I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

TIPOLOGI DESA HUTAN RAKYAT: KASUS DI KABUPATEN CIAMIS TIEN LASTINI

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

BAB I. PENDAHULUAN A.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. saling terkait. Peristiwa banjir, erosi dan sedimentasi adalah sebagian indikator

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

Menimbang : Mengingat :

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

PENDAHULUAN Latar Belakang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN. Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERSIAPAN DUKUNGAN BAHAN BAKU INDUSTRI BERBASIS KEHUTANAN. Oleh : Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH NO. 07 TH 1990

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dea Indriani Fauzia, 2013

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. ini telah melampaui kemampuan sumber daya alam dalam memproduksi kayu

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan kayu di Provinsi Jawa Barat dipenuhi dari hutan rakyat sebesar 56.6%, Perum Perhutani Unit III sebesar 4.8% dan sisanya sebesar 38,6% dari hutan di luar Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009). Selain sebagai sumber bahan baku kayu, keberadaan hutan rakyat menjadi alternatif dari sisi ekologis dari suatu DAS atau wilayah yang masih memerlukan kawasan bervegetasi selain dari hutan negara. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyatakan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Hutan negara di Provinsi Jawa Barat mencakup 24,2 % dari luas provinsi (Dephut 2002). Jika ditambah dengan luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat seluas 165 025 ha (BPDASPS 2010), maka proporsi kawasan bervegetasi di Provinsi Jawa Barat bertambah menjadi 28%. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi lingkungan merupakan pendorong bagi perkembangan hutan rakyat. Peran dan fungsi hutan rakyat yang semakin penting di masa depan memerlukan upaya untuk menata lebih baik pengelolaan hutan rakyat. Minat masyarakat untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat semakin besar. Hal ini dapat dilihat dari data produksi kayu di Kabupaten Ciamis dalam kurun waktu 7 tahun yang terus meningkat. Pada tahun 2002 produksi kayu dari hutan rakyat melebihi produksi hutan Negara (Perum Perhutani Unit III KPH Ciamis) dalam jumlah yang tidak terlalu besar, yaitu sebesar 48 ribu m 3 /tahun dari hutan rakyat dan 37 ribu m 3 /tahun dari hutan negara. Namun, selama kurun waktu 7 tahun produksi kayu dari hutan rakyat meningkat secara tajam jauh melampaui produksi hutan Negara. Produksi kayu dari hutan rakyat dari tahun 2002 sampai 2008 mencapai 450 ribu m 3, sedangkan produksi kayu dari hutan Negara hanya meningkat sedikit sekitar 71 ribu m 3 (Dishutbun Ciamis 2009).

2 Berdasarkan status kepemilikan lahannya, sebagian besar hutan di Indonesia terdapat di dalam kawasan hutan negara. Hutan negara dapat dikelompokkan atas dua bentuk pengelolaan yaitu hutan seumur (even aged forest), seperti pada hutan tanaman, dan hutan tidak seumur (uneven aged forest) pada hutan alam (Suhendang 1999). Sedangkan hutan rakyat yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan karena kontribusinya cukup penting dalam memenuhi kebutuhan konsumsi kayu masyarakat, bentuk pengelolaannya masih belum banyak dikaji secara intensif. Pengelolaan hutan rakyat masih sering dipandang banyak pihak sebagai suatu bentuk usaha yang tidak ekonomis. Persepsi ini tercipta karena pengelolaan hutan rakyat masih dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pihak swasta dan BUMN kehutanan, maka luasan hutan rakyat yang dimiliki oleh rakyat memang sangat tidak berarti (Awang et al. 2002). Meskipun hutan rakyat mungkin tidak menguntungkan dalam skala ekonomi tetapi perannya sangat nyata dalam memenuhi kebutuhan masyarakat maupun pemiliknya sendiri. Beberapa permasalahan ditemukan sehubungan pengelolaan hutan rakyat yang masih bersifat tradisional. Salah satu permasalahan adalah pengelolaan hutan rakyat masih bersifat individu, sehingga tidak adanya kepastian jaminan kontinuitas pasokan kayu bagi industri. Sebagian besar petani masih berpikir keuntungan ekonomi jangka pendek. Semakin diperlukannya tambahan pendapatan dan semakin tingginya harga kayu akan menyebabkan pemanenan yang berlebihan pada umur tebang dini. Permasalahan lainnya adalah terdapat keterbatasan akses dan pengetahuan pasar masyarakat, penebangan yang masih dilakukan dengan sistem daur butuh, dan sebagian besar petani hutan rakyat masih menganggap kerja di hutan rakyat merupakan pekerjaan sampingan (bukan pokok). Selain itu, kurang intensifnya penerapan sistem silvikultur untuk meningkatkan kualitas kayu, serta masih lemahnya pengetahuan pengelola hutan terkait dengan penaksiran dan perhitungan volume pohon maupun teknik pemotongan log akan mengakibatkan rendahnya harga jual kayu jika dibandingkan dengan harga pasar (Awang et al. 2001; Hardjanto 2003; dan Ekawati et al. 2005).

