TIPOLOGI DESA HUTAN RAKYAT: KASUS DI KABUPATEN CIAMIS TIEN LASTINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TIPOLOGI DESA HUTAN RAKYAT: KASUS DI KABUPATEN CIAMIS TIEN LASTINI"

Transkripsi

1 TIPOLOGI DESA HUTAN RAKYAT: KASUS DI KABUPATEN CIAMIS TIEN LASTINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2012 Tien Lastini NIM E

3 ABSTRACT TIEN LASTINI. The Typology of Desa Hutan Rakyat (Forest Private Villages): A Case in Ciamis District. Under direction of ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HARDJANTO, and HERRY PURNOMO. Management of private forest possesses specific characteristics that differ from state owned forest management. Therefore, the characteristics of desa hutan rakyat using typology approach were studied. The objective of this study was to determine private forest spatial distribution type, characteristics and types of desa hutan rakyat. This study was conducted in Ciamis District covering 363 villages. The analysis was performed on the basis of statistical data of private forest area and field data measurent and observation. The typology was developed based upon biophysical and socio-economic factors by the method of clustering analysis. There are six biophysical factors i.e. non rice field-land use, road density, distance to state forest area, distance to main road, land capacity, land configuration, and three of socio-economic factors i.e. population the spatial distribution pattern of private forest is clumped. The characteristic of private forest stand composition consist of three patterns, namely agroforestry, monoculture and polyculture. The result also shows that eight of all factors in typology determination have correlation in amount of 0.2 to 0.5 with the existence of private forest. The only factor that has no correlation with private forest area is the distance to main road. The clustering analysis produced two distinct desa hutan rakyat types, namely high potential area and low potential area types. The best variables for clustering of those desa hutan rakyat are the principle component analysis derived from eight correlated variables (non rice field land use, road density, distance to state forest area, land capacity, land configuration, population density, permanent home, and productive age population) with overall accuracy 64%. Those typologies of the desa hutan rakyat are as a preliminary information that can be used for long-term planning activities. Keywords: Clustering analysis, desa hutan rakyat, spatial distribution pattern, principle component analysis, typology

4 RINGKASAN TIEN LASTINI. Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis. Dibimbingan oleh ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HARDJANTO, dan HERRY PURNOMO. Hutan rakyat di masa yang akan datang memiliki peran yang semakin penting, yaitu sebagai sumber bahan baku kayu, kawasan ekologi dalam DAS, dan alternatif kepentingan lingkungan lainnya. Namun, sistem pengelolaan hutan rakyat dari dulu sampai saat ini tidak berubah. Salah satu permasalahan adalah pengelolaan hutan rakyat masih bersifat individu, sehingga tidak adanya kepastian jaminan kontinuitas pasokan kayu bagi industri. Sebagian besar petani masih berpikir keuntungan ekonomi jangka pendek, sehingga dikhawatirkan terjadinya pemanenan yang berlebihan pada umur tebang dini dengan semakin tingginya harga kayu dan semakin rendahnya limit diameter yang diterima pasar. Penataan sistem pengelolaan hutan rakyat sangat penting untuk menjamin kelestariannya. Kelestarian hutan rakyat dalam hal ini ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial seperti pada pengelolaan hutan pada umumnya. Dengan membandingkan konsep pengelolaan hutan ideal dengan karakteristik hutan rakyat diharapkan akan diperoleh cara mengelola hutan rakyat secara lebih profesional agar siap menghadapi tantangan ke depan yang semakin berat. Untuk menerapkan dan menganalisis konsep-konsep pelestarian perlu dibuat suatu perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah tersebut sebaiknya bersifat spesifik dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah yang dihadapi. Oleh karena itu perlu upaya untuk menggali karakteristik dari wilayah yang ingin dikelola. Pengelompokkan wilayah berdasarkan karakteristik tertentu disebut dengan tipologi. Tipologi dapat membantu menduga potensi sebaran hutan rakyat untuk wilayah yang belum diketahui dan belum dilakukan inventarisasi menyeluruh. Penelitian ini memiliki tujuan, yaitu mengidentifikasi pola sebaran spasial dan karakteristik desa hutan rakyat, dan membangun tipologi desa hutan rakyat berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. Terdapat enam peubah biofisik dan tiga peubah sosial ekonomi yang diteliti untuk membuat tipologi. Peubah biofisik yaitu : penggunaan lahan bukan sawah, kelerengan lahan, jarak ke kawasan hutan negara, jarak ke jalan besar, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. Tiga peubah sosial ekonomi yaitu: kepadatan penduduk, rumah permanen, dan umur produktif penduduk. Pemilihan peubah yang dominan menggunakan uji korelasi Spearmann dan analisis komponen utama. Kemudian dilakukan pengelompokkan dengan analisis gerombol (clustering analysis). Hasil pengelompokan diuji menggunakan uji keragaman dan evaluasi akurasi. Untuk mengetahui karakteristik spasial dengan tipe pola sebarannya, karakteristik struktur tegakan dan komposisinya, serta karakteristik pengelolaan hutan rakyat digunakan metode kuisioner, pengukuran tegakan di lapangan dengan plot, dan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pola sebaran spasial hutan rakyat termasuk ke dalam tipe mengelompok (clumped). Hal ini menunjukkan terdapat faktor-faktor tertentu yang menunjang perkembangan hutan rakyat di suatu tempat. Wilayah satu hamparan hutan rakyat berada dalam satu

5 blok atau beberapa blok di satu dusun. Dalam satu blok terdiri dari banyak kepemilikan. Berdasarkan karakteristik struktur dan komposisi tegakan, terdapat tiga pola tanam yang ditemui di lapangan, yaitu pola agroforestri, monokultur dan polikultur, dimana pola yang paling dominan adalah pola agroforestri. Kisaran diameter menunjukkan tiga kelas yang terbesar yaitu berkisar dari 0 sampai 15 cm. Ini menunjukkan diameter di atas tersebut sudah banyak terjual. Pada karakteristik pengelolaan hutan rakyat dari proses awal penanaman sampai pemanenan ditemui kekhasan dalam setiap tahapan. Harga jual kayu semakin meningkat sehingga pada saat ini keinginan menanam sudah demikian tinggi. Petani saat ini banyak mengandalkan bibit tidak dari alam lagi, tetapi sudah membeli dari penjual bibit. Kegiatan pemeliharaan dari tanaman belum dilakukan maksimal. Pemupukan pada pola monokultur hanya dilakukan pada satu tahun pertama saja, sedangkan pada pola agroforestri pemeliharaan dan pemupukan lebih intensif karena sekaligus untuk tanaman pertaniannya. Pada pembentukan tipologi dari sembilan peubah yang diuji, terdapat delapan peubah yang memiliki korelasi berkisar 0,2 sampai 0,5. Tiga peubah terbesar adalah rasio kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan rasio penggunaan lahan bukan sawah. Kelima peubah lainnya berurutan berdasarkan besarnya korelasi dengan luas hutan rakyat adalah jarak ke hutan negara, rasio umur produktif, kepadatan penduduk, kemampuan lahan, dan rasio rumah permanen. Hasil analisis komponen utama menghasilkan empat komponen utama yang ditandai dengan kumulatif proporsi lebih dari 70% dan nilai akar ciri lebih besar dari 0,7. Berdasarkan hasil pemilihan terhadap kemungkinan jumlah kelompok yang dapat terbentuk, maka dipilih delapan desain peubah yang diuji keragaman dan dievaluasi akurasinya. Hasil pengujian menunjukkan desain peubah dengan empat komponen utama menghasilkan dua kelompok yang memiliki uji keragaman yang baik dan nilai akurasi rata-rata umum terbesar yaitu sebesar 64%. Sedangkan yang kedua terbaik adalah desain peubah yang menggunakan dua peubah, yaitu rasio kelerengan lahan dan jaringan jalan, yang menghasilkan nilai akurasi rata-rata umum sebesar 63%. Desain peubah empat komponen utama dan desain dua peubah tersebut menghasilkan dua tipologi desa hutan rakyat, yaitu tipe wilayah yang kurang berpotensi untuk berkembang hutan rakyat dan tipe wilayah yang berpotensi untuk berkembangnya hutan rakyat. Tipe 1 merupakan wilayah-wilayah desa yang penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat karena terdapat kondisikondisi yang kurang memungkinkan untuk perkembangnya hutan rakyat ditinjau dari aspek biofisik dan sosial ekonomi. Sedangkan Tipe 2 merupakan wilayahwilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Faktor-faktor biofisik dan ditambah dengan sosial ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaan hutan rakyat di wilayah ini. Kata kunci : analisis gerombol, analisis komponen utama, desa hutan rakyat, peubah biofisik dan sosial ekonomi, pola sebaran spasial, tipologi.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 TIPOLOGI DESA HUTAN RAKYAT : KASUS DI KABUPATEN CIAMIS TIEN LASTINI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar. M.For.Sc. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.S. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, M.S Dr. Ir. Harry Santoso

9 Judul Disertasi : Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis Nama : Tien Lastini NIM : E Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang M.S. Ketua Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. Anggota Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S. Anggota Dr. Ir.Herry Purnomo, M.Comp. Anggota Diketahui a.n. Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 20 Januari 2012 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala anugerah dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis dibiayai oleh BPPS, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2006 sampai Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS, Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr, Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS, dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp selaku pembimbing. Penghargaan dan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Penguji luar komisi saat ujian tertutup Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar. M.For.Sc. dan Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.S. dan saat ujian terbuka Prof. Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, M.S dan Dr. Ir. Harry Santoso. 2. Dekan Pascasarjana IPB, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. yang telah memberikan kesempatan penulis mengikuti Program S3 di IPB. 3. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB, diwakilkan oleh Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.S. yang telah memberikan dukungan dan bantuan pelayanan akademik selama penulis mengikuti Program S3. 4. Ditjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) selama 3 tahun. 5. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis yang telah memberi fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan. 6. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul yang telah memberi fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan. 7. Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Ciamis beserta segenap aparat penyuluh lapangannya yang telah memberi fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan. 8. Staf penunjang dan teman sejawat di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Sdr. Uus Saeful M dan Edwine Setia P, S.Hut yang sangat membantu dalam pengadaan dan

11 pengolahan data, serta seluruh rekan-rekan IPK, IPH dan lainnya atas kerjasamanya selama menempuh studi S3. 9. Kedua orangtua, Ayahanda Iwa Wardiman dan Ibunda Nurmaliah dan kedua mertua Alm. Ading Suprihat Adisumarta, B.A dan E. Djuedah atas dorongan dan doanya yang tiada henti. 10. Suami tercinta Dr. Syamsul Falah, S.Hut. M.Si dan anakku tersayang Aliyya Najla Syaharani, beserta keluarga atas segala doa, kesabaran, dan dorongan semangatnya selama penulis menempuh studi dan menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan sehingga penulis terbuka menerima saran, kritik, dan masukan untuk perbaikan disertasi ini. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Februari 2012 Tien Lastini

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Muntok, Provinsi Bangka Belitung pada tanggal 15 Mei 1971 dari ayah Iwa Wardiman dan ibu Nurmaliah. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Penulis menikah dengan Dr. Syamsul Falah, S.Hut, M.Si pada tahun 1997 dan dikaruniai seorang anak Aliyya Najla Syaharani. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun Pada tahun 2001, penulis diterima beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun Penulis mendapat kesempatan melanjutkan ke program doktor pada program studi dan universitas yang sama pada tahun 2006 dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2011, sampai sekarang menjadi dosen di Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu Teknologi Hayati ITB. Sebelumnya penulis bekerja sebagai dosen pada Universitas Winaya Mukti, Sumedang sejak tahun 2005 sampai tahun Sebagian dari karya ilmiah pada program Doktor ini telah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Volume 8 No.3 tahun 2011 dengan judul Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat.

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xiv xv xvii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Hipotesis Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Kebaharuan (Novelty) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat Pengertian Hutan Rakyat Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan Hutan Pengertian Hutan dan Pengelolaannya Sejarah Pengelolaan Hutan Konsep dan Kriteria Pengelolaan Hutan Organisasi Hutan dan Unit Pengelolaan Hutan Pengelolaan Hutan untuk Menjamin Kelestarian Karakteristik Masyarakat Desa Pola Sebaran Spasial Tipologi Definisi Tipologi Penelitian-Penelitian tentang Tipologi III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Penelitian xii

14 3.4 Metode Metode Pengumpulan Data Analisis Pola Sebaran Spasial Analisis Tipologi Identifikasi Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Hutan Rakyat Penentuan Faktor Dominan Pembentukan Tipologi Pengujian Tipologi Pemeriksaan Lapangan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Hutan Rakyat Karakteristik Spasial Hutan Rakyat Potensi Hutan Rakyat di Desa Blok sebagai Batas Hutan Rakyat Satu Hamparan Kajian Batas Wilayah Tanggungjawab Karakteristik Struktur dan Komposisis Tegakan Hutan Rakyat Pola Tanam Hutan Rakyat Distribusi Diameter Tegakan dan Jumlah Pohon di Hutan Rakyat Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat Penanaman Hutan Rakyat Pemeliharaan Hutan Rakyat Pemanenan dan Penjualan Kayu Hutan Rakyat Pengaturan Hasil di Hutan Rakyat Tipologi Hutan Rakyat Penentuan Faktor Dominan Pembentuk Tipologi Pembentukan Tipologi Jumlah Tipologi Pengujian Kelompok Tipologi Desa dan Karakteristiknya 4.3 Implikasi dalam Pengelolaan Hutan Rakyat V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Beberapa contoh unit pengelolaan pada hutan rakyat 20 2 Standar kriteria aspek ekonomi, sosial, dan ekologi 32 3 Klasifikasi kelas lereng Kriteria klasifikasi kemampuan lahan 49 5 Peubah-peubah tipologi hutan rakyat 50 6 Jumlah kelas luas hutan rakyat dan batasan per kelas 56 7 Perhitungan pola sebaran spasial di Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul Pembagian batas wilayah dan tanggungjawab di hutan rakyat 64 9 Jumlah plot setiap pola tanam hutan rakyat Jumlah pohon rata-rata per ha berdasarkan pola hutan rakyat dari 30 plot contoh Korelasi Spearman antar peubah Nilai komponen utama (PC) pada lima peubah dan nilai kumulatifnya Banyaknya anggota setiap kombinasi dan kelompok Jumlah desa setiap kelompok terpilih Ragam rata-rata antar kelompok dan dalam kelompok Nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa Karakteristik desa setiap tipologi Perbandingan tipologi standar dengan tipologi hasil dugaan kombinasi peubah xiv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Distribusi pohon menurut kelas diameter di hutan rakyat 16 2 Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann 26 3 Tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 41 5 Lokasi penelitian (a) Kabupaten Ciamis (b) Kabupaten Gunungkidul 42 6 Diagram alir tahapan penelitian 44 7 Nilai kritis uji chi-square untuk indeks dispersi; α:0,05 dan n< Jarak lurus (a) Antar kawasan hutan dengan batas desa (b) Antar jalan kolektor dengan batas desa 47 9 Klasifikasi kelas hutan rakyat berdasarkan luasnya Perbandingan antar luas hutan rakyat *) dengan luas desa (a) Kabupaten Ciamis (b) Kabupaten Gunungkidul Perbandingan penggunaan lahan untuk sawah dengan non sawah dalam satu kabupaten 12 Pola sebaran spasial desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Contoh penggunaan lahan di Dusun Pogorsari Desa Lumbung Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis Contoh bentuk peta blok desa yang masih menggunakan persil di Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis 15 Contoh bentuk peta blok desa hasil revisi terbaru dari BPN di Desa Sukaraharja Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis Tanda batas antar kepemilikan di hutan rakyat Perbandingan hirarki dan perkiraan luas rata-rata tiap bagian pengelolaan hutan rakyat dengan Hutan Negara Karakteristik pola tanam hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Bentuk distribusi diameter yang ditemui di lapangan Perbandingan jumlah pohon rata-rata per ha pada tiap pola tanam dan kelas diameter Pedagang bibit keliling dari desa ke desa Aliran perdagangan kayu rakyat dari petani sampai konsumen lokal dan pabrik Contoh alur ideal perizinan penebangan kayu di Kabupaten Gunungkidul xv

17 78 24 Fluktuasi penjualan kayu dari petani setiap bulan per tahun di (a) Kabupaten Ciamis dan (b) Kabupaten Gunungkidul Perbandingan ragam dalam kelompok dengan ragam antar kelompok Pengelompokan berdasarkan dua tipologi Karakteristik vegetasi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Daerah aliran sungai (DAS) di Kabupaten Ciamis xvi

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Luas hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Luas hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul Luas kawasan hutan KPH Ciamis Perum Perhutani Unit IIII Contoh data luas kawasan hutan per petak KPH Ciamis Rekapitulasi data dari sembilan peubah yang diuji Analisis komponen utama (principal component analysis) Luas kepemilikan lahan Struktur diameter tegakan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Kelas kemampuan lahan 153 xvii

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan kayu di Provinsi Jawa Barat dipenuhi dari hutan rakyat sebesar 56.6%, Perum Perhutani Unit III sebesar 4.8% dan sisanya sebesar 38,6% dari hutan di luar Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009). Selain sebagai sumber bahan baku kayu, keberadaan hutan rakyat menjadi alternatif dari sisi ekologis dari suatu DAS atau wilayah yang masih memerlukan kawasan bervegetasi selain dari hutan negara. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyatakan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Hutan negara di Provinsi Jawa Barat mencakup 24,2 % dari luas provinsi (Dephut 2002). Jika ditambah dengan luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat seluas ha (BPDASPS 2010), maka proporsi kawasan bervegetasi di Provinsi Jawa Barat bertambah menjadi 28%. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi lingkungan merupakan pendorong bagi perkembangan hutan rakyat. Peran dan fungsi hutan rakyat yang semakin penting di masa depan memerlukan upaya untuk menata lebih baik pengelolaan hutan rakyat. Minat masyarakat untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat semakin besar. Hal ini dapat dilihat dari data produksi kayu di Kabupaten Ciamis dalam kurun waktu 7 tahun yang terus meningkat. Pada tahun 2002 produksi kayu dari hutan rakyat melebihi produksi hutan Negara (Perum Perhutani Unit III KPH Ciamis) dalam jumlah yang tidak terlalu besar, yaitu sebesar 48 ribu m 3 /tahun dari hutan rakyat dan 37 ribu m 3 /tahun dari hutan negara. Namun, selama kurun waktu 7 tahun produksi kayu dari hutan rakyat meningkat secara tajam jauh melampaui produksi hutan Negara. Produksi kayu dari hutan rakyat dari tahun 2002 sampai 2008 mencapai 450 ribu m 3, sedangkan produksi kayu dari hutan Negara hanya meningkat sedikit sekitar 71 ribu m 3 (Dishutbun Ciamis 2009).

20 2 Berdasarkan status kepemilikan lahannya, sebagian besar hutan di Indonesia terdapat di dalam kawasan hutan negara. Hutan negara dapat dikelompokkan atas dua bentuk pengelolaan yaitu hutan seumur (even aged forest), seperti pada hutan tanaman, dan hutan tidak seumur (uneven aged forest) pada hutan alam (Suhendang 1999). Sedangkan hutan rakyat yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan karena kontribusinya cukup penting dalam memenuhi kebutuhan konsumsi kayu masyarakat, bentuk pengelolaannya masih belum banyak dikaji secara intensif. Pengelolaan hutan rakyat masih sering dipandang banyak pihak sebagai suatu bentuk usaha yang tidak ekonomis. Persepsi ini tercipta karena pengelolaan hutan rakyat masih dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pihak swasta dan BUMN kehutanan, maka luasan hutan rakyat yang dimiliki oleh rakyat memang sangat tidak berarti (Awang et al. 2002). Meskipun hutan rakyat mungkin tidak menguntungkan dalam skala ekonomi tetapi perannya sangat nyata dalam memenuhi kebutuhan masyarakat maupun pemiliknya sendiri. Beberapa permasalahan ditemukan sehubungan pengelolaan hutan rakyat yang masih bersifat tradisional. Salah satu permasalahan adalah pengelolaan hutan rakyat masih bersifat individu, sehingga tidak adanya kepastian jaminan kontinuitas pasokan kayu bagi industri. Sebagian besar petani masih berpikir keuntungan ekonomi jangka pendek. Semakin diperlukannya tambahan pendapatan dan semakin tingginya harga kayu akan menyebabkan pemanenan yang berlebihan pada umur tebang dini. Permasalahan lainnya adalah terdapat keterbatasan akses dan pengetahuan pasar masyarakat, penebangan yang masih dilakukan dengan sistem daur butuh, dan sebagian besar petani hutan rakyat masih menganggap kerja di hutan rakyat merupakan pekerjaan sampingan (bukan pokok). Selain itu, kurang intensifnya penerapan sistem silvikultur untuk meningkatkan kualitas kayu, serta masih lemahnya pengetahuan pengelola hutan terkait dengan penaksiran dan perhitungan volume pohon maupun teknik pemotongan log akan mengakibatkan rendahnya harga jual kayu jika dibandingkan dengan harga pasar (Awang et al. 2001; Hardjanto 2003; dan Ekawati et al. 2005).

