BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. pemilihan umum (Pemilu). Budiardjo (2010: 461) mengungkapkan bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bertambah. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah pemilih tetap

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut ( Dalam prakteknya secara teknis yang

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Juanda, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan pemilu merupakan agenda politik yang diadakan oleh negara setiap

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. merumuskan dan menyalurkan kepentingan masyarakat.partai politik juga

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

Jl. Lembang Terusan No. D57, Menteng Jakarta Pusat, 10310, Indonesia Telp. (021) , Fax (021) Website:

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB V PENUTUP. Dari analisis hasil penelitian sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya. dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semarak dinamika politik di Indonesia dapat dilihat dari pesta demokrasi

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang. 1. Untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan maka elit harus jeli

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi yang tidak berpenghasilan tetapi justru mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara demokratis merupakan negara yang memberi peluang dan

2015 HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP KAMPANYE DI MEDIA MASSA DENGAN PARTISIPASI POLITIK PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Keputusan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan sebuah negara dengan sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. yang menyanjung-nyanjung kekuatan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

LAPORAN RISET PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN

KECENDERUNGAN SENTIMEN EKONOMI- POLITIK 2008

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu

BAB I PENDAHULUAN. Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari

PERILAKU MEMILIH PEMILIH PEMULA MASYARAKAT KENDAL PADA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Voting Behavior. Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan tingkah laku seseorang

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan

Demokrat Peduli, Serap Aspirasi, dan Beri Solusi Untuk Kesejahteraan Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. lain sumber daya manusia (man), sumber daya pembiayaan (money), sumber daya

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

BAB I PENDAHULUAN. antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum

Membangun Organisasi Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa

PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 7 PENUTUP. dalam studi ini berikut argumentasinya. Saya juga akan membingkai temuantemuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Reformasi telah memberikan posisi tawar yang jauh lebih dominan kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Partai Politik, a Necessary Evil

Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan dihayati sehingga perbincangan

II. TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pesta demokrasi dalam suatu

Disampaikan oleh: Drs. Ali Mochtar Ngabalin, Msi. - Anggota No.A- 12

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2014 ini diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (DPR,

SPLIT-TICKET VOTING, KARAKTERISTIK PERSONAL, DAN ELEKTABILITAS BAKAL CALON PRESIDEN

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

Transkripsi:

BAB VI PENUTUP Setelah menjelaskan berbagai hal pada bab 3, 4, dan 5, pada bab akhir ini saya akan menutup tulisan ini dengan merangkum jawaban atas beberapa pertanyaan penelitian. Untuk tujuan itu, saya membagi bab penutup ini menjadi dua bagian; pertama, kesimpulan yang berisi temuan utama penelitian, kedua refleksi teoritis, yang berisi tentang implikasi teoritis atas temuan penelitian terhadap kajian perilaku pemilih di Indonesia. 1. Kesimpulan Sebagaimana uraian pada bab satu, studi ini ingin mengkaji perilaku memilih (voting behavior) buruh dalam pemilu presiden 2014. Melalui studi ini, saya ingin mencari penjelasan yang meyakinkan, bagaimanakah buruh menentukan pilihan politiknya dalam pemilu presiden 2014? Benarkah pilihan politik kaum buruh didasarkan atas pertimbangan yang rasional? Benarkah pilihan politik buruh justru dipengaruhi oleh faktor figur (ketokohan)? Atau benarkah pilihan politik buruh dipengaruhi oleh media massa? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyan tersebut, maka studi ini menggunakan pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional (rational choice). Pendekatan psikologis digunakan sebagai kerangka untuk melihat bagaimana pengaruh ketokohan calon presiden, peran media massa, dan identitas kepartaian terhadap pilihan calon presiden. Sedangkan pendekatan pilihan rasional digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh program kerja calon presiden terhadap pilihan calon presiden. Dengan menggunakan kerangka teori ini, studi ini menghasilkan dua temuan utama. Pertama, munculnya (bangkitnya) kesadaran politik di kalangan buruh, yang ditandai dengan meningkatnya partisipasi politik 132

