HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI GOOD MILKING PRACTICE PADA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KELURAHAN KEBON PEDES KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR SKRIPSI KHAIRUL IKHWAN

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,

HASIL DAN PEMBAHASAN. (1) Sebelah Utara: Kabupaten Purwakarta dan Subang. (2) Sebelah Timur: Kabupaten Sumedang dan Garut

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengkaji hubungan higiene dan sanitasi berbagai lingkungan peternakan dan

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkandangan merupakan segala aspek fisik yang berkaitan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah

Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji. Breed (jumlah sel somatis/ml) No Kuartir IPB-1

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Ambing merupakan alat penghasil susu pada sapi yang dilengkapi suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(3): , Agustus 2016

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun 2011 sebanyak ekor yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

HASIL DAN PEMBAHASAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA Pembagian Skala Usahaternak Sapi Perah

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang tinggi seperti protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin lainnya

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain di sekitarnya oleh jalur transportasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang diperoleh dari hasil seleksi

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA POUCOWPANTS TEMAN SETIA PENELITI ILMU NUTRISI DALAM PENGUMPULAN FESES BIDANG KEGIATAN : PKM-KARSA CIPTA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Yani dan Purwanto (2006) dan Atabany et al. (2008), sapi Fries Holland

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Desa Sukajaya merupakan salah satu desa sentra produksi susu di Kecamatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

HASIL DAN PEMBAHASAN. terletak di propinsi Jawa Barat. Batas wilayah kelurahan Cipageran yaitu :

HASIL DAN PEMBAHASAN. Malabar, Gunung Papandayan, dan Gunung Tilu, dengan ketinggian antara 1000-

Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena. vitamin, mineral, dan enzim. Menurut Badan Standart Nasional (2000).

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

A. Wibowo, T.H. Suprayogi dan Sudjatmogo* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional.

KEADAAN UMUM LOKASI Peternakan Kambing Perah Cordero

15 Penanganan telur yang dilakukan oleh para pedagang di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat tidak menyimpan telur dengan pendinginan. Semua peda

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

- 5 - BAB II PERSYARATAN TEKNIS HIGIENE DAN SANITASI

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

BAB XII PEMERAHAN TERNAK RIMINANSIA

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Letak Geografis dan Topografi CV. Anugrah Farm

EVALUASI KONDISI PERKANDANGAN DAN TATALAKSANA PEMERAHAN PADA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KPSBU LEMBANG

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan pada bulan Sebtember - Desember

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

disusun oleh: Willyan Djaja

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. yang tergabung pada TPK Cibodas yang berada di Desa Cibodas, Kecamatan

Studi Sanitasi Dan Pemeriksaan Angka Kuman Pada Usapan Peralatan Makan Di Rumah Makan Kompleks Pasar Sentral Kota Gorontalo Tahun 2012

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. rumah responden beralaskan tanah. Hasil wawancara awal, 364

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Keadaan umum daerah penelitian meliputi, keadaan administratif daerah,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kawasan peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes berada di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor dengan jarak tempuh ke pusat pemerintahan kota ± 2 km dan dari pusat pemerintahan kecamatan ± 0,5 km. Kelurahan Kebon Pedes mempunyai luas sekitar 104 ha. Kelurahan Kebon Pedes berbatasan dengan Kelurahan Kedung Badak di sebelah Utara, Kelurahan Cibogor di sebelah Selatan, Kelurahan Ciwaringin di sebelah Barat dan Kelurahan Tanah Sareal di sebelah Timur. Kebon pedes memiliki topografi yang datar, berada pada ketinggian 250 dpl, curah hujan rata-rata 3.500-4.000 m, suhu diantara 22-32 o C dan kelembaban 55%-96%. Kebon Pedes kurang sesuai dijadikan wilayah peternakan sapi perah. Sutardi (1981) menyebutkan bahwa lokasi yang baik untuk ternak sapi perah pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Suhu di Kebon Pedes juga tidak baik untuk sapi perah. Suhu rata-rata yang baik untuk sapi perah adalah 18,3 o C (Sutardi, 1981). Kawasan peternakan sapi perah Kebon Pedes berada di daerah padat penduduk. Keterbatasan lahan dapat menyulitkan peternak terutama dalam penyediaan lahan untuk menanam hijauan, penambahan luas kandang, dan pengolahan limbah. Penyediaan pakan hijauan sulit dilakukan karena peternak harus mencari hijauan lebih jauh dari kawasan peternakan. Peternak memanfaatkan alternatif hijauan dengan memanfaatkan limbah pasar berupa klobot jagung. Kandang sapi mempunyai ukuran yang kecil, sangat berdekatan dengan rumah warga bahkan menjadi satu dengan rumah peternak. Pengelolaan limbah menjadi masalah besar karena sebagian besar limbah langsung dibuang tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini dapat mencemari lingkungan perairan dan lingkungan sekitarnya. Keterbatasan lahan peternakan tidak menghalangi peternak untuk melakukan usaha ternaknya. Lokasi peternakan merupakan daerah perkotaan memudahkan peternak dalam pemasaran susu. Setiap hari masyarakat sekitar datang membeli dan distributor lokal atau loper datang ke peternakan untuk membeli dan menjual kembali susu ke masyarakat. Peternak menjual sebagian produksi susunya ke Koperasi Peternak Sapi (KPS) karena peternak terhimpun sebagai anggota KPS. Peternak menjual susu sapi langsung kemasyarakat atau distributor lokal lebih 14