3 Hutan rakyat di Indonesia memiliki beragam karakteristik. Keragaman ini dapat terjadi salah satunya akibat proses pembentukan awal yang terjadi secara tradisional atau terdapat campur tangan pemerintah. Hutan rakyat yang terbentuk secara tradisional sudah dikelola sejak lama secara turun menurun, seperti repong damar di Krui Lampung, kebun kemiri di Sulawesi Selatan, beberapa bentukan talun di Jawa Barat, dan lainnya (Foresta et al. 2000). Sedangkan hutan rakyat hasil campur tangan pemerintah umumnya dimulai di daerah kritis melalui program penghijauan. Wilayah-wilayah tersebut berupa lahan kering yang tidak ekonomis untuk tanaman pertanian sehingga sebagai alternatif lain ditanami pohon-pohonan. Luas total hutan rakyat di Indonesia sebesar 5 149 746.4 ha (BPDASPS 2010). Pengertian hutan rakyat yang saat ini berkembang disamakan dengan pengertian hutan hak, yaitu hutan yang tumbuh di lahan milik atau lahan di luar kawasan hutan negara. Tetapi pemahaman ini sulit untuk beberapa daerah terutama di luar Pulau Jawa yang masih banyak terjadi konflik kepemilikan lahan. Pada tahun 1997 sampai 1999 konflik di sektor kehutanan cenderung meningkat cukup tajam. Dari 309 kasus konflik, 39% terjadi di areal Hutan Tanaman Industri (HTI), 34% di kawasan konservasi, dan 27% di areal Hak Penguasaan Hutan (HPH) (Wulan et al. 2004). Proses pengukuhan hutan negara untuk wilayah di luar Pulau Jawa masih banyak yang belum dilakukan, sehingga tidak ada kepastian secara hukum mengenai hak kepemilikan. Seringkali hutan yang diklaim milik masyarakat ternyata masuk ke dalam kawasan hutan negara dan sebaliknya. Kondisi serupa jarang terjadi wilayah di Pulau Jawa, karena sebagian besar hutan rakyat di Pulau Jawa sudah jelas kepemilikannya. Batas antara wilayah kawasan hutan negara dengan lahan milik di Pulau Jawa relatif lebih baik. Saat ini mulai dikembangkan sistem Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dimana petani diberi hak untuk mengelola kawasan hutan negara. Penelitian yang dilakukan ini menitikberatkan pada bentukan hutan yang sudah memiliki hak kepemilikan yang jelas, yaitu wilayah tersebut merupakan kepemilikan di luar negara. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh masyarakat secara individual (pada tingkat keluarga) di lahan miliknya, sehingga hutan rakyat biasanya tidak

4 mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman pola usaha tani. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat (penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masing-masing keluarga. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi hutan negara yang relatif luas, sehamparan, dan segala keputusan dilakukan oleh pemerintah. Kondisi petani di Indonesia umumnya subsisten. Keadaan tersebut menjadikan petani dalam posisi lemah, seperti posisi tawar yang lemah dan informasi yang kurang. Penggabungan dan penataan sistem pengelolaan hutan rakyat sangat penting untuk memperkuat posisi petani menghadapi pihak luar. Penataan sistem pengelolaan hutan rakyat dibuat dengan perencanaan wilayah yang bersifat spesifik mempertimbangkan karakteristik wilayah yang dihadapi. Pengelompokkan karakteristik suatu wilayah disebut dengan tipologi. Tipologi menghasilkan kelompok yang memiliki keseragaman unik antar obyeknya. Pengambilan unit pengamatan terkecil dalam penelitian ini adalah desa, karena desa merupakan struktur pemerintahan terkecil yang terdata di Indonesia secara rinci dari lembaga resmi. Otonomi daerah menjadikan desa merupakan bagian penting dalam proses desentralisasi, desa sebagai representasi negara dan struktur pemerintah yang paling dekat dengan rakyat, serta desa bisa menangkap keragaman terkecil potensi hutan rakyat yang terdata. Dengan mengelompokkan wilayah desa hutan rakyat tersebut, perencanaan dan pengelolaan hutan rakyat yang tepat sesuai dengan karakteristiknya dapat diterapkan. Tipologi ini dapat juga membantu menduga potensi sebaran hutan rakyat untuk wilayah yang belum diketahui dan belum dilakukan inventarisasi menyeluruh. 1.2. Perumusan Masalah Peran hutan rakyat semakin penting sebagai penyedia kayu bagi masyarakat ke depan. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa kebutuhan industri kayu di Provinsi Jawa Barat mencapai angka 5,3 juta m 3 /tahun, sedangkan kemampuan Perum Perhutani hanya memenuhi 250 ribu m 3 /tahun (4,72%). Kekurangan pasokan kayu tersebut

