1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pelayanan kesehatan dewasa ini mengutamakan pelayanan berpusat pada pasien dan keluarga ( patient-and family-centered care) untuk memberikan pelayanan yang berkualitas, kepuasan kepada pasien dan terhindar dari kejadian yang tidak diharapkan. Burtscher (2012) dan Collins (2005) dalam penelitiannya menyatakan kolaborasi interprofesi meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien. Menurut Hanson (2000) kolaborasi yang efektif antar anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan yang berkualitas. Dengan demikian pengembangan kolaborasi interprofesi dalam pelayanan kesehatan menjadi hal yang perlu diprioritaskan oleh semua organisasi pemberi pelayanan kesehatan. Hubungan kolaborasi dalam pelayanan kesehatan melibatkan sejumlah tenaga profesi kesehatan, namun kolaborasi antara dokter dan perawat merupakan faktor penentu bagi peningkatan kualitas proses perawatan (Vazirani, 2005; Leever et al., 2010). Institute of Medicine (IOM, 2001) menyatakan, kerja sama yang efektif dalam tim dan perbaikan sistem organisasi memegang peranan yang utama dalam pemberian pelayanan berpusat pada pasien, lebih aman, efektif dan efisien. Kolaborasi akan berjalan dengan baik jika setiap anggota tim saling memahami peran dan tanggung jawab masing-masing profesi, memiliki tujuan yang sama, mengakui keahlian masing-masing profesi, saling bertukar informasi dengan terbuka, memiliki kemampuan untuk mengelola dan melaksanakan tugas baik secara individu maupun bersama kelompok dalam tim ( Pethybridge, 2004;
2 Hanson, 2000). Kesimpulan dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan Siegler & Whitney (2000) sejalan dengan Pethybridge (2004) dan Hanson (2000), yaitu tim akan berjalan dengan baik ketika setiap anggota tim berkontribusi sesuai dengan peran, keahlian, kompetensi dan wewenang mereka masing-masing. Kolaborasi interprofesi yang efisien akan memberikan pelayanan yang holistik kepada pasien sehingga kualitas perawatan dan kepuasan pasien akan meningkat, serta adanya efisiensi biaya perawatan. Penelitian yang dilakukan oleh Kramer & Schmalenberg (2003) menyimpulkan kolaborasi interprofesi dokter perawat meningkatan kualitas pelayanan keperawatan. Menurut Oandasan et al., (2006) dan Schadewaldt et al., (2013), kolaborasi interprofesi akan meningkatkan kualitas perawatan kepada pasien, masa pengobatan yang lebih pendek, biaya perawatan yang lebih murah, serta mengurangi beban dan stres kerja pada tim profesi kesehatan. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hughes, B. & Fitzpatrick, J.J. (2010) menunjukkan kerja sama interprofesi berhubungan dengan berkurangnya angka mortalitas, meningkatkan kepuasan kerja, dan mengurangi biaya perawatan. The World Health Organization (WHO, 2010) juga menekankan pentingnya kolaborasi interprofesi. Kolaborasi interprofesi akan menurunkan angka komplikasi, lama rawat di rumah sakit, ketegangan dan konflik diantara tim kesehatan, tingkat kematian, serta mengurangi biaya perawatan dan durasi pengobatan, meningkatkan kepuasan pasien dan tim kesehatan. Kerja sama interprofesi terjadi ketika berbagai profesi tenaga kesehatan dari latar belakang profesi yang berbeda bekerja sama dengan pasien, keluarga,