banyak dibanding menjual ke KPS. Susu dari peternak dihargai oleh KPS Rp. 3000/liter sedangkan non-kps membeli susu dari peternak Rp. 5000/liter. Terdapat selisih harga Rp. 2000/liter sehingga peternak lebih menyukai menjual susu langsung ke masyarakat ataupun distributor lokal. Tabel 2. Populasi dan Komposisi Sapi Perah di Kebon Pedes Tahun 2012 No. Uraian Jumlah (ekor) Satuan Ternak % Satuan Ternak 1 Sapi Laktasi 219,00 219,00 63,80 2 Kering kandang a. Tidak bunting 2,00 2,00 0,60 b. Bunting 12,00 12,00 3,50 3 Sapi dara a. Tidak bunting 29,00 14,50 4,22 b. Bunting 37,00 18,50 5,40 4 Jantan a. Muda 35,00 17,50 10,19 b. Dewasa 24,00 24,00 6,99 5 Anak a. Jantan 22,00 5,50 1,60 b. Betina 51,00 12,75 3,70 Total 431,00 343,25 100,00 Peternak sapi perah di Kebon Pedes berjumlah 29 orang. Sapi perah digunakan oleh peternak adalah bangsa sapi FH dan peranakan FH. Sapi perah terdapat di Kebon pedes berjumlah 431 ekor. Sebagian besar sapi dipelihara peternak adalah sapi sedang laktasi yaitu 63,8% (Tabel 2) dari total populasi. Bangunan kandang sapi di Kebon Pedes berdekatan dengan rumah bahkan terdapat kandang yang menyatu dengan rumah menyalahi syarat-syarat teknis perusahaan peternakan sapi perah yang dikeluarkan Direktur Jenderal Peternakan (1982) menyatakan bahwa ketentuan lokasi perusahaan peternakan sapi perah, yaitu: 1. Lokasi peternakan sapi perah tidak bertentangan dengan ketertiban dan kepentingan umum setempat. 15

2. Lokasi peternakan sapi perah tidak terletak di pusat kota dan pemukiman penduduk dengan jarak sekurang-kurangnya 250 m dari pemukiman penduduk. 3. Letak atau ketinggian lokasi terhadap wilayah sekitarnya harus memperhatikan lingkungan atau topografi sedemikian rupa sehingga kotoran dan sisa-sisa perusahaan tidak mencemari wilayah di sekitar perusahaan. Peternak Kebon Pedes tidak ingin sepenuhnya disalahkan karena kawasan peternakan sudah ada sebelum pemukiman di daerah sekitar menjadi padat. Mereka berpendapat bahwa masyarakat yang datang mendekati kawasan peternakan. Pemerintah Kota Bogor pada tahun 1995 merelokasi usaha peternakan sapi perah di Kebon Pedes ke wilayah Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Sebagian besar peternak menolak relokasi tersebut karena mereka menilai bahwa dilokasi baru akan mengalami kesulitan dalam hal pemasaran serta membutuhkan banyak biaya untuk membangun sarana dan prasarana peternakan. Umur Peternak Data hasil kajian penerapan Good Milking Practice berdasarkan umur peternak disajikan pada Tabel 3. Persentase peternak berumur antara 18-30 tahun sebanyak 17,24%, menunjukkan bahwa ketertarikan golongan muda untuk bekerja sebagai peternak kurang dan lebih memilih bekerja di luar bidang peternakan. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya krisis peternak di tahun-tahun berikutnya. Peternak berusia muda dan sedang digolongkan peternak yang energik dan kreatif. Menurut Nadjib (1990), peternak berusia muda ialah peternak yang berumur antara 18-35 tahun, peternak yang berumur antara 36-45 tahun termasuk peternak yang berusia sedang. Mereka yang berumur antara 46-64 tahun sudah digolongkan berusia agak lanjut dan peternak lebih dari 64 tahun termasuk berusia lanjut. Sebagian besar peternak Kebon Pedes berumur 50 tahun dengan persentase 44,82%, termasuk golongan agak lanjut dan lanjut. Golongan lanjut dan agak lanjut bertolak belakang dengan golongan muda. Umur mempengaruhi produktifitas peternak karena pada usia tua kemampuan berfikir dan fisik semakin berkurang seiring bertambahnya usia. 16

