BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu temuan menarik dari hasil survei Power, Welfare, and Democracy (2014) yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Oslo (UiO) adalah menguatnya kecenderungan politik berbasis ketokohan (figure based politics) di Indonesia. Politik berbasis ketokohan merupakan jenis politik yang terfokus pada tokoh dan cenderung mengabaikan organisasi (termasuk partai) dalam memobilisasi dukungan (PWD, 2014). Kecenderungan ini terlihat dari dominannya peran aktor (tokoh) politik dibandingkan dengan partai politik atau organisasi yang menaunginya. Hal ini ditandai dengan munculnya aktor-aktor di tingkat lokal yang menjadi pemimpin dan pejabat publik meskipun tidak mempunyai basis dukungan partai politik yang kuat. Kemunculan fenomena politik berbasis ketokohan ini tentu tidak terlepas dari kecenderungan perilaku memilih masyarakat Indonesia yang bersifat psikologis. Hal ini setidaknya terlihat dari temuan Mujani dan Liddle pada pemilu 1999 dan 2004 dimana ketokohan dan identitas kepartaian - dua variabel utama perilaku memilih dalam model psikologis - menjadi dua faktor yang penting dalam membentuk pilihan politik masyarakat Indonesia. Temuan ini sekaligus menolak klaim peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa perilaku memilih masyarakat Indonesia semenjak pemilu 1955, cenderung dipengaruhi oleh faktor sosiologis atau budaya, seperti agama, etnisitas, wilayah, dan kelas sosial (Mujani dan Liddle, 2010). Pengaruh ketokohan dan identitas kepartaian ini juga terlihat pada pemilu 2009, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Dengan sangat meyakinkan, Mujani dan Liddle membuktikan bahwa pengaruh ketokohan dan identitas kepartaian (meskipun tidak sekuat pada pemilu 1

2 1999 dan 2004), masih menjadi faktor yang sangat penting dalam menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Hal yang tidak jauh berbeda juga terlihat dari studi Hapsari (2010) yang menyatakan bahwa kepribadian kandidat atau peran ketokohan mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk perilaku memilih. Kuatnya pengaruh ketokohan dan identitas kepartaian ini ternyata tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia saja. Di beberapa negara maju seperti di Inggris, Kanada, dan Australia, dimana partai politik sudah relatif terlembaga, ketokohan pemimpin partai juga masih mempunyai pengaruh yang kuat dalam kenaikan perolehan suara (Winham dan Cunningham, 1970; Graetz dan McAllister, 1987; Bean dan Mughan, 1989; Stewart dan Clarke, 1992; Mughan, 2000 dalam Mujani dan Liddle, 2006). Sementara di beberapa negara lainnya, seperti Jerman, pengaruh identitas kepartaian justru lebih besar dibandingkan dengan pengaruh ketokohan (Kaase, 1994; Rose dan Suleiman, 1980 dalam Mujani dan Liddle, 2006). Selain ketokohan dan identitas kepartaian, hal lain yang turut mempengaruhi perilaku memilih adalah pengaruh media massa dan program kerja kandidat. Penelitian Berelsin et al (1954) dan Lazarfeld et al (1948) menegaskan bahwa selain mendorong seseorang untuk memilih dalam pemilu, pengaruh media massa ternyata juga turut menguatkan pilihan seseorang. Dalam konteks pemilu presiden Indonesia, Mujani et al (2012) juga mengkonfirmasi temuan yang hampir sama, dimana ada hubungan yang signifikan antara iklan calon presiden dengan afeksi terhadap tokoh partai yang terkait. Sementara itu, terkait dengan program kerja kandidat, dalam terminologi Downs, pemilih akan memilih kandidat yang memiliki kebijakan yang dapat memaksimalkan aliran keutungan yang akan pemilih dapatkan daripada kandidat yang tidak dapat memberikan keuntungan. Bagaimana memahami perilaku memilih buruh dalam pemilu? Studi ini ingin mengkaji lebih dalam, bagaimana pengaruh ketokohan dan identitas kepartaian buruh dalam pemilu presiden Apakah perilaku memilih buruh juga mempunyai pola yang sama dengan pemilih pada umumnya? Jika 2

3 ditelusuri secara lebih dalam, ternyata masih sangat sedikit studi tentang buruh yang menfokuskan kajiannya pada partisipasi dan perilaku politik mereka dalam pemilu. Sebagaimana diungkapkan oleh Hadiz (2005), sebenarnya studi yang membahas tentang buruh sudah cukup banyak dilakukan oleh para ahli, seperti Ingleson (1986); Shiraishi (1990); Tanter (1990), dan Deyo (1989). Akan tetapi, sebagian besar studi perburuhan yang ada, lebih banyak didominasi oleh studi yang berfokus pada kajian pergerakan dan advokasi perjuangan buruh. Kajian tentang kelompok buruh dalam pemilu yang pernah dilakukan oleh Ford, Caraway, dan Nugroho (2014) dan Savirani (2015) lebih menjelaskan bagaimana strategi buruh dalam upaya memasuki lembaga politik formal melalui pemilu, bukan kajian yang membahas tentang perilaku memilih mereka dalam pemilu. Studi tentang perilaku memilih buruh dalam pemilu yang dilakukan oleh Sholihin (2009) dan Reynald (2012) juga masih sebatas kajian yang bersifat deskriptif-kualitatif, belum dilengkapi dengan analisis multivariat. Padahal kajian perilaku memilih dengan menggunakan analisis kuantitatif-multivariat sebagaimana yang dilakukan oleh Gaffar (1992), Kristiadi (1993), dan Mujani et al (2012) terbukti lebih mampu menjelaskan dinamika perilaku memilih secara lebih meyakinkan. Oleh karena itu, studi tentang perilaku memilih buruh dalam pemilu presiden 2014 ini menarik dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, buruh merupakan salah satu kelompok marginal yang seringkali diabaikan dalam proses politik. Padahal sebagaimana pendapat Sofian Munawar (2009), buruh sejatinya mempunyai potensi yang sangat besar dalam proses demokratisasi dan merupakan kekuatan pro-demokrasi yang utama. 1 Kedua, jumlah buruh di Indonesia sangat banyak (sekitar 41 juta orang) 2, namun kelompok ini tidak memiliki saluran politik yang 1 Rueschemeyer, D., Stephens, E.H., & Stephens, J.D. (1992). Capitalist Development and Democracy. Cambridge, UK: Polity Press 2 Data hasil Survei Agkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan oleh BPS, Agustus Data mengacu pada konsep buruh sebagaimana UU Ketenagakerjaan. Jumlah pasti untuk buruh sebagaimana dalam batasan studi ini, masih belum diketahui secara pasti. 3

4 merepresentasikan kepentingan kelompok buruh itu sendiri. 3 Tiadanya saluran politik formal serta terpolarisasinya beberapa serikat buruh menjelang pemilu presiden menyisakan sebuah teka-teki, kemanakah suara kaum buruh ini diberikan dalam pemilu presiden 2014? Ketiga, kaum buruh selama ini menjadi komoditas politik para elit, baik pengusaha maupun penguasa. Posisi buruh yang tidak setara dengan pengusaha, telah menjadikan buruh sebagai objek eksploitasi, baik secara ekonomi maupun secara politik. Lalu, bagaimanakah buruh memanfaatkan momentum pemilu presiden 2014 sebagai upaya memperjuangkan nasib mereka? 2. Rumusan dan Batasan Masalah Sebagaimana uraian di atas, studi ini ingin mengkaji lebih jauh, Bagaimanakah perilaku memilih buruh pada pemilu presiden 2014? Apakah pilihan politik buruh juga dipengaruhi oleh faktor ketokohan, identitas kepartaian, peran media massa, dan program kerja calon presiden sebagaimana kecenderungan perilaku memilih masyarakat Indonesia pada umumnya? Faktor dominan apa saja yang mempengaruhi seorang buruh dalam memilih calon presiden pada pemilu 2014? Kemudian setelah mengetahui pengaruh tersebut, seberapa besarkah pengaruh dominan tersebut dalam membentuk pilihan politik seorang buruh pada pemilu presiden 2014? Untuk itu, agar pembahasan tidak melebar, saya membatasi objek penelitian ini hanya terhadap buruh industri yang ada di Kota Semarang. Selain karena pertimbangan waktu dan biaya, lokasi ini sengaja saya pilih karena Kota Semarang merupakan salah satu pusat industri di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah kawasan industri, jumlah perusahaan, dan jumlah buruh paling banyak dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di 3 Partai Buruh 3 yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai representasi politik kaum buruh, nyatanya tidak mendapatkan suara yang signifikan dalam setiap perlehatan pemilu. Pada Pemilu 1999, partai buruh menggunakan nama Partai Buruh Nasional, berhasil memperoleh atau 0,13 persen suara. Kemudian pada Pemilu 2004 partai ini menggunakan nama Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), memperoleh atau 0,56 persen suara. Pada Pemilu 2009, Partai Buruh hanya memperoleh atau 0,25 persen suara. Sementara pada pemilu 2014, partai Buruh dengan 18 partai kecil lainnya tidak lolos verifikasi administrasi sehingga tidak bisa mengikuti pemilu