3 pengasuh, dan masyarakat untuk memberikan kualitas pelayanan yang terbaik (WHO, 2010). Melalui kolaborasi dalam tim, pengetahuan dan skill atau keahlian dari dokter dan perawat akan saling melengkapi. Pasien akan mendapat keuntungan dari koordinasi yang lebih baik melalui kolaborasi interprofesi. Kerja sama tim dalam kolaborasi adalah proses yang dinamis yang melibatkan dua atau lebih profesi kesehatan yang masing-masing memiliki pengetahuan dan keahlian yang berbeda, membuat penilaian dan perencanaan bersama, serta mengevaluasi bersama perawatan yang diberikan kepada pasien. Hal tersebut dapat dicapai melalui kolaborasi yang independen, komunikasi yang terbuka, dan berbagi dalam pengambilan keputusan (Xyrinchis & Ream 2008; WHO, 2010). Kerja sama interprofesi dokter perawat yang efektif memerlukan adanya pemahaman yang benar tentang kolaborasi interprofesi dan penguasaan kompetensi inti praktik kolaborasi interprofesi ( Core competencies for interprofessional collaborative practice) yang ditetapkan oleh International education collaborative expert panel pada tahun 2011. Kompetensi inti praktik kolaborasi interprofesi meliputi etika praktek interprofesi, peran dan tanggung jawab, komunikasi interprofesi, serta kerja sama tim. Menurut Way et al., 2000 terdapat tujuh elemen kunci untuk mencapai kolaborasi yang efektif antara lain: komunikasi, saling menghormati dan mempercayai, otonomi, kooperasi, akuntabilitas, koordinasi, dan asertifitas. Sedangkan Rodriguez et al., 2005 menyatakan keberhasilan praktik kolaborasi ditentukan antara lain oleh beberapa faktor yaitu: faktor organisasi, lingkungan organisasi, dan faktor interaksi. Selain itu pendidikan interprofesi ( Interprofessional education/ipe)
4 juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan praktik kolaborasi. WHO (2010) menekankan pentingnya penerapan kurikulum IPE dalam meningkatkan hasil perawatan pasien. IPE mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan dengan ilmu, ketrampilan, sikap dan perilaku profesional yang penting untuk praktik kolaborasi interprofesional (Sunartini, H., 2012). Kerja sama interprofesi merupakan kemampuan yang harus selalu dipelajari dan dilatih melalui IPE (WHO, 2010). Banyak hasil penelitian menunjukkan hambatan dalam kolaborasi interprofesi antar petugas kesehatan terutama antara dokter dan perawat menjadi penyebab kejadian yang akan menimbulkan kerugian dan bahaya, bahkan dapat mengancam jiwa pasien. Hambatan dalam kolaborasi interprofesi dapat menjadi penyebab utama terjadinya medical error, nursing error atau kejadian tidak diharapkan (KTD). Badan statistik kesehatan Australia pada tahun 1995 melaporkan di Australia diperkirakan dari 470.000 pasien, 18.000 pasien mengalami kematian dan 50.000 pasien mengalami kecacatan akibat KTD. Biaya yang dikeluarkan rata-rata per tahun untuk mengatasi masalah tersebut adalah sekitar A$ 900 juta. The Institute of Medicine ( 2000) melaporkan angka kematian pasien akibat kesalahan medik di rumah sakit setiap tahun berkisar antara 44.000 sampai dengan 98.000 pasien. Tahun 2010, The Center for Medicare and Medicaid melaporkan 13,5 % pasien mengalami kejadian yang tidak diharapkan, biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi sekitar $ 4,4 miliar (US. Department of Health and Human Services, 2010). Pada tahun 2011 The Joint Comission Sentinel Event Statistic menerima laporan kejadian sentinel
5 sebanyak 1.243, diidentifikasi sekitar 60 % disebabkan karena masalah komunikasi dalam kolaborasi. Rumah Sakit Panti Rapih merupakan rumah sakit swasta yang berada pada jajaran rumah sakit terbaik di Yogyakarta, berdiri pada tahun 1929. Salah satu tujuan pelayanan kesehatan Rumah Sakit Panti Rapih adalah menciptakan budaya kerja yang dipenuhi buah penghayatan iman sejati guna mewujudkan pengabdian yang penuh kasih, saling menghargai, membela hak hidup setiap insan. Rumah Sakit Panti Rapih yang dulu bernama Onder de Bogen diawali oleh para Suster CB (Kongregasi Suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus) dari Maastricht, Belanda. Para suster melayani dan merawat orang sakit, meringankan penderitaan sesama sesuai dengan ajaran Injil tanpa memandang agama dan bangsa. Rumah Sakit Panti Rapih saat ini dikelola oleh Suster CB bersama Gereja dan Yayasan Panti Rapih. Spiritualitas Kongregasi