buruh dalam pemilu, terutama semenjak pemilu tahun 2004. Kedua, dominannya pengaruh faktor psikologis dalam perilaku memilih buruh di Kota Semarang, yang ditandai dengan masih kuatnya pengaruh ketokohan calon presiden dan identitas kepartaian seseorang dalam membentuk pilihan politik buruh. Bangkitnya Kesadaran Buruh Sebagaimana penjelasan pada Bab 3, kesadaran buruh di Kota Semarang akan arti penting demokrasi elektoral sudah semakin baik. Wujud nyata kesadaran politik ini dilakukan oleh beberapa serikat buruh dengan cara memberikan pemahaman tentang arti penting politik bagi perjuangan buruh, serta dorongan bagi mereka untuk terlibat aktif dalam berbagai momentum pemilu elektoral. Keterlibatan ini dimulai semenjak pemilu 2004 dengan menempatkan beberapa aktifis buruh menjadi calon anggota legislatif melalui berbagai partai politik dan mewajibkan anggota serikat buruh ikut memilih dalam pemilu. Meskipun sampai dengan pemilu 2014 belum membuahkan hasil (mendudukkan perwakilan buruh dalam DPRD), namun usaha pelibatan dalam pemilu elektoral ini telah mampu membangkitkan semangat perjuangan dan partisipasi politik buruh. Meskipun secara hitungan kursi belum tercapai, namun uapaya penyadaran politik itu setidaknya berhasil meningkatkan tingkat partisipasi (voter turnout). Tingkat partisipasi buruh yang pada pemilu-pemilu sebelumnya cukup rendah, akhirnya berhasil meningkat. Hal ini tercermin dari besarnya angka partisipasi buruh dalam pemilu 2004 hingga 2014, dimana angkanya terus mengalami peningkatan. Implikasinya, di saat tingkat partisipasi (voter turnout) warga secara umum mengalami penurunan, tingkat partisipasi buruh ini justru mengalami peningkatan. Peningkatan partisipasi ini bisa dibaca sebagai peningkatan kesadaran politik buruh dalam pemilu. Apabila tingkat partisipasi ini dijadikan sebagai salah satu indikator kualitas demokrasi sebagaimana pendapat Mujani et al (2012), maka saya berpendapat bahwa kualitas demokrasi yang diperlihatkan oleh kalangan 133

buruh Kota Semarang sudah relatif baik. Meskipun pada kenyataannya, kualitas demokrasi ini juga perlu mendapat perhatian khusus. Utamanya ketika buruh hanya sekedar menjalankan bentuk partisipasi politik ritual, yaitu sebuah partisipasi yang kurang bersandar pada pengetahuan yang cukup, tetapi lebih karena alasan yang bersifat ritual, yakni tindakan yang tak bertujuan lain dari tindakan itu sendiri. 1 Misalnya saja keikutsertaan buruh pada pemilu lebih disebabkan karena sekedar ingin meramaikan rutinitas pemilu 5 tahunan saja. Perilaku Memilih Buruh: Dominannya Faktor Psikologis Secara umum, fakor psikologis masih menjadi faktor yang dominan dalam membentuk perilaku memilih di Indonesia. Berbagai temuan atas peranan kepemimpinan (Gaffar, 1992), panutan dan identitas kepartaian (Kristiadi, 1993), ketokohan (Mujani et al, 2012), kepemimpinan (Mujani dan Liddle, 2007), ketokohan (Mujani dan Liddle, 2010) menjadi bukti bahwa pola perilaku pemilih di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh pertimbangan yang bersifat psikologis. Pertimbangan yang bersifat rasional, kalaupun ada, pengaruhnya masih kalah dengan pertimbangan ketokohan dan identitas kepartaian (Mujani et al, 2012). Bagaimana dengan perilaku memilih buruh? Pola perilaku memilih buruh ternyata tidak jauh berbeda dengan kecenderungan perilaku memilih warga pada umumnya. Dengan mengasumsikan bahwa keputusan politiknya senantiasa didasarkan atas pertimbangan yang bersifat rasional, faktanya, perilaku memilih buruh pada pemilu presiden 2014 jsutru tidaklah demikian. Asumsi dan hipotesis yang diajukan tidak sepenuhnya terbukti. Pada kenyataannya, pilihan atas calon presiden justru lebih banyak didorong oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat psikologis, bukan atas dasar pertimbangan yang bersifat rasional. Secara meyakinkan, pilihan politik buruh dalam pemilu presiden justru lebih didominasi oleh pengaruh ketokohan calon presiden, identitas 1 Mujani et al, 2012:87. 134