Tabel 3. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Umur Peternak Umur Peternak Jumlah Peternak Persentase (%) Nilai GMiP 18-30 tahun 5 17,24 1,92 31-40 tahun 7 24,14 1,94 41-50 tahun 4 13,79 1,98 51-60 tahun 9 31,03 1,84 > 60 tahun 4 13,79 1,67 Total 29 100,00 1,87 Rataan Good Milking Practice berdasarkan umur peternak sebesar 1,87. Hasil kajian GMiP menunjukkan bahwa nilai penerapan yang paling tinggi dihasilkan oleh peternak yang berumur antara 41-50 tahun yaitu sebesar 1,98. Namun penerapan GMiP oleh peternak tersebut kurang baik. Umur 41-50 tahun dikaitkan dengan pengalaman bekerja yang cukup, terlatih dalam bekerja dan memiliki etos kerja baik namun tidak terlalu tua untuk menghasilkan karya-karya kreatif dan terbuka dalam menerima perubahan. Nilai penerapan Good Milking Practice yang paling kecil ditunjukkan oleh peternak berumur diatas 60 tahun, yaitu sebesar 1,67 mungkin dikarenakan tenaga kurang untuk beternak dan kurang terbuka dalam menerima masukan. Pasaribu (2007) menjelaskan bahwa keterampilan seorang individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu, kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut, dan kurangnya rangsangan intelektual pada usia tua, dapat berpengaruh terhadap berkurangnya produktivitas. Lama Beternak Pengalaman beternak berpengaruh terhadap pengetahuan peternak tentang manajemen pemerahan yang baik. Hasil kajian penerapan Good Milking Practice oleh peternak Kebon Pedes ditinjau dari pengalaman beternak disajikan pada Tabel 4. Dapat dilihat pada tabel bahwa rata-rata peternak Kebon Pedes yaitu 56,52% memiliki pengalaman beternak lebih dari 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa profesi beternak di peternakan sapi perah Kebon Pedes merupakan usaha yang sudah dilakukan secara turun menurun (Salundik, 2012). 17

Tabel 4. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Lama Beternak Lama Beternak Jumlah Peternak Persentase (%) Nilai GMiP <10 tahun 4 13,79 1,91 10-20 tahun 6 20,69 1,92 21-30 tahun 7 24,14 1,99 31-40 tahun 9 31,03 1,75 >40 tahun 3 10,35 1,86 Total 29 100,00 1,89 Nilai GMiP tertinggi dihasilkan oleh peternak dengan lama beternak 21-30 tahun sedangkan terendah dihasilkan oleh peternak dengan lama beternak 31-40, hasil ini kontradiktif dengan penjelasan Pasaribu (2007) menyatakan bahwa semakin lama masa kerja maka semakin banyak pula orang tersebut mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang akan mendukung pekerjaan mereka sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerjanya akan tetapi penerapan GMiP oleh peternak kurang baik dengan nilai antara 1,01-2,00. Peternak meyakini manajemen pemeliharaan yang selama ini dilaksanakan sudah benar dan sulit menerima masukan-masukan baru, selain itu perkembangan pengetahuan peternak yang lambat mengenai teknologi peternakan karena informasi tidak terjangkau oleh peternak. Pendidikan Pendidikan peternak merupakan salah satu faktor berhasilnya usaha ternak. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan. Tabel 5 memperlihatkan bahwa peternak sapi perah Kebon Pedes sebagian besar lulusan SMA (37,93%) disusul lulusan SMP (27,59%) dan lulusan SD (20,69%). Peternak sapi perah Kebon Pedes yang tidak mengenyam pendidikan sebesar 3,45% dan hanya sedikit yang mengenyam pendidikan tinggi Diploma sebesar 3,45% dan Strata 1 sebesar 6,89%. Peternak sapi perah Kebon Pedes lulusan perguruan tinggi ternyata memiliki nilai GMiP lebih rendah (2,08) dibanding peternak yang sama sekali tidak bersekolah (2,17) akan tetapi penerapan GMiP kedua peternak itu sama-sama cukup (nilai GMiP 2,01-3,00). Hasil ini bertolakbelakang dengan pendapat Pasaribu (2007) yang menyatakan bahwa pendidikan dan pelatihan dan meningkatkan produktivitas pegawai. Pelatihan 18