Suster CB menjadi landasan, sumber, dan semangat yang memberikan kekhasan dalam pelayanan. Rumah Sakit Panti Rapih memiliki kapasitas tempat tidur 385, memiliki lingkungan yang asri dan bersih. Pada tahun 2013 Bed Occupancy Rate (BOR) rata-rata adalah 82,96%, dengan Average Length of Stay (LOS) 4,94 hari, dan Turn Over Interval (TOI) 1,02. Jumlan pasien rawat inap pada tahun 2013 sebanyak 23.228 orang. Jenis pelayanan spesialis yang tersedia sebanyak 33, dengan jumlah kunjungan rawat jalan rata-rata per hari 767 pasien, dan jumlah kunjungan pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD) rata -rata per hari 95 pasien. Rumah Sakit Panti Rapih juga memiliki pelayanan keperawatan yang telah terkenal berkualitas. Rumah Sakit Panti Rapih memiliki karyawan sebanyak
6 1224 orang, dokter yang terlibat dalam pelayanan kesehatan berjumlah 119 orang. Tingkat pendidikan perawat sebagian besar adalah D 3 (82,7%), sebagian kecil berpendidikan S1 Keperawatan (1,6%), dan masih ada perawat dengan pendidikan SPK (16%). Banyaknya jumlah pelayanan medis dan dokter spesialis maupun subspesialis, jumlah pasien yang cukup banyak dengan beragam penyakit yang sangat kompleks, serta jumlah tenaga perawat yang besar maka medical error dan nursing error potensial terjadi di Rumah Sakit Panti Rapih. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Panti Rapih pada tahun 2013 melaporkan angka KTD (Kejadian Tidak Diha rapkan) berjumlah 334. Perincian KTD tersebut adalah sebagai berikut: KNC (Kejadian Nyaris Cedera) berjumlah 168 kejadian, KPC (Kejadian Potensial Cedera) berjumlah 42 kejadian, KTC (Kejadian Tidak Cedera) berjumlah 98 kejadian, KTD berjumlah 34 kejadian, dan sentinel berjumlah 2 kejadian. Diketahui dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit Panti Rapih pada bulan Mei 2014, 30 responden yang terdiri dari dokter dan perawat sebanyak 50% menyatakan dokter memiliki kewenangan yang dominan dalam semua masalah kesehatan dan tugas utama perawat adalah melaksanakan instruksi dokter. Sebanyak 67% responden menyatakan terdapat banyak area tanggung jawab dokter dan perawat yang tumpang tindih, 33% responden menyatakan belum merasa bebas berdiskusi dan saling memberi masukan, serta 30% responden menyatakan pendapat yang disampaikan merasa belum didengarkan dan dihargai. Sedangkan hasil wawancara peneliti dengan beberapa
7 dokter dan perawat di Rumah Sakit Panti Rapih, sebagian besar dokter dan perawat belum memiliki persepsi yang sama terhadap kolaborasi interprofesi (Utami, L., 2014). Pengetahuan dan pemahaman tentang kolaborasi interprofesi memberi pandangan dan nilai-nilai baru kepada dokter dan perawat yang akan menentukan sikap, perilaku dokter dan perawat dalam kerja sama interprofesi. WHO pada tahun 2010 mengidentifikasi mekanisme yang membentuk keberhasilan kerja sama tim kolaborasi dan menguraikan serangkaian tindakan yang dapat diterapkan dalam sistem kesehatan setempat dalam Framework for Action on Interprofessional Education and Collaborative Practice. Kolaborasi interprofesi dokter perawat dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui memberi banyak manfaat, namun hambatan dalam pelaksanaan praktik kolaborasi interprofesi masih terus terjadi karena berbagai kendala. Beberapa masalah yang ada di Rumah Sakit Panti Rapih yang telah disebutkan diatas dapat menjadi kendala dalam pelaksanaan kolaborasi interprofesi. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian untuk mengetahui adakah hubungan antara sikap, perilaku kolaborasi dokter perawat dengan praktik interprofesi di instalasi rawat inap. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Adakah hubungan antara sikap, perilaku kolaborasi dokter perawat dengan praktik interprofesi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta?.