5 Jawa Tengah. Data dari dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah memperlihatkan bahwa sebanyak 15,2 persen perusahaan dan sekitar 22,4 persen pekerja buruh di Jawa Tengah terkonsentrasi di Kota Semarang. Dalam penelitian ini, yang saya maksud sebagai buruh industri adalah mereka yang bekerja dan mendapatkan upah di perusahaan industri, baik industri kecil, menengah, maupun besar, atau sebutan umum yang merujuk kepada para pekerja di perusahaan/pabrik industri. Namun demikian, demi memudahkan penyebutan, dalam bab-bab selanjutnya saya akan menyebut buruh industri ini hanya dengan sebutan buruh (saja). 3. Tujuan Penelitian Demi menjawab pertanyan-pertanyaan penting sebagaimana terurai pada uraian di atas, maka secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk; 1. Mengisi kekosongan studi perilaku pemilih di kalangan buruh dengan pendekatan kuantitatif-inferensia, sehingga bisa melengkapi studistudi perilaku memilih yang telah ada. 2. Memahami perilaku memilih buruh industri dalam pemilu presiden 2014 beserta dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Mengetahui faktor dominan sekaligus mengetahui seberapa besar pengaruh faktor dominan tersebut dalam membentuk pilihan politik buruh industri pada pemilu presiden Literatur Review Di Indonesia, studi perilaku memilih telah banyak dilakukan oleh para sarjana ilmu politik. Beberapa studi yang dilakukan oleh Gaffar (1992), Kristiadi (1993), Mujani dan Liddle (2006, 2010), Mujadi et al (2012) adalah beberapa contoh studi yang cukup baik dalam menjelaskan perilaku memilih masyarakat Indonesia. Namun demikian, studi yang membahas tentang perilaku memilih di kalangan buruh masih belum banyak dilakukan. Untuk itu, agar bisa menjelaskan posisi tulisan sekaligus perbedaan dengan beberapa studi yang sebelumnya pernah dilakukan, berikut akan diuraikan beberapa studi yang relevan dengan kajian perilaku pemilih di Indonesia. 5

6 Studi perilaku pemilih di Indonesia yang cukup populer dan menjadi rujukan para peneliti adalah studi yang dilakukan oleh Afan Gaffar (1992) yang berjudul Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System. Studi yang dilakukan di desa Brobanti, sebuah desa di Kota Yogyakarta ini berusaha untuk memotret perilaku pemilih masyarakat dalam konteks era orde baru yang hegemonik. Menyadari bahwa pengadopsian pendekatan ala barat yang akan rancu apabila dipraktikkan di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, Gaffar memakai pendekatan baru yang dikenal dengan perspektif aliran. Dengan pendekatan ini, Gaffar membahas perilaku pemilih Yogyakarta melalui penggalian aspek sosio-religius yang mewarnai komunitas Jawa, serta keterkaitannya dengan isu partai dan kepemimpinan di daerah setempat. Dari penelitiannya ini, dia menemukan bukti bahwa tesis Gertz tentang variabel aliran; santri dan abangan, masih menjadi faktor penentu pilihan politik seseorang. Meskipun temuan ini masih perlu ditelaah lebih jauh, utamanya berkaitan dengan generalisasi, namun studi ini menjadi studi awal yang membuka pintu bagi bermunculannya studi-studi perilaku pemilih selanjutnya. Studi yang senada dilakukan oleh Joseph Kristiadi pada tahun Studi yang berjudul Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih: Suatu Studi Kasus Tentang Perilaku Pemilih di Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah pada Pemilihan Umum ini mencoba untuk mencari penjelasan variabel-variabel yang mempengaruhi seseorang untuk mendukung dan kemudian memilih partai politik tertentu dalam pemilu. Sedikit berbeda dengan Gaffar, studi ini berusaha mengkaji perilaku pemilih di daerah perdesaan (direpresentasikan oleh Kabupaten Banjarnegara) dengan daerah perkotaan (direpresentasikan Kotamadya Yogyakarta). Melalui pendekatan sosio-kultural, sebuah gabungan pendekatan sosiologis dan psikologis, studi ini berusaha menguji bagaimana kaitan antara variabel panutan, identifikasi kepartaian, struktur sosial, dan media massa dalam mempengaruhi pilihan politik pemilih. Kristiadi menemukan bukti empiris bahwa panutan dan identifikasi kepartaian adalah variabel yang berpengaruh terhadap perilaku memilih 6

7 seseorang, sedangkan variabel lainnya tidak. Dengan temuan ini, Kristiadi membuat dua kesimpulan; (1) interaksi sosial antara pimpinan dan anggota masyarakat masih bersifat paternalistik. Akibatnya, interaksi tersebut turut mempengaruhi perilaku pemilih dalam mendukung dan memilih partai tertentu dalam pemilu; (2) identifikasi kepartaian masyarakat cenderung mengikuti identifikasi kepartaian tokoh panutannya. Implikasinya, dukungan dan preferensi politik seseorang dalam pemilu dipengaruhi oleh persepsi responden terhadap identifikasi kepartaian tokoh panutannya (Kristiadi, 1994: xxix-xxx). Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Mujani dan Liddle (2006, 2010) menjelaskan tentang dominannya variabel kepemimpinan dan identitas kepartaian dalam membentuk pilihan politik warga dalam pemilu. Melalui serangkaian survei yang dilakukan pada tahun 1999 dan 2004, mereka menemukan bukti empiris yang meyakinkan bahwa variabel kepemimpinan dan identitas kepartaian, merupakan dua variabel yang sangat berpengaruh dalam membentuk pilihan politik masyarakat Indonesia. Selain temuan itu, mereka juga menolak klaim beberapa peneliti sebelumnya (Gertz, 1960, King, 2003; dan Baswedan, 2004) yang menyatakan bahwa orientasi keagamaan atau variabel aliran masih menjadi faktor penting dalam menjelaskan studi perilaku memilih di Indonesia. Dari data yang ada, mereka justru menemukan bukti yang meyakinkan bahwa orientasi keagamaan sudah tidak signifikan dalam membentuk pilihan politik warga. Studi lain yang dilakukan oleh Christi Hayunindita Citra Hapsari (2010) yang berjudul Perilaku Pemilih Dalam Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2009 menjelaskan tentang hubungan antara variabel-variabel perilaku pemilih sebagaimana yang dikembangkan oleh Newman dan Sheth (1985) terhadap perilaku pemilih dalam pemilu presiden Melalui pendekatan riset eksploratif, studi ini menjelaskan bagaimana pengaruh variabel pencitraan sosial, isu politik, kontijensi situasional, kepribadian kandidat, dan nilai epistemic terhadap perilaku pemilih dalam pemilu presiden Studi yang dilakukan terhadap pemilih di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) ini menemukan bukti empiris bahwa 7

8 variabel pencitraan sosial dan kepribadian kandidat presiden mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pemilih warga ibukota. Dengan mendasarkan pada temuan yang ada, dia menyimpulkan bahwa pemilih di Indonesia masih merupakan pemilih yang bersifat tradisional, yang lebih memperhatikan pencitraan sosial dan kepribadian kandidat (Hapsari, 2010: 58) Studi yang dilakukan oleh Mujani et al (2012) dalam karyanya yang berjudul Kuasa Rakyat: Analisis Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru adalah studi yang sangat komprehensif dalam membahas perilaku pemilih di Indonesia. Dengan berbasiskan data hasil survei berskala nasional, studi ini menjadi studi berbasis riset berskala nasional pertama yang dilakukan terhadap seluruh hasil pemilu pasca runtuhnya orde baru. Studi ini hadir sebagai jawaban atas ketidakmampuan pendekatan sosiologis dalam merespon perubahan hasil pemilu yang sangat cepat terjadi. Selain menawarkan pendekatan baru yang bertumpu pada individu pemilih sebagai unit analisisnya, studi ini juga menghadirkan model ekonomi politik dan model psikologis yang terbukti lebih membantu memahami dinamika perilaku memilih di Indonesia. Studi ini menemukan bukti bahwa perspektif rasionalitas pemilih, utamanya evaluasi ekonomi politik, berpengaruh signifikan dan positif terhadap pilihan atas partai dan presiden. Pengaruh ini terlihat pada kekalahan Megawati pada pemilu presiden 2004 dan kemenangan SBY pada pemilu 2004 serta pemilu Namun demikian, faktor rasionalitas pemilih ini ternyata bukan menjadi faktor penentu yang mempengaruhi pilihan politik seseorang. Menurut Mujani et al, faktor peran tokohlah yang sebenarnya mempunyai pengaruh kuat dalam membentuk perilaku memilih Indonesia, terlepas dari kuat dan lemahnya faktor-faktor lainnya (Mujani et al, 2012: 446). Di akhir uraiannya, Mujani et al menyimpulkan bahwa pemilih di Indonesia sudah semakin rasional dan menjatuhkan pilihan politiknya bukan atas dasar alasan-alasan primordial (Mujani et al, 2012: 454). Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Amul Husni Fadlan (2014) yang berjudul Partisipasi Politik Pemilih Pemula pada Pemilihan Presiden 8