21 3 Hutan rakyat di Indonesia memiliki beragam karakteristik. Keragaman ini dapat terjadi salah satunya akibat proses pembentukan awal yang terjadi secara tradisional atau terdapat campur tangan pemerintah. Hutan rakyat yang terbentuk secara tradisional sudah dikelola sejak lama secara turun menurun, seperti repong damar di Krui Lampung, kebun kemiri di Sulawesi Selatan, beberapa bentukan talun di Jawa Barat, dan lainnya (Foresta et al. 2000). Sedangkan hutan rakyat hasil campur tangan pemerintah umumnya dimulai di daerah kritis melalui program penghijauan. Wilayah-wilayah tersebut berupa lahan kering yang tidak ekonomis untuk tanaman pertanian sehingga sebagai alternatif lain ditanami pohon-pohonan. Luas total hutan rakyat di Indonesia sebesar ha (BPDASPS 2010). Pengertian hutan rakyat yang saat ini berkembang disamakan dengan pengertian hutan hak, yaitu hutan yang tumbuh di lahan milik atau lahan di luar kawasan hutan negara. Tetapi pemahaman ini sulit untuk beberapa daerah terutama di luar Pulau Jawa yang masih banyak terjadi konflik kepemilikan lahan. Pada tahun 1997 sampai 1999 konflik di sektor kehutanan cenderung meningkat cukup tajam. Dari 309 kasus konflik, 39% terjadi di areal Hutan Tanaman Industri (HTI), 34% di kawasan konservasi, dan 27% di areal Hak Penguasaan Hutan (HPH) (Wulan et al. 2004). Proses pengukuhan hutan negara untuk wilayah di luar Pulau Jawa masih banyak yang belum dilakukan, sehingga tidak ada kepastian secara hukum mengenai hak kepemilikan. Seringkali hutan yang diklaim milik masyarakat ternyata masuk ke dalam kawasan hutan negara dan sebaliknya. Kondisi serupa jarang terjadi wilayah di Pulau Jawa, karena sebagian besar hutan rakyat di Pulau Jawa sudah jelas kepemilikannya. Batas antara wilayah kawasan hutan negara dengan lahan milik di Pulau Jawa relatif lebih baik. Saat ini mulai dikembangkan sistem Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dimana petani diberi hak untuk mengelola kawasan hutan negara. Penelitian yang dilakukan ini menitikberatkan pada bentukan hutan yang sudah memiliki hak kepemilikan yang jelas, yaitu wilayah tersebut merupakan kepemilikan di luar negara. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh masyarakat secara individual (pada tingkat keluarga) di lahan miliknya, sehingga hutan rakyat biasanya tidak

22 4 mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman pola usaha tani. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat (penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masing-masing keluarga. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi hutan negara yang relatif luas, sehamparan, dan segala keputusan dilakukan oleh pemerintah. Kondisi petani di Indonesia umumnya subsisten. Keadaan tersebut menjadikan petani dalam posisi lemah, seperti posisi tawar yang lemah dan informasi yang kurang. Penggabungan dan penataan sistem pengelolaan hutan rakyat sangat penting untuk memperkuat posisi petani menghadapi pihak luar. Penataan sistem pengelolaan hutan rakyat dibuat dengan perencanaan wilayah yang bersifat spesifik mempertimbangkan karakteristik wilayah yang dihadapi. Pengelompokkan karakteristik suatu wilayah disebut dengan tipologi. Tipologi menghasilkan kelompok yang memiliki keseragaman unik antar obyeknya. Pengambilan unit pengamatan terkecil dalam penelitian ini adalah desa, karena desa merupakan struktur pemerintahan terkecil yang terdata di Indonesia secara rinci dari lembaga resmi. Otonomi daerah menjadikan desa merupakan bagian penting dalam proses desentralisasi, desa sebagai representasi negara dan struktur pemerintah yang paling dekat dengan rakyat, serta desa bisa menangkap keragaman terkecil potensi hutan rakyat yang terdata. Dengan mengelompokkan wilayah desa hutan rakyat tersebut, perencanaan dan pengelolaan hutan rakyat yang tepat sesuai dengan karakteristiknya dapat diterapkan. Tipologi ini dapat juga membantu menduga potensi sebaran hutan rakyat untuk wilayah yang belum diketahui dan belum dilakukan inventarisasi menyeluruh Perumusan Masalah Peran hutan rakyat semakin penting sebagai penyedia kayu bagi masyarakat ke depan. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa kebutuhan industri kayu di Provinsi Jawa Barat mencapai angka 5,3 juta m 3 /tahun, sedangkan kemampuan Perum Perhutani hanya memenuhi 250 ribu m 3 /tahun (4,72%). Kekurangan pasokan kayu tersebut

23 5 dipenuhi dari hutan rakyat sebanyak 3 juta m 3 /tahun (56,6%), dan sisanya dari hutan luar Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009). Kebutuhan kayu yang berasal dari hutan rakyat yang semakin besar akibat penurunan produksi kayu dari hutan negara telah mendorong kecenderungan terjadinya pemanenan yang dilakukan pada umur pohon yang semakin muda. Hal ini dapat mengancam kelestarian hutan rakyat itu sendiri. Sebagian besar petani hutan rakyat di Indonesia terutama di Pulau Jawa sudah berorientasi ekonomi dan komersial dalam memutuskan melakukan kegiatan hutan rakyat, tetapi tidak disertai dengan perubahan pengelolaan yang profesional. Petani hutan rakyat umumnya merupakan petani individual dan masih mengandalkan pengelolaan secara tradisional, sehingga proses pengelolaan dari penanaman sampai pemasaran dilakukan secara sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar petani. Pengkajian perlu dilakukan untuk memahami sistem pengelolaan hutan rakyat karena hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Lingkungan fisik dan non fisik seperti aspek sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi sistem pengelolaan hutan rakyat di suatu wilayah perlu dikaji. Pola-pola hutan rakyat apa saja yang berkembang dalam suatu wilayah, dan perlu pengkajian korelasi pola tersebut terhadap pengaruh lingkungan sekitarnya. Dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem, ada tiga prinsip dasar yang perlu dipenuhi, yaitu prinsip keutuhan (holistic), prinsip keterpaduan (integrated), dan prinsip keberlanjutan/kelestarian (sustainability) (Suhendang 2005). Agar tercapai prinsip dasar tersebut, perlu adanya syarat kemantapan kawasan untuk hutan rakyat. Pencapaian kemantapan kawasan tidak semudah atau tidak bisa dipandang sama dengan kasus di hutan negara. Hutan rakyat adalah milik pribadi bukan negara, sehingga tidak ada keharusan pengikatan fungsi areal. Setiap pemilik lahan hutan rakyat mempunyai hak untuk mengubah atau mempertahankan fungsi arealnya, kecuali jika dalam suatu wilayah sudah memiliki rencana tata ruang yang disepakati dan dipatuhi oleh semua pihak. Sampai saat ini kondisi seperti itu belum terjadi, sehingga kemantapan kawasan di hutan rakyat tidak dapat ditentukan. Oleh karena itu perlu pendekatan yang

24 6 dapat dijadikan patokan tercapainya kemantapan kawasan hutan di wilayah hutan rakyat. Perencanaan yang tepat perlu dikaji untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi hutan rakyat dalam pengelolaanya terutama untuk menjaga kelestariannya ke depan. Perencanaan yang tepat adalah yang mempertimbangkan karakteristik dan potensi desa hutan rakyat bersangkutan sehingga dapat diterima semua pihak terutama oleh petani sebagai pelaksana. Sebagai informasi awal dilakukan tipologi untuk mengelompokan karakteristik wilayah dengan mempertimbangkan faktor biofisik dan sosial ekonomi dari desa bersangkutan. Dalam penelitian ini perlu menjawab permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan yang kuat dengan luas hutan rakyat di desa hutan rakyat dan bagaimana pola hubungannya? 2. Dapatkah faktor-faktor tersebut dipergunakan sebagai dasar dalam membuat kriteria tipologi desa hutan rakyat yang mengambarkan potensi luas hutan rakyat dalam desa tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan untuk : 1. Mengidentifikasi pola sebaran spasial dan karakteristik desa hutan rakyat. 2. Menentukan tipologi desa hutan rakyat berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi Hipotesis 1. Pola sebaran spasial dan karakterikstik desa hutan rakyat dapat ditentukan berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi. 2. Tipologi desa hutan rakyat dapat dibuat berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi.

25 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa masukan bagi pemilik lahan dan pihak yang terkait tentang strategi yang dapat dijalankan dalam pengelolaan hutan rakyat ke depan dengan memahami faktor-faktor penting yang terkait Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Hutan rakyat dalam penelitian ini adalah hutan yang dikelola oleh masyarakat yang berada di atas areal milik di luar kawasan hutan negara. Pengelolaan hutan rakyat yang dimaksud dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pengelolaan kayunya secara komersil sedangkan hasil non kayu yang berada di areal menjadi pertimbangan sebagai pembentuk pola tanam hutan rakyat. Desa hutan rakyat adalah desa yang memiliki potensi untuk berkembang pengelolaan hutan rakyatnya. Perkembangan desa hutan rakyat tersebut didukung oleh faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi dari desa bersangkutan. Pengertian tipologi banyak ditemukan dalam berbagai bidang ilmu, dan definisi dari berbagai sumber. Pengertian tipologi dalam penelitian ini diambil dari modifikasi Oxford English Dictionary (Soanes & Stevenson 2008), yaitu sebuah pengklasifikasian atau pengelompokkan obyek menurut kesamaan sifat dasar ke dalam tipe-tipe tertentu. Dalam penelitian ini tipologi dibatasi atas pengaruh faktor biofisik dan sosial ekonominya. 1.7 Kebaharuan (Novelty) Pada penelitian ini aspek kebaharuannya adalah: menemukan tipologi berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi untuk mengelompokkan desa hutan rakyat.

26 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat Pengertian Hutan Rakyat Berdasarkan aspek hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat jika dilihat hanya dari kepemilikan lahan maka dapat dikategorikan ke dalam hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Namun jika dilihat dari pengelolanya, maka hutan adat juga dapat dikategorikan menjadi hutan rakyat karena dikelola oleh masyarakat atau rakyat walau kepemilikan lahan dikuasai oleh negara. Sedangkan sebelumnya dalam Undang-Undang RI No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan rakyat dimasukkan sebagai hutan milik, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Berbagai pengertian mengenai hutan rakyat dapat dilihat dari rangkuman Mindawati et al. (2006) sebagai berikut : a. Hutan rakyat adalah merupakan tanaman pohon-pohonan (tanaman tahunan) yang terdiri dari berbagai jenis, baik tumbuh secara alami maupun ditanam dalam bentuk kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang berfungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya (Djajapertjunda 1959 dalam LP IPB 1990). b. Hutan rakyat adalah sebutan lain untuk hutan yang berstatus hutan milik, menurut penjelasan (UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Departemen Pertanian 1967). c. Hutan rakyat adalah tanaman kayu rakyat yang tumbuh diantara tanamantanaman pertanian lainnya, atau areal tanah kering yang ditanami pohonpohon yang dapat diperdagangkan (Suyana 1976). d. Hutan rakyat adalah hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon dengan pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau suatu badan usaha seperti koperasi, dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan pemerintah (Alrasyid 1979).

27 9 e. Hutan rakyat adalah istilah lain untuk kebun campuran, untuk hutan yang ditanami kombinasi antara tanaman berkayu dan tanaman pertanian serta tanaman buah-buahan (Maryanto 1984 dalam LP IPB 1990). f. Hutan rakyat adalah suatu kebun yang hanya ditumbuhi beberapa pohon saja sebagai sentral, dimana pohon merupakan tumbuhan berkayu yang dapat mencapai tinggi lebih dari 4 meter dan berdiameter sama atau lebih besar dari 10 cm (Lembaga Penelitian IPB 1986 dalam LP IPB 1990). g. Hutan rakyat adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha, dan penutupan tajuk tanaman kayukayuan minimal 50% dan atau pada tahun pertama jumlah batang minimal 500 batang/ha (Kepmenhut No. 49/Kpts-II/1997 Departemen Kehutanan 1999) h. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, Departemen Kehutanan 1999). i. Hutan rakyat adalah merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut hutan milik (Hardjanto 2001). Menurut Awang et al. (2002), sudut pandang yang sering digunakan mengenai hutan rakyat adalah sudut pragmatisme, geografis, dan sistem tenurial (kepemilikan). Pandangan pragmatisme melihat hutan yang dikelola rakyat hanya dari pertimbangan pemerintah saja. Semua pohon-pohonan atau tanaman keras yang tumbuh di luar kawasan hutan negara langsung diklaim sebagai hutan rakyat. Pandangan geografis menggambarkan aneka ragam bentuk dan pola serta sistem hutan rakyat tersebut. Sistem hutan rakyat berbeda satu sama lain tergantung letak geografis: ada yang di dataran rendah, medium, dan dataran tinggi; dan jenis penyusunnya yang berbeda menurut tempat tumbuh dan kesesuaian dengan iklim mikro. Pandangan sistem tenurial berkaitan dengan status misalnya statusnya hutan negara yang dikelola masyarakat, hutan adat, hutan keluarga, dan lain-lain. Sebagian besar penelitian tentang hutan rakyat umumnya sepakat bahwa secara fisik hutan rakyat tumbuh dan berkembang di atas lahan milik, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai

28 10 tabungan keluarga, sumber pendapatan, dan menjaga lingkungan. Namun, menurut Awang et al. (2002) pembatasan hutan negara dan hutan rakyat dianggap kaku dan justru seringkali tidak menjamin keberadaaan dan kelestarian sumberdaya hutan itu sendiri. Sebaiknya pengertian hutan rakyat harus diperluas yaitu hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia Menurut Hinrichs et al. (2008) sejak tahun 1978, ketika diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia dengan tema Hutan untuk Rakyat (Forest for People), pelan tapi pasti mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai penanggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara sedang berkembang. Para penentu kebijakan di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia, secara progresif telah menyadari bahwa mereka yang mengetahui dengan amat baik kondisi-kondisi hutan setempat tidak lain adalah rakyat yang tinggal dan hidup di kawasan sekitar hutan-hutan tersebut. Istilah hutan rakyat muncul dalam perbendaharaan kata di bidang kehutanan di Indonesia yakni dalam satu artikel yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 1978, berjudul Kehutanan untuk Pembangunan Masyarakat Setempat. Sebenarnya istilah hutan rakyat sudah lama digunakan dalam programprogram pembangunan kehutanan dan disebut dalam UUPK Tahun 1967 dengan terminologi hutan milik. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan Karang Kitri, yaitu melakukan penanaman pohon-pohonan di lahan rakyat. Program tersebut belum sempat dilaksanakan karena kekurangan biaya dan sarana lainnya, tetapi sudah memberi inspirasi kepada rakyat akan pentingnya menanam pohon di tegal dan pekarangan yang kosong (Simon 2010). Pada dekade 1960-an program karang kitri dirubah namanya menjadi program penghijauanan, dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun Sejak ada bantuan dari lembaga donor internasional mulai tahun 1966,

29 11 program penghijauan mulai menunjukkan hasil yang cukup berhasil. Keberhasilan tersebut ditambah dengan faktor-faktor pendukung yanglain, maka pada dekade 1980-an di daerah Kapur Selatan telah dikenal adanya hutan rakyat dengan jati sebagai jenis dominan (Awang et. al dan Simon 2010). Sejarah perkembangan hutan rakyat di Jawa memiliki perbedaan dengan hutan milik atau hutan adat yang tumbuh di luar Pulau Jawa seperti Kebun Damar di Krui Lampung Barat, hutan rotan (simpukng) di Kutai Barat, tengkawang di Kalimantan Barat, Dusun Sagu di Papua dan Mamar di Nusa Tenggara. Khusus untuk pohon damar mulai dibudidayakan oleh penduduk setempat pada abad ke- 17, saat Inggris masuk wilayah Krui lewat pelabuhan Pulang Pisang. Pohon damar diperkirakan baru mulai dibudidayakan di daerah tersebut menjelang akhir abad ke-19. Pada tahun 1800-an, yaitu ketika kompeni Belanda masuk Krui, budidaya damar berkembang pesat. Proses pembentukan damar di Lampung serupa dengan pembentukan kebun karet di seluruh Sumatra maupun Kalimantan, yaitu dimulai dari perladangan berpindah. Oleh karena itu model pembentukan khepong damar di Lampung merupakan model yang telah teruji dan dapat meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus memelihara kawasan hutan dari proses degradasi Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Menurut Awang (2007) karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah : 1). Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil. 2). Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan. 3). Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga, yaitu masing-masing keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.

30 12 4). Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman. 5). Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat. 6). Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri. 7). Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat. Menurut Suharjito (2000), beberapa faktor yang mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa adalah faktor ekologis, ekonomi, dan budaya. Hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (upland areas). Budidaya hutan rakyat bukan pilihan yang utama bagi masyarakat pedesaaan Jawa pada umumnya. Jika kondisi lingkungan alam memungkinkan, pilihan yang utama adalah budidaya tanaman yang cepat menghasilkan dengan keuntungan tinggi. Penyebaran hutan rakyat pada lahan milik terpencar-pencar dari satu lokasi ke lokasi lain dengan luasan yang relatif sempit (< 1 ha). Penyebarannya meliputi semua macam penggunaan lahan misalnya terdapat pada tegalan, ladang, kebun campuran, pekarangan dan sebagainya. Hutan rakyat banyak diusahakan pada lahan marjinal, dengan kondisi lereng yang berat, kesuburan tanahnya rendah, sulit mendapatkan air, dan sebagainya, sehingga tidak ekonomis dijadikan lahan pertanian (Haeruman et al. 1991). Pola tanam tumpangsari umumnya dilakukan oleh petani-petani berlahan sempit dan menengah. Para petani yang memiliki lahan yang luas (>1 ha) dan petani yang memiliki sumber penghasilan di luar usahatani (dagang, pegawai negeri, dll.) lebih mencurahkan perhatian pada usaha penanaman kayu-kayuan daripada tanaman pangan, terutama pada lahan-lahan yang tingkat produktivitasnya dan lapisan olahnya sudah sangat rendah.

31 13 Keragaan usaha hutan rakyat memiliki keragaman antar kecamatan tetapi cenderung seragam dalam kecamatan. Aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya keragaman yaitu : tingkat perhatian terhadap hutan rakyat, persentase pendapatan, penyerapan tenaga kerja, kelestarian fisik, intensitas penutupan lahan, dan persentase pemenuhan kayu bakar dari hutan rakyat (Haeruman et al. 1991). Menurut Berenschot et al. (1988) dalam Hardjanto (2003), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap budidaya pohon-pohon (Acacia mearnsii) di pedesaan Wonosobo-Jawa Tengah adalah kepadatan penduduk, pemilikan lahan, topografi, dan komersialisasi. Peningkatan kepadatan penduduk berarti ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif. Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon-pohon. Topografi yang curam mendorong petani membudidayakan pohonpohon yang sesuai untuk keperluan konservasi lahan. Komersialisasi hasil pertanian cenderung menurunkan minat budidaya pohon-pohon. Berdasarkan hasil penelitian di Gunungkidul dan Banjarnegara, Van Der dan Van Dijk (1987) mengemukakan bahwa rumahtangga yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif. Demikian pula rumahtangga yang memiliki kemudahan akses ke pasar lebih cenderung memilih tanaman yang intensif. Kendra dan Hull (2005) di Virginia Amerika Serikat menyatakan, terdapat peningkatan jumlah orang yang memiliki hutan pribadi. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti: gaya hidup sederhana (simple lifestyle), kerohanian (spirituality), pemeliharaan alam (nature preservation), ekonomi (economics), rekreasi (recreation), dan karakter derah (regional character). Metode yang digunakan untuk memilih faktor yang penting tersebut adalah dengan menstratifikasi populasi berdasarkan umur, pendapatan, luas areal kepemilikan, dan kriteria sosiodemografi Menurut Hardjanto (2000), beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut : 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.

32 14 2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat Bentuk hutan rakyat di Indonesia sangat beragam dan pembagiannya tergantung dari sudut pandang yang berbeda pula. Menurut Hardjanto (2003), jika ditinjau dari asal mula keberadaannya, maka hutan rakyat dibagi atas : 1) Hutan rakyat tradisional : penanaman dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah. 2) Hutan rakyat Inpres : penanaman diprakarsai oleh pemerintah melalui bantuan penghijauan di tanah terlantar. Menurut Michon (1983), hutan rakyat dibagi atas tiga tipe, yaitu: 1) Pekarangan : sistem pengaturan yang terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 ha, dipagari mulai dari sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dimana tingginya mencapai 20 meter. 2) Talun : mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana. 3) Kebun campuran : jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan jenis tanaman pokok cengkeh atau pepaya dan berbagai macam jenis tanaman herba. Kebun ini seringkali ditemui di sekitar desa. Dari pola-pola yang ada menunjukkan keragaman yang sangat besar yang menjadi batas atau ciri hutan rakyat di lapangan. Pola tanam hutan rakyat menurut Mindawati (2006) dan Purwanto et al. (2004) adalah:

33 15 1) Pola tanam hutan rakyat murni: Lahan hanya ditanami dengan satu jenis tanaman kayu-kayuan. Jenis yang biasa dikembangkan dalam pola ini adalah sengon, jati atau mahoni dalam kelompok-kelompok kecil antara 2-8 ha di dalam satu blok atau bahkan dalam luas yang lebih kecil. Pola ini dipilih masyarakat karena alasan penurunan produktivitas lahan sehingga dilakukan penghutanan kembali yang diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Alasan yang lain adalah semakin sedikitnya tenaga kerja akibat urbanisasi, dan mulai terdapatnya sumber-sumber pendapatan yang digunakan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2) Pola tanam hutan rakyat campuran : Suatu areal tertentu yang ditanami 2-5 jenis tanaman kayu seperti sengon, mahoni, maesopsis, suren, jati, yang ditanam secara campuran dan berbeda kombinasinya pada setiap daerah. Dari teknik silvikultur, cara ini lebih baik daripada hutan rakyat murni. Jarak tanam masing-masing jenis tanaman dalam hamparan pemilik biasanya tidak teratur. Jumlah pohon setiap jenis bervariasi, demikian juga dalam satu jenis dijumpai variasi umur berbeda. 3) Pola tanam hutan rakyat dengan sistem agroforestri/wanatani Hutan rakyat yang mempunyai bentuk kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian, pangan, peternakan, dan lain-lainnya secara terpadu. Pola tanam ini berorientasi kepada optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologis. Berdasarkan pengamatan di lapangan sangat sulit dijumpai sistem penanaman oleh petani secara monokultur (satu jenis). Secara garis besar Awang (2002), membagi pola tanam yang dilakukan oleh petani hutan rakyat sengon adalah sebagai berikut : 1. Pola 1 : Tanaman kayu-kayuan yang didominasi oleh jenis sengon. 2. Pola 2 : Tanaman sengon dan tanaman semusim 3. Pola 3 : Tanaman sengon, tanaman semusin dan buah-buahan.

34 16 4. Pola 4: Tanaman sengon, tanaman semusim, buah dan tanaman perkebunan (kapulaga, salak). 5. Pola 5 : Tanaman sengon dan tanaman perkebunan. 6. Pola 6 : Tanaman sengon dan tanaman buah-buahan. Ditinjau dari awal keberadaan pohon yang berada di hutan rakyat, sebagian besar merupakan hasil campur tangan penanaman manusia walaupun ada yang tumbuh alami pada beberapa lokasi. Proses pemanenan kayu umumnya berdasarkan daur butuh, yaitu menebang pohon pada saat petani memerlukan tambahan finansial, sehingga struktur tegakan yang terbentuk menjadi tidak seragam seperti hutan tidak seumur. Hal ini ditunjukkan dari beberapa penelitian, seperti Haeruman et al. (1990) di enam kabupaten di Jawa Barat; penelitian Hayono (1996) di Wonosobo dan penelitian Suryadi (2002) dalam Hardjanto (2003) di Leuwiliang Kabupaten Bogor. Kelestarian hutan rakyat dapat terwujud jika kondisi hutan rakyat membentuk struktur hutan normal dari distribusi kelas diameter seperti pada Gambar 1. Jumlah Pohon per ha < >20 Diameter Gambar 1 Distribusi pohon menurut kelas diameter di hutan rakyat Menurut Awang (2002), kelestarian hutan rakyat di suatu tempat sangat ditentukan oleh faktor-faktor: kebutuhan ekonomi masyarakatnya, kepatuhan terhadap hukum-hukum tradisional, sistem pengaturan dan pembagian manfaat antar warga masyarakat, dan pandangan-pandangan kebutuhan penyelamatan lingkungan (pelestarian air, pencegahan erosi, dan peningkatan pendapatan masyarakat). Jika unsur ekonomi terlalu menonjol di dalam kegiatan hutan rakyat, maka akan mengganggu lingkungan hidup. Jika hukum dan aturan adat/tradisi ditinggalkan maka sumberdaya hutannya akan rusak. Pembagian

35 17 manfaat yang tidak merata atas sumberdaya alam hutan akan menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. Bahaya utama dari kelestarian hutan rakyat adalah jika terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil-hasil hutan yang ada di dalam hutan rakyat (terutama kayunya) Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Menurut Awang et al. (2002), pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat sering dipandang banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak perlu. Pandangan seperti ini tercipta ketika orang berfikir bahwa hutan rakyat itu dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan milik negara dan swasta, maka luasan hutan rakyat tidak berarti. Kendati hutan rakyat tidak dalam skala ekonomi tetapi hutan rakyat dengan segala komoditasnya telah secara signifikan membantu kebutuhan pemiliknya, baik untuk tambahan pendapatan, bahan obat-obatan, sumber pangan, sumber pakan ternak, sebagai tabungan untuk pendidikan anak dan sumber bahan bangunan perumahan dan meubeler. Menurut Hardjanto et al. (1987), untuk tujuan pengelolaan maka terdapat beberapa unsur kesatuan pengelolaan yang harus terpenuhi untuk mencapai prinsip kelestarian hasil dan kelestarian usaha. Unsur-unsur yang dimaksud, yaitu: 1). Azas kekekalan suplai Menurut azas ini, luas yang ditebang sama dengan luas yang ditanam. Hal ini dapat diartikan persediaan kayu ada sepanjang waktu dengan jumlah yang dipanen sesuai dengan riap pohon bersangkutan. 2). Azas kekekalan pengusahaan Kekekalan pengusahaan dapat berupa cara menggunakan investasi seefisien mungkin agar didapat suatu keuntungan dengan masa pengambilan yang relatif singkat. Dalam pengusahaan kayu rakyat, faktor luasan (optimum) menjadi penting, oleh karena akan menjadi pembatas dalam perhitungan finansial. Disamping itu, perlu ditetapkan suatu jangka waktu tertentu antara penanaman dan penebangan, atau penanaman dan penanaman berikutnya atau dalam bidang kehutanan disebut daur.