8 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara sikap dan perilaku kolaborasi dokter perawat dengan praktik interprofesi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi interprofesi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. b. Mengetahui perilaku dokter dan perawat terhadap kolaborasi interprofesi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Rumah Sakit, dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan untuk menciptakan kerja sama interprofesi. 2. Bagi dokter dan perawat, mendorong untuk semakin meningkatkan dan mengembangkan kolaborasi interprofesi dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien. 3. Bagi pendidikan, mendorong penerapan kurikulum IPE dalam program pendidikan. 4. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian serupa.
9 E. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian sikap dan perilaku dokter terhadap kolaborasi antara lain sebagai berikut: 1. El Sayed (2007) dengan judul Nurse-physician collaboration: A comparative study of the attitudes of nurses and physicians at Mansoura University Hospital. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan descriptive. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah Skala Jefferson. Sampel dokter dalam penelitian sebanyak 38 dan perawat sebanyak 97. Penelitian dilakukan di Mansoura University Hospital, Egypt. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan sikap kolaborasi antara dokter dan perawat, terdapat hubungan antara lama bekerja dengan dimensi kolaborasi kerjasama dan berbagi pengetahuan dan otonomi perawat. Penelitian El Sayed (2007) menggunakan rancangan deskriptif, dengan tujuan penelitian untuk menilai perbedaan sikap antara dokter dan perawat terhadap kolaborasi di unit bedah dan unit penyakit dalam di RS Universitas Mansoura. Sedangkan penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif analitik, dengan tujuan untuk mengetahui sikap dan perilaku dokter dan perawat terhadap kolaborasi interprofesi. Besar sampel dokter adalah 50 dan perawat 84. Instrumen yang digunakan adalah Skala Jefferson untuk menilai sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi dan Skala Stichler untuk menilai perilaku dokter dan perawat terhadap kolaborasi. 2. Rieck (2007) dengan judul Critique of Nurse Physician Collaboration: A comparison of The Attitudes of Nurses and Physicians in the Medical-Surgical
10 Patient Care Setting. Metode penelitian yang digunakan adalah Comparative descriptive design untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi di ruang perawatan bedah. Teknik pengambilan sampel menggunakan convenience sampling, besar sampel dokter adalah 37 dan perawat 65. Instrumen yang digunakan adalah Skala Jefferson untuk menilai sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi. Kesimpulan hasil penelitian yaitu baik dokter dan perawat memiliki sikap yang positif terhadap kolaborasi. Dokter dan perawat memiliki sikap yang positif terhadap dimensi kolaborasi berbagi pengetahuan dan kerjasama, caring versus curing, otonomi perawat, dan otoritas dokter. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada teknik pengambilan sampel. Rieck (2007) menggunakan teknik convenience sampling, sedangkan peneliti menggunakan purposive sampling untuk pengambilan sampel pada dokter dan simple randomized sampling untuk pengambilan sampel pada perawat. 3. Sterchi (2007) dengan judul Perception that affect physician nurse collaboration in the perioperative setting. Instrumen penelitian yang digunakan adalah the Jefferson Scale of Attitudes Toward Physian Nurse Collaboration. Teknik pengambilan sampel menggunakan convenience sampling. Subyek penelitian adalah dokter (n = 65) dan perawat (n = 72) yang bekerja di kamar operasi. Tujuan penelitan untuk menilai persepsi dan sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi. Hasil penelitian menunjukkan
11 terdapat perbedaan sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi di kamar operasi. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada tempat penelitian dan teknik pengambilan sampel. Peneliti mengambil penelitian di ruang rawat inap, dengan pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan simple randomized sampling. Sterchi (2011) melakukan penelitian di kamar operasi dan menggunakan teknik convenience sampling untuk pengambilan sampel. 4. Taylor (2009) dengan judul Attitudes Toward Physician-Nurse Collaboration in Anesthesia. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Comparative descriptive design. Peneliti menggunakan Skala Jefferson untuk menilai sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi. Untuk mengetahui perbedaan sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi digunakan uji t test. Tujuan penelitian adalah membandingkan sikap dokter spesialis anastesi dan perawat anastesi terhadap kolaborasi. Pengumpulan data dilakukan melalui survei dengan menyebarkan kuesioner yang dikirimkan melalui surat kepada 353 dokter spesialis anastesi dan kepada 501 perawat anastesi. Hasil penelitian membuktikan dokter dan perawat memiliki perspektif yang berbeda terhadap kolaborasi. Taylor (2009) dalam penelitiannya menggunakan jumlah sampel yang besar, subyek penelitian diambil dari seluruh rumah sakit yang ada di salah satu state di Amerika. Sedangkan peneliti hanya mengambil subyek penelitian