9 Ditinjau dari Persepsi Terhadap Citra Partai Politik dan Keterpercayaan Kandidat Presiden menjelaskan tentang hubungan antara persepsi terhadap citra partai politik dan keterpercayaan terhadap kandidat presiden terhadap partisipasi politik pemilih pemula di beberapa Perguruan Tinggi di Kota Yogyakarta. Melalui pendekatan korelasional, studi ini menjelaskan bagaimana partisipasi politik pemilih pemula bisa diprediksi dengan mendasarkan atas persepsi mereka terhadap citra partai politik dan keterpercayaannya terhadap kandidat presiden. Studi ini menyimpulkan bahwa persepsi terhadap citra partai politik dan keterpercayaan terhadap kandidat presiden secara bersama-sama mempengaruhi partisipasi politik pemilih pemula dalam pemilu presiden Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepopuleran kandidat presiden tertentu juga memberikan pengaruh terhadap tingkat partisipasi pemilih pemula (Fadlan, 2013: 84). Studi tentang buruh dan politik yang menarik dilakukan oleh Ford, Caraway, dan Nugroho (2014). Studi yang berjudul Translating Membership into Power at the Ballot Box? Trade Union Candidates and Workers Voting Pattern in Indonesian National Election ini menjelaskan tentang strategi eksperimentasi gerakan buruh dalam memasuki politik formal (dalam pemilu) di Tangerang dan Bekasi. Studi ini melihat kegagalan eksperimen beberapa anggota serikat buruh dalam pemilu 2004 dan 2009 yang disebabkan karena tiadanya dukungan yang penuh dari serikat pekerja yang ada. Selain itu, studi ini mencatat bahwa kegagalan kelompok buruh memasuki politik formal juga disebabkan karena tiadanya data pemetaan pemilih buruh yang kuat, akibatnya suara buruh menjadi terpecah. Studi tentang eksperimen buruh dalam politik formal juga dilakukan oleh Savirani (2015). Dalam studinya yang diberi judul Buruh go Politics dan Melemahnya Politics Patronase, dia menjelaskan bagaimana eksperimen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berhasil mengantarkan dua kadernya memasuki lembaga politik formal (DPRD Kabupaten Bekasi). Keberhasilan itu, menurutnya, tidak terlepas dari pengalaman kegagalan buruh pada pemilu 2004 dan Selain karena 9

10 solidnya dukungan serikat pekerja, keberhasilan dua kader FSPMI dalam menduduki jabatan di DPRD tersebut juga tidak terlepas dari upaya mereka dalam melawan massifnya praktek politik uang. Melalui studi ini, Savirani juga ingin menunjukkan bahwa politik di Indonesia tidak selalu dan selamanya berhubungan dengan patronase dan politik uang. Ia berhasil menunjukkan bahwa buruh, yang merupakan salah satu representasi kelompok masyarakat yang tanpa uang, berhasil melawan dominasi praktik politik uang yang menjamur selama pemilu legislatif Studi yang cukup spesifik membahas perilaku memilih kaum buruh dilakukan oleh Sholihin (2009) yang berjudul Perilaku Pemilih Buruh Rokok Dalam Pilkada Langsung Di Kabupaten Kudus dan Reynald (2012) yang berjudul Preferensi Politik Buruh Tebu Dalam Pemilukada 2010 Kota Binjai. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, kedua studi ini berusaha untuk mencari penjelasan faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku pemilih kaum buruh dalam pemilukada di daerahnya masingmasing. Menurut Solihin, pendekatan rasional dan psikologis sangat berpengaruh terhadap perilaku memilih buruh rokok di Kabupaten Kudus. Menurutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih kaum buruh adalah faktor juru kampanye, hibah politik (termasuk pemberian uang dari kandidat), identifikasi calon, isu kampanye dan visi-misi, serta keberadaan partai politik. Secara garis besar, berbagai penelitian di atas menjelaskan pola perilaku memilih dalam pemilu yang masih bersifat umum, belum banyak yang membahas perilaku memilih (voting) secara lebih spesifik. Adapun studi yang lebih spesifik, yaitu studi perilaku memilih kaum buruh yang dilakukan oleh Sholihin (2009) dan Reynald (2012) juga masih sebatas kajian yang bersifat deskriptif-kualitatif. Padahal kajian perilaku memilih dengan menggunakan analisis kuantitatif-inferensia sebagaimana yang dilakukan oleh Gaffar (1992), Kristiadi (1993), dan Mujani et al (2012) terbukti lebih mampu menjelaskan dinamika perilaku memilih secara lebih meyakinkan. Oleh karena itu, berbeda dengan studi-studi sebagaimana terurai di atas, studi ini berusaha mengkaji perilaku memilih buruh industri dalam 10

11 pemilu presiden 2014 dengan menggunakan analisis kuantitatif-inferensia. Studi ini ingin mengkaji lebih jauh bagaimana buruh industri menentukan pilihan politiknya dalam pemilu presiden 2014, apakah perilaku memilih di kalangan buruh ini juga sejalan dengan kecenderungan perilaku memilih warga pada umumnya, ataukah tidak. Untuk mempertajam analisis, studi ini tidak hanya sekedar menjabarkan temuan menggunakan analisa deskriptif, akan tetapi juga dilengkapi dengan analisa statistik inferensia untuk melihat pengaruh beberapa variabel independen yang diasumsikan berpengaruh. Dengan demikian, gambaran partisipasi, pilihan politik, dan faktor yang mendorong kaum buruh dalam pemilu presiden 2014 dapat terjelaskan dengan baik. 5. Kerangka Teori 5.1. Perilaku Memilih Perilaku memilih adalah salah satu bentuk dari perilaku politik yang jamak dilakukan oleh warga negara. Menurut Jack Plano (1985) sebagaimana dikutip oleh Valentina (2009), perilaku memilih adalah salah satu bentuk perilaku politik yang terbuka. Huntington dan Nelson (1990) juga menyebut bahwa perilaku memilih merupakan aktivitas elektoral, termasuk pemberian suara (voting), bantuan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk mempengaruhi proses pemilihan umum. 4 Perilaku memilih merujuk pada keikutsertaan seseorang atau kelompok masyarakat yang mempunyai hak pilih dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan dalam menentukan pilihan politiknya. Dengan kata lain, perilaku memilih adalah tindakan seseorang untuk ikut serta dalam memilih orang, partai politik, atau isu publik tertentu. Secara lebih khusus, perilaku memilih adalah keikutsertaan dalam pemilihan umum, 4 Tengku Rika Valentina, Peluang Demokrasi dan Peta Perilaku Pemilih terhadap Partai Politik untuk Pemilu 2009 di Yogyakarta dalam Jurnal Demokrasi, Vol VIII No 2 Tahun

12 pilihan atas partai politik tertentu, pilihan atas calon jabatan politik tertentu, dan pilihan atas isu politik tertentu. Studi-studi tentang perilaku pemilih sebenarnya sudah berkembang sejak lama, terutama di negara Eropa dan Amerika Serikat. Sebagaimana dijelaskan oleh Kristiadi (1993: 21-22), penelitian tentang voting pertama kali dilakukan oleh Siegfield (1913) yang masih bersifat sederhana. Studistudi lainnya kemudian bermunculan seperti dilakukan oleh Ogburn (1929), Tingsten (1937), dan Gougel (1951) yang sudah mengembangkannya dengan mempertimbangkan aspek motivasi dan persepsi dalam analisisnya. Sementara itu, studi yang mulai memfokuskan analisisnya pada individu dengan metode wawancara dilakukan oleh Merriem dan Gasnel pada tahun Studi perilaku politik ini terus berkembang pesat setelah munculnya studi yang dilakukan oleh Lazarsfeld beserta koleganya (1948) serta Campell dan koleganya (1960) dalam meneliti perilaku pemilih presiden di Amerika Serikat. Secara garis besar, studi perilaku memilih (voting behavior) ini dapat dipetakan menjadi tiga pendekatan teoritik; pertama pendekatan sosial struktural (sosiologis), kedua pendekatan sosial psikologis, dan ketiga pendekatan pilihan rasional atau ekonomi politik (Mujani, et al, 2012). Ketiga model ini bersaing untuk memberikan jawaban yang lebih meyakinkan atas berbagai pertanyaan tentang kecenderungan perilaku memilih. Menurut Dieter Roth (2009), ketiga pendekatan itu tidak sepenuhnya berbeda, dan dalam beberapa hal ketiganya bahkan saling membangun dan mendasari serta memiliki urutan kronologis yang jelas. Perbedaan antara ketiga pendekatan ini terletak pada titik beratnya satu sama lain Pendekatan Sosial Struktural (Model Sosiologis) Model sosiologis merupakan model yang pertama muncul dalam studi perilaku memilih. Model ini sebenarnya muncul di Eropa, namun justru berkembang di Amerika pada tahun 1950-an. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Colombia (Colombia`s University Bureau of Applied Social Science), sehingga lebih di 12

13 kenal dengan mahzab Colombia. Model sosiologis merupakan model yang dikembangkan atas dasar teori lingkaran sosial yang diformulasikan oleh Georg Simmel (1890). Pendekatan ini menjelaskan bahwa seseorang yang tinggal dalam lingkungan sosial tertentu akan cenderung mengikuti lingkungan sosial yang membentuknya. Akibatnya, pilihan politik seseorang juga akan sangat dipengaruhi oleh struktur sosial yang melingkupinya (Roth, 2008: 24). Model ini mendasarkan pada asumsi bahwa preferensi politik (memilih dalam pemilu, ikut partai politik dan sebagainya) ditentukan oleh latar belakang sosial-ekonomi dan anggota-anggota kelompok sosial yang memiliki kepentingan serupa. Keanggotaan di dalam suatu kelompok sosial bisa saja dimobilisasi untuk pilihan politik yang sifatnya kolektif. Pendekatan dalam model ini berusaha memahami perilaku pemilih dari perspektif hirarki kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Kelompok masyarakat tersebut bisa terpetakan dengan berbagai kategorisasi, seperti: kelas, agama, ideology, etnisitas, pekerjaan, gender, dan lain-lain (Ismanto, 2004). Sebagian besar penelitian mengenai perilaku memilih pada setengah abad pertama di abad 20 sangat didominasi oleh pendekatan sosiologis atau sosial struktural. Hal ini banyak dilakukan oleh peneliti karena data terbaik yang tersedia pada waktu itu adalah data sensus demografis, yang dengan mudah dapat dibandingkan dengan pola perilaku memilih (Dalton dan Wattenberg, 1993). Ketersediaan data-data demografis ini memudahkan para peneliti dalam menganalisa perilaku pemilih dalam pemilu. Lazarsfeld, Bernald Berelson, dan Hazel Gaudet adalah para pelopor yang mengenalkan pendekatan ini. Dalam studi tentang perilaku memilih masyarakat Amerika pada pemilu tahun 1940, mereka menemukan bukti bahwa hanya sedikit dari para pemilih yang berganti-ganti pilihan. Pilihan politik masyarakat ternyata relatif stabil dan cenderung sesuai dengan kondisi demografis masyarakat. Singkatnya, Lazarsfeld et al berkesimpulan bahwa kondisi sosial-struktural masyarakat sangat mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Temuan senada juga diungkapkan oleh Berelson et al 13