kepartaian seseorang, dan peranan media massa, dibandingkan dengan pengaruh program kerja yang ditawarkan oleh kedua calon presiden. Dari beberapa temuan ini, saya berkesimpulan bahwa kecenderungan pemilih buruh di Kota Semarang masih bersifat tradisional dan belum rasional sebagaimana yang diasumsikan. Atas kesimpulan ini, saya berpendapat bahwa perilaku memilih buruh Kota Semarang dalam pemilu presiden 2014 belum politis, yaitu sebuah keputusan politik yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat programatik, melainkan masih bersifat tradisional, yang mendasarkan keputusan politiknya atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat psikologis. 2. Refleksi Teoritis Perilaku pemilih dalam pemilihan presiden sejatinya dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam konteks Indonesia, dimana sistem kepartaian yang masih lemah dan identifikasi kepartaian yang masih rendah, menyebabkan pilihan politik lebih dipengaruhi oleh karakteristik personal calon presiden (Liddle dan Mujani 2007). Sebagaimana yang terjadi pada pemilu 2004 dan 2009, kecenderungan pilihan politik pemilih pada pemilu 2014 ternyata juga tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Faktor ketokohan, bagaimanapun juga, masih menjadi faktor dominan yang membentuk perilaku pemilih di Indonesia. Berdasarkan teori perilaku memilih yang telah ada, maka temuan pada penelitian ini menegaskan bahwa perilaku memilih di kalangan buruh ternyata tidak terlalu berbeda dengan perilaku memilih warga pada umumnya. Dengan perspektif psikologis, kecenderungan pola perilaku memilih di kalangan buruh Kota Semarang ini justru terjelaskan dengan sangat jelas. Secara meyakinkan, pengaruh ketokohan dan identitas kepartaian buruh ternyata masih menjadi faktor yang dominan dalam membentuk pilihan politik buruh. Temuan ini sejalan dengan klaim Mujani et al (2012) yang menyatakan bahwa pengaruh ketokohan akan tetap menjadi faktor yang penting dalam menentukan perilaku memilih di Indonesia. 135

Apa implikasi yang akan terjadi dengan kecenderungan perilaku seperti ini? Kecenderungan pola perilaku memilih masyarakat Indonesia yang lebih didominasi pengaruh ketokohan ini tentu saja akan berimplikasi pada menguatnya gejala deparpolisasi atau party dealignment. 2 Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap partai politik. Akibatnya, aktifitas-aktifitas politik yang dilakukan oleh partai politik, terutama yang berkaitan langsung dengan pemilih, akan cenderung tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Selain gejala deparpolisasi, kecenderungan pola perilaku memilih yang masih sangat psikologis ini, akan semakin menguatkan fenomena politik berbasis ketokohan (figure based politics). Sebagaimana temuan dalam survei PWD, fenomena politik berbasis ketokohan ini cenderung semakin banyak ditemukan dan seolah menjadi gaya baru dalam berdemokrasi di Indonesia. 2 Rilis hasil survei nasional 20-26 April 2014: Split-Ticket Voting, Karakteristik Personal, Dan Elektabilitas Bakal Calon Presiden. Indikator Politik Indonesia. Jakarta. 136