12 di satu rumah sakit swasta di Yogyakarta untuk mengetahui perbedaan sikap dan perilaku dokter dan perawat terhadap kolaborasi. 5. Hughes (2010) dengan judul Nurse physician collaboration in an acute care community hospital. Metode penelitian yang digunakan adalah comparative descriptive design. Subyek penelitian dokter dan perawat diambil dari rumah sakit yang terletak di Northeastern US, besar sampel dokter 165 dan perawat 241. Instrumen penelitian yang digunakan adalah the Jefferson Scale of Attitudes toward Physician Nurse Collaboration. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan evaluasi sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi di ruang gawat darurat rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan dokter dan perawat memiliki sikap yang positif terhadap kolaborasi. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada pengambilan tempat penelitian yaitu di ruang rawat inap rumah sakit dan subyek penelitan dokter dan perawat diambil dari 1 rumah sakit swasta di Yogyakarta. Hughes (2010) mengambil tempat penelitian di ruang gawat darurat rumah sakit dan subyek penelitian dokter dan perawat diambil dari ruang gawat darurat beberapa rumah sakit Northeastern US. 6. Nair (2011) dengan judul Frequency of nurse physician collaborative behaviors in acute care hospital. Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kolaborasi antara dokter dan perawat di ruang gawat darurat. Peneliti menggunakan rancangan descriptive dengan pendekatan cross sectional, tempat penelitian dilakukan di Midwest, USA. Besar sampel dokter 100 orang dan perawat 200 orang. Instrumen penelitian menggunakan NPCS
13 (Nurse-Physician Collaboration Scale) yang dikembangkan oleh Simon (1977), Innami (2002), dan Miyagawa (2004). Hasil penelitian menunjukkan dimensi kolaborasi berbagi informasi tentang pasien (sharing patient information) dan hubungan dokter dan perawat ( relationship between physician and nurse) merupakan dimensi kolaborasi yang paling sering dilakukan oleh dokter dan perawat dalam pelaksanaan praktik kolaborasi interprofesi. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada instrumen yang digunakan untuk menilai perilaku dokter dan perawat terhadap kolaborasi (physiciannurse collaborative behaviors). Nair (2011) menggunakan instrumen penelitian NPCS ( Nurse-Physician Collaboration Scale), sedangkan peneliti menggunakan Stichler Colaborative Behavior Scale. Subyek penelitian Nair (2011) adalah semua dokter dan perawat di semua rumah sakit yang ada di Midwest, USA. Sedangkan peneliti mengambil subyek penelitian dokter dan perawat di satu rumah sakit swasta di Yogyakarta. 7. Tang (2013 ) dengan judul Collaboration between hospital physicians and nurses: An integrated literature review. Tujuan penelitian adalah mengeksplorasi sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi, mengetahui faktor yang mempengaruhi efektifitas kolaborasi dokter perawat, dan mengetahui strategi untuk meningkatkan kolaborasi dokter perawat. Metode penelitian yang digunakan adalah tinjauan literatur ( literature review). Hasil penelitian sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi diketahui dari beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan sikap dokter dan
14 perawat terhadap kolaborasi. Diketahui pula faktor yang mempengaruhi efektifitas kolaborasi dokter perawat adalah komunikasi, saling menghormati dan mempercayai, serta saling memahami peran masing-masing profesi. Strategi untuk meningkatkan kolaborasi dokter perawat adalah pelaksanaan IPE dan visite harian secara teratur oleh dokter dan perawat ikut berpartisipasi secara aktif. Tang (2013 ) dalam penelitiannya menggunakan metode literature review untuk mengetahui sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi. Peneliti menggunakan rancangan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dilakakan peneliti melalui survei dengan menyebarkan kuesioner dan melakukan observasi.