36 18 3). Kesatuan organisasi pelaksanaan pekerjaan. Pembentukan organisasi terlebih dahulu harus melihat lingkup kegiatan yang ditangani, dan menentukan kemampuan petugas yang akan ditempatkan atau mengukur volume pekerjaan setiap bagian tugas yang harus dikerjakan oleh setiap anggota organisasi. Permasalahan yang timbul adalah jenis pekerjaan apa yang dapat memberikan ukuran yang jelas ke dalam luasan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Pekerjaan ini akan merupakan dasar bagi organisasi pelaksanaan pekerjaan. Pekerjaan tersebut berupa penyuluhan kepada petani yang mencakup seluruh kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat. 4). Kesatuan organisasi pengusahaan terkecil. Dalam ilmu manajemen dikenal adanya hukum jenjang pengawasan (span of control). Hukum ini mengatakan bahwa apabila seorang petugas atau organisasi dari tingkat organisasi bawahan mempunyai wewenang untuk mengadakan interprestasi tentang perintah yang diterima dari atasannya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, maka perbandingan antara yang mengawasi dan yang diawasi menurut pengalaman adalah 1: 4-6. Oleh karena tenaga penyuluh merupakan tenaga yang mempunyai wewenang mengadakan interpretasi, maka perbandingan antara pimpinan penyuluh dan penyuluh mengikuti aturan tersebut. Jika kemampuan seorang tenaga penyuluh adalah satu desa dalam melaksanakan penyuluhan, maka satu kesatuan organisasi pembinaan lebih kurang 4-6 desa. Rentang pengawasan adalah jumlah terbanyak bawahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan tertentu. Jumlah pejabat bawahan bagi seorang pejabat atasan dapat banyak apabila pekerjaan yang dilakukan oleh para pejabat bawahan itu termasuk pekerjaan yang tidak memerlukan waktu lama untuk penyelesaiannya. Sebaliknya apabila untuk tiaptiap pekerjaan yang harus dikerjakan oleh para pejabat bawahan itu selalu memakan waktu lama sehingga pejabat atasan harus selalu mengawasi atau membimbing beberapa kali maka sebaiknya jumlah yang dipimpin oleh pejabat atasan sebaiknya sedikit saja. Menurut Sutarto (1984) dari beberapa pendapat

37 19 tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rentangan kontrol adalah terbatas dimana jumlah angka pedomannya adalah : a. Untuk satuan utama jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar 3 sampai dengan 10 orang. b. Untuk satuan lanjutan jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar antara 10 sampai dengan 20 orang. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi jenjang pengawasan (span of control) adalah : 1). Kesamaan fungsi. 2). Kedekatan geografis. 3). Tingkat pengawasan langsung yang dibutuhkan. 4). Tingkat koordinasi pengawasan yang dibutuhkan. 5). Perencanaan yang dibutuhkan. 6). Bantuan organisasional yang tersedia bagi pengawas. Lastini (2005) melakukan pengelompokan hutan rakyat dengan berbagai peubah dimana menghasilkan peubah kepadatan penduduk dan jarak ke kota besar terdekat merupakan peubah dominan yang menghasilkan dugaan potensi hutan rakyat lebih baik dibanding dengan peubah lainnya. Awang (2006), mencoba pelakukan pendekatan kebutuhan terbentuknya unit manajemen hutan rakyat berdasarkan kebutuhan DAS terhadap keberadaan hutan, dimana hutan rakyat merupakan salah satu pendukung yang sangat berarti. Terdapat dua pemikiran pokok yang mendasari terbentuknya unit manajemen hutan rakyat (UMHR), yaitu : 1). Penguatan kelompok-kelompok pengelola hutan rakyat. 2). Penataan kawasan unit manajemen hutan rakyat. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah membuat Pedoman LEI sampai LEI mengenai Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Didalam pedoman tersebut telah disusun tipologi Unit Manajemen berdasarkan aspek ekologi, sosial, dan produksi. Unit manajemen yang terbentuk yaitu sekelompok masyarakat, dimana kelompok ini bisa berupa kumpulan rumah tangga petani yang masing-masing mandiri namun membangun kesepakatan khusus menyangkut aturan-aturan produksi bersama untuk menjamin

38 20 kelestarian pengelolaan hutan. Dari segi fisik satu unit manajemen adalah kumpulan lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), seperti hutan rakyat yang berada atau sebagian besarnya berada dalam satu hamparan yang relatif kompak. Di Desa Selapuro Wonogiri, unit manajemen berupa komunitas petani dalam satu dusun yang terdiri dari 682 keluarga dan luas hutan ha (terletak di lahan pekarangan ha, dan tegalan ha). Sedangkan di Desa Sumberejo Wonogiri unit manajemen terdiri dari 958 keluarga petani dengan luas hutan ha (terletak di lahan pekarangan ha, dan tegalan ha). Tabel 1 Beberapa contoh unit pengelolaan pada hutan rakyat Nama Unit Pengelolaan Luas/Jumlah orang Desa Sumberejo dan Desa Selopuro (Wonogiri) Koperasi Wana Manunggal Lestari (Gn. Kidul) Koperasi Hutan Jaya (Kab. Konawe Selatan Sulteng) GOPHR Wono Lestari Makmur (Kec. Weru-Jateng) 809,95 ha (2 desa : Desa Sumberejo 958 kk dan Desa Selopuro 682 kk) ha (3 desa : Kedungkeris, Dengok, Giri Sekar) 159 Ha (12 Desa) 1179 ha (4 desa : Ngrejo, Karangmojo, Jatingarang, dan Alasombo) Perkumpulan PHR Catur Giri Manunggal (Wonogiri) Sumber : Hinrichs et al ,24 ha (4 desa : Tirtosuworo, Guwotirto, Sejati, dan Grikikis) Sedangkan Forest Stewardship Council (FSC) menciptakan istilah Hutanhutan yang dikelola dengan Intensitas Rendah dan Berskala Kecil (Small and Low Intensity Managed Forest SLIMF). Hutan-hutan berukuran kecil (hutan tanaman dan non hutan tanaman) ditetapkan sebagai area yang luasnya kurang dari 1000 ha (dengan kemungkinan pengurangan hutan dari ukuran rata-rata nasional). Pada hutan-hutan yang dikelola dengan intensitas rendah, nilai tebangan harus dibawah 20% dari nilai rata-rata kenaikan tambahan (riap) tahunan dari seluruh produksi unit pengelolaan di kawasan hutan tersebut. Total tebangan setahun dari kawasan hutan tadi tidak lebih dari 5000 m 3. Pengelompokan

39 21 sertifikasi dimungkinkan menurut kebijakan SLIMF, sepanjang seluruh anggota kelompok merupakan Hutan Kecil atau Hutan-Hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah. Berdasarkan data tahun 2008 telah ada 6 (lima) unit manajemen hutan rakyat yang telah diberikan sertifikasi dari beberapa lembaga sertifikasi seperti : Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) dan SmartWood yang berpedoman pada skema FSC (Tabel 1). Luasan setiap unit pengelolaan beragam antara 159 ha sampai yang paling luas berkisar 2434 ha, dengan kesatuannya berdasarkan kumpulan kelompok petani dan koperasi Pengelolaan Hutan Pengertian Hutan dan Pengelolaannya Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan The Dictionary of Forestry (Helms, 1998) menyatakan hutan adalah suatu karakteristik ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih rapat, biasanya terdiri dari keragaman tegakan seperti komposisi jenis, struktur, dan kelas umur yang membentuk suatu persekutuan, dimana umumnya mengandung padang rumput, sungai dengan ikannya dan satwa liar. Hutan mencakup juga pengelompokan khusus seperti hutan industri (industrial forest), hutan milik bukan industri (nonindustrial private forest), hutan tanaman (plantations), hutan publik (public forest), dan hutan kota (urban forest). Society of American Foresters (1958) dalam Davis (1966), mendefinisikan pengelolaan hutan sebagai penerapan metode bisnis dan prinsip teknik kehutanan untuk kegiatan kepemilikan hutan. Seni, keahlian, dan pengetahuan kehutanan merupakan seperangkat nilai keberhasilan hanya jika digabungkan dan diterapkan dalam kegiatan bisnis kehutanan yang berhasil. Menurut Osmaston (1967), pengelolaan (management) secara umum adalah tindakan atau tanggungjawab jelas meliputi organisasi dan pengaturan semua kegiatan yang diperlukan untuk memenuhi tujuan dari pemilik atau kepemilikan. Sedangkan khusus untuk

40 22 pengelolaan hutan memiliki keistimewaan tersendiri, dimana terdapat lima keistimewaan pengelolaan hutan, yaitu : (1) Faktor waktu Pertumbuhan pohon sampai mencapai ukuran yang dapat dimanfaatkan umumnya lambat, sehingga muncul resiko perubahan permintaan pasar dan pengembalian modal yang lama. (2) Identitas produk dan pabrik Di dalam suatu pohon memiliki dua identitas yaitu sebagai produk dan pabrik penghasil produk itu sendiri, sehingga memanen hasil berarti juga menghilangkan pabrik. (3) Manfaat majemuk (multiple use) Terdapat manfaat tangible dan intangible dari hutan. Sulit menentukan prioritas yang akan diambil dari semua manfaat yang ada, dan seringkali memanfaatkan satu menghilangkan manfaat yang lain. (4) Luas, topografi, dan assesibilitas lahan. Lahan hutan umumnya terpencil, sulit dicapai, tidak subur, dan sulit dibajak, dan berada di tempat jauh seperti di pegunungan. (5) Faktor teknis Dasar dari pengelolaan hutan serupa dengan pertanian yang bergantung kepada lahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman terutama pohon harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut sangat kompleks yang meliputi tidak saja botani, fisiologi dan ekologi tanaman, tetapi juga geologi, pedologi, dan klimatologi. Sejalan dengan waktu, kriteria pengelolaan hutan tersebut diatas mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Pada saat sekarang pengelolaan hutan meliputi penggunaan hutan untuk kepentingan pemilik dan masyarat. Pengelolaan hutan saat ini berusaha mengejar ketertinggalan perhatiannya terhadap kepentingan masyarakat. Pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan produksi kayu, keanekaragaman hayati, atau tujuan lainnya, keputusan didasari oleh pengetahuan dan nilai kepentingan manusia (Davis et al. 2001). Pengelolaan sumberdaya hutan menurut Buongiorno dan Gilles (2003) adalah seni dan ilmu membuat keputusan dengan perhatian terhadap organisasi,

41 23 fungsi, dan konservasi hutan serta hubungan sumberdaya tersebut. Hutan dapat dikelola untuk menghasilkan kayu, air, kehidupan liar, rekreasi, atau kombinasinya. Beberapa karakteristik utama yang dipegang dalam pengelolaan hutan menurut Suhendang et al. (2005) yaitu : 1. Berdasarkan pendekatan ekosistem dengan jasa lingkungan sebagai bentuk manfaat yang mutlak harus dihasilkan. 2. Bersifat multifungsi, sehingga perlu dilakukan pendekatan optimasi fungsi-fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial dari ekosistem hutan. 3. Untuk produksi kayu, maka hasil akan melekat pada pohon pembentuk tegakan yang sekaligus sebagai pabrik dalam proses produksi tersebut. 4. Dimensi waktu pengelolaan yang tidak terhingga (infinite). Dalam pengelolaan hutan dipegang prinsip kelestarian (berkelanjutan). 5. Tingkat intensitas pengelolaannya lebih mengandalkan alam dan tidak seintensif pengelolaan perkebunan Sejarah Pengelolaan Hutan Perhatian terhadap pengelolaan hutan menurut Meyer et al. (1961) dimulai dengan adanya kegiatan silvikultur pada kekaisaran Cina sekitar 1122 sebelum Masehi. Kegiatannya meliputi penjarangan tegakan, pemindahan pohon yang tidak diinginkan, pemangkasan, pembersihan, dan perlindungan. Komisi hutan dari pemerintah saat itu mengatur penebangan pohon, menghukum tindakan pencurian kayu, dan hanya mengizinkan penggunaan kayu untuk tujuan yang pasti. Kegiatan praktek kehutanan di Cina ini tidak berlanjut kemungkinan akibat perang dan periode kehancuran (chaos). Organisasi pengelolaan hutan lebih terlambat berkembang dibanding dengan metode silvikultur sederhana. Di Eropa kelestarian hasil mulai berkembang antara abad tiga belas sampai enam belas. Hal yang menarik yaitu pengelolaan hutan di Jerman muncul karena kekhawatiran kekurangan kayu akibat overcutting, pembersihan lahan, dan pengembalaan. Sejarah mengenai pengelolaan hutan yang tertulis secara formal adalah Ordonansi Melum

42 24 (Ordonance de Melum) di Perancis tahun 1376 dan Akta Hutan (Forest Act) tahun 1482, serta tahun 1543 di Inggris (Osmaston 1967). Menurut Davis et al. (2001) berdasarkan perkembangan sejarah terdapat empat tahapan pendapat utama mengenai kelestarian hutan, yaitu: 1. Kelestarian Hasil dari Kayu Komersil (Sustained Yield of Commercial Timber). Pengelolaan hutan tradisional lebih menekankan untuk produksi kayu. Kehutanan di Eropa pada tahun 1800-an, khususnya Jerman, menekankan aliran produksi kayu yang seimbang dalam suatu organisasi hutan. 2. Kelestarian Hasil untuk Multifungsi (Multiple Use-Sustained Yield) Setelah perang dunia ke-2, ekonomi masyarakat di Amerika Serikat mengalami peningkatan. Banyak penduduk yang melakukan rekreasi ke luar rumah terutama di lahan publik. Kemudian secara formal dibuat perundangundangan pada tahun 1960 mengenai The Multiple Use-Sustained Yield Act. Peraturan ini mengatur pengeluaran hutan selain kayu dan air dalam pengelolaan hutan nasional meliputi pemancingan, kehidupan liar, penyedia makanan ternak, dan rekreasi alam. 3. Fungsi alami dari ekosistem hutan (Naturally Functioning Forest Ecosystem). Hubungan manusia dengan alam saling mendukung. Pada tahun 1980 sampai awal 1990, negara melihat terdapat tekanan dan persaingan kuat untuk penggunaan hutan dan hasilnya. Secara bersamaan terjadi perkembangan dalam ilmu ekologi yang mendukung perlunya penyelamatan ekosistem alami dan kandungan genetik sebelum hilang secara permanen. Pertumbuhan politik lingkungan dengan tiba-tiba membawa perubahan politik baru. 4. Kelestarian Kemanusiaan Ekosistem Hutan (Sustainable Human- Forest Ecosystem). Masalah hukum dan lingkungan ditekankan pada tahun 1980-an sampai an, timbul istilah yang disebut Sustainable Human- Forest Ecosystem atau disebut juga kelestarian hutan dan pengelolaan ekosistem. Banyak ide mengenai kelestarian alami ekosistem hutan. Masalah besarnya adalah peningkatan populasi manusia dan kehidupan di dekat hutan yang akan mengubah hubungan dengan hutan.

43 Konsep dan Kriteria Pengelolaan Hutan Davis et al. (2001) menyatakan bahwa kelestarian hutan adalah pengakuan secara luas hubungan susunan antara ekologi, ekonomi, dan sosial. Kelestarian ini berarti mempertemukan kepentingan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi berikutnya. Pespektif dalam pengelolaan hutan dipandang dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial adalah sebagai berikut : a. Prinsip Kehutanan Ekologi Prinsip ini menganalisa sumberdaya hutan dari keanekaragaman hayati dan produktifitas ekologi. Ekologi hutan dibedakan oleh penekanan pola alami dan prosesnya. Pola gangguan alami dan prosesnya, sistem seleksi silvikultur, penyeleksian umur dan sebarannya, serta habitat dari suatu jenis digunakan sebagai arahan pengelolaan. b. Prinsip Kehutanan Ekonomi Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari keuntungan bersih maksimal terhadap manusia. Keuntungan dapat dipandang mikro (perusahaan) dan makro (wilayah dan nasional). Ekonomi mikro menganalisis keuntungan pada suatu perusahaan dan ditekankan pada akumulasi kekayaan. Sedangkan makro ekonomi menganalisa keuntungan dari ekonomi dan ditekankan pada kumpulan pengukuran kesejahteraan setiap pekerja, pendapatan, dan Gross National Product (GNP). Selain itu, untuk kehutanan pengukuran yang sering digunakan adalah nilai kiwari bersih (Net Present Value/NPV), dan pendugaan biaya alternatif untuk suatu pengukuran keanekaragaman hayati. Menurut Buongiorno dan Gilles (2003), penilaian ekonomi di lahan hutan lebih tepat jika menggunakan Nilai Harapan Lahan (Land Expectation Value/LEV) yang dikemukakan oleh Martin Faustmann pada tahun 1849.

44 26 V R 0 R 2R 3R Tahun Gambar 2 Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann Pada Gambar 2 terlihat bahwa ketika suatu tegakan mencapai waktu rotasi (R) maka dilakukan penebangan. Kemudian lahan segera menjadi hutan kembali setelah pemanenan tersebut. Formula Faustmann menunjukkan nilai lahan adalah nilai yang dihitung pada saat sekarang dari panen yang akan datang dengan waktu yang tak terhingga. Fungsi lahan tidak mengalami perubahan, yaitu tetap menjadi fungsi hutan terus menerus, ini terlihat dari rumusnya dimana terjadi ulangan tak terhingga, yaitu : LEV atau - c LEV wv (1 R - c R r) - c wv (1 - c 2R r) R wv R - c R (1 r) Dimana : c = biaya pemanenan R = rotasi r = suku bunga W = harga kayu V = volume kayu per ha 1 wv (1 - c 3R r) Terjadi ulangan tak berhingga ini merupakan ciri dan prinsip pengelolaan hutan dibanding pengelolaan lainnya. c. Prinsip Kehutanan Sosial Prinsip ini dinamakan dengan social forestry yang menganalisis melalui keberlanjutan kesejahteraan manusia, komunitas, dan masyarakat. Elemen kunci keuntungan hutan menggunakan prinsip ini meliputi distribusi keuntungan hutan, kapasitas kelompok untuk menerima perubahan, R...

45 27 penerimaan sosial dari keputusan, dan proses pembuatan keputusan berdasarkan demokrasi. Deklarasi Rio yang dikeluarkan pada Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) yang diselenggarakan di Brazil Tahun 1992 mengamanatkan perlunya pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh (holistic), terpadu (integrated) dan berkelanjutan (sustainable). Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam konferensi ini adalah Prinsip-prinsip Kehutanan ( Principle on Forest). Prinsip tersebut melandasi Pengelolaan Hutan Lestari atau PHL (Sustained Forest Management/SFM) yang disepakati secara internasional. Prinsip utama dalam PHL adalah dicapainya manfaat hutan yang bersifat optimal dari fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial budaya hutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Suhendang 2004). Dalam pengelolaan hutan berlandaskan ekosistem, kelestarian (keberlanjutan) hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktifitas (daya dukung) hutan, dan funsi-fungsi ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya. Dari ketiga dimensi kelestarian hutan tersebut, kelestarian wujud biofisik merupakan prasyarat untuk diperoleh kelestarian produktivitas dan fungsi ekosistem hutan. Namun demikian, mempertahankan kelestarian wujud biofisik bukan berarti bahwa seluruh hutan harus dibiarkan utuh alami, tidak boleh disentuh atau dimanfaatkan sama sekali; melainkan kita manfaatkan sumberdaya hutan secara optimal dengan mempertahankan kelestarian daya dukungnya yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan (Suhendang 2004). Lembaga Ekolabel Indonesia (2006) menyatakan ukuran kelestarian untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: status penguasaan lahan, status tataguna lahan di dalam tataruang, komoditas yang diusahakannya, dan orientasi pengusahaan produk-produk tesebut. Berdasarkan persilangan keempat faktor tersebut dikenali 48 tipe PHBM. Secara sederhana dapat digolong-golongkan lebih lanjut ke dalam 6 (enam) kategori berikut berdasarkan derajat sensitivitas kelestariannya, yaitu :

46 28 a) Kategori Pertama adalah PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan dilindungi, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial; b) Kategori Kedua adalah PHBM pada tanah negara yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial; c) Kategori ketiga adalah PHBM yang berada pada tanah adat dan hak milik yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial. Kategori ini dapat berarti PHBM pada tanah-tanah yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa hasil hutan non kayu dan orientasi usahanya komersial; d) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, jenis hasil hutan yang diproduksinya berupa kayu atau non kayu, namun dengan orientasi subsisten. e) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, dan orientasi usahanya komersial. f) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, namun orientasi usahanya subsisten Organisasi Hutan dan Unit Pengelolaan Hutan Menurut Davis (1966), penerapan pengelolaan hutan memerlukan terbentuknya organisasi administrasi dan bagian hutan (subdivision) pada unit kerjanya. Kehidupan, transportasi, dan fasilitas lainnya harus dilengkapi. Tanggungjawab untuk mencapai tujuan dan kebijakan pengelolaan hutan harus disusun dan dilaksanakan berdasarkan pada organisasi administratif. Penerapan sistem peraturan menuju efektifitas jadwal penebangan dan kerja pengelolaan hutan lainnya, identifikasi tegakan dan wilayah penebangan atau perlakuan lainnya diperlukan dalam pengelolaan hutan. Rekaman perlu disimpan yang

47 29 berhubungan dengan unit lahan untuk gambaran pengukuran dan petunjuk kegiatan ke depan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dibagi atas beberapa tingkat, yaitu propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Pembentukan unit pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi luasnya suatu organisasi unit pengelolaan hutan adalah (Davis dan Mason, 1966): 1). Pendirian dan pemeliharaan dari pemilikan lahan Bagaimana lahan diperoleh dan didistribusikan dalam hubungan dengan kepemilikan lainnya dan penggunaan lahan, memerlukan pendirian dan pemeliharaan pada batas luar, trespass, dan klaim tanah yang merugikan, masalah akses dan prilaku masyarakat serta politiknya. 2). Tambahan rencana hasil ke depan Jika penambahan lahan diperoleh, kapan, dimana, dan berapa banyak? Jawabannya mempengaruhi atministrasi dan subdivisi hutan. 3). Lawas (Scope) dan karakter pekerjaan yang dilakukan Apakah dominan untuk produksi kayu atau untuk penggunaan lainnya dan bagaimana kepentingannya? Pertanyaan ini sangat penting di masyarakat dan berhubungan dengan kepentingan kepemilikan pribadi. Peningkatan produksi kayu mungkin perlu dihubungkan dan diseimbangkan dengan penggunaan lainnya. 4). Beban pekerjaan dan pengawasan Berapa besar beban pekerjaan dan unit personil profesional yang langsung berhubungan dengan lahan? Ukuran dan struktur unit administrasi yang efisien mengutamakan fungsi dari volume dan kompleksitas dari pekerjaan yang dilakukan dibanding berdasarkan luas tanah.