bertujuan untuk meningkatkan keahlian dalam menjalankan suatu pekerjaan tertentu dan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan lingkungan. Peternak berpendidikan tinggi seharusnya menghasilkan nilai GMiP lebih besar dibanding peternak berpendidikan rendah. Gejala ini mungkin disebabkan jurusan pendidikan yang diambil tidak sesuai dengan bidang peternakan. Tabel 5. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Pendidikan Pendidikan Jumlah peternak Persentase (%) Nilai GMiP Tidak Sekolah 1 3,45 2,17 SD/ Sederajat 6 20,69 1,96 SMP/Sederajat 8 27,59 1,71 SMA/ Sederajat 11 37,93 1,86 Akademi D1-D3 1 3,45 2,08 Strata 1 (S1) 2 6,89 2,08 29 100 1,88 Good Milking Practice Manajeman pemerahan meliputi manajemen sebelum pemerahan, manajemen saat pemerahan dan manajemen setelah pemerahan. Manajemen sebelum pemerahan meliputi pembersihan kandang, pembersihan peralatan pemerahan, pembersihan ambing dan kebersihan pemerah. Manajemen saat pemerahan meliputi tes mastitis, memerah, handling sapi, dan pemberian pakan. Manajemen setelah pemerahan meliputi pembersihan puting, penanganan susu dan penanganan sapi. Sebelum Pemerahan Pemerahan oleh peternak di Kebon Pedes dilakukan pada pagi dan sore hari. Pagi hari peternak memulai kegiatan memerah jam 3 pagi dan terdapat peternak memulai kegiatan memerah jam 6 pagi, sedangkan di sore hari peternak memerah jam 3 sore. Peternak memulai pemerahan jam 3 pagi mempunyai interval pemerahan 12:12 jam sedangkan peternak yang memulai pemerahan jam 6 pagi mempunyai interval pemerahan 9:15 jam. Schmidt (1971) menyatakan sapi diperah dengan selang pemerahan 12:12 jam memproduksi susu 1,8% lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang diperah dengan selang pemerahan 15:9 jam. Jumlah produksi susu 19

dari sapi yang diperah dengan jarak pemerahan yang sama, misalnya 12:12, akan cenderung sama. Namun jika jarak pemerahan berbeda, maka jumlah produksi susu pagi hari akan lebih banyak daripada sore hari (Sudono et al., 2003). Tabel 6. Hasil Kajian Good Milking Practice Sebelum Pemerahan No Aspek pemerahan Nilai 1 Kebersihan kandang 2,72 2 Peralatan 1,55 3 Ambing 1,48 4 Pemerah 2,03 Kegiatan pemerahan di Kebon Pedes diawali dengan membersihkan kandang. Pembersihan kandang penting dilakukan sebelum pemerahan karena dapat menghindarkan kontaminasi susu dari feses sapi ataupun kotoran sisa pakan. Peternak sapi perah di Kebon Pedes membersihkan feses yang menempel di lantai dan di dinding kandang dilanjutkan dengan membersihkan kotoran sisa pakan yang terdapat di tempat pakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pemerahan dilakukan antara lain kandang terlebih dahulu dibersihkan dan menghindari mengerjakan aktifitas lain (Lukman et al., 2009). Sudono (1999) menyatakan bahwa sebelum sapi diperah, kandang tempat sapi harus dibersihkan dan dihilangkan dari bau, baik yang berasal dari kotoran sapi maupun dari makanan atau hijauan yang berbau atau silage karena air susu mudah sekali menyerap bau-bauan yang dapat mempengaruhi kualitas susu. Performa peternak dalam menerapkan GMiP pada aspek kebersihan kandang adalah cukup dengan nilai 2,72 (Tabel 6). Peternak sapi perah di Kebon Pedes umumnya menggunakan ember plastik bekas untuk menampung susu, hanya sebagian kecil yang menampung susu menggunakan ember stainless steel. Ember yang digunakan untuk memerah sudah kering karena telah dibersihkan setelah selesai digunakan pada saat pemerahan sebelumnya. Peternak sapi perah Kebon Pedes mencuci ember yang digunakan untuk memerah hanya menggunakan air dingin. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1998) pencucian peralatan misalnya ember, milk can, botol dan lain-lain sebaiknya dengan menggunakan air panas dan larutan klor. Hal ini dapat melarutkan lemak susu yang menempel pada alat alat tersebut. 20