14 pada tahun (1954). Menurutnya, setiap individu berusaha untuk mempertahankan homoginetas lingkungan sosialnya demi menghindari adanya konflik. Akibatnya, seorang individu akan memilih teman-teman yang mempunyai pandangan politis yang kurang lebih sama sesuai dengan lingkungan sosialnya (Roth, 2008: 25-26). Meskipun model sosiologis memberikan kerangka yang berguna dalam mengidentifikasi struktur sosial yang membentuk keputusan pemilih, model ini memiliki beberapa keterbatasan. Selain keterbatasannya dalam menjelaskan proporsi pemilih pada masyarakat yang tidak terpolarisasi, model ini ternyata juga tidak mampu dalam menjelaskan kecenderungan perilaku pemilih yang selalu berubah-ubah. Hal ini disebabkan karena model sosiologis menekankan adanya kontinuitas dan stabilitas struktur sosial, dimana struktur sosial diasumsikan tidak berubah dari waktu ke waktu. Sehingga, apabila mengikuti logika sosiologis, perilaku pemilih seharusnya juga akan cenderung konstan dan mencerminkan kondisi sosial struktural masyarakat yang ada. Padahal pada kenyataannya, perilaku pemilih warga senantiasa berubah-ubah meskipun struktur sosial cenderung stabil Pendekatan Sosial Psikologis (Model Psikologis) Demi menjawab keterbatasan yang terdapat pada model sosiologis, para sarjana dari University of Michigan yang dimotori Angus Campbell dan koleganya kemudian mengembangkan pendekatan sosial psikologis. Model ini lahir dan dikembangkan oleh para sarjana ilmu politik dari Michigan University di bawah The Michigan Survei Research Centre (MSRC) atau sering disebut sebagai Michigan s School. Berbeda dengan pendekatan sosiologis yang terfokus pada kacamata posisi dan afiliasi sosial, pendekatan psikologis lebih berorientasi pada cara berpikir politik tiap individu (political attitudes of individual voter). Menurut pendekatan ini, sang individu diasumsikan pribadi otonom yang bebas dari pengaruh orang lain dan lingkungan sosial dalam menentukan pilihannya. Tiga faktor yang dominan dalam pendekatan psikologis adalah cara berpikir individual tentang (1) loyalitas terhadap partai politik, (2) evaluasi terhadap calon-calon dan (3) isu-isu yang 14

15 berkembang pada saat itu. Cara berpikir (attitude) individu akan menentukan perilaku (behavior) politiknya (Ismanto, 2004). Model sosial psikologis pertama kali diperkenalkan oleh Campbell et al dalam publikasinya yang berjudul The American Voter yang terbit pada tahun Poin penting yang dijelaskan dalam teori ini adalah adanya peran predisposisi psikologis jangka panjang, terutama identifikasi partai, yang akan mengarahkan tindakan para pemilih. Campbell (1960) menjelaskan proses terbentuknya perilaku pemilih dengan istilah Funnel of Causality. Dengan pengandaian ini, Champbell berusaha menjelaskan fenomena voting yang posisinya terletak paling atas dari funnel (cerobong). Dia menggambarkan bahwa di dalam cerobong terdapat as (axis) yang mewakili dimensi waktu. Kejadian-kejadian yang saling berhubungan satu sama lain bergerak dalam dimensi waktu tertentu mulai dari mulut sampai ujung cerobong. Mulut cerobong digambarkan sebagai latar belakang sosial (ras, agama, etnik, daerah), status sosial (pendidikan, pekerjaan, kelas) dan watak orang tua. Semua unsur tadi mempengaruhi identifikasi kepartaian seseorang yang merupakan bagian berikutnya dari proses tersebut. Pada tahap berikutnya, identifikasi kepartaian tersebut akan mempengaruhi penilaian terhadap para kandidat dan isu-isu politik tertentu. Menurut Campbell, meskipun karakteristik sosiologis mempengaruhi perkembangan identifikasi partai, pendekatan psikologis menyatakan bahwa keterikatan partai (partisanships) lebih sederhana dalam menggambarkan pilihan politik seseorang dibandingkan status sosial yang dimiliki oleh pemilih (Dalton dan Wattenberg, 1993: 197). Dalam penjelasan yang lain, keputusan pemilu masing-masing individu secara primer tidak ditentukan secara sosial struktural, melainkan lebih merupakan hasil pengaruh jangka pendek dan jangka panjang terhadap sang individu (Roth, 2008: 37). Menurut Dalton dan Wattenberg (1993), salah satu kelebihan dari model psikologis adalah bahwa model ini dapat menjelaskan kemampuan warga dalam memproses informasi yang digunakan untuk menilai berbagai fenomena politik. Dalam model ini, identifikasi partai berfungsi untuk menyaring pandangan individu mengenai dunia politik dengan tidak hanya 15

16 membantu mereka dalam membuat pilihan politik (mendukung salah satu partai), tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk menilai isu-isu jangka pendek dan proses pemilihan kandidat. Selain itu, variabel psikologis memiliki hubungan langsung kepada para pemilih, karena merekalah yang terlibat langsung dalam proses pembuat keputusan. Pendekatan sosial psikologis juga memperkenalkan apa yang disebut sebagai budaya demokrasi atau civic culture, yaitu sebuah keinginan berpartisipasi dalam politik demi ikut serta memperbaiki keadaan. Menurut model psikologis, seorang warga negara yang berpartisipasi dalam pemilu bukan hanya karena kondisinya lebih baik secara sosial-ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan politik, mempunyai perasaaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), mempunyai informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy) (Mujani, et al, 2012: 22) Pendekatan Rational Choice (Model Ekonomi Politik) Kondisi politik yang berubah begitu cepat, telah melahirkan pendekatan yang ketiga, yaitu pendekatan rational choice. Pendekatan ini lahir sebagai kritik atas dua pendekatan awal yang sudah ada, dimana kedua pendekatan dinilai tidak mampu menjelaskan fenomena perilaku pemilih yang senantiasa berubah-ubah. Pendekatan rational-choice diperkenalkan oleh Anthony Down melalui karyanya An Economic Theory of Democracy yang diterbitkan tahun Antony down mengenalkan konsep tentang self-interest axiom, yaitu sebuah konsep bahwa sang pemilih yang rasional hanya mengikuti kepentingannya sendiri, atau kalaupun tidak, akan senantiasa mendahulukan kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Selanjutnya, Down menganalogikan pilihan politik seseorang berdasarkan asumsi rasionalitas dalam teori ekonomi modern. Aksioma yang paling mendasar dari teori Downs adalah bahwa penduduk bersikap rasional dalam politik (Dalton dan Wattenberg, 1993: 197). 16

17 Menurut pendekatan ini, individu diasumsikan sebagai pribadi yang otonom (yang bebas dari pengaruh lingkungan sosial), sehingga pilihan politik seseorang dalam sebuah pemilu bukanlah ditentukan oleh adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan psikologis terhadap partai yang kuat, melainkan merupakan hasil penilaian rasional dari seorang warga yang cakap. Tindakan politik seseorang untuk memilih suatu partai atau kandidat tertentu adalah konsekuensi atas pertimbangannya yang dirasa paling rasional, yaitu hitung-hitungan yang akan memberikan keuntungan yang paling besar bagi dirinya. Varian lain dari pendekatan rational-choice adalah model yang dikembangkan oleh V.O. Key (1966). Menurut Key yang dikutip Roth (2008), masing-masing pemilih akan menetapkan pilihannya secara retrospektif, yaitu dengan menilai apakah kinerja partai yang menjalankan pemerintahan pada periode legislatif terakhir sudah baik bagi dirinya sendiri dan bagi negara, atau justru sebaliknya. Apabila hasil penilaiannya positif, maka mereka akan dipilih kembali, sedangkan apabila hasil penilaiannya negative, maka mereka tidak akan dipilih kembali. Demi memberikan jawaban yang lebih memuaskan tentang studi perilaku pemilih, Morris P. Fiorina (1981) mengembangkan pemikiran Keys dan Downs ke dalam sebuah model keputusan retrospektif. Melalui model ini, Fiorina berhasil mengkombinasikan dengan baik teori rational-choice dengan pendekatan sosial psikologis dalam menjelaskan perilaku pemilih. Dasar pemikiran Fiorina tidak hanya mempertimbangkan pemilihan yang retrospektif dan prospektif (Key dan Downs), namun juga konstruksi identifikasi partai yang merupakan inti dari model sosial psikologis. Menurutnya, identifikasi partai dirancang sebagai elemen yang sangat tergantung kepada pengaruh retrospektif, yang banyak mengalami perubahan melalui pengalaman politis baru. Oleh karena itu, Fiorina tidak hanya membedakan komponen rational-choice antara masa lalu dan masa depan, melainkan membaginya ke dalam identifikasi partai masa lalu dan identifikasi partai masa sekarang (Roth, 2008: 51). 17