48 30 5). Area pemasaran Bagian hutan sebagai penyedia kayu terutama untuk pabrik, kota, atau masyarakat akan mempengaruhi organisasi dan bagian hutan itu sendiri. 6). Topografi Banyak bagian hutan ditentukan oleh karakteristik wilayahnya, seperti wilayah pegunungan untuk pengaturan kegiatan penebangan ditetapkan berdasarkan aliran air dan bentuk topografi. 7). Fasilitas transportasi Tersedianya fasilitas transportasi akan sangat mempengaruhi organisasi hutan. Transportasi menjadi batasan untuk pemasaran kayu di banyak wilayah hutan. Terbukanya wilayah hutan oleh jalan darat maupun air akan mengubah kondisi administratif. Pada beberapa kondisi, besarnya wilayah di suatu bagian hutan dipengaruhi oleh transportasi. Keberadaan transportasi seperti jalan dan rel secara alami berhubungan dengan topografi. 8). Karakteristik hutan Hutan didominasi oleh tegakan tua atau siap tebang. Sebagian merupakan persediaan, dan diperlukan regenerasi buatan dan lainnya yang penting hubungannya dengan administrasi hutan. Selain itu, perbedaan jumlah dan karakter serta tipe hutan seperti hardwood, konifer, atau gambut membedakan perlakuan dalam kegiatan di hutan. 9). Inventarisasi dan keperluan penyimpanan rekaman Beberapa macam pengawasan inventarisasi dan kegiatan rekaman harus disimpan sesuai dan berarti dalam bagian hutan. Dalam suatu organisasi di masyarakat terdapat dua bentuk organisasi yaitu, organisasi formal dan informal. Kedua bentuk organisasi tersebut memiliki perbedaan penting. Menurut Buchanan dan Huczynski dalam Gane (2007), organisasi formal mengacu pada pekerjaan kelompok yang didesain dengan pengelolaan profesional untuk mencapai efisiensi dan pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan organisasi non formal mengacu pada jaringan hubungan yang spontan diantara anggotanya yang berlandaskan ketertarikan dan pertemanan. Komponen informal dapat mempengaruhi pekerjaan dan efisiensi dari organisasi, seperti moral, motivasi, kepuasan pekerjaan dan penampilan. Hal

49 31 tersebut dapat mendorong terjadinya inisiatif dan kreatifitas untuk keuntungan organisasi atau dapat menghalangi aktifitas. Pada semua organisasi terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap bentuk perilaku organisasi dan efektifitasnya, yaitu : a. Manusia yang saling berinteraksi b. Struktur, merupakan penyaluran dan pengaturan interaksi dan usaha c. Tujuan, keinginan organisasi untuk berhasil. d. Pengelolaan (management), menentukan dan mengawas aktifitas organisasi dalam mencapai tujuan. Sumberdaya baik alam, manusia, maupun kapital yang terdapat pada organisasi membutuhkan kombinasi dan penggunaan efektif untuk menghasilkan kemungkinan hasil yang terbaik. Dilakukan proses penggabungan pengelolaan manusia, struktur dan tujuan, serta pengawasan terhadap sumberdaya. Hasil dari proses pengelolaan menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi. Di negara Eropa hutan milik lebih bersifat ekstensif dan berfragmentasi dibanding di tempat lain. Sebagai contoh, 77% wilayah hutan produksi di Norwegia merupakan milik individu, bermacam tipe dari hutan milik umum (private common ) sekitar 10%, dan milik publik sekitar 13%. Dimana hutan invidu terdiri dari 118 perusahaan. Hutan di Swedia 50% merupakan hutan pribadi dan 24% milik dari perusahaan. Di Perancis lebih dari tigaperempat dan di Spanyol duapertiga wilayah hutannya merupakan hutan milik. Fungsi pemerintah dan departemen adalah mengawasi aktivitas hutan milik, dengan aturan dan tugas yang berbeda dengan hutan negara Pengelolaan Hutan Untuk Menjamin Kelestarian Suhendang (2004) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan membutuhkan sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial. Kelestarian merupakan proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu dalam menghasilkan barang dan jasa hutan, yang diperlukan secara berkelanjutan tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang, dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial.

50 32 Tabel 2. Standar kriteria aspek ekonomi, sosial, dan ekologi Aspek LEI ITTO FSC SLIM Ekonomi (Produksi) Kelestarian Sumberdaya Kelestarian Hasil Kelestarian Usaha Ketersediaan Produksi Hutan Ukuran unit pengelolaan Keuntungan dari hutan yang nyata. Banyaknya dan frekuensi pemanenan. Sosial Ekologi Kejelasan sistem tenurial dan hutan komunitas Terjaminnya pengembangan & ketahanan ekonomi komunitas Terbangunnya hubungan sosial yang setara dalam proses produksi Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas Stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara & ganggungan dapat diminimalisir dan dikelola Ekosistem langka dapat dipertahankan dan ganggungan terhadapnya dapat diminimalisir Aspek ekonomi, sosial dan kultural. Keamanan Sumberdaya hutan Kesehatan dan kondisi ekosistem hutan Keanekaragaman Biologi Tanah dan Air Jumlah tenaga kerja Tipe kepemilikan dan tenurial lahan. Kegiatan sosial yang nyata. Proporsi lahan untuk perlindungan Sumber : Lei, FSC, Kelestarian hutan dapat dicapai dengan menetapkan kriteria dan indikator yang dapat diterapkan dalam sebuah unit pengelolaan (management unit) dan perencanaan tingkat tinggi seperti di regional maupun nasional. Kriteria kelestarian untuk tingkat kesatuan pengelolaan hutan dan contoh indikatornya diterangkan di ITTO (1992) dalam Kuncahyo (2006) : a) Kriteria keamanan sumber, contoh indikator yaitu ketetapan kawasan hutan tetap, rencana pengelolaan, kejelasan tata batas, tingkat penebnaagan, serta perjanjian masa konsensi hutan. b) Kriteria keberlanjutan hasil kayu, contoh indikatornya yaitu aturan yang jelas dan resmi tentang pemanenan, produktivitas tanah jangka panjang, inventarisasi tegakan sebelum penebangan, jumlah pohon atau volume pohon yang boleh ditebang per hektar, monitoring tegakan sisa tebangan, pencatatan

51 33 hasil hutan tahunan, areal produksi yang bersih, dan pencatatan areal tebangan hutan. c) Kriteria konservasi flora dan fauna, contoh indikatornya yaitu perlindungan ekosistem dalam areal konsensi hutan dan unit pengelolaan, serta tingkat gangguan vegetasi setelah penebangan. d) Kriteria manfaat sosial ekonomi, contoh indikatornya yaitu jumlah tenaga kerja yang diserap, macam pekerjaan, dan jumlah volume pekerjaan yang dapat dikaitkan dengan pengelolaan hutan. e) Kriteria pengamanan dalam perencanaan dan pengaturan, contoh indikatornya yaitu konsultasi kemasyarakatan dan rencana pengelolaan hutan dengan memasukkan pemanfaatan hutan secara tradisional. Kriteria kelestarian untuk tingkat pengelolaan yang umum digunakan di Indonesia meliputi aspek ekonomi, sosial, dan ekologi disajikan pada Tabel 2. Varma et al (2000), melakukan pengukuran kelestarian hutan dengan menggunakan seleksi lewat kriteria dan indikator. Kriteria dan Indikator yang telah dibangun dan diteliti sebelumnya (ITTO 1992, Helsinki Process 1995, Montreal Process 1995) sebagai berikut : a. Keadaan dari sumberdaya hutan b. Konservasi terhadap keanekaragaman biologi. c. Kesehatan hutan, vitalitas, dan integritas. d. Fungsi Produksi kayu dan produk lainnya e. Perlindungan tanah dan air f. Fungsi sosial-ekonomi Karakteristik Masyarakat Desa Definisi desa menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P49/Menhut- II/2008 tentang hutan desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Popkin (1986), desa adalah lembaga kunci yang menyediakan jaminan keamanan kepada para petani dalam masyarakat prakapitalis. Desa adalah suatu

52 34 kolektifitas yang meratakan kesempatan-kesempatan hidup dan meminimalkan resiko-resiko hidup bagi warganya. Keadaan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan di Indonesia menarik untuk diteliti karena lebih dari 83% rumah tangga di Indonesia tinggal di pedesaan, dan kondisi desa memerlukan bantuan pemikiran untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Sayogyo 1981). Rendahnya pendapatan, sempitnya penguasaan lahan, rendahnya pendidikan, sulitnya mencari pekerjaan, dan lainlain merupakan masalah-masalah dalam kehidupan rumah tangga didesa. Kondisi penguasaan lahan yang sempit dan sifat menggantungkan diri pada sektor pertanian membuat petani sukar meningkatkan pendapatannya. Ciri-ciri rumah tangga masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut : a. Rumah tangga di desa mempunyai fungsi rangkap, yaitu sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial-ekonomi. b. Tujuan utama rumah tangga di pedesaan adalah untuk mencukupi kebutuhan para anggotanya. c. Implikasi penting bagi pola penggunaan waktu antara lain adalah rumah tangga petani miskin akan bekerja keras untuk mendapatkan tambahan produksi, meskipun kecil mereka sering menambah kegiatan bertani dengan pekerjaan lain walaupun hasilnya per jam kerja lebih rendah, rumah tangga petani miskin juga menunjukkan ciri-ciri self exploitation (White 1976 dalam Kartasubrata 1986). Masyarakat pedesaan pada dunia ketiga umumnya dan pedesaan khususnya, sangat erat dengan kemiskinan. Hal ini dikarenakan secara relatif sumberdaya manusia berkualitas sangat rendah, penguasaan aset (lahan) yang sempit serta sulitnya iklim demokrasi di segala bidang (Hardjanto, 2003). Petani pengelola hutan rakyat biasanyanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia. Golongan petani yang subsisten tersebut menurut Scott (1976) memiliki kebiasaan mendahulukan selamat, artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri yang disebut dengan etika subsisten. Petani subsisten umumnya memiliki penghasilan yang sangat rendah, lahan yang kecil, keluarga besar, hasil-hasil panen yang sangat variabel, dan sedikit kesempatan bekerja di luar. Pada tingkat ini, petani sulit

53 35 menghadapi keputusan yang mengandung resiko tinggi, seperti melakukan investasi besar dan perubahan inovasi yang drastis. Masyarakat desa memiliki pola hubungan yang secara struktur sangat tergantung kepada pemimpin. Masalah ini dapat dianggap sebagai kekuatan maupun kelemahan. Kelemahan pada masyarakat seperti ini adalah, jika pemimpin formal dan informal desa tidak memiliki sikap inisiatif akan mengakibatkan dinamika kehidupan masyarakatnya mengalami stagnasi. Namun, ketergantungan terhadap pemimpin dapat dianggap sebagai kekuatan, sebab tipe masyarakat seperti ini akan lebih mudah dimobilisasi, melalui tokoh-tokoh masyarakatnya (Haryanti et al 2003). Selain itu menurut Scott (1976), terdapat banyak jaringan dan lembaga di luar lingkungan keluarga yang seringkali berfungsi sebagai pelindung selama krisis ekonomi dalam kehidupan petani. Petani akan dibantu oleh sanak saudaranya, kawan-kawannya, aparat desanya, seorang pelindung yang berpengaruh, dan negara Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial merupakan karakter penting dalam ekologi komunitas. Hal ini yang biasanya pertama kali diamati dalam melihat beberapa komunitas dan salah satu sifat dasar dari kebanyakan kelompok organisme hidup. Dua populasi mungkin saja memiliki kepadatan yang sama, tetapi mempunyai perbedaaan yang nyata dalam pola sebaran spasialnya. Acak (random ) Mengelompok (clumped) Seragam (uniform) Gambar 3 Tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat Terdapat tiga pola dasar spasial yang telah diakui, yaitu : acak (random), mengelompok (clumped atau aggregated) dan seragam atau merata (uniform)

54 36 (Ludwig & Reynold 1986; Waite 2000). Hutchinson (1953) adalah ekologis yang pertama kali menaruh perhatian akan pentingnya pola-pola spasial dalam suatu komunitas dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang paling berperan pada pola-pola spasial suatu organisme. Beberapa faktor tersebut adalah: 1) Faktor vektorial yang timbul dari gaya eksternal lingkungan (seperti angin, pergerakan air dan intensitas cahaya). 2) Faktor reproduksi yang berkaitan dengan model reproduksi dari suatu organisme (seperti kloning dan regenerasi dari keturunan). 3) Faktor sosial karena tingkah laku penghuni (seperti tingkah laku teritorial). 4) Faktor koaktif yang dihasilkan dari interaksi intraspesifik (seperti kompetisi). 5) Faktor stokastik yang dihasilkan dari variasi yang acak pada beberapa faktor di atas. Proses-proses yang memberi kontribusi terhadap pola-pola spasial dapat berhubungan baik dengan faktor dari dalam atau instrinsik (seperti reproduksi, sosial dan koaktif) atau faktor luar (ekstrinsik/vektorial) Tipologi Definisi Tipologi Pengertian tipologi banyak digunakan dalam berbagai bidang ilmu, dan definisi dari berbagai sumber. Definisi-definisi tersebut dapat dirangkum dari beberapa kamus, yaitu : a) Menurut Oxford English Dictionary ( Soanes & Stevenson 2008): 1) classification according to general type especially in archaelogy, pscychology, or social science. 2) the study and interpretation of types and symbols, originally especially in the bible. b) Menurut Webster n New Word College Dictionary (Neufeldt & Guralnits 1986): 1) the study of types, symbols, or symbolism 2) Symbolic meaning or representation; symbolism

55 37 c) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa 2008) : Ilmu watak tentamg bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak masing-masing d) Menurut Macmillan Dictionary (Wilkinson 1959) : a system a arranging thins in groups, or the use of such a system e) Menurut The American Heritage Science (Pickett 2005): 1) The study or systematic classification of types that have characteristics or traits in common. 2) A theory or doctrine of types, as in scriptural studies. Penelitian ini menggunakan pengertian tipologi, yaitu suatu pengklasifikasian atau pengelompokan obyek berdasarkan kesamaan sifat-sifat dasar menjadi tipe-tipe tertentu. Pengertian ini dimodifikasi dari Oxford English Dictionary ( Soanes & Stevenson 2008) dan beberapa sumber kamus yang telah disampaikan Penelitian-Penelitian tentang Tipologi Rahmalia (2003) meneliti tentang tipologi pengembangan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung. Dalam penelitian ini dilakukan pengelompokan desa-desa berdasarkan empatpuluh tiga variabel penjelas. Data variabel diperoleh dari Potensi Desa (PODES) dan hasil survei lapangan. Seleksi variabel dilakukan melalui teknik analisis komponen utama. Metode pengelompokan menggunakan analis kelompok (cluster analysis) dan memilih faktor yang paling mencirikan tipologi wilayah menggunakan analisis fungsi diskriminan. Pada penelitian ini menghasilkan tiga tipologi, yaitu tipe I dengan merupakan desa-desa maju dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang sangat tinggi dan tingkat assesibilitas juga tinggi, tipe II mempunyai karakteristik tingkat kesejahteraan penduduk relatif rendah tetapi tingkat assesibitas cukup tinggi, dan tipe III merupakan desa-desa yang tingkat kesejahteraannya sedang dan asesibilitasnya relatif rendah. Aziza (2008), melakukan tipologi pengembangan wilayah kecamatan berdasarkan potensi pengembangan padi. Variabel-variabel ditentukan dengan pendekatan berbagai aspek yang terkait dengan sistem produksi padi, yaitu aspek yang berkaitan dengan input yang digunakan dan sarana/prasaranan penunjang.

56 38 Seleksi variabel dilakukan melalui teknik analisis komponen utama. Analisis cluster dilakukan berdasarkan komposit dari analisis komponen utama. Penelitian ini menghasilkan pengelompokan wilayah menjadi tiga tipe, yaitu tipe wilayah berkembang, tipe wilayah cukup berkembang dan tipe wilayah belum berkembang. Hasil SWOT diperoleh strategi kebijakan arahan pengembangan padi di Kabupaten Bone, yaitu memanfaatkan potensi wilayah yang sesuai, meningkatkan pola kemitraan dengan petani, membangun sarana dan prasarana, meningkatkan penerapan teknologi dan sistem informasi, dan mengolah beras menjadi produk pangan yang bernilai tinggi. Hazeu et al. (2010) membangun tipologi biofisik berdasarkan data mengenai kandungan karbon organik topsoil di wilayah Eropa. Dasar tipologi ini adalah stratifikasi lingkungan Eropa, yaitu pada karakteristik iklim dan ketinggian. Zona lingkungan kemudian dikombinasikan dengan karbon organik tanah lapisan atas data untuk menutupi berbagai lingkungan agribisnis keragaman Eropa. Pada penelitian ini dapat dibangun tiga zona dengan potensi pertanian yang berbeda, yaitu zona cocok untuk pertanian, zona tidak cocok untuk pertanian dan zona kurang cocok untuk pertanian. Juhadi (2010) mengkaji pola, struktur, dan dampak spasial pemanfaatan lahan pertanian di daerah perbukitan-pegunungan DAS Serang bagian hulu. Data dikumpulkan melalui pengamatan lapangan, wawancara, uji lapangan, analisis peta digital, serta citra SPOT dengan satuan analisis bentuk lahan dan rumahtangga petani. Hasil penelitian menunjukan enam pola pemanfaatan lahan untuk persawahan dan tiga tipologi kualitas pemanfaatan lahan. Tipologi yang dihasilkan adalah tipe kualitas pemanfaatan lahan pertanian rendah (23.81%), tipe pemanfaatan lahan pertanian sedang (57.14%), dan tipe kategori tinggi (19.05%).

57 III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Pada saat ini pengelolaan hutan rakyat masih dilakukan secara tradisional. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat merupakan salah satu tantangan terhadap pengelolaan hutan rakyat karena berkurangnya persediaan kayu di hutan alam dan tanaman. Tantangan yang lain adalah semakin mendesaknya kebutuhan atas lahan untuk kepentingan lain di luar kehutanan sehingga menyebabkan kerentanan perubahan fungsi hutan rakyat. Hutan rakyat secara ekonomis dianggap masih kalah bersaing dengan penggunaan lahan lain seperti pertanian, dan fungsi lainnya Namun, hutan rakyat dapat dijadikan alternatif pelengkap untuk menjaga kekurangan lahan bervegetasi demi kepentingan ekologis di suatu wilayah akibat kerusakan pada hutan negara. Oleh karena itu perlu dikaji suatu bentuk pengelolaan yang dapat menjamin kelestarian hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat memerlukan sistem pengelolaan yang dapat menjamin kelestarian hutan rakyat dalam menghadapi tantangan ke depan yang semakin berat. Hutan rakyat memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan pengelolaan hutan pada umumnya. Pengelolaan hutan pada umumnya memiliki berbagai karakteristik seperti, pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem, bersifat multifungsi (ekologi, ekonomi, dan sosial), diutamakan hasil kayunya untuk hutan produksi, masa pengelolaan yang tidak terhingga (infinite), dan intensitas pengelolaannya lebih mengandalkan alam. Karakteristik demikian memerlukan syarat-syarat yang harus terpenuhi oleh suatu wilayah yang dikelola sebagai hutan. Hutan rakyat secara spasial memiliki karakteristik yang umumnya tersebar tidak dalam suatu hamparan yang kompak. Luas kepemilikan relatif kecil sehingga untuk mencapai luasan yang besar maka perlu penggabungan beberapa kepemilikan lahan. Pengelolaan hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh masyarakat secara individual (pada tingkat keluarga) pada lahan miliknya. Hal tersebut menyebabkan hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman pola usaha tani yang akan berpengaruh terhadap jumlah pohon pada setiap kepemilikan.

58 40 Segala keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat (penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masingmasing keluarga. Keberadaan hutan rakyat sangat bergantung kepada keinginan pemilik untuk mempertahankannya. Keinginan pemilik lahan untuk mempertahankan hutan rakyat disebabkan beberapa alasan, yaitu alasan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Karakteristik hutan rakyat perlu dikaji untuk menentukan sistem pengelolaan yang tepat. Salah satu karakteristik yang dikaji adalah keberadaan faktor-faktor tertentu yang menyebabkan timbulnya minat masyarakat untuk melaksanakan pengelolaan hutan rakyat di suatu tempat. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari adaptasi terhadap lingkungan secara biofisik dan sosial ekonomi. Dengan mengetahui faktor yang berpengaruh dominan terhadap perkembangan hutan rakyat, maka dapat diketahui wilayah mana yang pengelolaannya dapat diarahkan lebih profesional. Selain itu perlu dipelajari pola sebaran spasial, karakteristik komposisi tegakan, dan pengelolaanya. Karakteristik yang dimiliki hutan rakyat tersebut dibandingkan dengan syarat pengelolaa hutan yang ideal. Syarat mutlak pengelolaan hutan adalah tercapainya pengelolaan yang lestari, baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial. Hamparan lahan yang yang mantap adalah awal dari syarat pencapaian kelestarian pengelolaan hutan. Di hutan rakyat, kemantapan kawasan belum bisa dipastikan. Wilayah hutan rakyat adalah milik pribadi. Sampai saat ini belum ada jaminan mengenai kemantapan tersebut dari segi peraturan. Namun, karakteristik biofisik diharapkan dapat mendukung jaminan kemantapan wilayah dari hutan rakyat. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam bagan alir penelitian pada Gambar 4. Pengelolaan hutan rakyat diidentifikasi karakteristik fakta di lapangan dan tantangannya saat ini. Kondisi tersebut dibandingkan dengan syarat pengelolaan hutan pada umumnya, sehingga diharapkan ditemukan faktor-faktor pendukung ke arah pengelolaan hutan rakyat yang lebih profesional. Salah satu langkah awalnya adalah dengan tipologi hutan rakyat.

59 41 PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Karakteristik Fakta di Lapangan : Aspek Biofisik : - Di tanah milik dan tidak luas - Umum berada di lahan kurang subur, topografi sulit, dan assesibilitas rendah. - Tidak mengelompok dan tersebar Aspek Sosek : - Organisasi belum profesional - Keputusan pengelolaan berada di tingkat keluarga. Belum ada institusi (aturan) yang menyeluruh. - Pemanenan menggunakan daur butuh - Pemasaran hasil belum jelas dan di luar kendali petani Tantangan luar : - Makin mudahnya konversi lahan - Permintaan tinggi terhadap kayu rakyat Karakteristik Pengelolaan Hutan Umum: - Berdasarkan pendekatan ekosistem - Bersifat multifungsi - Untuk produksi kayu - Dimensi waktu pengelolaan yang tidak terhingga (infinite). - Tingkat intensitas pengelolaannya lebih mengandalkan alam. Kondisi ini rawan terhadap kelestarian hutan rakyat Syarat-syarat : - Kemantapan Kawasan - Wilayah yang relatif luas - Analisis bersifat holistik. - Batas yang jelas. - Unit pengelolaan hutan Perlu perbaikan pengelolaan ke arah profesional Faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi yang mendukung ke arah perkembangan pengelolaan hutan rakyat Terbentuk tipe wilayah-wilayah yang berpotensi berkembang hutan rakyat Gambar 4 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian

60 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat yang secara geografis terletak diantara 108 o 20 BT dan 108 o 40 BT, dan antara 7 o 40 LS dan 7 o 41 LS. Pada aspek potensi hutan rakyat di desa, pola sebaran spasial, dan pengaturan hasil, penelitian juga dilakukan di Kabupaten Gunungkidul untuk membandingkan pada wilayah yang memiliki karakteristik pengelolaan yang berbeda. Di Kabupaten Gunungkidul sudah terbentuk unit pengelolaan atas dorongan sertifikasi sedangkan di Kabupaten Ciamis belum terbentuk unit pengelolaan. Gambar 5 Lokasi penelitian Kabupaten Ciamis 3.3. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data spasial dan data non spasial. Data spasial terdiri atas peta rupa bumi; peta administrasi wilayah kabupaten, kecamatan, dan desa di Kabupaten Ciamis; peta jenis tanah; peta jaringan jalan; dan peta penutupan lahan. Data non spasial terdiri atas data potensi desa Kabupaten Ciamis tahun 2008 yang mencakup data jumlah penduduk, jumlah tempat tinggal menurut jenis bangunan, dan luas lahan menurut

61 43 penggunaan; dan data potensi hutan rakyat setiap desa dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Ciamis, Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas alat Global Position System (GPS), alat ukur dimensi tegakan (pita ukur, roll meter, haga hypsometer, dan tally sheet), kamera digital untuk pengambilan foto di lapangan, seperangkat komputer dengan program aplikasi berbasis window, dan perangkat lunak (software), yaitu: Arc-View 3.2, SPSS 17, dan minitab Metode Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan ilmiah dengan data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar Metode Pengumpulan Data a. Data sekunder diperoleh dari publikasi lembaga pemerintahan seperti Dinas Kehutanan dan Departemen Kehutanan, BPS, BP4K, lembaga penelitian, perguruan tinggi, serta publikasi ilmiah lainnya. b. Data dan informasi berdasarkan hasil analisis peta digital lokasi penelitian dibantu dengan beberapa layer, yaitu: batas administrasi, kontur, jaringan jalan, jenis tanah, penggunaan lahan, dan kawasan hutan negara. c. Data lapangan, meliputi pengumpulan data sosek dan biofisik. Data sosek menggali data mengenai institusi dan aturan lokal yang terdapat di wilayah penelitian. Sedangkan data biofisik ditekankan kepada data tegakan hutan rakyat, dan data dari petani/penggarap hutan rakyat. Data tegakan hutan rakyat dilakukan pengukuran dan perhitungan terhadap objek pohon di areal hutan rakyat dengan luas plot 0,05 ha dengan bentuk persegi (20x25 m). Luas plot tersebut digunakan dengan mempertimbangkan luas per kepemilikan yang relatif kecil dan bentuk lahan dalam satu hamparan. Sedangkan data petani berupa data dan informasi sosial dan ekonomi diperoleh dari kuisioner dan wawancara.