Peralatan yang tidak bersih dalam penanganan susu mengakibatkan susu mengandung mikroorganisme. Peforma peternak dalam menerapkan GMiP aspek peralatan pemerahan kurang baik dengan nilai sebesar 1,55 (Tabel 6). Peralatan pemerahan terutama ember dan milk can yang digunakan untuk pemerahan harus sudah dalam keadaan bersih dan kering. Peralatan yang digunakan untuk pemerahan harus memiliki permukaan yang licin agar mudah membersihkannya. Ember plastik yang digunakan peternak untuk menampung susu sangat mudah tergores, sehingga susu dapat tertinggal disela-sela goresan dan menjadi tempat berkembang mikroba. Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa peternak sapi perah Kebon Pedes membersihkan ambing hanya dengan menyiramkan air dingin. Penerapan GMiP pada aspek kebersihan ambing kurang baik dilaksanakan peternak dengan nilai sebesar 1,48 (Tabel 6). Pembersihan dengan cara penyiraman air dapat mengakibatkan air yang disiramkan peternak dapat jatuh dan mengontaminasi susu. Proses pembersihan ambing dilakukan untuk membersihkan kotoran yang menempel pada ambing. Pembersihan ambing dilakukan dengan cara membasuh ambing dengan air hangat menggunakan kain yang bersih kemudian pencelupan ambing ke larutan desinfektan. Khasanah (2010) menyatakan pencelupan puting akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang masuk melalui lubang puting, dengan cara merusak dinding sel mikroorganisme bagian luar dan membran sel sehingga desinfektan dapat masuk dalam sitoplasma sampai pada sel mikroorganisme, dengan demikian mikroorganisme tidak dapat berkembang biak hingga perkembangannya terhambat sampai akhirnya mikroorganisme tersebut mati, sehingga kontaminasi susu dapat dicegah sedini mungkin. Pembersihan ambing dapat sekaligus merangsang hormon pengeluaran susu. Rangsangan pada ambing dilakukan anak sapi atau oleh peternak. Rangsangan pada ambing secara otomatis memerintahkan otak untuk melepaskan hormon oksitosin. Proses pelepasan air susu saat pemerahan disebabkan adanya pelepasan hormon oksitosin dari lobus posterior kelenjar pituitari dan masuk ke dalam aliran darah. Oksitosin mencapai ambing dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan alveolus dan saluran-saluran kecil sehingga mendorong susu memasuki sistem saluran yang lebih besar. Pelepasan air susu hanya berlangsung 6 21