18 5.2. Model Penelitian Perilaku memilih adalah sebuah tindakan yang komplek, oleh karenanya ia memerlukan pendekatan yang tepat. Menurut Gaffar (1992), pemahaman atas perilaku pemilih Indonesia akan rancu jika hanya bersandarkan pada dua model perilaku memilih yang sudah ada (model sosiologis dan psikologis). Pendapat yang senada diungkapkan oleh Kristiadi (1993) yang menyatakan bahwa hasil studi para peneliti barat tidak dapat begitu saja diterapkan untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Indonesia yang mempunyai konteks sosial, politik, dan budaya yang berbeda. Menurutnya, hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk memperkaya acuan teoritis untuk menentukan model yang kira-kira cocok diterapkan pada masyarakat Indonesia (Kristiadi, 1993: 34). Oleh karena itu, demi memahami dinamika perilaku pemilih di Yogyakarta, Gaffar (1992) menggabungkan pendekatan aliran (santri dan abangan) yang pernah dikemukakan oleh Geertz (1960) dengan pendekatan psikologis untuk menjelaskan perilaku pemilih di Jawa. Kombinasi pendekatan ini kemudian ia sebut sebagai perspektif aliran. Begitupun Kristiadi (1993) yang menggabungkan ide dasar pendekatan sosiologis dengan pendekatan psikologis untuk menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Kota Yogyakarta dan Kabupaten Banjarnegara secara lebih tepat. Penggabungan kedua pendekatan ini dia namakan sebagai pendekatan sosiokultural (Kristiadi, 1994). Sementara itu, Mujani et al (2012) berhasil melakukan kombinasi ketiga pendekatan (sosiologis, psikologis, dan ekonomi politik) untuk mengkaji dinamika perilaku pemilih di Indonesia pasca Orde Baru dengan lebih baik. Melalui ketiga pendekatan ini, ia berhasil menjelaskan pola perilaku memilih masyarakat Indonesia dengan lebih tepat. Berdasarkan uraian penjelasan di atas, studi ini berusaha untuk melihat bagaimana kecenderungan perilaku memilih buruh dalam pemilu presiden Secara lebih detail, studi ini ingin melihat apakah kecenderungan perilaku yang masih dipengaruhi oleh faktor ketokohan, identitas kepartaian, 18

19 peran media massa, dan program kerja calon presiden juga terjadi di kalangan buruh? Untuk itu, agar dapat memotret hipotesis yang saya ajukan, maka studi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional (rational choice). Pendekatan psikologis digunakan sebagai kerangka untuk melihat bagaimana pengaruh ketokohan calon presiden, peran media massa, dan identitas kepartaian terhadap pilihan calon presiden. Sedangkan pendekatan pilihan rasional digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh program kerja calon presiden terhadap pilihan calon presiden. Dari keempat variabel yang diasumsikan berpengaruh tersebut, ingin dilihat secara lebih detail, variabel apa saja yang sebenarnya berpengaruh signifikan dalam membentuk pilihan politik buruh dalam pemilu presiden Gambar 1. Model Penelitian Partisipasi Politik Buruh Partisipasi dalam pemilu (voting) Partisipasi selain dalam pemilu Figuritas (Ketokohan) Identitas Kepartaian Media Massa Pilihan Capres pada Pemilu Presiden 2014: Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK Program Kerja Penggunaan kedua pendekatan ini didasarkan atas realitas bahwa preferensi politik hari ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ketokohan 19

20 (figuritas) calon presiden, peran media, dan identitas kepartaian seseorang. Apalagi, dalam konteks pemilih buruh, saya mengasumsikan bahwa rasionalitas buruh turut berperan sebagai faktor yang sangat menentukan pilihan politik mereka. Saya berpendapat bahwa program kerja calon presiden (yang diasumsikan sebagai pertimbangan yang rasional) turut mempengaruhi pilihan calon presiden. Bukan hanya berpengaruh, akan tetapi juga yang paling dominan dalam mempengaruhi pilihan politik buruh. Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan ini, saya berharap bahwa perilaku memilih buruh industri pada pemilu presiden 2014 dapat tergambar secara lebih jelas. Pendekatan sosiologis sengaja tidak digunakan karena secara struktur sosial, buruh berada pada kelas sosial yang relatif sama. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar buruh mempunyai latar belakang, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan yang cenderung sama. Padahal pendekatan sosiologis mengandaikan struktur sosial sebagai hal yang menentukan pilihan politik seseorang. Karenanya, analisa yang mendasarkan atas kelas sosial (sebagaimana asumsi dalam pendekatan sosiologis) ini menjadi kurang relevan dalam menjelaskan perilaku memilih di kalangan buruh Beberapa Variabel Penjelas Tentang Perilaku Memilih Buruh di Indonesia Sebagaimana penjelasan sebelumnya, perilaku memilih merupakan sebuah tindakan yang komplek. Kompleksitas yang mempengaruhi perilaku memilih ini tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang secara substantif mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dalam penelitian ini, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bagian di awal, saya mengasumsikan bahwa progam kerja calon presiden menjadi faktor utama yang sangat mempengaruhi pilihan politik buruh. Sejalan dengan itu, saya berpendapat bahwa variabel ketokohan calon presiden dan identitas kepartaian seorang buruh juga menjadi pertimbangan yang turut mempengaruhi pilihan politik buruh. Selanjutnya, sebagaimana maraknya pemberitaan seputar pemilu 20

21 presiden 2014, maka saya juga menduga bahwa peranan media massa turut mempengaruhi pilihan politik buruh dalam pemilu presiden Ketokohan Salah satu tumpuan dari model psikologis selain isu-isu kebijakan publik dan identitas kepartaian adalah persepsi seseorang tentang kualitas kepribadian tokoh partai atau calon yang bersaing dalam premilu presiden. Dalam konteks demokrasi baru dimana pelembagaan partai belum tertata secara baik, tokoh memiliki kemungkinan untuk menjadi magnet penarik massa pemilih partai, dan bahkan pembentuk identitas partai (Barnes, McDonough, dan Pina, 1985; White, Rose, dan McAllister, 1977; Colton, 2000 dalam Mujani et al, 2012). Bahkan di negara-neraga demokrasi yang sudah maju, tokoh dipercaya tetap penting untuk menjelaskan perilaku memilih (Campbell, et al, 1960; Miller dan Shanks, 1996; Bean dan Mughan, 1989; Bean dan Kelly, 1988; Graetz dan McAllister, 1987; Miller dan Miller, 1975, Butler dan Stokes, 1974; Stokes, 1966 dalam Mujani et al, 2012). Bukti kuatnya pengaruh ketokohan dapat dilihat dari fenomena kemenangan partai Demokrat pada pemili 2004 dan 2009, serta kemenangan SBY-JK pada pemilu 2004 dan SBY-Boediono pada pemilu Dalam studinya tentang pengaruh kepribadian dan partai terhadap pemilih (2010), Mujani menyimpulkan bahwa pimpinan partai merupakan faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi pilihan pemilih pada pemilu 1999, 2004, dan Keputusan akhir pemberian suara dalam pemilu sangat dipengaruhi oleh kesukaan terhadap pemimpin partai. Di antara pemimpin partai yang terdaftar dalam penelitian, SBY adalah sosok yang paling disukai oleh pemilih, jauh di atas Megawati yang berada pada urutan kedua. Temuan ini menunjukkan bahwa keberhasilan Partai Demokrat dan terpilihnya SBY sangat jelas berhubungan dengan evaluasi positif pemilih atas diri SBY sebagai pemimpin (tokoh) partai. Temuan dari studi terbaru yang dilakukan oleh UGM dan Universitas Oslo dalam proyek Power, Welfare, and Democracy (PWD) yang dilakukan pada tahun 2013 mempertegas beberapa pendapat dan temuan di atas. Survei yang dilakukan untuk menilai perkembangan demokrasi di beberapa 21

22 wilayah di Indonesia ini menghasilkan temuan menarik bahwa secara umum, kecenderungan demokrasi di Indonesia saat ini mengarah kepada politik berbasis pada ketokohan atau figure-based politics, yaitu jenis politik yang terfokus pada figure-figur individual. Hal ini ditandai dengan munculnya aktor-aktor di tingkat lokal yang menjadi pemimpin dan pejabat publik meskipun tidak mempunyai basis dukungan partai politik yang kuat. Sejalan dengan munculnya politik berbasis ketokohan, temuan lain yang cukup menarik adalah munculnya fenomena politik populisme dan klientelisme. Populisme yang dimaknai sebagai pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan dekat dengan rakyat, seolah menjadi gaya baru bagi para elit lokal yang akan berlomba dan tengah menduduki jabatan publik. Lahirnya elit-elit lokal seperti Jokowi di Solo, Ridwan Kamil di Bandung, dan Tri Rismaharini di Surabaya menjadi beberapa bukti bahwa politik populisme menjadi sebuah tren yang dinanti-nanti oleh rakyat. Munculnya politik populisme menjadi pertanda bahwa hubungan patronklien (elit-massa) yang berkembang di Indonesia, cenderung di dasarkan atas hubungan kharismatik, bukan berbasiskan program-progam politik yang lebih bersifat transparan dan akuntabel. Apabila ditelisik lebih dalam, dinamika pemilu, pilpres, dan pilkada di Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari pengaruh sosok kandidat dalam setiap ajang pertarungan dalam merebut hati pemilih (Ramli, 2008). Tidak bisa dinafikan bahwa pemilih cenderung melihat ukuran figuritas dari seorang kandidat ketimbang partai politik yang mengusungnya. Mungkin saja alasan yang sederhana adalah pergeseran orientasi tersebut seiring dengan adanya perubahan dalam tatanan sistem pemilu itu sendiri, sehingga pemilih mempunyai kecenderungan untuk memilih orang yang dikenal ketimbang mendasarkan basis partai politik tertentu. Dalam studi efek kualitas tokoh atau pemimpin terhadap perilaku memilih dan sikap partisan, konsep kualitas tokoh dipahami sebagaimana dipersepsikan oleh pemilih. Secara umum kualitas tersebut mencakup sejumlah dimensi; kompetensi, integritas, ketegasan, empati, dan kesukaan (Miller dan Shanks, 1996; Bean dan Mughan, 1989; King, 2000; Colton,