62 44 Mulai Identifikasi Wilayah Hutan Rakyat (HR) Analisis Karakteristik Biofisik Analisis Karakteristik Sosial dan Ekonomi Analisis spasial: faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perubahan HR Kajian data tabular dan kelembagan: Penggalian institusi lokal yang ada. Penelusuran data-data sekunder ke instansi terkait : BPS, Dishut, dll. Analisis pola sebaran spasial Analisis Faktor Dominan : Analisis Korelasi Analisis Komponen Utama (AKU/PCA) Pengecekan Lapangan Analisis Tipologi Desa Analisis Gerombol (Clustering Analysis) Identifikasi karakteristik desa hutan Sebaran spasial Struktur tegakan Sistem pengelolaan Pengujian Tipologi : Uji keragaman Evaluasi akurasi Terbentuk Tipe Desa Hutan Rakyat Implikasi terhadap pengelolaan hutan rakyat Selesai Gambar 6 Diagram alir tahapan penelitian

63 Analisis Pola Sebaran Spasial Pengamatan pola spasial dilakukan di atas peta digital dengan bantuan data atribut luas hutan rakyat di setiap desa. Pengamatan pengelompokan dilakukan dengan dua cara, yaitu pengamatan nilai atributnya berupa luas hutan rakyat, yang dianalisis dengan rasio keragaman. Cara kedua adalah mengamati pola sebaran menggunakan sistem pendukung Kappa&Dendrogram (Jaya s)v1.6) yang dijalankan pada perangkat lunak Arc View. Analisis data pola sebaran spasial menggunakan rasio antara keragaman pengamatan dan nilai rata-rata pengamatan (Ludwig & Reynold 1986, Waite 2000), disebut indeks dispersi (ID) yang dapat dihitung dengan rumus : Dimana : ID = Indeks dispersi S 2 = keragaman pengamatan (ha) 2 = rata-rata pengamatan (ha) Apabila contoh mengikuti sebaran Poisson, maka keragaman contoh akan sebanding dengan nilai rata-rata contoh dan selanjutnya nilai ID yang diharapkan selalu 1, yang menunjukkan bahwa populasi mengikuti sebaran acak (random); jika rasio <1 (mendekati 0) menunjukkan distribusi seragam (uniform), dan jika >1 menunjukkan distribusi mengelompok (clumped). Selanjutnya dilakukan uji statistik dengan uji chi-square : (a) Jika n< 30 maka: χ 2 = ID (n-1) Dimana : χ 2 = nilai chi-square ID = Indeks dispersi n = jumlah pengamatan Keputusannya : 1) Jika Chi-sq < chi-table (0,025, n-1), maka pola sebarannya uniform 2) Jika Chi-sq > chi-table (0,975, n-1) maka pola sebarannya clumped 3) Jika Chi-sq > chi-table (0,025, n-1) dan Chi-sq < chi-table (0,975, n-1), maka pola sebarannya adalah random. Bentuk garis batas yang menyatakan pola sebaran spasial disajikan pada Gambar 7.

64 46 Nilai chi-square Derajat bebas Gambar 7 Nilai kritis uji chi-square untuk indeks dispersi; α:0,05 dan n<30 (b) Jika n>30 maka : Dimana : d = normal distance χ 2 = nilai chi-square n = jumlah contoh Pengambilan keputusannya adalah sbb: 1) Jika d < maka sebarannya adalah seragam (uniform) 2) Jika d >1.96; maka sebarannya adalah mengelompok (clumped) 3) Jika d < dan d <1.9 maka sebaranya adalah acak (random) Analisis Tipologi. Identifikasi wilayah hutan rakyat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu identifikasi faktor-faktor pendukung keberadaan hutan rakyat dan penentuan faktor dominan Identifikasi Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Hutan Rakyat Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang sangat mempengaruhi keberadaan hutan rakyat di suatu lokasi dianalisis dengan unit analisisnya adalah desa. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang terkait dengan hutan rakyat (Suharjito 2000; Awang et al. 2001), ditemukan beberapa faktor-faktor sebagai berikut :

65 47 a. Jarak (proximity) desa hutan rakyat ke jalan besar Jarak desa hutan ke jalan besar didefinisikan sebagai jarak lurus (km) dari batas desa terhadap jalan besar terdekat. Jalan besar yang dimaksud adalah jalan kolektor, yaitu jalan yang menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal atau kawasan-kawasan berskala kecil (Gambar 8a). (a) Jalan kolektor dan Batas wilayah desa (b) Batas kawasan hutan dan Batas wilayah desa Gambar 8 Contoh cara perhotungan jarak lurus (a) Antar kawasan hutan dengan batas desa (b) Antar jalan kolektor dengan batas desa

66 48 b. Jarak (proximity) desa hutan ke kawasan hutan negara terdekat. Jarak ini adalah jarak lurus (km) dari batas desa terhadap kawasan batas hutan negara terdekat. Kedekatan terhadap kawasan hutan negara memiliki peluang untuk berkembangnya hutan rakyat baik secara alam maupun budaya (Gambar 8b). c. Rasio Kelerengan lahan (slope ratio) Menurut Jaffar dalam Awang et al. (2001), salah satu areal yang menjadi sasaran pembangunan hutan rakyat adalah areal kritis dengan keadaaan lapangan berjurang dan bertebing. Rasio kelerengan lahan didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) antar luas areal dengan kelas kemiringan lereng lahan lebih besar atau sama dengan 15% terhadap total luas desa. Kelas-kelas kemiringan lereng dalam suatu wilayah dapat dilihat pada Tabel 3. Rasio kelerengan lahan dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kelerengan Lahan Luas areal kelerengan Luas total desa 15% Tabel 3 Klasifikasi kelas lereng No. Kelas lereng Interval (%) 1 Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam > 40 Sumber : SK. Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980 d. Rasio Penggunaan lahan bukan sawah (non sawah) Rasio penggunaan lahan bukan sawah didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) areal lahan pertanian non sawah dengan luas total desa. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (upland areas). e. Kerapatan jalan Kerapatan jalan didefinisikan sebagai rasio antara panjang jalan (m) dengan luas desa (ha). Rumusnya dapat dilihat sebagai berikut.

67 49 Kerapatan Jalan Panjang jalan (m) Luas desa (ha) f. Dominansi Kemampuan Lahan Hutan rakyat di Jawa umumnya dimulai di wilayah lahan kritis yang tidak subur, sehingga perlu dilihat tingkat kemampuan lahan suatu wilayah. Kemampuan lahan yang didefinisikan dalam penelitian ini diduga dari beberapa faktor, yaitu: kelerengan, kepekaan erosi, kedalaman tanah, tekstur tanah, permeabilitas, dan drainase di suatu wilayah desa. Data-data tersebut diperoleh dari data peta digital tanah, topografi, dan penggunaan lahan. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan No Faktor Kelas Kemampuan Lahan penghambat/pem I II III IV V VI VII VIII batas 1 Lereng A B C D A E F G permukaan 2 Kepekaan erosi E5,E4 E3 E2,E1 E1 (*) (*) (*) (*) 3 Kedalaman tanah S5 S3,S4 S2 S2 (*) S1 (*) (*) 4 Tekstur tanah T5,T4, T5,T4, T5,T4, T5,T4, (*) T5,T4, T5,T4, T1 T3 T3 T3 T3,T2 T3,T2 T3,T2 5 Permeabilitas P2,P3 P2,P3 P2,P3, P2,P3 P1 (*) (*) P3 P4, P4 6 Drainase D1 D2 D3 D4 D5 (**) (**) D0 Sumber : Arsyad, 1989 Catatan : (*) = dapat mempunyai sembarang sifat (**) = tidak berlaku Setiap faktor dibagi dalam beberapa kelas yang memiliki nilai bobot masing-masing, yang selanjutnya nilai tersebut dikumulatifkan (Tabel 4). Nilai kumulatif tersebut dikelaskan menjadi 8 kelas kemampuan lahan (dapat dilihat pada Lampiran 9). Nilai kemampuan lahan di suatu desa (KL) adalah : Dimana : L i = Luas kemampuan lahan kelas ke- i (i=1, 2,3...8) NT i = Nilai Tengah kelas ke- i (i=1, 2,3...8)

68 50 g. Kepadatan penduduk Kepadatan penduduk diperoleh dari rasio antara jumlah penduduk di setiap desa (orang) dengan luas administratif desa (ha). Umumnya hutan rakyat terdapat pada wilayah-wilayah yang masih kurang padat penduduknya. h. Rasio umur produktif Rasio umur produktif didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk berusia produktif (15 64 tahun) dengan luas total desa. Pengelolaan hutan rakyat masih dianggap kegiatan sampingan yang bersifat tidak intensif, sehingga wilayah yang berkembang hutan rakyatnya diasumsikan pada wilayah yang jumlah umur produktif sedikit dan didominasi umur non produktif. i. Rasio rumah permanen Rasio rumah permanen merupakan pendekatan terhadap informasi pendapatan penduduk. Untuk data pendapatan dilakukan dengan pendekatan terhadap kondisi perumahan, yaitu dari rasio antara jumlah rumah permanen dengan total rumah di desa bersangkutan. Kondisi rumah semakin permanen mengasumsikan naiknya pendapatan penduduk. Semakin besar rasio maka diasumsikan pendapatan penduduk setempat semakin tinggi. Tabel 5 Peubah-peubah tipologi hutan rakyat No. Indikator Peubah-Peubah 1. Karakteristik Bio-Fisik a) Jarak ke jalan besar b) Kemampuan Lahan c) Kelerengan wilayah d) Penggunaan Lahan (land use) e) Jaringan jalan f) Jarak ke kawasan hutan hutan negara 2. Karakteristik Sosial dan Ekonomi g) Kepadatan penduduk h) Tingkat rumah permanen i) Umur produktif penduduk

69 51 Secara keseluruhan ada 9 (sembilan) peubah yang diuji untuk mengetahui peubah yang berpengaruh terhadap pembagian tipologi. Peubah-peubah tersebut dapat dilihat pada Tabel Penentuan Faktor Dominan Sembilan faktor peubah dianalisis hubungannya dengan hutan rakyat di suatu desa. Potensi hutan rakyat dalam penelitian ini adalah luas hutan rakyat di suatu desa. Untuk menganalisis hal tersebut digunakan 2 cara, yaitu : a. Analisis Korelasi Analisis korelasi dilakukan dengan menggunakan korelasi Spearman yang memiliki nilai korelasi -1 sampai +1. Nilai -1 atau +1 menunjukkan adanya hubungan yang sempurna antara X dan Y, sehingga semakin mendekati nilai tersebut semakin erat hubungan X dan Y. Tanda plus (+) dapat diartikan pemberian peringkat sejalan, tanda minus (-) berarti bahwa pemberian peringkat itu bertolak belakang, dan nilai 0 disimpulkan kedua peubah tidak berkorelasi (Walpole, 1990). Rumus umum korelasi Spearman adalah : Dimana : di adalah selisih antara peringkat xi dan yi n adalah banyaknya pasangan data b. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) Analisis ini merupakan pendekatan statistika untuk mereduksi gugus peubah asal berdimensi p menjadi gugus peubah baru (komponen utama) berdimensi q dimana q<p (Johnson & Winchern 1998). Ada tiga karakteristik komponen utama : informasi data asal yang maksimum, antar komponen utama saling ortogonal sehingga mempunyai korelasi rendah, dan merupakan kombinasi linier dari peubah asal : Y i = a i1 X 1 +a i2 X 2 + +a ip X p Tujuan dari analisis komponen utama, yaitu untuk mendapatkan peubahpeubah baru yang saling orthogonal (tegak lurus) yang dapat digunakan untuk mereduksi dimensi peubah. Untuk analisis akhir, PCA umumnya digunakan untuk mengelompokkan peubah-peubah penting dari satu komponen peubah besar untuk menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan

70 52 melihat hubungan antar peubah. Hasil analisis komponen komponen utama antara lain nilai akar ciri (eigen vector), proporsi keragaman, dan kumulatif akar ciri (eigen value) Pembentukan Tipologi Dasar pembuatan tipologi adalah faktor-faktor yang dianggap dominan dalam menentukan potensi hutan rakyat. Potensi hutan rakyat dalam penelitian ini adalah luas hutan rakyat di suatu desa. Potensi tersebut diasumsikan dapat mewakili karakteristik lokal hutan rakyat di suatu tempat. Untuk melakukan pengelompokkan tipologi digunakan analisis gerombol (clustering analysis). Analisis gerombol merupakan salah satu analisis peubah ganda yang mengelompokkan objek berdasarkan kemiripan atau ketidakmiripan karakteristiknya, sehingga setiap objek dalam satu gerombol memiliki kesamaan yang tinggi sesuai dengan kriteria pemilihan yang ditentukan (Hair et al. 1995). Penelitian ini menggunakan analisis gerombol dengan metode K-Means. Metode ini menetapkan terlebih dahulu jumlah kelompok yang akan dibuat sehingga metode ini cocok jika data yang diolah banyak. Sedangkan tingkat kemiripan dalam analisis ini menggunakan jarak Euklidius (Euclidean distance), dimana untuk dua unit pengamatan mempunyai vector x dan y dengan dimensi p peubah, jarak Euklidius adalah : Keterangan : = jarak euklidius antara x i dengan x j x i = nilai peubah x ke-i x j = nilai peubah x ke-j Jika terjadi korelasi yang tinggi antar peubah maka perlu dilakukan analisis komponen utama terlebih dahulu Pengujian Tipologi Untuk mengetahui kelompok-kelompok yang terbentuk sudah memiliki gambaran yang mirip terhadap potensi hutan rakyat, maka dilakukan pengujian sebagai berikut :

71 53 a) Uji keragaman Kelompok yang terbentuk dikatakan baik jika keragaman dalam satu kelompok kecil, tetapi keragaman antar kelompok besar. Keragaman dapat diketahui dengan rumus : Ragam rata-rata dalam kelompok adalah : s 2 y n i 1 y 2 i n i 1 y n m Ragam antar kelompok yang distandarkan : i 2 n 1 Keterangan : yi = luas hutan rakyat per desa pada setiap kelompok m = jumlah kelompok = ragam pada kelompok ke-i = ragam pada kelompok ke-j Keputusan : semakin besar nilai selisih antara semakin baik. dan 2 s y maka akan b) Evaluasi akurasi Uji akurasi kelompok yang terbentuk menggunakan prinsip matrik konfusi/kontingensi (Confusion Matrix). Kelompok yang dibentuk berdasarkan data luas hutan rakyat menjadi acuan atau referensi akurasi. Dengan matrik konfusi ini dapat dihitung akurasi rata-rata umum (overall accuracy) dan akurasi Kappa (Kappa accuracy). Akurasi rata-rata umum dilakukan untuk menghitung akurasi berdasarkan persentase jumlah desa atau poligon yang dikelaskan secara benar (poligon pada model masuk pada kelas yang sama pada poligon acuan), dibagi jumlah total piksel atau poligon. Akurasi rata-rata umum dihitung menggunakan rumus (Jaya 2006) sebagai berikut:

72 54 Keterangan : OA = Nilai akurasi rata-rata umum (Overall Accuracy) X ii = Coincided Value atau luasan kelas tingkat keberhasilan yang sama antar tipologi atau kelas peubah yang dijadikan acuan untuk verifikasi. N = Total area verifikasi. Akurasi Kappa pada umumnya mempunyai nilai akurasi lebih kecil dari akurasi rata-rata umum karena akurasi Kappa dihitung tidak hanya berdasarkan jumlah piksel atau poligon yang dikelaskan pada model masuk secara benar pada piksel atau poligon kelas acuan, tetapi juga menghitung jumlah piksel atau poligon yang dikelaskan pada model tidak tepat masuk dalam kelas acuan. Akurasi Kappa dihitung menggunakan rumus (Jaya 2006) sebagai berikut : Keterangan : K = Akurasi Kappa (Kappa Accuracy) Xii = Coincided Value atau luasan kelas tingkat keberhasilan yang sama antara hasil tipologi dan kelas peubah yang dijadikan acuan untuk verifikasi. X+1 = Luas kolom dalam baris ke-i X1+ = Luasan dalam kolom ke-j N = Total area verifikasi c) Pembagian kelas sebagai acuan Data sekunder luas hutan rakyat setiap desa yang bersumber dari BP4K tahun 2010 digunakan sebagai pembanding nilai ideal untuk proses akurasi. Pembagian kelas berdasarkan metode rata-rata dan simpangan bakunya dibuat setelah dilakukan uji kenormalan data (membuang nilai-nilai pencilan. Rumus dan batas nilai masingmasing kelas dapat dilihat pada Tabel 6 dan sebaran spasialnya pada Gambar 9.

73 55 (a) Klasifikasi 2 kelas luas hutan rakyat (b) Klasifikasi 3 kelas luas hutan rakyat (c) Klasifikasi 4 kelas luas hutan rakyat Gambar 9 Klasifikasi kelas hutan rakyat berdasarkan luasnya

74 56 Tabel 6 Jumlah kelas luas hutan rakyat dan batasan per kelas Jumlah Kelas Rumus Batasan Kelas Jumlah Desa 2 Kelas Rendah 0 58 Ha 166 Tinggi >58 Ha Kelas Rendah <32 Ha 115 Sedang Ha 88 Tinggi >85 Ha Kelas Rendah <32 Ha 117 Sedang Ha 69 Tinggi Ha 43 Sangat Tinggi > 111 Ha Kelas Sangat Rendah <19 77 Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi > Keterangan : = rata-rata luas hutan rakyat SD = Standar Deviasi (simpangan baku) Pemeriksaan Lapangan Pemeriksaan lapangan terhadap petani dan tegakan hutan rakyat dilakukan dengan mengumpulkan data-data sebagai berikut : a. Terhadap Petani (1) Pola penjualan kayu (aktif : sendiri, per kelompok atau pasif) (2) Aspek sosial (pembentukan kelompok dan dinamikanya serta hubungan sosial lainnya) dan aspek manajemen. (3) Luas kepemilikan (ha) b. Terhadap Tegakan Hutan Rakyat (1) Jumlah pohon rata-rata yang dimiliki (pohon/ha) (2) Struktur sebaran diameter dan komposisi sebaran jenis pohon. (4) Volume pohon per kepemilikan. (5) Pola penanaman (polikultur, monokultur, atau agroforestri dll.) (6) Pola pemanenan (diameter minimum panen, umur rata-rata panen dll).

75 57 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Hutan Rakyat Karakteristik Spasial Hutan Rakyat Potensi Hutan Rakyat di Desa Hutan rakyat tersebar dalam wilayah-wilayah administrasi pemerintahan mulai dari unit administrasi terkecil yaitu dusun, desa sampai dengan kecamatan. Pada dua lokasi yang diteliti, yaitu desa-desa yang terdapat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Gunungkidul, rata-rata luas hutan rakyat adalah ha/desa untuk Kabupaten Ciamis dan ha/desa untuk Kabupaten Gunungkidul (Gambar 10). Proporsi luas hutan rakyat terhadap luas desa di Kabupaten Ciamis adalah 17.6% dan di Kabupaten Gunungkidul adalah 20.5%. Dari dua wilayah tersebut, Kabupaten Ciamis memiliki rasio hutan rakyat yang relatif lebih kecil dibanding Kabupaten Gunungkidul. Korelasi antar luas hutan rakyat dengan luas desa pada masing-masing wilayah di Kabupaten Ciamis sebesar 0.45 dan Kabupaten Gunungkidul sebesar Luas Hutan Rakyat (Ha) Luas Hutan Rakyat (Ha) Luas Desa (Ha) Rata-Rata Luas Hutan Rakyat= ha/desa Luas Desa (Ha) Rata-Rata Luas Hutan Rakyat = ha/desa (a) (b) Gambar 10 Perbandingan antara luas hutan rakyat *) dengan luas desa (a) Kabupaten Ciamis (b) Kabupaten Gunungkidul. *) Sumber data dari BP4K Kabupaten Ciamis Tahun 2010 dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul Kabupaten Ciamis memiliki luas ha, terdiri atas 36 kecamatan dengan 365 desa dan 1622 dusun (BPS 2008). Potensi hutan rakyat tersebar di seluruh wilayah dari pantai di Selatan sampai pegunungan di Utara dengan luas total ha (BP4K 2010). Sedangkan Kabupaten Gunungkidul memiliki

76 58 luas ha terdiri atas 18 kecamatan 144 desa dan 1431 dusun yang terbagi atas tiga zona dengan keunikan alam yang berbeda, yaitu zona Batur Agung, zona Ledok Wonosari, dan zona Pegunungan Sewu. Luas total hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul adalah ha (Dishutbun 2006). Gunungkidul mempunyai proporsi penggunaan non sawahnya lebih besar dibandingkan Kabupaten Ciamis (Gambar 11). Luas (ha x 1000) ha ha Sawah Non Sawah ha ha 0 Ciamis Kabupaten Gunungkidul Gambar 11 Perbandingan penggunaan lahan untuk sawah dengan non sawah dalam satu kabupaten Di wilayah Indonesia pada khususnya dan tropis pada umumnya, penggunaan lahan untuk kebun (tanaman kayu-kayuan) sangat sulit dipisahkan dengan hutan milik pribadi. Hal ini sangat berbeda dengan di Eropa dan Amerika, dimana batas-batas lahan pertanian dengan hamparan hutan milik pribadi sangat jelas terpisah (Foresta et al. 2000). Kayu rakyat di Indonesia umumnya ditanam di lahan darat, yaitu pada lahan di luar persawahan. Pada kondisi tersebut, estimasi potensi hutan rakyat dapat dilakukan dengan pendekatan luas wilayah lahan darat, meskipun pengamatan di lapangan menunjukkan tidak semua wilayah lahan darat berupa hutan rakyat. Berdasarkan data potensi luasan hutan rakyat di dua kabupaten yang diteliti, hasil perhitungan pola sebaran spasial menunjukkan nilai ragam yang jauh lebih besar dari rata-ratanya, dengan nilai normal distance (d) yang lebih besar dari nilai 1.96 (Tabel 7). Nilai tersebut menunjukkan bahwa potensi luasan

77 59 sebaran spasial hutan rakyat di suatu kabupaten menyebar mengikuti tipe mengelompok (clumped). Sebaran ini menandakan adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan potensi kayu rakyat timbul di suatu wilayah. Tabel 7 Perhitungan pola sebaran spasial di Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul Lokasi Rata- Rata (µ) Ragam (σ 2 ) d Kesimpulan Pola Ciamis d >1.96 mengelompok (clumped) Gunungkidul d >1.96 mengelompok (clumped) Pola sebaran spasial hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ditunjukkan pada Gambar 12. Pola hutan rakyat terlihat mengelompok (clumped) menjadi 5 kelompok (klaster), yang memiliki luas lebih besar dari 150 ha. Luas tersebut merupakan luas rata-rata hutan rakyat dengan potensi di atas 30 ha per desa. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor pembatas perkembangan hutan rakyat di suatu wilayah. Tidak semua wilayah memiliki potensi yang sama terhadap perkembangan hutan rakyat. Hutan rakyat berkembang pada wilayah-wilayah yang memiliki faktor pendukung perkembangnnya Blok Sebagai Batas Hutan Rakyat Dalam Satu Hamparan Hutan rakyat yang ditemukan di wilayah blok di suatu dusun umumnya berbentuk satu hamparan yang relatif luas. Satu dusun mempunyai paling sedikit satu blok sehamparan lahan darat dan lahan sawah. Batas lahan darat untuk satu dusun dapat berupa sawah, sungai, batas dusun atau desa lainnya. Proporsi lahan kering umumnya lebih luas dibanding sawah, tetapi untuk beberapa wilayah tertentu proporsi sawah lebih luas dibandingkan lahan kering. Contoh penggunaan lahan terdapat di Dusun Pogorsari Desa Lumbung Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis (Gambar 13).