sampai 8 menit, maka pemerahan harus selesai dalam masa pelepasan itu agar diperoleh hasil yang maksimum (Blakely dan Bade, 1994). Peforma pemerahan dari aspek kebersihan peternak dan keselamatan kerja cukup dengan nilai sebesar 2,03 (Tabel 6). Kebersihan peternak dapat menjaga higienitas pemerahan karena peternak sebagai subjek pemerahan langsung terlibat dalam proses pemerahan. Selain itu, faktor keselamatan pekerja saat memerah perlu diperhatikan. Idealnya saat memerah peternak dalam keadaan bersih dan menggunakan sepatu bot, karet atau kulit untuk menghindarkan kaki peternak terinjak sapi dan menginjak feses. Pengamatan dilapangan memperlihatkan bahwa sebagian besar peternak sapi perah Kebon Pedes tidak mandi atau membersihkan diri sebelum melakukan pemerahan. Kontaminasi susu dapat berasal dari peternak, seperti dari tangan peternak yang kotor, pakaian dan kelengkapan pemerahan yang lain. Handayani dan Purwanti (2010) menyatakan bahwa tangan pemerah merupakan salah satu sumber kontaminasi mikroorganisme dalam susu, dengan ditemukannya mikroorganisme pathogen seperti Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Escherichia coli (E. coli). Kesadaran peternak dalam menjaga keselamatan kerja sudah tinggi. Hal ini terbukti dengan peternak memakai sepatu bot setiap melakukan pemerahan. Saat Pemerahan Susu dari perahan pertama digunakan untuk menguji apakah sapi terjangkit mastitis. Susu hasil perahan pertama mengandung banyak mikroba ikut terbuang untuk digunakan sebagai uji mastitis. Menurut Usmiati dan Nurdjannah (2009) untuk menghindari kontaminasi silang, maka sapi terjangkit mastitis harus dipisah penanganannya serta diobati secara tuntas. Mastitis dalam keadaan parah dapat mematikan puting susu sehingga puting tidak berfungsi. Nilai untuk aspek Good Milking Practice ambing sangat buruk dengan nilai sebesar nol (Tabel 7) artinya belum ada kesadaran peternak untuk memperhatikan kesehatan ambing sapi perah. Sapi perah sehat dan kebutuhan gizi cukup tentu dapat menghasilkan produksi susu maksimal. Peternak sapi perah Kebon Pedes melakukan pemerahan secara manual dengan tangan menggunakan teknik memerah dua jari. Memerah dilakukan menarik puting dari atas ke bawah. Pemerahan dengan cara menarik puting susu dari atas ke 22

bawah dapat membuat puting menjadi panjang ke bawah (Siregar et al., 1996). Kelemahan pemerahan dengan dua jari adalah mudah terjadi perlukaan pada ambing, ambing dan puting selalu basah, dan sumber kontaminasi karena ambing terus bergerak dan tertarik. Keuntungan pemerahan dengan seluruh jari adalah memerah lebih cepat, puting tidak tertarik, dan puting tidak terlalu basah sehingga kotoran jarang atau sedikit terikut dalam susu (Lukman et al., 2009). Nilai peforma peternak untuk aspek teknik memerah sebesar nol artinya peforma peternak sangat buruk dalam teknik memerah. Tabel 7. Hasil Kajian Good Milking Practice Saat Pemerahan No Aspek pemerahan Nilai 1 Ambing 0,00 2 Memerah 0,00 3 Penanganan sapi 1,00 4 Pemerah 2,93 5 Pemberian pakan 2,76 Memerah sapi dibantu dengan pelicin berupa margarin ataupun vaselin. Sapi yang diperah dengan margarin dapat mempengaruhi kualitas susu. Saputro (2009) mengatakan, bahwa pelicin berupa margarin atau minyak kelapa bertujuan untuk mempermudah proses pemerahan dan sapi tidak merasa sakit, namun penggunaan pelicin dapat menyebabkan kontaminasi pada susu yang dihasilkan. Pelicin banyak mengandung lemak sering terbawa dalam susu sehingga menyebabkan mudah terjadi ketengikan. Hidayat et al. (2002) menambahkan bahwa penggunaan vaselin pada proses pemerahan akan menutupi permukaan puting. Bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin), maka penularan penyakit sulit untuk dihindari, sehingga sebaiknya vaselin tidak digunakan. Pelaksanaan yang buruk dalam menerapkan GMiP dengan aspek penanganan sapi dengan nilai sebesar 1,00 (Tabel 7). Menurut Sanjaya et al. (2007), Jumlah mikroba bertambah dengan adanya pencemaran dari sapi. Sapi yang akan diperah sebaiknya terlebih dahulu diikat kaki dan ekornya, sehingga tidak menyulitkan peternak yang memerah. Sapi yang tidak tenang dan banyak bergerak saat 23