23 dalam Mujani et al, 2012). Derdasarkan temuan studi Mujani et al (2012), dalam pemilu presiden 2009, SBY adalah tokoh yang disukai dengan skor rata-rata paling tinggi. Ini menunjukkan bahwa SBY adalah tokoh yang paling disukai oleh pemilih. Dalam kaitannya dengan pililan politik dalam pemilu presiden, efek kualitas tokoh juga terlihat pada pilihan politik seseorang. Efek ini terlihat lebih kuat dan konsisten apabila dibandingkan dengan pemilu legislatif. Secara umum, penilaian atas kualitas tokoh berhubungan erat dengan pilihan atas calon presiden. Semakin positif penilaian terhadap kualitas personal seorang tokoh, semakin besar pula probabilitas calon tersebut untuk dipilih. Efek ini tetap sangat signifikan dalam tiga kali pemilu presiden meskipun dikontrol dengan faktor-faktor lain yang dinilai penting dalam mempengaruhi pilihan calon presiden, terutama identitas partai dan ekonomi politik. Terlepas dari berbagai faktor tersebut,afeksi positif pada tokoh mendorong pemilih memilih SBY sebanyak 51 persen pada pemilu presiden 2004 putaran pertama, 33 persen pada pemilu presiden putaran kedua, dan 81 persen pada pemilu presiden 2009 (Mujani, et al, 2012: 431). Hasil survei Indikator 5 tentang Kualitas Personal dan Elektabilitas Calon Presiden menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51 persen) populasi pemilih di Indonesia mendambakan calon presiden yang jujur atau bisa dipercaya. Jujur atau bisa dipercaya adalah kualitas personal paling penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin nasional atau presiden. Temuan ini menunjukkan bahwa bagi pemilih pada umumnya, kualitas personal calon presiden yang ditantai oleh sifat jujur, justru menjadi ukuran yang paling penting dibandingkan kepintaran, ketegasan, dan wibawa seorang calon presiden. Kesimpulan dalam studi yang dilakukan oleh Esita (2013) menunjukkan bahwa kepribadian kandidat ternyata berpengaruh positif terhadap perilaku pemilih. Semakin seorang kandidat dinilai memiliki sifatsifat positif oleh pemilih, semakin tinggi pula preferensi memilih terhadap 5 Hasil Survei Nasional yang dirilis pada Oktober

24 kandidat tersebut. Hasil ini sesuai dengan teori Ben-ur dan Newman (2000) yang menyatakan bahwa variabel kepribadian kandidat bertujuan untuk mengukur keyakinan mengenai pribadi kandidat di mata pemilih, misalnya jujur, dapat dipercaya, dapat mengambil keputusan, terpelajar, pandai, berpengalaman, kuat, ramah, dan memenuhi kualifikasi. Ben-ur dan Newman (2000) juga menyatakan bahwa ciri-ciri terseut merupakan hal yang penting dalam mengevaluasi seorang pemimpin politik. Sebagaimana dalam pemilu presiden, efek figuritas (ketokohan) juga dipercaya menjadi faktor penentu pilihan politik seseorang. Studi yang dilakukan oleh Ramli (2008) tentang perilaku pemilih pada pemilukada di Gorontalo, menegaskan bahwa bahwa figuritas mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pilihan politik seseorang. Perilaku pemilih berdasarkan ketokohan dipengaruhi oleh pertimbangan popularitas, kemampuan, dan trak record yang dimiliki oleh seorang kandidat. Secara umum pemilih lebih melihat figure kandidat daripada latar belakang partai yang mengusungnya. Kesimpulan akhir dari penelitiannya adalah bahwa pemilih di Gorontalo semakin terbuka dalam menentukan pilihan politiknya. Orientasi pemilih di Gorontalo, menurut Ramli, lebih bersifat modern, yakni mendasarkan pilihannya politiknya pada isu, kandidat, dan ekonomi Identifikasi Kepartaian (Party ID) Konsep baru dan original dalam studi perilaku pemilih aliran psikologis adalah adanya konsep identifikasi diri dengan partai politik (party identification) atau sering disingkat party ID atau partisanship (sikap partisan) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai identitas partai. Konsep ini merupakan konsep yang sentral dalam model psikologis (Mujani et al, 2012: 373). Identitas kepartaian merupakan keadaan psikologis, yaitu sebuah perasaan merasa dekat, sikap mendukung atau setia, atau sebuah usaha mengidentifikasikan diri seseorang terhadap suatu partai politik tertentu. Oleh karenanya, seseorang orang yang merasa sebagai partisan sebuah partai politik, akan mengidentikkan dirinya dengan partai tersebut, misalnya penyebutan bahwa dirinya orang Golkar, orang PDIP, maupun 24

25 orang PKB. Semua penyebutan identitas ini menggambarkan bagaimana seorang warga merasa menjadi bagian dari sebuah partai politik tertentu. Menurut Campbell et al (1960) yang disarikan oleh Mujani et al (2012), konsep identifikasi yang dimaksud secara umum diartikan sebagai orientasi afeksi individu terhadap kelompok penting dalam masyarakat. Karena itu, identifikasi diri dengan partai adalah orientasi afeksi atau sikap atau perasaan seseorang terhadap partai politik dalam sebuah masyarakat. Sikap ini dalam bentuk identifikasi diri seseorang dengan partai politik sedemikian sehingga sebuah partai menjadi identitas politiknya, seperti halnya seorang warga yang mengidentikkan dirinya dengan agama tertentu sehingga agama tersebut menjadi identitas dirinya (Mujani, et al, 2012: 374). Menurut Campbell (1960), identitas partai dipercaya mempunyai pengaruh yang kuat dan luas terhadap berbagai sikap politik dan perilaku politik, seperti partisipasi politik, pilihan partai, atau calon anggota DPR, pilihan atas calon presiden, atau pilihan terhadap isu kebijakan public tertentu. Dalam praktiknya, identifikasi dengan partai politik ini merupakan faktor yang independen dalam menjelaskan sikap dan perilaku politik seseorang, bukan sebaliknya. Hal ini karena identitas partai berada dalam tingkat sikap (attitude), bukan berada pada tingkat tindakan atau perilaku. Oleh karena itu, dalam pemilu presiden 2009 misalnya, orang yang mengidenfifikasikan dirinya sebagai orang PDIP belum tentu memilih Megawati, orang Demokrat belum tentu memilih SBY, dan orang Golkar belum tentu juga memilih Jusuf Kalla, dan seterusnya. Sehingga, seorang pemilih yang mengaku orang PDIP dan memilih Megawati bisa dijelaskan karena identifikasi diri dengan PDIP tersebutlah yang menyebabkan ia memilih Megawati yang dicalonkan oleh PDIP, bukan sebaliknya (Mujani et al, 2012: ). Menurut Mujani et al (2012), temuan-temuan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden (1999 dan 2004) mengkonfirmasi bahwa identifikasi parti mendorong warga aktif dalam kegiatan politik. Akibatnya, hubungan identitas partai dan partisipasi dalam pemilu dan pemilu presiden secara umum tetap signifikan. Menurutnya, faktor psikologis yang mempunyai 25

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan BAB VI PENUTUP Setelah menjelaskan berbagai hal pada bab 3, 4, dan 5, pada bab akhir ini saya akan menutup tulisan ini dengan merangkum jawaban atas beberapa pertanyaan penelitian. Untuk tujuan itu, saya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Voting Behavior. Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan tingkah laku seseorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Voting Behavior. Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan tingkah laku seseorang 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Voting Behavior 1. Definisi Voting Behavior Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau

Lebih terperinci

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental (Adinda Tenriangke Muchtar, Arfianto Purbolaksono The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research) http://www.shnews.co/detile-28182-gelombang-efek-jokowi.html

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bertambah. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah pemilih tetap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bertambah. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah pemilih tetap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilih kelompok pemula di Indonesia dari pemilu ke pemilu terus bertambah. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah pemilih tetap yang terdaftar tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak reformasi telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan berpolitik di Indonesia banyak mengalami perubahan terutama setelah era reformasi tahun 1998. Setelah era reformasi kehidupan berpolitik di Indonesia kental

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Tujuan dari riset ini sebagaimana dinyatakan di bagian depan adalah pertama: Ingin menggambarkan fenomena terjadinya split ticket voting dalam Pemilu legislatif dan presiden

Lebih terperinci

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 JURNAL PENELITIAN OLEH: NILUH VITA PRATIWI G2G115106 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab V, penulis memaparkan simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan. Simpulan yang dibuat oleh penulis merupakan penafsiran terhadap analisis hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang baru pertama kali dilakukan di dalam perpolitikan di Indonesia, proses politik itu adalah Pemilihan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan 56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan yang berjumlah 100 responden. Identitas responden selanjutnya didistribusikan

Lebih terperinci

Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif. Mei 2014

Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif. Mei 2014 Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif Mei 2014 Head to Head Jokowi-JK Vs Prabowo-Hatta dan Kampanye Negatif Geliat partai politik dan capres menggalang koalisi telah usai. Aneka