78 Gambar 12 Pola sebaran spasial desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis 60

79 61 Gambar 13 Contoh penggunaan lahan di Dusun Pogorsari Desa Lumbung Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis Satu blok terdiri atas beberapa kepemilikan lahan yang dulu dikenal dengan istilah persil. Dengan bertambahnya keturunan dalam satu keluarga, persil yang sebelumnya satu kepemilikan terpecah-pecah kepemilikan menjadi persil yang lebih kecil. Pecahan persil diberi kode huruf dibelakangnya, seperti 144 a, 144 b, 144 c, 144 d dan seterusnya (Gambar 14). Gambar 14 Contoh bentuk peta blok desa yang masih menggunakan persil di Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis ( Nama blok = Kupa, Gombong dll, Nomor persil = d166, d156, dst. Kualitas lahan = III, IV, V, dst.).

80 62 Gambar 15 Contoh bentuk peta blok desa hasil revisi terbaru dari BPN di Desa Sukaraharja Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis (Nomor kepemilikan = 4,5,...82, 83..dst) Sejak tahun 2000-an di beberapa desa di Kabupaten Ciamis, seperti Desa Cikupa, Desa Sukaraharja, Desa Beber, dan lainnya, telah dilakukan pengukuran ulang terhadap batas blok dan batas kepemilikan lahan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Perubahan-perubahan istilah dari penamaan blok terdahulu terjadi setelah pengukuran ulang. Penomoran berlaku dengan angka dan kontinyu pada setiap lahan kepemilikan. Contoh pengukuran ulang tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Setiap kepemilikan lahan sudah memiliki nomor petak tersendiri dengan penjelasan luas dan nama terperinci dalam buku Daftar Himpunan Ketetapan Pajak dan Pembayaran (DHKP). Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam penagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) karena tarif pajak antara lahan sawah (S) dan lahan darat (D) berbeda. Suatu dusun memiliki blok dengan luas dan jumlah blok dalam satu dusun dan desa beragam. Di Kabupaten Ciamis rata-rata per desa terdiri dari 5 blok dengan luasan rata-ratanya berkisar 125 ha. Sedangkan luas kepemilikan per orang setiap hamparan dalam tiap blok umumnya tidak luas dengan rata-rata luasan per kepemilikan 0.2 ha. Hasil wawancara terhadap 30 petani di Kabupaten

81 63 Ciamis menunjukkan kebanyakan dari mereka memiliki areal lahan darat lebih dari satu lokasi, dan bisa terdapat di beberapa blok (Lampiran 7). Disamping areal sawah sebagai lahan garapan utamanya, sebagian besar para petani memiliki areal lahan darat. Di Ciamis, para petani ada yang memiliki lahan darat di kawasan luar dusun atau desa tempat tinggal diberi istilah Guntai. Batas antar kepemilikan ditandai dengan jalan setapak, guludan tanah, terasering, atau dengan tanda tanaman tertentu, biasanya yang sering digunakan sebagai tanda batas di Ciamis adalah tanaman hanjuang (Gambar 16). a. Jalan Setapak b. Tanaman Hanjuang Gambar 16 Tanda batas antar kepemilikan di hutan rakyat Kajian Batas Wilayah Tanggung Jawab Salah satu ciri dari pengelolaan hutan adalah kejelasan batas wilayah tanggung jawab tempat diberlakukannya kegiatan pengelolaan. Satu petak harus merupakan areal yang kompak atau satu hamparan. Pada areal yang dikelola dengan intensif luas petak di Swiss bisa berkisar 6-8 ha, di Inggris sekitar 6-12 ha, dan Perancis sekitar 10 ha (Davis & Mason 1966). Dalam pengelolaan hutan, wilayah tanggung jawab dibatasi dengan batas fisik yang terbentuk baik secara alam maupun buatan. Batas alam seperti sungai, lembah, gunung lebih diutamakan karena mudah dalam mendeteksi di lapangan. Sedangkan batas buatan manusia adalah pal, jalan, dan tanda-tanda lainnya. Jika dibandingkan dengan pengelolaan hutan negara, pengelolaan hutan rakyat cukup unik. Dalam segi kepemilikan lahan, hutan rakyat dalam satu hamparan terdiri dari banyak pemilik sehingga keputusan pengelolaan ditentukan oleh masing-masing pemilik lahan. Disamping luasan kepemilikan lahannya

82 64 relatif sangat kecil, petani umumnya mempunyai keterbatasan dalam pengelolaan hutan sehingga sulit menemukan pola seragam (monokultur). Petani pada umumnya lebih aman dengan pola campuran karena hasil yang rutin selalu ada tiap waktu. Menurut Fauziyah (2011), pada tingkat petani sebenarnya sudah melakukan pengorganisasian (pembagian tugas) dalam pengelolaan hutan rakyat. Petani yang pekerjaan utamanya bertani, pengelolaan hutan rakyat dilakukan sendiri dengan bantuan anggota keluarga terutama istri. Bila memerlukan tenaga banyak, petani baru melibatkan buruh untuk membantu. Selain perbedaan tersebut, terdapat beberapa persamaan dalam pembagian luas dan tanggung jawab antara hutan rakyat dan hutan negara. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 17. Wilayah tanggung jawab terkecil di hutan rakyat, yaitu lahan kepemilikan, yang bertanggungjawab penuh adalah pemilik lahan. Sedangkan di hutan negara unit terkecil adalah petak. Hutan rakyat dalam satu desa umumnya mempunyai pola spasial mengelompok, berbeda dengan petak yang umumnya berada dalam satu hamparan yang kompak. dilihat dari hamparan lahannya, maka satu blok di hutan rakyat bisa dianalogikan sebagai petak atau anak petak, karena blok yang terdapat dalam satu dusun bersifat satu hamparan. Tabel 8 Pembagian batas wilayah dan tanggungjawab di hutan rakyat No Batas Wilayah Tanggung jawab/pengurus 1 Lahan kepemilikan Petani/Pemilik Lahan/Penggarap 2. Blok Ka. Dusun / Ketua kelompok Tani 3. Hutan rakyat di desa Kepala Desa / Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa 4. Hutan rakyat di kecamatan Camat / Ketua Gabungan Kelompok Tani Kecamatan Jika Pada satu blok biasanya terbentuk satu kelompok tani, sehingga dalam satu dusun minimal memiliki satu kelompok tani. Satu kelompok tani memiliki satu aturan tentang pengelolaan hutan rakyat yang sama dan disepakati oleh sesama anggota kelompoknya, sehingga dapat dikatakan satu blok diibaratkan satu petak di hutan negara. dapat Widayanti (2004) menyatakan unit kelestarian yang dapat dikembangkan dalam pengaturan hasil di hutan rakyat adalah dusun, dengan pertimbangan sebagai berikut: kemudahan dalam

83 65 pengorganisasian secara fisik lahan maupun pemilik hutan rakyat dan keberadaan organisasi pengelolaan kelompok tani yang telah dikembangkan berdasarkan administrasi dusun. HUTAN NEGARA (Perum Perhutani KPH Ciamis) HUTAN RAKYAT (Kabupaten Ciamis) Anak Petak Luas Rata-rata : ha Lahan kepemilikan Petani Luas Rata-Rata : 0.2 ha Petak Luas Rata-rata : ha Blok hutan rakyat Luas Rata-Rata : ha Blok, Kelompok Hutan, Bagian Hutan Dusun RPH Luas Rata-rata : ha Desa Luas Rata-Rata : ha BKPH Luas Rata-rata : ha Kecamatan Luas Rata-Rata : ha KPH Luas Total : ha*) Kabupaten Luas Total : ha**) Ha Gambar 17. Perbandingan hirarki dan perkiraan luas rata-rata tiap bagian pengelolaan hutan rakyat dengan Hutan Negara. *) Sumber Perum Perhutani Unit III, Luas tidak termasuk wilayah Konservasi (untuk anak petak, petak, dan RPH menggunakan perwakilan contoh terlampir) **) Sumber BP4K Kabupaten Ciamis Tahun Pada Gambar 17 dapat diketahui bahwa hirarki semakin ke bawah perbedaan luas antara administrasi hutan negara dengan hutan rakyat semakin mengecil. Anak petak di Perum Perhutani lebih luas sekitar 100 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata luasan lahan milik. Di tingkat BKPH untuk hutan negara dan Kecamatan untuk hutan rakyat perbedaannya semakin mengecil yaitu

84 66 hanya dua kali lipat perbedaaannya. Pada akhir hirarki, hutan rakyat dalam satu Kabupaten Ciamis memiliki luas hampir 3 kali lipat dibanding dengan luas hutan Negara dalam satu KPH Ciamis. Hutan tanaman di Perhutani bersifat monokultur dengan jarak tanaman yang teratur sedangkan hutan rakyat kebanyakan bersifat agroforestri sehingga dengan satuan luas yang sama diperkirakan jumlah pohon hutan rakyat lebih sedikit dibanding dengan hutan negara. Daur pada hutan negara umumnya lebih panjang dibanding hutan rakyat yang didominasi tanaman jenis cepat tumbuh seperti sengon sehingga rotasi penebangan lebih sering di hutan rakyat Karakteristik Struktur dan Komposisi Tegakan Hutan Rakyat Pola Tanam Hutan Rakyat Secara umum ada tiga pola tanam hutan rakyat di Indonesia, yaitu pola tanam hutan rakyat murni (monokultur), pola tanam hutan rakyat campuran (polikultur), dan pola tanam hutan rakyat wanatani (agroforestri) (Purwanto et al. 2004; Mindawati 2006). Hasil pengukuran pada 30 plot berukuran masing-masing 0.05 ha dengan bentuk persegi (20x25 m 2 ) yang di tempatkan menyebar di 3 desa di wilayah Utara, Tengah, dan Selatan Kabupaten Ciamis menunjukkan terdapat tiga pola karakteristik hutan rakyat, yaitu pola agroforestri, pola monokultur, dan pola polikultur (Tabel 9). pola agroforestri dibanding kedua pola lainnya. Dari tiga lokasi desa, maka pola yang terbanyak adalah Tabel 9 Jumlah plot setiap pola tanam hutan rakyat Desa Jumlah plot dengan pola tanam Jenis pohon yang Agroforestri Monokultur Polikultur ditemui Sukaraharja Mahoni, afrika, sengon, gmelina, suren, manglid Beber Sengon, jati, tisuk, mahoni, khaya Cikupa Mahoni, jati, sengon, manglid, tisuk, khaya, ki hiang Jumlah

85 67 A. Pola Wanatani (Agroforestri) Pola agroforestri pada hutan rakyat adalah menggabungkan tanaman kehutanan dengan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Karakteristik hutan rakyat agroforestri lebih umum ditemui di lapangan dibandingkan karakteristik lainnya. Di lokasi penelitian model agroforestri yang ditemui adalah tanaman utama berumur 3 tahun dengan tajuk pohon belum menutupi lantai lahan, dan tanaman pertanian yang memerlukan sinar matahari seperti kacang-kacangan, jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Setelah tajuk pohon menutupi lahan, tanaman bawah diganti dengan tanaman yang tahan naungan seperti kapulaga dan empon-emponan lainnya yang bernilai ekonomis bercampur dengan tanaman buah-buahan seperti kelapa, nangka, cengkeh dan lain-lain. Berkurangnya luasan tanah pertanian akibat pertambahan penduduk membuat petani lokal berpikir ke arah pemenuhan kebutuhan dari keterbatasan lahan yang dimilikinya. Sempitnya lahan yang dimiliki membuat petani memunculkan inovasi-inovasi baru agar kebutuhan hidup dapat terpenuhi (Prima et al. 2005). Kepemilikan lahan petani dalam satu hamparan di Pulau Jawa umumnya sempit sehingga dengan pola agroforestri merupakan pola yang menguntungkan dan aman buat petani. Dalam satu hamparan lahan memberikan hasil harian, bulanan dan tahunan. Petani yang bersifat subsisten lebih mementingkan kelangsungan pendapatan dibanding besarnya pendapatan. Tanaman kayu-kayuan berbagi lahan dengan tanaman lainnya, sehingga jumlahnya tidak terlalu besar dalam suatu hamparan lahan. Namun, tanaman kayu dengan pola agroforestri cenderung lebih cepat tumbuh dibanding pola lainnya, karena mendapat pasokan pupuk yang sebenarnya ditujukan untuk tanaman pertanian yang ada di sekitar tanaman kayu-kayuan. Di lapangan terdapat pula pola agroforestri yang terbentuk secara alam. Umumnya lahan ini sudah berupa hutan rakyat sejak lama dengan sistem warisan. Tanaman yang tumbuh berasal dari benih yang jatuh dari tegakan yang sudah ada di lahan tersebut atau sengaja ditanam secara berangsur sesuai dengan keterbukaan lahannya, yaitu berupa tanaman kayu-kayuan atau buah-buahan. Keterbukaan lahan dapat terjadi akibat metode penebangan yang umumnya

86 68 berupa borongan dengan sistem tebang pilih sesuai pilihan pemborong terhadap pohon yang ukurannya sudah laku terjual, sehingga ciri dari karekteristik ini tidak memiliki pola dan jarak tanam yang teratur. Umur pasti dari tanaman sulit diketahui karena kebanyakan petani pemilik lahan tidak mengetahui secara tepat umur tanamannya. B. Pola Sejenis (Monokultur) Karakteristik hutan rakyat berikutnya adalah pola sejenis yang memiliki struktur dan komposisi yang relatif seragam dari segi jenis dan umur yang relatif sama. Pada awal penanaman dilakukan serempak dalam satu hamparan, sehingga ciri yang paling nyata adalah jarak tanam antar pohon yang relatif teratur. Alasan pemilik lahan untuk melakukan penanaman homogen berdasarkan pertimbangan kesediaan waktu, tenaga, modal, dan assesibilitas lahan. Pemodal besar biasanya lebih memilih hutan rakyat dengan tipe seragam (monokultur) murni dengan penanaman serempak tanpa tanaman pertanian atau buah-buahan lainnya. Selain itu, pola monokultur bisa menjadi pilihan karena kondisi lahan yang terlalu jauh dari pemilik lahan atau penggarap dengan assesibilitas yang sulit, sehingga untuk menanam tanaman pertanian yang bersifat intensif dan memerlukan pemeliharaan rutin terlalu membuang waktu dan tenaga. Dengan tidak adanya tanaman pertanian, petani sering memanfaatkan lahan seefisien mungkin dengan menanam tanaman kayu-kayuan dengan jarak 1x1 m atau malah kurang dari itu. Petani beranggapan dengan menanam semakin rapat, maka hasil akan semakin besar. Umumnya jumlah tanaman kayu di pola monokultur lebih banyak per satuan luas dengan pertumbuhan diameter pohon yang lambat. C. Pola Campuran (Polikultur) Hutan rakyat yang berkarakteristik campuran terdiri dari berbagai jenis pohon, sehingga umumnya dalam satu areal memiliki diameter dan tinggi pohon yang beragam. Dibanding pola monokultur, pola ini memiliki dua kelebihan, yaitu lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dan dapat lebih fleksibel dalam menanggapi fluktuasi harga pasar kayu yang berubah. Keuntungan lain, adalah panen kayu bisa digilir dari tanaman kayu yang cepat tumbuh seperti jenis sengon,

87 69 gmelina, dan tisuk. perkembangannya lambat seperti mahoni dan jati. Kemudian baru pada panen berikutnya jenis yang (a) Pola Agroforestri (b) Pola Monokultur (c) Pola Polikultur Gambar 18 Karakteristik pola tanam hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Distribusi Diameter Tegakan dan Jumlah Pohon di Hutan Rakyat Pada Gambar 19 dapat dilihat ada beberapa bentuk distribusi diameter hutan rakyat yang ditemui di lapangan. Bentuk yang banyak ditemui menyerupai bentuk lonceng dengan condong (skewness) ke kanan, dengan lebar lonceng yang beragam tergantung banyaknya kelas diameter yang ada di lapangan. Semakin melebar lonceng menunjukkan semakin banyak ketersediaan kelas diameter tersebut di lapangan. Sebaliknya semakin menyempit maka hanya sedikit ukuran kelas diameter di lapangan. Kecenderungan yang terjadi di lapangan adalah bentuk distribusi lonceng menyempit seperti pada Gambar 19b. Kecondongan ke kanan menunjukkan bahwa kelas diameter dominan adalah kelas diameter yang berukuran lebih kecil. Berdasarkan distribusi diameter di setiap plot, ternyata tidak ada kecenderungan bentuk distribusi tertentu untuk satu karakteristik pola

88 70 tanam hutan rakyat. riwayat penebangan sebelumnya. Distribusi diameter lebih dipengaruhi umur tanam dan Jumlah Pohon / Ha Jumlah Pohon / 1 Ha ~5 5~10 10~15 15~20 20~25 25~30 30~35 35~40 40~45 45~50 >50 Kelas Diameter (cm) 0~5 5~10 10~15 15~20 20~25 25~30 30~35 35~40 40~45 45~50 >50 Kelas Diameter (cm) Jumlah Pohon / 1 Ha a. Bentuk lonceng b. Bentuk lonceng sedikit condong ke kanan Jumlah Pohon / 1 Ha ~5 5~10 10~15 15~20 20~25 25~30 30~35 35~40 40~45 45~50 >50 Kelas Diameter (cm) Kelas Diameter (cm) c. Bentuk lonceng condong ke kanan d. Bentuk eksponensial negatif Gambar 19 Bentuk distribusi diameter yang ditemui di lapangan Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa dari tiga pola hutan rakyat yang ditemui di lapangan, ternyata yang paling banyak jumlah pohon rata-rata per ha terdapat pada pola monokultur. Sedangkan yang paling sedikit adalah pola agroforestri. Pola agroforestri mengkombinasikan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian dan atau perkebunan, sehingga dalam lahan lahan yang sama harus berbagi tempat. Pola ini menghasilkan kayu tidak sebanyak tanaman yang hanya diperuntukkan untuk tanaman kayu-kayuan saja. Berdasarkan sebaran kelas diameter pada Gambar 20, semua pola hutan rakyat memiliki jumlah pohon paling banyak pada ukuran diameter 0-30 cm. Begitu kelas diameter di atas 30 cm langsung menurun tajam jumlahnya. Hal tersebut menandakan bahwa ukuran di atas 30 cm sudah banyak ditebang untuk

89 71 dijual kayunya. Berdasarkan informasi dari petani, pedagang, dan penyuluh lapangan, pohon sudah dapat dijual jika diameter pohon sudah mencapai 10 cm ke atas untuk semua jenis pohon, dan pohon yang berkualitas tinggi adalah yang berukuran di atas 30 cm. Hal ini yang menyebabkan petani dan pemilik lahan umumnya menebang pohon pada umur 4-5 tahun untuk jenis sengon. Tabel 10 Jumlah pohon rata-rata per ha berdasarkan pola hutan rakyat dari 30 plot contoh Kelas Diameter Jumlah Pohon Rata-Rata Per ha Agroforestri Monokultur Polikultur > Metode penebangan berpengaruh pada bentuk struktur tegakan berikutnya. Hampir tidak pernah ditemui penebangan di hutan rakyat dengan cara tebang habis (clear cutting) melainkan kebanyakan menggunakan tebang pilih (selective cutting). Pemilihan pohon yang ditebang dimulai dari pohon-pohon yang berdiameter yang besar. Setelah pemanenan, petani mulai menanam kembali tanaman baru di sela-sela tanaman yang tertinggal atau pohon baru timbul dari trubusan dari tunggak bekas pohon yang ditebang. Kegiatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan membentuk struktur tegakan mendekati stuktur hutan alam dengan variasi diameter dan jenis. Kelas diameter pohon di Desa Sukaraharja memiliki sebaran yang lebih lebar dibanding kedua desa lainnya (Lampiran 8). Data tersebut menunjukkan terdapat keinginan yang kuat untuk menunda tebangan sampai diameter yang cukup besar di desa tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kesejahteraan di Desa Sukaraharja yang lebih tinggi dibanding dengan 2 lokasi desa lainnya.

90 72 Jumlah Pohon Rata_rata (per Ha) Agroforestri 0~5 5~10 10~15 15~20 20~25 25~30 30~35 35~40 40~45 45~50 >50 Kelas Diameter (cm) Jumlah Pohon Rata-Rata (per Ha) Monokultur 0~5 5~10 10~15 15~20 20~25 25~30 30~35 35~40 40~45 45~50 >50 Kelas Diameter (cm) Jumlah Pohon Rata-Rata (per Ha) Polikultur 0~5 5~10 10~15 15~20 20~25 25~30 30~35 35~40 40~45 45~50 >50 Kelas Diameter (cm) Gambar 20 Perbandingan jumlah pohon rata-rata per ha pada tiap pola tanam dan kelas diameter Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat Hutan rakyat menghasilkan kayu sebagai produk utamanya, mempunyai beberapa tahapan kegiatan pengelolaan. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasarannya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan maka kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan rakyat dapat dirinci sebagai berikut : Penanaman Hutan Rakyat Pada awalnya petani belum memikirkan dan merencanakan kegiatan penanaman pepohonan dalam kebun mereka. Pohon-pohon tersebut kebanyakan tumbuh secara alami di lahan mereka. Benih tersebar dari pohon induk yang telah ada. Kegiatan penanaman hanya dilakukan ketika ada bantuan program-program penghijauan dari pemerintah, seperti Program Penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an, Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1964, serta

91 73 program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL yang kemudian menjadi GERHAN) yang dimulai pada tahun Gambar 21 Pedagang bibit keliling dari desa ke desa Kegiatan penanaman oleh petani mulai terjadi pada awal tahun 1990-an dan diperkirakan terus meningkat terutama pada tahun 2000-an. Hal ini sejalan dengan mulai berkembangnya industri pengolahan kayu dan mulai adanya jalinan pasar ke luar daerah. Alasan utama petani melakukan penanaman di hutan rakyat karena faktor ekonomi. Petani dengan swadaya melakukan kegiatan penanaman. Bibit diperoleh dengan dua cara, yaitu dari bibit yang telah tumbuh alami di kebun kemudian dipindahkan ke lokasi penanaman atau dengan cara membeli. Bibit yang dibeli cukup tersedia di masyarakat, dan mudah diperoleh. Sekitar 2-3 tahun ke belakang, para pedagang bibit berkeliling dari satu desa ke desa lainnya dengan menggunakan mobil, membawa berbagai macam bibit yang digemari petani untuk ditanam. Petani tidak lagi melakukan penanaman dari bibit alam karena semakin cepatnya umur tebang pohon sebelum mencapai umur silvikultur, yaitu umur pohon yang dapat menghasilkan benih yang baik untuk meneruskan regenerasinya. Pohon sengon dapat berbuah dengan baik pada umur 8 tahun ke atas, sementara rata-rata tebang pohon sengon di lapangan berkisar umur 5 tahun. Demikian pula untuk tanaman mahoni berbuah baik pada umur tahun, sedangkan rata-rata umur tebang mahoni di hutan rakyat berkisar umur 10 tahun.