pemerahan dapat menginjak susu yang telah ditampung dalam ember penampung susu. Kotoran dari ekor sapi dapat masuk ke dalam ember apabila tidak diikat. Peforma penerapan GMiP oleh peternak sapi perah di Kebon Pedes pada aspek pemerah adalah cukup dengan nilai sebesar 2,93 (Tabel 7). Kesadaran peternak untuk tidak merokok saat memerah sangat kurang. Merokok dapat mempengaruhi kualitas susu dan dapat memperlambat proses pemerahan. Keberhasilan pemerahan dipengaruhi oleh pengalaman peternak. Peternak berpengalaman memiliki ketelatenan tinggi sehingga sapi diperah dengan nyaman. Pengalaman dimiliki peternak di dapat secara otodidak untuk memelihara sapi perah bertahun-tahun maupun melalui penyuluhan yang mereka dapatkan. Salundik (2012) menyatakan bahwa sebagian besar peternak sapi perah di Kebon Pedes (65,72%) telah memiliki pengalaman beternak sapi perah sudah lebih dari 20 tahun. Sebagian besar peternak sapi perah di Kebon Pedes (97,14%) pernah mengikuti pendidikan informal seperti pelatihan-pelatihan terkait sebagai profesi peternak akan meningkatkan keterampilan sesuai dengan jenis pelatihan yang pernah diikuti. Pelatihan yang pernah diikuti peternak antara lain pelatihan budidaya sapi perah, pengolahan limbah dan pembuatan bio gas serta pengolahan susu dan pemeriksaan kualitas susu. Pola pemberian pakan sapi perah oleh Peternak di Kebon Pedes sangat beragam. Pemberian pakan konsentrat atau hijauan ketika pemerahan dilakukan peternak agar sapi tenang saat diperah. Performa peternak cukup baik dalam melaksanakan GMiP dengan aspek pemberian pakan saat pemerahan dengan nilai sebesar 2,76 (Tabel 7). Menurut Sudono et al. (2003), konsentrat diberikan kepada sapi yang akan diperah sehingga pada saat pemerahan, sapi makan dalam keadaan tenang. Tristy (2009) menambahkan bahwa pemberian hijauan yang baik adalah setelah pemerahan, sebab apabila diberikan sebelum pemerahan akan menurunkan kualitas susu. Hal ini berkaitan dengan baubauan hijauan yang dapat mengontaminasi susu. Hal tersebut dapat terjadi karena susu memiliki sifat mengabsorbsi bau-bauan disekitarnya. Setelah Pemerahan Peternak sapi perah di kebon Pedes setelah proses pemerahan, menstripping puting hingga susu di dalam ambing habis kemudian membersihkan puting dengan 24

cara menyiramkan air dingin ke puting. Pembersihan puting oleh peternak kurang baik dilaksanakan dengan nilai Good Milking Practice aspek kebersihan puting sebesar 2,00 (Tabel 8). Setelah pemerahan dilaksanakan, puting seharusnya diberi larutan desinfektan untuk menghilangkan mikroba yang menempel. Direktorat Jenderal Peternakan (2009) menyatakan, bahwa keuntungan melakukan suci hama adalah puting dapat terhindar dari mastitis. Pembersihan puting dengan menyiramkan air dingin akan memicu berkembangnya mikroba hingga bermuara menjadi penyakit mastitis. Sudono (1999) menyarankan selesai diperah puting dibersihkan dan dicelupkan ke dalam larutan desinfektan klorin atau iodophor dengan kepekatan 0,01%. Perlakuan pencelupan puting akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara merusak dinding sel mikroorganisme bagian luar dan membran sel sehingga desinfektan dapat masuk dalam sitoplasma sampai pada sel mikroorganisme. Mikroorganisme tidak dapat berkembang biak hingga perkembangannya terhambat sampai akhirnya mikroorganisme tersebut mati, sehingga kontaminasi susu dapat dicegah sedini mungkin (Khasanah, 2010). Tabel 8. Hasil Kajian Good Milking Practice Setelah Pemerahan No. Aspek pemerahan Nilai 1 Puting 2,00 2 Penanganan susu setelah pemerahan 2,14 3 Sapi setelah diperah 3,59 Susu didapat dari hasil pemerahan sebaiknya ditimbang terlebih dahulu dan disaring. Penimbangan berfungsi untuk mengetahui produksi susu sehingga peternak dapat memperhitungkan aliran keuangan serta dapat digunakan untuk menentukan langkah manajemen peternakan berikutnya. Kotoran tercampur dengan susu dapat tertahan apabila susu disaring. Peternak menyaring susu dengan kain. Nilai penerapan GMiP sebesar 2,14 (Tabel 8) yang berarti peternak cukup baik melaksanakan aspek pemerahan penimbangan dan penyaringan. Zakiah (2011) menyebutkan bahwa susu harus disaring segera setelah pemerahan selesai. Alat saring khusus merupakan alat yang paling efisien dan bersih untuk keperluan ini. Jenis kain yang cocok dapat dipakai asalkan sering-sering diganti dan dicuci dengan baik setelah digunakan. 25