Lebih terperinci

PERILAKU MEMILIH PEMILIH PEMULA MASYARAKAT KENDAL PADA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014

PERILAKU MEMILIH PEMILIH PEMULA MASYARAKAT KENDAL PADA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014 PERILAKU MEMILIH PEMILIH PEMULA MASYARAKAT KENDAL PADA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014 Oleh : Khairul Azmi 14010111140124 Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan. BAB I PENDAHULUAN I. 1.Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan tulang punggung dalam demokrasi karena hanya melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan. Kenyataan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena pemilih pemula selalu menarik untuk didiskusikan pada setiap momen pemilihan umum baik nasional maupun di daerah. Jumlah mereka yang sangat besar bagaikan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia 101 BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Fokus utama dari bab ini adalah menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi jawaban yang dapat ditarik dari pembahasan dan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Situasi perkembangan politik yang berkembang di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan sistem yang mengakomodasi semakin luasnya keterlibatan masyarakat dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemilihan umum. Perilaku memilih dapat ditujukan dalam memberikan suara. Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemilihan umum. Perilaku memilih dapat ditujukan dalam memberikan suara. Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Pemilih Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia setiap 5 tahun sekali mempunyai agenda besar dalam pesta demokrasinya dan agenda besar tersebut tak lain adalah Pemilu. Terhitung sejak tahun 2004

Lebih terperinci

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD September 2014 Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada Oleh DPRD Bandul RUU Pilkada kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan disebagianbesar negara di dunia termasuk Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak reformasi

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dieter, Roth.2008.Studi Pemilu Empiris, Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode. Jakarta: Friedrich-Nauman-Stiftung Die Freiheit.

DAFTAR PUSTAKA. Dieter, Roth.2008.Studi Pemilu Empiris, Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode. Jakarta: Friedrich-Nauman-Stiftung Die Freiheit. DAFTAR PUSTAKA Abdul Munir Mulkhan, 2009. Politik Santri. Kanisius, Yogyakarta Almond. A Gabrriel dan Verba. 1990. Budaya Politik Tingkah laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta : Bumi Aksara.

Lebih terperinci

BAB IV PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN TAHUN Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya

BAB IV PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN TAHUN Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya BAB IV PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN TAHUN 2014 A. Perilaku Pemilih Dan Pilpres 2014 Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Selanjutnya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Kota Jambi merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Selanjutnya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Kota Jambi merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014 di Kota Jambi telah terlaksana dengan hasil Partai Demokrat keluar sebagai partai yang memperoleh suara dan kursi paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi merupakan suatu proses dalam pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu negara yang menjalankan

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERSEPSI ATAS PENYELENGGARAAN SOSIALISASI KEPEMILUAN, PARTISIPASI DAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN BANGLI Kerjasama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli dan Fakultas

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka. 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Reformasi 1998 menghadirkan perubahan proses demokrasi di Indonesia. Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden hingga Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung,

Lebih terperinci

BAB 7 PENUTUP. dalam studi ini berikut argumentasinya. Saya juga akan membingkai temuantemuan

BAB 7 PENUTUP. dalam studi ini berikut argumentasinya. Saya juga akan membingkai temuantemuan BAB 7 PENUTUP 7.1. Kesimpulan Dalam bab ini, saya akan akan mengambarkan ikhtisar temuan-temuan dalam studi ini berikut argumentasinya. Saya juga akan membingkai temuantemuan ini dari sudut metodologi

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor BAB 5 KESIMPULAN Sebagaimana dirumuskan pada Bab 1, tesis ini bertugas untuk memberikan jawaban atas dua pertanyaan pokok. Pertanyaan pertama mengenai kemungkinan adanya variasi karakter kapasitas politik

Lebih terperinci

BEREBUT DUKUNGAN DI 5 KANTONG SUARA TERBESAR. Lingkaran Survei Indonesia Mei 2014

BEREBUT DUKUNGAN DI 5 KANTONG SUARA TERBESAR. Lingkaran Survei Indonesia Mei 2014 BEREBUT DUKUNGAN DI 5 KANTONG SUARA TERBESAR Lingkaran Survei Indonesia Mei 2014 1 Rebutan dukungan di 5 Kantong Suara Terbesar (NU, Muhammadiyah, Petani, Buruh, dan Ibu Rumah Tangga) Empat puluh hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyanjung-nyanjung kekuatan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara

BAB I PENDAHULUAN. yang menyanjung-nyanjung kekuatan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak reformasi digulirkan akhir Mei 1998, kebebasan media massa di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pemberitaan media tidak lagi didominasi

Lebih terperinci

2014 PEMILIHAN UMUM DAN MEDIA MASSA

2014 PEMILIHAN UMUM DAN MEDIA MASSA BAB V KESIMPULAN Media massa di Indonesia berkembang seiring dengan bergantinya pemerintahan. Kebijakan pemerintah turut mempengaruhi kinerja para penggiat media massa (jurnalis) dalam menjalankan tugas

Lebih terperinci

Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 3, Agustus Desember 2016,

Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 3, Agustus Desember 2016, 375 Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Dan Persepsi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Terhadap Pilihan Walikota Masyarakat Pilkada Kota Surabaya Tahun 2015 Yohanes Bima Octaviantoro Email : yohanesbima42@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budiarjo (2008) mengatakan, salah satu perwujudan demokrasi yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budiarjo (2008) mengatakan, salah satu perwujudan demokrasi yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Demokrasi yang sehat dapat dilihat melalui pembangunan masyarakat politik yang baik dan kondusif.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desa atau yang disebut dangan nama lainnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah suatu kesatuan masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Pemilih 1. Definisi Pemilih Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilih diartikan sebagai Warga Negara

Lebih terperinci

PERILAKU MEMILIH GENERASI MUDA KELUARGA ANGGOTA POLRI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TENGAH 2013 Studi di Asrama Polisi Sendangmulyo Kota Semarang

PERILAKU MEMILIH GENERASI MUDA KELUARGA ANGGOTA POLRI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TENGAH 2013 Studi di Asrama Polisi Sendangmulyo Kota Semarang PERILAKU MEMILIH GENERASI MUDA KELUARGA ANGGOTA POLRI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TENGAH 2013 Studi di Asrama Polisi Sendangmulyo Kota Semarang Oleh : Radityo Pambayun Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang memperoleh sekitar 11, 98 persen suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 9 april 2014 tidak mampu mengajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilih pemula merupakan salah satu segmen pemilih dalam pemilihan umum yang menjadi sorotan dalam pemilihan umum 2014 silam. Kategori pemilih pemula sendiri, salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis :

BAB I PENDAHULUAN. adalah parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis : BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan Pemilu 2014 akan menjadi cermin bagi kualitas yang merujuk pada prinsip demokrasi yang selama ini dianut oleh Negara kita Indonesia. Sistem Pelaksanaan

Lebih terperinci

Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta Laporan Akhir Penelitian Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta kerjasama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang

BAB I PENDAHULUAN. antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Disebut tahun politik antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang melibatkan setidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang dilaksanakan secara langsung, yang merupakan salah satu bentuk Demokrasi. Bagi sebuah bangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) menjadi bagian terpenting dalam penyelenggaraan demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Pemilu sering diartikan

Lebih terperinci

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi berlangsung. Pada Pemilu kali ini terdapat 38 Partai Politik untuk tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi berlangsung. Pada Pemilu kali ini terdapat 38 Partai Politik untuk tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga yang dilaksanakan selama Era Reformasi berlangsung. Pada Pemilu kali ini terdapat 38 Partai Politik untuk tingkat Nasional,

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan

Lebih terperinci

PASKA MUNASLUB: Golkar Perlu Branding Baru? LSI DENNY JA Analis Survei Nasional, Mei 2016

PASKA MUNASLUB: Golkar Perlu Branding Baru? LSI DENNY JA Analis Survei Nasional, Mei 2016 PASKA MUNASLUB: Golkar Perlu Branding Baru? LSI DENNY JA Analis Survei Nasional, Mei 2016 Paska Munaslub : Golkar Perlu Branding Baru? Paska Munaslub dengan terpilihnya Setya Novanto (Ketum) dan Aburizal

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, telah teridentifikasi bahwa PDI Perjuangan di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Liberalisasi politik yang hadir bersamaan dengan liberalisasi ekonomi dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam pemilihan umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Juanda, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Juanda, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Para siswa yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), adalah mereka yang berumur 17 sampai dengan 21 tahun merupakan pemilih pemula yang baru

Lebih terperinci

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN UMUM: MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL 1. Pilihan politik untuk kembali pada sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dunia politik adalah suatu pasar, dalam pasar itu terjadi pertukaran informasi dan pengetahuan. Dan seperti halnya pertukaran dalam dunia bisnis yang perlu

Lebih terperinci

GOLKAR PASCA PUTUSAN MENKUMHAM. LSI DENNY JA Desember 2014

GOLKAR PASCA PUTUSAN MENKUMHAM. LSI DENNY JA Desember 2014 GOLKAR PASCA PUTUSAN MENKUMHAM LSI DENNY JA Desember 2014 Golkar Pasca Putusan Menkumham Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) telah mengeluarkan keputusan bahwa pemerintah tak bisa menentukan apakah Munas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partai politik merupakan elemen penting yang bisa memfasilitasi berlangsungnya sistem demokrasi dalam sebuah negara, bagi negara yang menganut sistem multipartai seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat telah melalui perjalanan sejarah panjang dalam kepemimpinan nasional sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir 59 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Responden Responden dalam penelitian ini adalah para pemilih pemula yang tercatat dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir Tengah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAFTAR ISI Persembahan.................................... i Abstrak.................................... ii Ringkasan Eksekutif.................................... iii Lembar Pengesahan........................................

