulan dari individu-individu anggotanya, sehingga dikaitkan dengan laju pertumbuhan dan mortalitas dari individu anggotanya. Model yang masuk kelompok pertama misalnya model surplus produksi dari Schaefer (1954, 1957) yang merupakan pengembangan dari model Graham (1939), model dynamic pool dari Wicker (1948, 1958), dan Beverton dan Holt (1957). Model analitik sering pula dikenal sebagai Beverton and Holt dan model Ricker, yaitu suatu model yang mempertimbangkan lebih mendalam beberapa bagian parameter populasi. Model ini lebih banyak memerlukan data mengenai parameter pertumbuhan, rekrutmen dan mortalitas. Model yang banyak digunakan pada akhir-akhir ini adalah model yield-per-rekruit (Y/R), yang selanjutnya disebut sebagai hasil per penambahan baru. King (1995) menyatakan bahwa model Y/R adalah memeriksa trade off antara menangkap ikan yang masih muda dalam jumlah banyak dan menangkap ikan yang lebih sedikit jumlahnya tetapi lebih besar ukurannya. Asumsi model adalah bahwa stok dalam keadaan berimbang, yakni yield total dalam satu tahun dari semua kelompok umur (semua kohort semu, pseudo cohort) adalah sama dengan yield yang dihasilkan oleh suatu kohort tunggal selama daur hidupnya (King, 1995; Sparre dan Venema, 1999). Secara lebih sederhana, Gulland (1983) menyatakan bahwa Y/R adalah yiled rata-rata yang dapat diharapkan dari ikan secara individu yang mencapai ukuran yang dapat ditangkap, dengan pola penangkapan tertentu (jumlah upaya total dan selektifitasnya). B. ANALISIS KOHORT DAN VIRTUAL POPULATION ANALYSIS (VPA) Analisis Kohort dan analisis pupulasi virtual adalah suatu analisis dari hasil-hasil tangkapan dari perikanan komersial yang diperoleh melalui statistik perikanan (Sparre dan Venema, 1999). Pada awalnya model ini berbasis umur, namun kemudian dikembangkan juga untuk analisis berbasis data frekuensi panjang. Data hasil tangkapan digabung dengan informasi yang rinci tentang penyebaran dari setiap kohort pada hasil tangkapan, yang biasanya diperoleh melalui penarikan contoh dan pengukuran frekuensi panjang. Ide di balik metode ini adalah menganalisis apa yang dapat diukur, hasil tangkapan, dengan maksud untuk menghitung populasi yang seharusnya ada di perairan 114

BAB X KONSEP DAN STRATEGDI PENGELOLAAN Berdasarkan paparan dari bab 1 sampai dengan bab 9 di depan dapat disimpulkan bahwa : 1) M. elegans betina matang gonad paling banyak ditemukan pada bulan Mei. Daerah pemijahan M. elegans diduga di perairan Laguna Segara Anakan (zona barat). 2) Puncak rekrutmen M. elegans terjadi pada bulan Juni. 3) Ukuran M. elegans rata-rata tertangkap jaring apong pada panjang karapas 14.5 mm, sedangkan ukuran optimum yang menghasilkan produksi maksimum berkelanjutan (MSY) relatif adalah 25.5 mm, dengan laju eksploitasi 0.7/tahun. Apabila laju eksploitasi sekarang dipertahankan (E = 0.83/tahun), maka L c seharusnya 27.7 mm. 4) Pada L c = 14.5, laju eksploitasi udang jari sebesar 0.83/tahun, E max sebesar 0.54/tahun dan E 0.1 sebesar 0.46/tahun. 5) Berdasarkan indikator ukuran panjang karapas rata-rata yang tertangkap apong, laju eksploitasi (E), produksi, hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan Y/R status perikanan udang jari di perairan Segara Anakan dalam keadaan lebih tangkap. 6) Produksi udang jari di perairan Segara Anakan pada tahun 2004 sebesar 168 ton/tahun, dengan nilai produksi sebesar Rp.1.726.744.150,00. Produksi maksimum berkelanjutan secara biologi (MSY) udang jari 240 ton dan produksi maksimum berkelanjutan secara ekonomi (MSE) sebesar 234 ton, dengan nilai produksi sebesar Rp. 2.740.275.054.00, apabia nilai tengah ukuran udang yang tertangkap 25,5 mm. 7) Alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan, baik secara terpisah atau bersamaan, yaitu : a) Konsep pengelolaan yang didasarkan pada pengaturan ukuran mata jaring pada kantong jaring apong. b) Konsep pengelolaan dengan penutupan musim dan daerah penangkapan, berdasarkan musim / daerah pemijahan dan pola rekrutmen. c) Konsep pengelolaan dengan mengurangi laju eksploitasi (mengurangi jumlah trip), yaitu dengan mengurangi jumlah unit atau trip alat tangkap yang beroperasi di Seagara Anakan. d) Menjaga kelestarian habitat dan lingkungan Laguna Segara Anakan melalui berbagai upaya, terutama penanggulangan sedimentasi di laguna.

Konsep Pengelolaan Berdasarkan kesimpulan tersebut maka rekomendasi yang dikemukakan adalah : 1) Perlu penelitian lebih lanjut tentang domestikasi dan uji coba budidaya udang jari, sebagai upaya untuk mempertahankan keragaman hayati dan pemanfaatan lahan tambak udang yang tidak produktif. 2) Perlu pengaturan ukuran mata jaring pada kantong jaring apong agar ukuran udang jari yang pertama kali tertangkap sebesar 25.5 mm, ukuran mata jaring yang disarankan adalah minimal 46 mm pada kantong jaring apong. 3) Perlu dilakukan penutupan musim dan daerah penangkapan berdasarkan musim pemijahan, dilakukan pada bulan Mei di perairan Laguna Segara Anakan (Zona Barat). 4) Perlu dilakukan penutupan musim dan daerah penangkapan berdasarkan puncak penambahan baru, dilakukan pada bulan Juni di perairan hulu semua sungai yang bermuara ke perairan Segara Anakan. 5) Perlu dilakukan pengendalian sedimentasi, dengan penataan DAS Citanduy beserta pembuatan sediment trap. Hal tersebut dilakukan melalui koordinasi lintas daerah administrasi dengan melibatkan pemerintah pusat, karena mencakup dua provinsi, yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah. 6) Perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat nelayan apong dalam melakukan pengelolaan sumber daya udang jari. Hal ini bertujuan agar nelayan merasa memiliki dan bertanggung-jawab atas sumber daya udang dan sumber daya lainnya yang ada di Segara Anakan. Pemberdayaan diarahkan untuk melakukan pengaturan ukuran mata jaring pada kantong apong, penutupan musim dan daerah penangkapan, serta membangun kebersamaan untuk mencari pengganti biaya hidup selama dilakukan penutupan musim dan daerah penangkapan, misalnya dengan menabung (dengan membayar retribusi) yang dikelola oleh nelayan sendiri (kelompok / rukun nelayan). Hasil retribusi tersebut selanjutnya akan diberikan kepada nelayan saat tidak melakukan penangkapan. A. KONSEP PENGELOLAAN Pengelolaan perikanan pada dasarnya dimaksudkan untuk : 1) Memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan. 2) Memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi para pihak pengguna sumberdaya perikanan, 144