92 74 Penanaman seringkali dilakukan pada musim penghujan. Kecuali pembukaan baru yang serempak, pada umumnya petani melakukan penanaman di sela-sela tanaman yang sudah besar atau dalam istilah kehutanan disebut dengan penanaman pengayaan (enrichment planting). Ruang kosong di lahan kebun biasanya terjadi akibat penebangan yang terpilih atas pohon-pohon bernilai jual. Selain menanam kembali setelah penebangang, cara lain yang sering dilakukan petani adalah dengan menggunakan cara trubusan (coppice system). Cara ini memberi pertumbuhan lebih cepat dibanding menanam dari awal, karena perakarannya sudah terbentuk dari pohon sebelumnya Pemeliharaan Hutan Rakyat Pada umumnya petani di Kabupaten Ciamis sudah melakukan pemeliharaan melalui kegiatan pemupukan dan penyiangan. Pemupukan dilakukan setiap 3 bulan sekali atau sebanyak 2-3 kali pada tahun pertama saja. Setelah tanaman berusia setahun, pemupukan tidak dilakukan lagi. Dari pola pemeliharaan berdasarkan pola tanamnya, pola agroforestri lebih intensif pemeliharaannya dibanding pola lainnya. Tegakan pohon terus menerus dilakukan pemupukan lebih dari setahun umumnya terjadi pada pola agroforestri, sehingga pohon mendapatkan suplai pupuk yang merupakan dampak tidak langsung dari pemberian pupuk pada tanaman lain yang tumbuh di dekat atau di bawah tegakan pohon. Tanaman pertanian yang biasanya rutin dilakukan pemupukan adalah empon-emponan seperti kapulaga (Amomum cardamomum willd.) yang tahan terhadap naungan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, pisang dan cengkeh serta tanaman lainnya. Penyiangan dilakukan rutin apabila rumput dan belukar sudah menutupi areal pertumbuhan pohon. Umumnya penyiangan dilakukan dua kali dalam setahun sampai tajuk pohon ternaungi sekitar usia tegakan 2-3 tahun. Ketika pohon sudah tinggi dan tajuk pohon sudah menutupi lantai hutan, maka semak belukar juga tidak tumbuh karena tidak mendapat sinar matahari sehingga tidak perlu dilakukan penyiangan lagi.

93 Pemanenan dan Penjualan Kayu Hutan Rakyat Sistem pemanenan di Kabupaten Ciamis terdapat 2 macam, yaitu sistem kubikasi dan sistem borongan. Perbedaan kedua sistem tersebut yaitu untuk sistem kubikasi, penjual (petani/pemilik lahan) melakukan pemanenan sendiri dengan menebang dan memotong dalam bentuk log kayu, sehingga ketika dijual kepada pembeli (pedagang) sudah dalam bentuk setengah jadi dan dijual dalam satuan volume atau kubikasi. Sedangkan jika petani melakukan penjualan dengan sistem borongan, maka pemanenan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli. Sebagian besar petani di Kabupaten Ciamis masih melakukan penjualan dengan sistem borongan, walau dengan keuntungan lebih rendah. Salah satu yang menjadi alasannya karena petani masih belum memahami proses pengelolaan pemanenan dengan baik. Selain alasan tersebut, banyak pemilik lahan atau petani yang tidak mau repot untuk melakukan pemanenan sendiri. Hutan rakyat bagi mereka masih merupakan pendapatan sampingan, sehingga tidak mau mengorbankan waktu banyak untuk kegiatan ini. Ukuran minimal diameter pohon yang laku dijual di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Gunungkidul hampir sama, yaitu minimal 10 cm, baik untuk jenis jati, mahoni, maupun sengon. Walaupun petani menjual dengan sistem borongan, maka pedagang di lapangan akan memilih ukuran diameter di atas atau sama dengan ukuran minimal tersebut. Pemanenan dilakukan dengan tebang pilih dan tidak dilakukan tebang habis. Tawar menawar harga dilakukan berdasarkan harga dari pohon-pohon berdiri yang layak jual dan dugaan besar volume atau kubikasi yang akan ditebang oleh pedagang. Perhitungan ini ada kemungkinan kurang tepat dan umumnya di bawah harga pasar sehingga merugikan petani. Sistem ijon walaupun sangat jarang tetapi masih ditemui di lapangan terutama pada lokasi yang memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Dengan sistem ini petani menerima uang di muka dengan harga tegakan pada saat itu, tetapi tegakannya tidak bisa dipanen sampai masa waktu tertentu yang telah disepakati pembeli dan penjual. Sebagian petani telah mengetahui harga pasar. Hak tawar ini terjadi karena banyaknya pedagang yang beredar di kalangan petani, sehingga tidak ada monopoli pedagang di tingkat rendah. Informasi tentang adanya petani yang ingin

94 76 menjual kayu umumnya cepat beredar di kalangan pedagang ranting, sehingga seorang petani mendapat tawaran harga lebih dari satu pedagang. Persaingan harga antar pedagang ranting akan terjadi. Petani akan memilih pedagang yang memberi harga tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi monopoli antar petani dengan pedagang. Kelemahan posisi petani masih nampak terjadi jika lokasi lahan hutan rakyat berada jauh dari jalan. Petani kesulitan dalam memperhitungkan besarnya biaya eksploitasi, sehingga pedagang dapat mempermainkan harga dalam menilai harga tegakan yang akan dipanen. Harga antara tegakan yang berada di pinggir jalan dengan yang jauh dari jalan sangat jauh berbeda. Perdagangan kayu rakyat memiliki rantai pemasaran yang panjang (Gambar 22). Dari petani sampai ke pabrik bisa melalui sampai 5 (lima) tahapan. Ketika petani ingin menjual kayunya, maka tahapan pertama adalah berhubungan dengan pedagang tingkat ranting yang kadang disebut dengan tengkulak. Pedagang ranting ini jumlahnya banyak sehingga persaingan antar mereka sering terjadi dalam memperebutkan pembelian kayu di petani. Petani akan menjual kepada pembeli yang menawarkan harga yang lebih tinggi. Konsumen Lokal Perantara (Broker) Petani Pedagang Ranting Penggergajian Lokal - Penampung (Pedagang Besar/ Supplier) - Toko Material - Industri Mebel Industri Besar Gambar 22 Aliran perdagangan kayu rakyat dari petani sampai konsumen lokal dan pabrik

95 77 Pedagang ranting merupakan perpanjangan tangan dari pengusaha penggergajian tingkat lokal. Setiap pengusaha penggergajian menempatkan beberapa pedagang ranting di beberapa wilayah desa. Pedagang ranting ini diberi modal untuk melakukan pembelian kayu, sehingga ada keterikatan antara pedagang ranting dengan pengusaha penggergajian. Kemudian setiap pengusaha penggergajian menjual kayu-kayu hasil olahannya kepada penampung (pedagang besar), yang memiliki hubungan langsung dengan pihak pabrik. Penampung ini biasanya ada di kota yang relatif besar seperti Bandung, Banjar, Pangandaran dan kota lainnya di Kabupaten Ciamis. Hasil wawancara terhadap beberapa pihak pedagang dan industri penggergajian menunjukkan bahwa pihak pabrik tidak langsung membayar tunai, maka bisa terjadi bahan baku ditampung pada pihak perantara (broker) sebelum masuk pabrik. Di pihak perantara kayu dapat dibayar langsung secara tunai sehingga perputaran modal tidak terhambat. Jalur panjang ini umumnya terjadi untuk bahan baku ekspor seperti palet, yang saat sekarang sangat diminati yang berasal dari kayu rakyat. Sedangkan untuk furnitur atau kebutuhan lokal, jalur pemasaran lebih singkat yaitu dari industri penggergajian langsung ke konsumen. Berdasarkan peraturan mengenai pejualan kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, kayu yang akan dibawa ke luar wilayah Ciamis harus disertai dengan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAUK) yang dikeluarkan oleh pihak aparat desa. Selain SKAUK, kayu juga harus dibuatkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) dari Dinas Kehutanan setempat. Peraturan yang berbeda terjadi di Kabupaten Gunungkidul (Gambar 23). Pemilik kayu jika akan melakukan penebangan di wilayah lahan miliknya harus mengurus Surat Izin Tebang (SIT) yang dikeluarkan oleh pihak aparat desa. Setelah ditebang, untuk pengangkutan petani harus membuat SKSKB (Surat Keterangan Sah Kayu Bulat) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan (DISHUTBUN) setempat. Pengamatan di dua lokasi Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul, hampir tidak ada petani yang melakukan sendiri pengurusan surat-surat izin tersebut. Semua pengurusan diserahkan kepada pedagang yang membeli kayu. Umumnya surat izin dibuat oleh pedagang sekaligus untuk beberapa tebangan di beberapa lokasi agar

96 78 efisien dengan mengatasnamakan salah satu petani yang tebangannya terbanyak. Sampai saat ini, petani merasa tidak perlu untuk melaksanakan sendiri pengurusan tersebut. Harga kayu yang ditawarkan oleh pedagang ranting cukup memuaskan mereka, jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu yang telah dilakukan untuk pengelolaan hutan rakyat. Menurut petani, pengelolaan hutan rakyat merupakan usaha sampingan yang tidak memerlukan banyak intensitas waktu. Pemilik Kayu Hutan Rakyat Kayu diangkut oleh pembeli ke luar desa Diajukan ijin Tebang ke Kades/Lurah Penerbitan SKSKB Petugas Desa memverifikasi kayu di lahan Petugas DISHUTBUN memverifikasi dan mengetok kayu Lurah/Kades mengesahkan Diajukan SKSKB ke DISHUTBUN dengan membawa SIT a. Proses Izin Tebang SIT b. Proses SKSKB Kayu Ditebang Kayu dikumpulkan Gambar 23 Contoh alur ideal perizinan penebangan kayu di Kabupaten Gunungkidul (Sumber : Dishutbun, 2005) Pengaturan Hasil di Hutan Rakyat Pada pengelolaan hutan untuk produksi, perencanaan jangka panjang selalu diterapkan berupa pengaturan hasil hutan. Sistem pengaturan hasil memerlukan informasi mengenai waktu yang diterapkan, banyak atau jumlah yang akan dipanen yang berhubungan dengan pertumbuhan tegakannya, dan luas yang dikelola, sehingga perlu suatu wadah/unit pengelolaan yang jelas. Pengaturan hasil di hutan rakyat sampai saat ini secara fakta di lapangan menunjukkan bahwa keputusan masih bersifat perorangan atau per keluarga

97 79 pemilik lahan. Waktu penebangan pohon merupakan keputusan pribadi masingmasing pemilik lahan, sehingga tidak ada aturan yang jelas berapa yang akan ditebang pada waktu tertentu. Dalam ilmu pengelolaan hutan, masa tanam sampai waktu pohon siap tebang disebut dengan daur. Penentuan lama waktu penanaman sampai siap tebang berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya pertimbangan fisiologis, teknis, finansial dan lainnya. Untuk pengelolaan hutan rakyat, pertimbangan waktu pohon ditebang berdasarkan pertimbangan kebutuhan dari si pemilik kayu. Pemilik kayu akan menjual pohon sebagai salah satu alternatif jika membutuhkan dana. Alasan petani pemilik hutan rakyat menjual kayunya umumnya untuk kepentingan yang besar bukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang dianggap kepentingan besar oleh petani seperti untuk membeli tanah, biaya sekolah, hajatan pernikahan atau sunatan dan alasan lain yang membutuhkan biaya besar. Petani menggolongkan hasil pemasukan atas hasil harian seperti dari tanaman pertanian contohnya cabai, sayur-sayuran dan lainnya; hasil bulanan seperti dari tanaman petanian dan perkebunan contohnya padi, cengkeh, kapulaga dan lainnya; dan hasil tahunan berupa kayu. Pada Gambar 24 terlihat fluktuasi yang terjadi setiap bulan per tahun terhadap peningkatan penjualan kayu dari hutan rakyat. Di Kabupaten Ciamis (Gambar 24a) dari data 2 tahun yaitu tahun 2008 dan 2009, sedikit terjadi pengulangan waktu. Pada pertengahan tahun yaitu pada bulan Juni sampai September terjadi peningkatan yang beruntun (lingkaran putus-putus pada Gambar 24a). Kemungkinan karena musim panas yang mendukung kondisi lapang untuk menebang pohon dan bertepatan mulai masuknya sekolah dan perguruan tinggi. Sedangkan pada bulan Oktober sampai Desember terjadi penurunan penjulan kayu. Penurunan penjualan terjadi karena faktor musim penghujan sehingga tidak ada penebangan kayu pada musim tersebut. Musim penghujan merupakan awal penanaman tanaman pertanian, sehingga penebangan tidak dilakukan untuk menghindari kerusakan tanaman tersebut.

98 Volume (m3) Bulan (a) Volume (m3) Bulan (b) Gambar 24 Fluktuasi penjualan kayu dari petani setiap bulan per tahun di (a) Kabupaten Ciamis dan (b) Kabupaten Gunungkidul (Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul) Di wilayah Kabupaten Gunungkidul fluktuasi naik dan turunnya penjualan kayu berulang setiap tahun berdasarkan pengecekan terhadap data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat. Puncak-puncak penjualan berulang pada waktu yang hampir berdekatan pada dua sampai tiga tahun pendataan terlihat pada Gambar 24 terlihat pada garis lingkaran putus-putus. Pada bulan-bulan tertentu seperti Maret (Gambar 24b) di wilayah Gunungkidul terjadi

99 81 peningkatan penjualan kayu. Hal ini diduga berhubungan dengan kondisi-kondisi tertentu seperti kegiatan hajatan pernikahan yang terjadi di tahun-tahun tersebut. Biasanya di masyarakat Jawa hajatan pernikahan banyak dilakukan pada bulan besar atau bulan haji, yaitu untuk tahun terjadi pada bulan Januari dan Februari. Dapat juga alasan karena awal musim kemarau, sehingga kondisi lapangan memungkinkan untuk melakukan penebangan dimana tidak ada tanaman pertanian yang baru tanam. Sebaiknya juga terlihat pada awal musim penghujan sekitar Oktober dan November terjadi penurunan yang drastis dalam penjualan kayu. Hal ini karena kondisi di lapangan masih banyak tanaman pertanian yang baru ditanam sehingga kegiatan penebangan tidak banyak dilakukan karena dikhawatirkan akan merusak tanaman pertanian yang masih muda. 4.2 Tipologi Hutan Rakyat Penentuan Faktor Dominan Pembentuk Tipologi Pembagian tipologi desa berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi setempat dengan desa sebagai unit pengamatan terkecil. Faktor biofisik yang diamati ada 9 peubah, terdiri dari 6 faktor biofisik dan 3 faktor sosial ekonomi. Berdasarkan korelasi Spearman terdapat hubungan yang sangat nyata antara beberapa peubah terhadap keberadaan luas hutan rakyat di suatu desa (Tabel 11). Peubah yang memiliki korelasi yang kuat dan bernilai positif terhadap luas hutan rakyat adalah rasio antara penggunaan lahan bukan sawah (non sawah), dan kelerengan lahan. Sedangkan yang memiliki korelasi tinggi tapi bernilai negatif adalah kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, umur produktif, jarak ke hutan, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. Dari 9 faktor pada Tabel 11 tersebut yang memiliki nilai tiga terbesar korelasinya terhadapa luas hutan rakyat setiap desa adalah kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan lahan bukan sawah. Sedangkan yang tidak berkorelasi adalah jarak desa ke jalan besar terdekat.

100 82 Tabel 11 Korelasi Spearman antar peubah No Peubah Hutan Kepadatan Rumah Umur Non Kelerengan Jarak Jarak Kemampuan Kerapatan rakyat penduduk Permanen Produktif Sawah lahan hutan jalan lahan Jalan 1 Hutan rakyat ** ** ** ** ** ** ** ** 2 Kepadatan penduduk ** ** 0932 ** ** ** ** ** ** 3 Rumah permanen ** ** ** * ** 4 Umur produktif ** ** ** ** ** ** ** ** 5 Rasio non sawah ** ** * ** ** ** ** ** ** 6 Kelerengan lahan ** ** ** ** ** * ** ** 7 Jarak hutan ** ** ** ** ** * ** ** 8 Jarak jalan ** ** ** * * ** ** 9 Kemampuan lahan ** ** ** ** ** * 10 Kerapatan jalan ** ** ** ** ** ** ** ** * **. Berkorelasi nyata pada level 0,01. *. Berkorelasi nyata pada level 0,05. 82

101 83 Penjelasan lebih terperinci mengenai kondisi peubah-peubah dengan keberadaaan hutan rakyat sebagai berikut: a. Kepadatan Penduduk Merupakan peubah yang berhubungan negatif dengan luas hutan rakyat. Hutan rakyat umumnya ditemukan pada wilayah berpenduduk rendah. Secara logis hal ini tentu demikian, kerena semakin sedikit penduduk berpeluang areal digunakan dengan penggunaan lain selain pemukiman seperti perkebunan dan lainnya. Kepadatan penduduk juga berkorelasi positif dengan peubah rasio umur produktif, sehingga semakin padat penduduk kemungkinan besar jumlah umur produktif juga ikut bertambah di suatu wilayah desa. b. Rasio Rumah Permanen Jumlah rumah permanen di suatu wilayah dalam penelitian ini diasumsikan sebanding dengan tingkat pendapatan penduduk. Semakin banyak jumlah rumah permanen, tingkat pendapatan penduduk semakin tingi. Hubungan antara pendapatan penduduk dengan potensi keberadaan hutan rakyat di suatu desa berkorelasi negatif. Hutan rakyat umumnya banyak ditemukan pada kondisi desa yang memiliki rata-rata pendapatan yang rendah. Hal ini disebabkan luasnya hutan rakyat pada kondisi lahan marginal yang tidak memiliki banyak alternatif kegiatan pertanian yang lebih produktif, sehingga pendapatan penduduk relatif tidak meningkat. c. Rasio Umur Produktif Rasio umur produktif merupakan peubah yang berhubungan negatif dengan luas hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat tidak seintensif pengelolaaan pertanian dan perkebunan, sehingga ketika terjadi urbanisasi yang besar, banyak penduduk desa yang berada dalam usia produktif bekerja di kota. Akhirnya kebanyakan penduduk yang tinggal di desa adalah orang-orang usia lanjut. Kondisi ini memungkinkan pemilihan menanam kayu-kayuan dibanding dengan pertanian intensif. d. Kerapatan Jalan Peubah ini berkorelasi dominan kedua setelah rasio kelerengan lahan terhadap keberadaan hutan rakyat di suatu desa. Desa yang memiliki kerapatan jalan

102 84 yang besar cenderung memiliki hutan rakyat yang sedikit. Kerapatan jalan berhubungan dengan kemajuan transportasi di suatu wilayah desa. Semakin maju desa memungkinkan banyaknya alternatif penggunaan lahan lain yang lebih produktif. e. Penggunaan Lahan Bukan Sawah (Non Sawah) Suharjito (2000) menyatakan bahwa umumnya lokasi hutan rakyat berada di wilayah areal lahan kering daerah atas (upland areas). Daerah tersebut merupakan daerah pertanian non sawah, yang biasa disebut dengan tegalan atau kebun. Tegalan atau kebun dalam pendataan statistik disebut dengan lahan pertanian non sawah. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa peubah ini berkorelasi positif dengan keberadaan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa peubah ini bisa menjadi penanda untuk menduga potensi pengembangan hutan rakyat di suatu desa atau wilayah. Semakin luas penggunaan lahan pertanian non sawah maka semakin besar pula potensi pengembangan hutan rakyatnya. f. Kemampuan Lahan Berdasarkan sejarahnya, hutan rakyat terbentuk karena gerakan penghijauan pada daerah-daerah kritis (Hardjanto 2003). Oleh karena itu perkembangan hutan rakyat diduga dominan di wilayah-wilayah tidak subur. Hasil uji korelasi dengan luas hutan rakyat menunjukkan adanya korelasi negatif sehingga mendukung dugaan hutan rakyat berkembang di wilayah tidak subur. g. Rasio Kelerengan Lahan Peubah ini memiliki korelasi tertinggi diantara peubah lainnya. Ini menunjukkan bahwa hutan rakyat dominan berada di wilayah yang tidak datar, yakni berada di wilayah landai sampai curam. Hutan rakyat merupakan alternatif berikutnya ketika lahan tidak memungkinkan untuk ditanam tanaman pertanian atau budidaya lain yang lebih cepat menghasilkan. Wilayah yang tidak memperoleh pengairan untuk sawah berada di wilayah-wilayah atas (upland areas) yang memiliki topografi lebih curam. Hutan rakyat berkembang di daerah yang bertopografi curam.

103 85 h. Jarak ke Hutan Negara Keberadaan hutan negara di dalam atau sekitar desa ternyata berpengaruh terhadap keberadaaan hutan rakyat. Semakin dekat areal hutan negara dengan suatu desa, maka umumnya semakin besar potensi hutan rakyat. Kondisi ini diduga karena faktor biofisik dan budaya. Wilayah hutan negara di Kabupaten Ciamis umumnya berada di daerah-daerah pegunungan dengan topografi curam dan kondisi assesibilitas yang sulit. Dengan kondisi biofisik demikian, alternatif penggunaan lahan tidak banyak sehingga penggunaan lahan dengan penanaman yang tidak intensif menjadi pilihannya. Ditinjau dari sudut budaya, masyarakat yang tinggal berdekatan dengan hutan sudah terbiasa dengan pengelolaan hutan dan umumnya terlibat langsung sebagai penggarap jika hutan tersebut hutan produksi. Sebagai penggarap di areal tumpangsari Perum Perhutani, petani sudah terbiasa dengan cara-cara menanam, memelihara, dan bahkan terlibat dalam kegiatan pemanenan sebagai buruh tebang. Kebiasaan ini sering juga diterapkan di lahan milik pribadi mereka. Penyebaran bibit secara alam dari hutan negara ke lahan milik melalui angin dan binatang-binatang hutan diduga merupakan salah satu cara penyebaran alami, sehingga jenis-jenis tanaman yang biasa ada di hutan negara seperti jati, mahoni, dan pinus. tumbuh di lahan milik pribadi petani i. Jarak ke Jalan Hasil analisis korelasi menunjukkan jarak terdekat antar batas desa ke jalan provinsi (jalan kolektor) tidak berpengaruh nyata terhadap kondisi hutan rakyat di suatu desa dibanding peubah lainnya. Jalan besar merupakan jalur transportasi pengangkutan kayu ke luar wilayah. Peubah ini tidak berpengaruh nyata terhadap luas hutan rakyat. Wilayah dekat jalan besar memiliki keuntungan biaya pengangkutan menjadi murah, tetapi harga tanah menjadi lebih mahal. Sedangkan wilayah yang jauh dari jalan besar akan sebaliknya. Berdasarkan analisis komponen utama (AKU), peubah-peubah yang digunakan diuji korelasinya dengan luas hutan rakyat di suatu desa. Hasil korelasi pada Tabel 12 diketahui bahwa dari 9 peubah yang dianalisis, hanya satu faktor yaitu jarak ke jalan besar yang secara statistik mempunyai korelasi kecil.

104 86 Dengan demikian, maka analisis lebih lanjut hanya menggunakan pendukung. 8 peubah Untuk mengetahui berapa banyak komponen utama yang akan digunakan, maka dipergunakan nilai kumulatif proporsi lebih dari 70%. Pada delapan komponen utama yang dihasilkan dapat dipotong sampai PC empat saja karena sudah mewakili proporsi keragaman yang cukup. Tabel 12 Nilai komponen utama (PC) pada lima peubah dan nilai kumulatifnya Peubah PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 PC8 Kepadatan 0,340-0,389-0,523 0,115-0,056 0,033-0,627 0,223 Penduduk Rumah permanen 0,146-0,340 0,603-0,108-0,669 0,056-0,114 0,156 Umur Produktif 0,371-0,479-0,284 0,107-0,133-0,083 0,668-0,264 Non Sawah -0,441-0,185-0,018 0,457-0,080-0,661 0,068 0,338 Kelerengan lahan -0,491-0,295-0,100-0,168-0,149-0,084-0,281-0,725 Jarak ke hutan 0,337 0,293 0,212 0,715-0,074-0,056-0,199-0,443 Kemampuan Lahan 0,185 0,520-0,333-0,325-0,523-0,450-0,001-0,055 Kerapatan Jalan 0,377-0,164 0,341-0,331 0,475-0,582-0,157-0,128 Akar ciri (eigenvalue) 2,407 1,323 1,069 0,904 0,8463 0,5602 0,4969 0,3929 Proporsi 0,301 0,165 0,134 0,113 0,106 0,070 0,062 0,049 Kumulatif Proporsi 0,301 0,466 0,600 0,713 0,819 0,889 0,951 1,000 Dari 4 PC pada Tabel 12 dapat diketahui empat indeks desa di Kabupaten Ciamis yang didekati dari 8 faktor. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari peubah dominan yang membentuk komponen utamanya sebagai berikut : - Pada PC1 menggambarkan indeks kelerengan lahan dan non sawah. Nilai ini menunjukkan dominan kelerengan lahan yang datar dengan kegiatan non persawahan yang rendah. - Pada PC2 merupakan indeks kondisi kemampuan lahan yang menunjukkan kemampuan lahan yang tinggi. - Wilayah PC3 merupakan indeks rumah permanen dan kepadatan penduduk yang merupakan peubah sosial ekonomi. - Pada wilayah PC4 merupakan indeks jarak desa ke kawasan hutan negara. PC4 menunjukkan nilai akar ciri yang tinggi pada jarak ke kawasan hutan yang semakin jauh.