Peternak sapi perah di Kebon Pedes memberikan pakan setelah selesai pemerahan. Pakan yang diberikan berupa sampah organik yang berasal dari pasar dan konsentrat yang dicampur dengan ampas tahu. Performa peternak dalam menerapkan GMiP dengan aspek penanganan sapi setelah diperah adalah baik dengan nilai sebesar 3,59 (Tabel 8). Sapi yang tetap berdiri setelah pemerahan akan mencegah penyakit mastitis. Rahman (2007) menyebutkan bahwa mastitis dapat disebabkan ambing kontak langsung dengan mikroorganisme patogen yang ada di lantai kandang. Mastitis dapat menjangkiti sapi yang langsung berbaring setelah diperah. Sapi yang baru selesai diperah, lubang putingnya masih besar, sehingga mikroba mudah masuk apabila sapi langsung berbaring. Butuh beberapa saat hingga puting kembali menutup sempurna. Akhir dari proses pemerahan dengan melakukan pemberian makan sapi dan membiarkan sapi tetap berdiri setelah selesai diperah sangat membantu dalam menjaga kesehatan sapi dan kesejahteraannya. Total Mikroba dan Kejadian Mastitis Total kandungan mikroba susu yang diambil dari dalam ember penampung sebesar 1,3 10 6 cfu/ml dan 1,5 10 6 cfu/ml (Tabel 9) sudah melebihi dari jumlah kandungan maksimal mikroba dalam susu segar yang terdapat pada peraturan SNI 01-3141-2011 (2011) sebesar 10 6 cfu/ml. Keadaan lingkungan kurang bersih dapat mempermudah terjadinya pencemaran dan meningkatkan jumlah mikroba susu. Pencemaran dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara (Lukman et al. 2009). Pemerahan yang baik dan benar akan mengurangi jumlah total mikroorganisme dalam susu. Tabel 9. Nilai Good Milking Practice, TPC dan Mastitis Jumlah Peternak Nilai GMiP TPC (cfu/ml) Mastitis (%) 19 2 (1,73) 1,3 10 6 61,9% 10 3 (2,15) 1,5 10 6 38,1% Rataan 1,94 1,4 10 6 100% Peternak dengan penerapan GMiP kurang baik sebanyak 19 orang dan peternak dengan penerapan GMiP cukup sebanyak 10 orang. Peternak dengan penerapan GMiP cukup memiliki jumlah Total Plate Count (TPC) lebih tinggi akan 26

tetapi persentase mastitisnya lebih rendah dibanding peternak dengan penerapan GMiP kurang baik. Hasil tersebut bertolakbelakang dengan pernyataan Hidayat et al. (2002) bahwa susu yang dihasilkan oleh sapi perah yang terkena mastitis mempunyai kandungan bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu yang dihasilkan dari sapi yang sehat. Peternak cukup baik melaksanakan GMiP akan tetapi peternak tidak melakukan pencegahan dan pengobatan mastitis. Hal ini terlihat dari penerapan GMiP kurang baik pada aspek pembersihan ambing; pencelupan puting dan menstripping puting serta tidak melakukan uji mastitis. Peternak tidak memisahkan sapi sehat dengan sapi terjangkit mastitis. Sapi terjangkit mastitis tidak dipisahkan dapat menyebabkan infeksi silang dengan sapi lain. Tabel 10. Persentase Kuarter Ambing Sapi Terjangkit Mastitis Kuarter Mastitis (%) Depan Kanan 23,26 Depan Kiri 20,93 Belakang Kanan 27,91 Belakang Kiri 27,91 Kuarter ambing sapi bagian belakang lebih banyak terkena mastitis (55,81%) dibanding kuarter depan (44,19%). Kuarter belakang lebih banyak terkena mastitis disebabkan lebih mudah terkena urin sehingga mikroba masuk ke dalam ambing. Henskh (1995) menyatakan terdapat korelasi erat antara kerentanan atau ketahanan terhadap mastitis dan bentuk, ukuran ambing, puting, tingkat pemerahan dan status imunologi sapi diamati. Hamana et al. (1994) menambahkan bahwa ukuran kuarter belakang ambing secara signifikan mempengaruhi jumlah bakteri. Tingginya infeksi mastitis pada kuarter belakang mungkin disebabkan paparan kotoran dan urin lebih sering, kapasitas dan massa lebih besar, kerentanan lebih besar terhadap trauma langsung dan relatif lebih dekat ke lantai dibandingkan dengan kuarter depan (Singh et al., 1991). 27