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum adalah suatu proses dari sistem demokrasi, hal ini juga sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan penuh untuk memilih

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG MODERN DAN PROFESIONAL. Muryanto Amin 1

PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG MODERN DAN PROFESIONAL. Muryanto Amin 1 PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG MODERN DAN PROFESIONAL Muryanto Amin 1 Pendahuluan Konstitusi Negara Republik Indonesia menuliskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. partai politik untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

BAB I PENDAHULUAN. partai politik untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 merupakan pengalaman pertama bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Ketentuan peralihan

Lebih terperinci

Evaluasi Pemilih atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik. Survei Nasional Maret 2006 Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Evaluasi Pemilih atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik. Survei Nasional Maret 2006 Lembaga Survei Indonesia (LSI) Evaluasi Pemilih atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik Survei Nasional Maret 2006 Lembaga Survei Indonesia (LSI) www.lsi.or.id Ihtisar Sudah hampir dua tahun masyarakat Indonesia memilih partai politik

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN A. CALEG PEREMPUAN DI KELURAHAN TEWAH MENGALAMI REKRUTMEN POLITIK MENDADAK Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu

Lebih terperinci

PKB 4,5%, PPP 3,4%, PAN 3,3%, NASDEM 3,3%, PERINDO

PKB 4,5%, PPP 3,4%, PAN 3,3%, NASDEM 3,3%, PERINDO PRESS RELEASE HASIL SURVEI ELEKTABILITAS PARPOL ORKESTRA: ELEKTABILTAS GERINDRA UNGGUL ATAS PDIP ELEKTABILITAS JOKOWI MASIH TERTINGGI PUBLIK RESPON BAIK KINERJA PEMERINTAH Hasil survei nasional yang dilakukan

Lebih terperinci

Pilpres Siapa yang Menang? Bisakah ada dua pemenang di Pilpres? Tidak mungkin. Pemenang Pilpres hanya satu, kalau bukan Prabowo- Hatta ya Jokowi- JK.

Pilpres Siapa yang Menang? Bisakah ada dua pemenang di Pilpres? Tidak mungkin. Pemenang Pilpres hanya satu, kalau bukan Prabowo- Hatta ya Jokowi- JK. Pilpres Siapa yang Menang? Bayu Dardias adalah dosen di Jurusan Politik dan Pemerinthan Fisipol UGM, saat ini menjadi kandidat doktor di Australian National University dan sedang meneliti tentang politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan lapangan, terdapat beberapa persoalan mendasar yang secara teoritis maupun praksis dapat disimpulkan sebagai jawaban dari pertanyaan penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang undang dasar negara

BAB I PENDAHULUAN. rakyat indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang undang dasar negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum kepala daerah merupakan sarana pelaksana kedaulatan rakyat indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang undang dasar negara republik Indonesia tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2014 ini diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (DPR,

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2014 ini diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (DPR, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2014 ini diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) dan Gubernur Provinsi Lampung. Sedangkan di bulan Juli 2014, masyarakat

Lebih terperinci

Kebangkitan Seminggu Terakhir. Head to Head Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta

Kebangkitan Seminggu Terakhir. Head to Head Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Kebangkitan Seminggu Terakhir Head to Head Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Survei Juli 2014 Kebangkitan Seminggu Terakhir Head to Head Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Menjelang finish pertarungan Pilpres 2014, tren

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang

BAB II KAJIAN TEORETIK. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang BAB II KAJIAN TEORETIK Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang teori-teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian ang akan dilakukan, adalah teori mengenai

Lebih terperinci

Pemilu yang ada bahkan tidak membawa perubahan orang. Sebagian besar akan tetap orang dan muka lama.

Pemilu yang ada bahkan tidak membawa perubahan orang. Sebagian besar akan tetap orang dan muka lama. Pengantar: Pemilihan umum legislatif berlangsung 9 April. Banyak pihak berharap hasil pemilu bisa membawa perubahan bagi Indonesia. Bisakah itu terwujud? Dan bagaimana hukum syara tentang pemilu legislatif

Lebih terperinci

LAPORAN SURVEI NASIONAL MEMBACA PETA DUKUNGAN & ELEKTABILITAS CAPRES-CAWAPRES 2014

LAPORAN SURVEI NASIONAL MEMBACA PETA DUKUNGAN & ELEKTABILITAS CAPRES-CAWAPRES 2014 LAPORAN SURVEI NASIONAL MEMBACA PETA DUKUNGAN & ELEKTABILITAS CAPRES-CAWAPRES TEMUAN SURVEI NASIONAL 26 MEI - 3 JUNI 1 Jl. Pangrango 3A, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan-12980 Telp. +6221-83701545, +6221-83794995,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menduduki lembaga perwakilan rakyat, serta salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik BAB 1 PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Partai politik merupakan sebuah institusi yang mutlak diperlukan dalam dunia demokrasi, apabila sudah memilih sistem demokrasi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan

Lebih terperinci

LAPORAN EKSEKUTIF SURVEI NASIONAL MEI 2014

LAPORAN EKSEKUTIF SURVEI NASIONAL MEI 2014 LAPORAN EKSEKUTIF SURVEI NASIONAL 24 29 MEI 2014 1 PENGANTAR Survei nasional ini ditujukan untuk menjawab sejumlah pertanyaan besar berikut: Apakah pemilih sudah memiliki pilihan untuk pilpres 2014? Pasangan

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP KAMPANYE DI MEDIA MASSA DENGAN PARTISIPASI POLITIK PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015 HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP KAMPANYE DI MEDIA MASSA DENGAN PARTISIPASI POLITIK PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Demokrasi merupakan suatu sistem yang mengatur pemerintahan berlandaskan pada semboyan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Untuk mewujudkan sistem demokrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu partai politik dengan basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004 mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Marketing politik adalah salah satu kegiatan yang penting dilakukan dalam

I. PENDAHULUAN. Marketing politik adalah salah satu kegiatan yang penting dilakukan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Marketing politik adalah salah satu kegiatan yang penting dilakukan dalam pemilihan. Marketing politik digunakan untuk memperkenalkan kandidat kepada masyarakat agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan aplikasi berbagai disiplin ilmu manajemen seperti marketing. Hal

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan aplikasi berbagai disiplin ilmu manajemen seperti marketing. Hal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktek politik di Indonesia telah berkembang sedemikian pesat dengan memanfaatkan aplikasi berbagai disiplin ilmu manajemen seperti marketing. Hal ini didorong oleh

Lebih terperinci

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS R. Siti Zuhro, PhD (Peneliti Utama LIPI) Materi ini disampaikan dalam acara diskusi Penguatan Organisasi Penyelenggara Pemilu, yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Terdahulu Penulis menggunakan sumber dari lapangan dan menggunakan beberapa pustaka sebagai acuan pembanding. Menurut tinjauan penulis, proposal yang menjelaskan secara

Lebih terperinci

3 Sukses LSI di Pilpres 2014

3 Sukses LSI di Pilpres 2014 3 Sukses LSI di Pilpres 2014 Syukuran Pilpres & Buka Puasa Bersama LSI Media Massa Kantor LSI Rawamangun Jalan Pemuda No. 70 1 3 Sukses LSI dalam Pilpres 2014 Pilpres 2014, bukan hanya pertarungan para

Lebih terperinci

Publik Cemas dengan Pemerintahan yang Terbelah

Publik Cemas dengan Pemerintahan yang Terbelah Publik Cemas dengan Pemerintahan yang Terbelah LSI DENNY JA Oktober 2014 Mayoritas Publik Cemas dengan Pemerintahan yang Terbelah Kalah lagi dalam pemilihan pimpinan MPR, Koalisi Jokowi-JK (Koalisi Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepercayaan itu adalah kemauan seseorang atau sekelompok orang untuk mau memberi keyakinan pada seseorang yang ditujunya. Kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis dimana

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan 32 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. di masyarakat. Individu melakukan kontak sosial berdasarkan adanya rasa percaya,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. di masyarakat. Individu melakukan kontak sosial berdasarkan adanya rasa percaya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kepercayaan (trust) merupakan dasar dari terbentuknya suatu hubungan sosial di masyarakat. Individu melakukan kontak sosial berdasarkan adanya rasa percaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Partisipasi politik

Lebih terperinci

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum. Sebagaimana diungkapkan oleh Rudy (2007 : 87)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tiara Ayudia Virgiawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tiara Ayudia Virgiawati, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia mengalami transisi dari masa otoritarianisme ke masa demokrasi pascareformasi tahun 1998. Tentunya reformasi ini tidak hanya terjadi di

Lebih terperinci

13 HARI YANG MENENTUKAN HEAD TO HEAD PRABOWO HATTA VS JOKOWI - JK. Lingkaran Survei Indonesia Juni 2014

13 HARI YANG MENENTUKAN HEAD TO HEAD PRABOWO HATTA VS JOKOWI - JK. Lingkaran Survei Indonesia Juni 2014 13 HARI YANG MENENTUKAN HEAD TO HEAD PRABOWO HATTA VS JOKOWI - JK Lingkaran Survei Indonesia Juni 2014 1 13 Hari Yang Menentukan Tiga belas hari menjelang pemilu presiden 9 Juli 2014, total pemilih yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Karakteristik demografi pemilih yang mencakup usia antara 20-49 tahun, berpendidikan SLTA dan di atasnya, memiliki status pekerjaan tetap (pegawai negeri sipil, pengusaha/wiraswasta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partai politik di era reformasi ini memiliki kekuasaan yang sangat besar, sesuatu yang wajar di negara demokrasi. Dengan kewenanangannya yang demikian besar itu, seharusnnya

Lebih terperinci