5 dipenuhi dari hutan rakyat sebanyak 3 juta m 3 /tahun (56,6%), dan sisanya dari hutan luar Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009). Kebutuhan kayu yang berasal dari hutan rakyat yang semakin besar akibat penurunan produksi kayu dari hutan negara telah mendorong kecenderungan terjadinya pemanenan yang dilakukan pada umur pohon yang semakin muda. Hal ini dapat mengancam kelestarian hutan rakyat itu sendiri. Sebagian besar petani hutan rakyat di Indonesia terutama di Pulau Jawa sudah berorientasi ekonomi dan komersial dalam memutuskan melakukan kegiatan hutan rakyat, tetapi tidak disertai dengan perubahan pengelolaan yang profesional. Petani hutan rakyat umumnya merupakan petani individual dan masih mengandalkan pengelolaan secara tradisional, sehingga proses pengelolaan dari penanaman sampai pemasaran dilakukan secara sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar petani. Pengkajian perlu dilakukan untuk memahami sistem pengelolaan hutan rakyat karena hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Lingkungan fisik dan non fisik seperti aspek sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi sistem pengelolaan hutan rakyat di suatu wilayah perlu dikaji. Pola-pola hutan rakyat apa saja yang berkembang dalam suatu wilayah, dan perlu pengkajian korelasi pola tersebut terhadap pengaruh lingkungan sekitarnya. Dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem, ada tiga prinsip dasar yang perlu dipenuhi, yaitu prinsip keutuhan (holistic), prinsip keterpaduan (integrated), dan prinsip keberlanjutan/kelestarian (sustainability) (Suhendang 2005). Agar tercapai prinsip dasar tersebut, perlu adanya syarat kemantapan kawasan untuk hutan rakyat. Pencapaian kemantapan kawasan tidak semudah atau tidak bisa dipandang sama dengan kasus di hutan negara. Hutan rakyat adalah milik pribadi bukan negara, sehingga tidak ada keharusan pengikatan fungsi areal. Setiap pemilik lahan hutan rakyat mempunyai hak untuk mengubah atau mempertahankan fungsi arealnya, kecuali jika dalam suatu wilayah sudah memiliki rencana tata ruang yang disepakati dan dipatuhi oleh semua pihak. Sampai saat ini kondisi seperti itu belum terjadi, sehingga kemantapan kawasan di hutan rakyat tidak dapat ditentukan. Oleh karena itu perlu pendekatan yang

6 dapat dijadikan patokan tercapainya kemantapan kawasan hutan di wilayah hutan rakyat. Perencanaan yang tepat perlu dikaji untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi hutan rakyat dalam pengelolaanya terutama untuk menjaga kelestariannya ke depan. Perencanaan yang tepat adalah yang mempertimbangkan karakteristik dan potensi desa hutan rakyat bersangkutan sehingga dapat diterima semua pihak terutama oleh petani sebagai pelaksana. Sebagai informasi awal dilakukan tipologi untuk mengelompokan karakteristik wilayah dengan mempertimbangkan faktor biofisik dan sosial ekonomi dari desa bersangkutan. Dalam penelitian ini perlu menjawab permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan yang kuat dengan luas hutan rakyat di desa hutan rakyat dan bagaimana pola hubungannya? 2. Dapatkah faktor-faktor tersebut dipergunakan sebagai dasar dalam membuat kriteria tipologi desa hutan rakyat yang mengambarkan potensi luas hutan rakyat dalam desa tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan untuk : 1. Mengidentifikasi pola sebaran spasial dan karakteristik desa hutan rakyat. 2. Menentukan tipologi desa hutan rakyat berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. 1.4. Hipotesis 1. Pola sebaran spasial dan karakterikstik desa hutan rakyat dapat ditentukan berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi. 2. Tipologi desa hutan rakyat dapat dibuat berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi.

7 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa masukan bagi pemilik lahan dan pihak yang terkait tentang strategi yang dapat dijalankan dalam pengelolaan hutan rakyat ke depan dengan memahami faktor-faktor penting yang terkait. 1.6. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Hutan rakyat dalam penelitian ini adalah hutan yang dikelola oleh masyarakat yang berada di atas areal milik di luar kawasan hutan negara. Pengelolaan hutan rakyat yang dimaksud dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pengelolaan kayunya secara komersil sedangkan hasil non kayu yang berada di areal menjadi pertimbangan sebagai pembentuk pola tanam hutan rakyat. Desa hutan rakyat adalah desa yang memiliki potensi untuk berkembang pengelolaan hutan rakyatnya. Perkembangan desa hutan rakyat tersebut didukung oleh faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi dari desa bersangkutan. Pengertian tipologi banyak ditemukan dalam berbagai bidang ilmu, dan definisi dari berbagai sumber. Pengertian tipologi dalam penelitian ini diambil dari modifikasi Oxford English Dictionary (Soanes & Stevenson 2008), yaitu sebuah pengklasifikasian atau pengelompokkan obyek menurut kesamaan sifat dasar ke dalam tipe-tipe tertentu. Dalam penelitian ini tipologi dibatasi atas pengaruh faktor biofisik dan sosial ekonominya. 1.7 Kebaharuan (Novelty) Pada penelitian ini aspek kebaharuannya adalah: menemukan tipologi berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi untuk mengelompokkan desa hutan rakyat.