105 87 Tabel 13 Banyaknya anggota setiap kombinasi dan kelompok Kombinasi Jmh Peubah 8 Peubah*) 7 Peubah*) JUMLAH ANGGOTA TIAP KELOMPOK 6 Peubah*) 5 Peubah*) 4 Peubah*) 3 Peubah*) 2 Peubah*) 5 Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok *) Kombinasi Peubah yang digunakan : - 8 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio umur produktif, kepadatan penduduk, kemampuan lahan, dan rasio rumah permanen. - 7 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio umur produktif, kepadatan penduduk, dan kemampuan lahan - 6 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio umur produktif, dan kepadatan penduduk - 5 Peubah= kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, dan rasio umur produktif - 4 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, dan jarak ke hutan - 3 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan non sawah - 2 Peubah = kelerengan lahan dan kerapatan jalan PC PC Pembentukan Tipologi Jumlah Tipologi Hasil klastering menggunakan semua alternatif kombinasi peubah mulai dari penggunaan 8 peubah sampai dengan 2 peubah, baik data asli maupun data hasil transformasi dengan analisis komponen utama dapat disajikan pada Tabel 13. Pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa penggunaan 5 kelompok dan 4 kelompok menghasilkan jumlah tipologi yang kurang efisien karena jumlah anggota sangat kecil dibawah 10 desa, kecuali satu yang menggunakan kombinasi PC123 dengan 4 kelompok. Sedangkan untuk 3 kelompok dan 2 kelompok terdapat 4 kombinasi

106 88 jumlah peubah yang menghasilkan jumlah kelompok yang efisien, yaitu yang menggunakan kombinasi 2 peubah, 4 peubah, PC1234 (PC1, PC2, PC3, dan PC4), dan PC123(PC1, PC2, dan PC3). Dari semua kombinasi yang telah dicoba pada Tabel 13, hanya 8 kombinasi jumlah peubah yang dapat dianalisis selanjutnya. Kombinasi jumlah peubah yang menghasilkan kelompok yang sama maka dipilih yang paling sederhana. Tabel 14. Daftar kombinasi terpilih tersebut dapat dilihat pada Tabel 14 Jumlah desa setiap kelompok terpilih Kombinasi Jumlah Desa Jumlah Peubah Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 2 Peubah Kelp 2 Peubah Kelp 4 Peubah Kelp PC Kelp PC Kelp PC Kelp PC Kelp PC123 2 Kelp Pengujian Kelompok Pada Gambar 25 menunjukkan hasil kedua uji ragam melalui uji dalam kelompok dan antar kelompok. Hasil uji dianggap baik jika ragam dalam kelompok kecil dan ragam antar kelompok besar. Gambar 25a memperlihatkan bahwa uji ragam antar kelompok kombinasi 1 sampai 4 relatif memiliki ragam dalam kelompok yang kecil dibanding kombinasi 5 sampai 8. Sedangkan untuk uji ragam antar kelompok pada Gambar 25b ragam yang terbesar adalah kombinasi ke 2, 5, 7, dan 8. Untuk menentukan kombinasi yang teruji baik dari ke delapan kombinasi lewat dua uji ragam tersebut, maka dilakukan pengurangan antara uji ragam antar kelompok dengan uji ragam dalam kelompok. Nilai selisih terbesar adalah yang memiliki nilai uji yang baik (dapat dilihat pada Tabel 15).

107 89 Ragam Rata2 Dalam Kelompok Kombinasi Jumlah Peubah dan Kelompok Ragam Rata2 Antar Kelompok Kombinasi Jumlah Peubah dan Kelompok Keterangan : 1= 2 Peubah-2Kelp, 2= 2 Peubah-3 Kelp, 3= 4 Peubah-2 Kelp, 4= PC1234-2Kelp, 5= PC1234-3Kelp, 6= PC123-2Kelp, 7= PC123-3Kelp, 8 = PC123-4Kelp a. Ragam dalam kelompok b. Ragam antar kelompok Gambar 25 Perbandingan ragam dalam kelompok dengan ragam antar kelompok Pada Tabel 15 diketahui selisih ragam antar kelompok dengan uji ragam rata-rata dalam kelompok. Selisih terbesar pada uji ini adalah pada kombinasi jumlah 2 peubah dengan tiga kelompok, selanjutnya kombinasi 2 peubah dengan 2 kelompok, dan yang ketiga kombinasi dengan mengunakan analisis komponen utama dengan 4 PC yang membagi 2 kelompok. Tabel 15 Ragam rata-rata antar kelompok dan dalam kelompok Kombinasi Jumlah Peubah Ragam 2 Peubah 2 Peubah 4 Peubah PC PC PC123 PC123 PC123 - Rata-Rata -2 Kelp -3 Kelp -2 Kelp 2 Kelp 3 Kelp 2 Kelp 3 Kelp 4Kelp Antar Kelompo k (A) 1,49 3,97 1,20 1,53 3,96 0,94 3,85 6,63 Dalam Kelompo k (B) 12798, , , , , , , ,55 Selisih (A-B) , , , , , , , ,92 Rangking Dari delapan kombinasi yang dianalisis, tiga kombinasi menggunakan peubah asli sedangkan lima kombinasi sudah menggunakan peubah PC yang diubah melalui analisis komponen utama (AKU). Metode gerombol (clustering analysis) menggunakan asumsi tidak ada multikolinieritas antar peubah yang digunakan. Peubah hasil transformasi AKU adalah peubah yang saling orthogonal sehingga korelasi antar PC menjadi sangat kecil. Menurut Santoso (2010)

108 90 menyatakan bahwa batas kolinieritas tersebut masih dapat ditolerir untuk nilai korelasi dibawah 0,5. Pada Tabel 16 dapat diketahui hasil evaluasi akurasi pada kedelapan kombinasi terpilih. Hasil evaluasi akurasi menunjukkan, nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa terbesar terdapat pada perlakuan kombinasi PC1234 dengan 2 kelompok dengan nilai masing-masing 64% dan 27%. Kombinasi kedua yang terbaik adalah kombinasi 2 peubah dengan 2 kelompok dengan nilai akurasi umum sebesar 63% dan akurasi Kappa sebesar 26%. Kombinasi tersebut yang paling akurat dalam menduga kelompok desa berdasarkan luas hutan rakyat. Tabel 16 Nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa No. Kombinasi jumlah Akurasi peubah Rata-rata umum (%) Kappa (%) 1. 2 Peubah-2 kelompok 63,393 26, Pebah- 3 kelompok 46,429 17, Peubah-2 kelompok 60,714 21, PC kelompok 63,988 27,633 5 PC kelompok 40,179 13,932 6 PC123-2 kelompok 50,595 1,650 7 PC123-3 kelompok 40,476 14,271 8 PC123-4 kelompok 27,083 6,015 Secara konsisten berdasarkan uji keragaman dan uji akurasi, diperoleh 2 peubah yang dominan yaitu rasio kelerengan lahan dan kerapatan jalan. Kedua peubah ini dapat menjadi kunci dalam membagi wilayah hutan rakyat agar relatif seragam. Hal tersebut merupakan informasi awal dari kegiatan pengelolaan hutan rakyat dalam membentuk wadah unit pengelolaan Tipologi Desa dan Karakteristiknya Pada proses akurasi terdapat dua kombinasi yang memiliki akurasi yang baik, yaitu kombinasi dengan mengunakan PC1234 dengan nilai akurasi sebesar 64% dan kombinasi dengan 2 peubah (rasio kelerengan dan kerapatan jalan) dengan nilai akurasi sebesar 63%. Sebaran pengelompokan desa tersebut dapat dilihat pada Gambar 26. Berdasarkan kombinasi PC1234 terlihat dugaan wilayah Kabupaten Ciamis memiliki 70% daerah yang memiliki potensi pengembangan hutan rakyat yang besar. Sedangkan berdasarkan kombinasi 2 peubah menduga

109 91 sebanyak 74% wilayah Kabupaten Ciamis merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang besar. Potensi pengembangan hutan rakyat dilihat dari besarnya luasan hutan rakyat di dalam suatu desa. Luas hutan rakyat yang besar merupakan salah suatu peluang untuk mencapai pengelolaan hutan rakyat yang menguntungkan dan efisien. Tabel 17 Karakteristik desa setiap tipologi Tipe Karakteristik desa Kesimpulan Jumlah Desa Kombinasi 2 Peubah PC1234 I Merupakan wilayah-wilayah desa dimana penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat. Terdapat kondisi-kondisi yang kurang memungkinkan untuk berkembangnya hutan rakyat secara biofisik ditambah aspek sosial ekonomi. Wilayah desa yang kurang berpotensi pengembangan hutan rakyat II Merupakan wilayah-wilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Faktor-faktor biofisik dan ditambah dengan sosial ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaaa hutan rakyat di desa ini. Wilayah desa yang berpotensi besar pengembangan hutan rakyat Pada Gambar 26 dapat dilihat bahwa sebaran yang dihasilkan dengan kombinasi PC1234 terlihat lebih kompak dan sehamparan dibanding sebaran yang dihasilkan kombinasi 2 peubah. Untuk membentuk satu unit pengelolaan lebih mudah ketika wilayah yang akan digabungkan berdekatan secara spasial. Tetapi jika unit pengelolaan tersebut berupa desa tentunya dapat berdiri sendiri secara individual ketika potensinya besar.

110 92 (a) Nilai standar pengelompokan 2 tipologi (b) Pengelompokan hutan rakyat berdasarkan kombinasi PC1234 (c) Pengelompokan hutan rakyat berdasarkan kombinasi 2 peubah Gambar 26 Pengelompokan berdasarkan dua tipologi

111 93 Berdasarkan hasil dugaan jumlah desa berpotensi tinggi, hasil dalam penelitian ini lebih besar dari nilai acuan standar sebenarnya. Terdapat beberapa hal yang memungkinkan perbedaaan ini, salah satunya karena kondisi biofisik dan sosial ekonomi suatu desa yang mendukung untuk berkembangnya hutan rakyat. Pada saat ini yang berkembang di beberapa desa yang berpotensi tinggi adalah tanaman non kehutanan seperti kelapa, cengkeh, dan lainnya. Di wilayah Selatan Kabupaten Ciamis banyak ditemui perkebunan kelapa. Dari kasus desa yang diambil sebagai contoh yaitu Desa Beber Kecamatan Cimaragas luas hutan rakyat adalah 15 ha. Dari dua kondisi biofisik, yaitu rasio kelerengan lahan dan kerapatan jalan sebenarnya mendukung untuk berkembangnya hutan rakyat ditunjukkan dengan dugaan yang masuk ke tipe II, tetapi secara fakta data standar masuk tipe I. Namun, berdasarkan kombinasi PC1234 yang dapat menduga sesuai standar acuan, kemungkinan ada faktor-faktor lain di luar rasio kelerengan lahan dan kerapatan jalan yang menghambat perkembangan hutan rakyat di desa tersebut. Dari pengamatan di lapangan, Desa Beber memang masih didominasi oleh perkebunan salak. Tetapi saat ini karena harga salak anjlok, maka banyak lahan yang dikonversi menjadi hutan rakyat. Sehingga ke depan bisa memungkinkan wilayah ini berpotensi masuk menjadi tipe II. Tabel 18 Perbandingan tipologi standar dengan tipologi hasil dugaan kombinasi peubah Desa Kecamatan Luas Hutan Berdasarkan Rakyat (Ha) Nilai Standar Berdasarkan Kombinasi Peubah PC1234 Berdasarkan Kombinasi 2 Peubah Cipaku Banjarsari 287 Tipe II Tipe II Tipe II Beber Cimaragas 15 Tipe I Tipe I Tipe II Sukaharja Lumbung 55 Tipe I Tipe II Tipe I Pada Tabel 18 terlihat bahwa hasil dugaan berdasarkan kombinasi peubah untuk luas hutan rakyat yang sangat luas seperti di Desa Cipaku sangat konsisten. Sedangkan untuk wilayah luas hutan rakyat yang rendah, maka terjadi ketidak konsistenan antara kombinasi peubah PC1234 dan kombinasi 2 peubah. Dengan menggunakan rasio antara luas hutan rakyat dengan luas desa maka yang terbesar proporsinya adalah Desa Sukaharja dengan proporsi 33% dari wilayahnya merupakan wilayah hutan rakyat. Selanjutnya Desa Cikupa memiliki proporsi 22%

112 94 dan terendah adalah Desa Beber dengan proporsi hanya 0,02%. Dibandingkan dengan dugaan berdasarkan kombinasi yang diuji ternyata kombinasi yang menggunakan perubah PC1234 lebih konsisten dalam menduga tipologi tersebut Implikasi dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Tipologi desa hutan rakyat merupakan informasi awal yang dapat digunakan untuk kegiatan perencanaan jangka panjang. Perencanaan hutan memerlukan data dan informasi menyeluruh tentang wilayah yang akan diterapkan suatu kebijakan. Pendekatan tipologi diperlukan bagi pihak yang berkepentingan, yaitu pembuat kebijakan dan petani hutan rakyat. Desa-desa dalam suatu wilayah dapat dikelompokan berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. Kondisi tersebut diperlukan dalam menerapkan regulasi berupa peraturan atau kebijakan yang sesuai dengan kondisi wilayah desa tersebut. Dalam ilmu manajemen hutan dikenal istilah preskripsi, yaitu serangkaian kegiatan yang diimplementasikan dalam suatu tegakan untuk mencapai hasil tertentu. Menurut Davis & Johnson (1987), terdapat beberapa elemen yang merupakan dasar untuk menentukan preskripsi, yaitu: klasifikasi lahan (land classification), pengaturan jadual kegiatan (activity schedule), dan prediksi pertumbuhan dan hasil (quantitiative growth and yield projection). Ketiga elemen preskripsi di atas diperlukan untuk mengelola dan merencanakan sebuah hutan dengan berbagai cara kuantitiatif. Analisis tipologi dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan dapat membantu kegiatan klasifikasi lahan di suatu wilayah. Pada penelitian ini, tipologi desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dibagi 2 tipe desa hutan rakyat, yaitu tipe I merupakan wilayah-wilayah desa dimana penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat. Pada tipe I terdapat kondisi-kondisi yang kurang memungkinkan untuk berkembangnya hutan rakyat dari aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi. Sedangkan tipe II merupakan wilayah-wilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Pada tipe II terdapat faktor-faktor biofisik dan sosial ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaaa hutan rakyat di desa yang termasuk tipe ini. Peubah-peubah biofisik dan sosial ekonomi yang dibuat sebagai landasan tipologi dalam penelitian ini mencakup karakteristik fisik seperti :

113 95 rasio kelerengan, kemampuan lahan, dan rasio non sawah; sedangkan peubah lainnya seperti kepadatan penduduk, rasio umur produktif, rasio rumah permanen, jarak ke hutan, dan kerapatan jalan lebih mencakup karakteristik perkembangan. Pertimbangan lain yang dapat dimasukkan sebagai tambahan untuk membuat klasifikasi lahan adalah karakteristik fisik wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan karakteristik vegetasi setempat (Davis & Johnson 2001). Kabupaten Ciamis memiliki satu DAS besar, yaitu DAS Citanduy yang meliputi wilayah Utara dan empat DAS kecil di wilayah Selatan, yaitu DAS Cijulang, Cikembulan, Cimedang, dan Ciputra Pinggan. Sebaran spasial DAS di kabupeten Ciamis dapat dilihat pada Gambar 28. Untuk karakteristik vegetasi terdapat sebaran jenis-jenis vegetasi yang merupakan ciri yang terbentuk dari wilayah Utara sampai Selatan. Jenis sengon (Paraserianthes falcataria) mendominasi di seluruh wilayah di Kabupaten Ciamis, sedangkan jenis jati (Tectona grandis) terdapat di wilayah Selatan dan Tengah, beberapa jenis lainnya yang banyak ditemui adalah mahoni, pulai dan manglid. Sebaran jenis vegetasi di hutan rakyat dipengaruhi oleh pasar, sehingga perubahan jenis dapat terjadi mengikuti jenis kayu yang laku dijual di pasar dengan harga tinggi. Karakteristik vegetasi dapat dilihat pada Gambar 27. Hasil tumpang tindih (overlay) karakteristik fisik, karakteristik perkembangan, dan karakteristik vegetasi akan menghasilkan beberapa tipe tegakan (stand type) yang masing-masing memiliki preskripsi tersendiri. Preskripsi tipe tegakan merupakan penjadualan kegiatan pengelolaan hutan berupa perlakuan budidaya, pemanenan, dan kegiatan lainnya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Gabungan beberapa tipe tegakan dengan mempertimbangkan batas administrasi dan DAS akan membentuk unit pengelolaan (management unit) yang memiliki preskripsi tersendiri yang merupakan tambahan dari preskripsi tipe tegakan. Beberapa preskripsi pengelolaan hutan rakyat dapat dibuat, tetapi akhirnya akan tergantung pada tujuan pemilik hutan, jumlah waktu, dana, dan detail analisis yang dicurahkan untuk merencanakan dan mengelola hutan tersebut.

114 96 IBU KOTA KABUPATEN IBU KOTA KECAMATAN IBU KOTA KOTIP BATAS PROPINSI BATAS KABUPATEN BATAS KECAMATAN JALAN KABUPATEN JALAN PROPINSI JALAN KERETA API GARIS PANTAI SUNGAI Gambar 27 Karakteristik vegetasi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Desa hutan rakyat dengan potensi besar pada tipe II sebaiknya mulai diarahkan kepada pengelolaan hutan yang lebih profesional. Dalam teori pengaturan hasil terdapat beberapa pendekatan untuk mencapai kelestarian hasil. Teori yang paling awal untuk wilayah yang belum diketahui secara detail data wilayahnya atau belum teratur tegakannya, dapat digunakan luas hutan yang bersangkutan sebagai dasar pengaturan (Osmaston, 1968). Pembagian areal ke dalam blok dan petak dilakukan pada pengelolaan hutan pada umumnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan mengenai karakteristik spasial di suatu desa

115 97 yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, terdapat batas-batas wilayah yang jelas di dalam peta desa yang dapat dijadikan pedoman awal dalam perencanaan dan pengaturan pengelolaan. Batas-batas tersebut berupa blok di dusun dan persil atau blok kepemilikan yang terdata lengkap dalam peta desa. Gambar 28 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten Ciamis Metode pengaturan hasil dapat berkembang secara bertahap ke pengaturan hasil berikutnya yang menggunakan volume atau volume dan riap sebagai dasar keputusan pengaturan hasil. Penggunaan metode yang akan diterapkan tergantung kepada kesediaan data yang dimiliki dan kemudahan dalam pengaturannya. Metode lain yang dapat dikembangkan adalah penggunakan pendekatan jumlah pohon sebagai dasar pengaturan hasil. Metode tersebut secara praktek lebih mudah dibanding dengan menggunakan volume. Petani selama ini kesulitan dalam menentukan volume tegakan yang akan dijual, sehingga data volume tersebut diperoleh dari pedagang yang akan membeli kayunya. Metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon dapat menjadi pilihan pengaturan hasil yang lebih tepat, karena petani akan lebih mudah mengukur jumlah pohon dibanding volumenya. Abidin et al. (1991) menyatakan karakteristik hutan rakyat tersebar dalam luasan yang sempit untuk setiap pemilik sehingga pengelolaan hutan tidak tepat jika dilaksanakan atas dasar kawasan. Sebagai penggantinya,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat 1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan,yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut boleh dirasakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang- Undang tersebut, hutan adalah

Lebih terperinci

TIPOLOGI DESA BERDASARKAN VARIABEL PENCIRI HUTAN RAKYAT. Village Typologies Analysis Based on Characteristic Variables of Private Forest

TIPOLOGI DESA BERDASARKAN VARIABEL PENCIRI HUTAN RAKYAT. Village Typologies Analysis Based on Characteristic Variables of Private Forest TIPOLOGI DESA BERDASARKAN VARIABEL PENCIRI HUTAN RAKYAT Village Typologies Analysis Based on Characteristic Variables of Private Forest 1 2 2 Tien Lastini, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya, 2 2 Hardjanto,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat Pengertian Hutan Rakyat

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat Pengertian Hutan Rakyat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Berdasarkan aspek hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat jika dilihat hanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 1 : (2006)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 1 : (2006) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 1 : 27-37 (2006) Artikel (Article) METODE SURVEI KAYU RAKYAT BERDASARKAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN BIOFISIK KAWASAN : Studi Kasus di Kabupaten Bogor (Survey

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Khusus di Propinsi Lampung, pembukaan

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang mampu dan dapat diperbaharui. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang besar peranannya dalam berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan yang lainnya tidak terpisahkan (Awang, 2002). kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang

PENDAHULUAN. dengan yang lainnya tidak terpisahkan (Awang, 2002). kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang PENDAHULUAN Hutan Menurut Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan milik masyarakat berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha kebun berorientasi komersil. Karena nilai ekonomi lahan yang semakin meningkat maka opportunity

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan 1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan Manajemen hutan merupakan suatu pengertian luas dari pengetrapan / aplikasi pengetahuan tentang kehutanan dan ilmu yang sejenis dalam mengelola hutan untuk kepentingan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan Pulau Jawa yang didominasi oleh bentang lahan karst dengan keadaan tapak yang cukup bervariasi.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan bahwa dalam kerangka pencapaian pembangunan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat 73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. hutan memiliki 3 fungsi utama yang saling terkait satu sama lain, yakni fungsi

TINJAUAN PUSTAKA. hutan memiliki 3 fungsi utama yang saling terkait satu sama lain, yakni fungsi TINJAUAN PUSTAKA Hutan Secara normatif, tujuan utama pengelolaan hutan sebenarnya adalah memanfaatkan seoptimal mungkin fungsi hutan. Secara konseptual sumber daya hutan memiliki 3 fungsi utama yang saling

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologi maupun sosial ekonomi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. ekologi maupun sosial ekonomi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peranan yang sangat besar dari segi ekologi maupun sosial ekonomi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi menyebabkan implikasi

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Petani Hutan Rakyat 5.1.1. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik petani hutan rakyat merupakan suatu karakter atau ciri-ciri yang terdapat pada responden.

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI Oleh: Aladin Nasution*) - Abstrak Pada dasarnya pembangunan pertanian di daerah transmigrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA PUTRI KOMALASARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT.

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. i PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. WIRAKARYA SAKTI GIANDI NAROFALAH SIREGAR E 14104050 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kelestarian Hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Lebih terperinci

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016 DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016 Disampaikan dalam : Rapat Koordinasi Teknis Bidang Kehutanan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

Dr.Ir. Suwarto M.Si KELEMBAGAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI LAHAN KERING UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Dr.Ir. Suwarto M.Si KELEMBAGAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI LAHAN KERING UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Dr.Ir. Suwarto M.Si KELEMBAGAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI LAHAN KERING UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadhirat Allah s.w.t. atas segala rakhmat,

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci