BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN KONSERVASI

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD)

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. antara lain hutan produksi yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

ABSTRAK. Kata kunci : masyarakat adat, Suku Dayak Limbai, Goa Kelasi, aturan adat, perlindungan sumberdaya hutan

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

8 KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB IV PENUTUP. Alam Nomor : SK. 32/IV-SET/2015 tentang Zonasi Taman Nasional Siberut, Kabupaten

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR

REUSAM KAMPUNG BENGKELANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : TAHUN 2010

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

FORMAT KASUS - KOMPREHENSIF

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970- an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Saat itu terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Pada tahun 1974, kawasan Kasepuhan dengan dipimpin oleh Ki Ardjo berpindah ke daerah Ciganas, Desa Sirna Rasa. Akan tetapi kawasan ini sudah termasuk dalam kawasan Perhutani. Persoalan mulai terjadi saat aparat keamanan melihat incu putu (masyarakat adat) Kasepuhan mulai membuka huma dengan membabat bukit-bukit di daerah penyangga. Namun hal ini tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, mengingat saat itu, hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik. Keributan mengenai pemukiman dan perladangan yang berpindah-pindah dimulai sejak Kasepuhan dipimpin oleh Abah Anom pada tahun 1983 yang memindahkan Kasepuhan ke Cipta Rasa yang termasuk dalam blok Datar Putat. Abah Anom dianggap telah menyerobot lahan milik Perhutani tanpa izin dan membuka areal yang tadinya merupakan hutan utuh. Permasalahan diselesaikan dengan menyelenggarakan musyawarah yang mempertemukan pihak Kasepuhan dengan Perhutani. Hasilnya, masyarakat Kasepuhan masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di wilayah adatnya sesuai dengan wangsit dari karuhun yang belum memerintahkan untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan tanahnya seluas hampir 16.000 m 2 di Ciarca untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta Rasa (blok Datar Putat). Tapi pihak kehutanan mengizinkan incu putu untuk menggarap wilayah di Ciarca tersebut dengan sistem tumpang sari. Permasalahan yang terjadi dengan Perhutani tidak hanya mengenai persoalan lahan. Ada permasalahan lain yang terjadi. Menurut Wa UGS, permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi. Padahal menurut peraturan adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan (leuweung titipan) tidak boleh ada 56

kegiatan ekonomi termasuk untuk produksi massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan incu putu (masyarakat adat Kasepuhan) untuk menggarap hutan produksi dengan sistem tumpang sari. Seperti yang dituturkan oleh Wa UGS (64 tahun) Tokoh Adat Kasepuhan. Konflik terjadi dengan Perhutani, ketika Perhutani mengklaim kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi. Namun, konflik tidak terlalu keras, karena Perhutani melepas klaimnya atas hutan titipan, dan menggantinya dengan hutan diluar hutan titipan dan masyarakat masih diizinkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari. Pemerintah mengeluarkan SK. Menteri Kehutanan No.282 tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi dan Sumberdaya Hayati No.5/1990 yang menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun, seperti yang dipaparkan dalam www.tnhalimun.go.id. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak balai taman nasional mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obatobatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona-zona taman nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman nasional. Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dalam kawasan taman nasional, kawasan Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam kawasan taman nasional, zona rimba dan zona rehabilitasi, hanya kawasan lahan garapan warga saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan sawah. 57

Keadaan bertambah parah saat pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/kpts-II/ 2003, tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 hektar. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-Ii/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, dilarang adanya kegiatan penebangan oleh siapapun di wilayah inti taman nasional. Pembagian zonasi taman nasional bedasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-Ii/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional adalah sebagai berikut: 1. Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. 2. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. 3. Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. 4. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. 5. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. 6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan 58

atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 7. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindari telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Berdasarkan pembagian zonasi, masyarakat tidak diperbolehkan mengambil kayu maupun memanfaatkan lahan untuk pertanian. Ditambah dengan tidak adanya sosialisasi terhadap masyarakat sehingga tidak terdapat kejelasan mengenai batas-batas zonasi di lapangan, membuat masyarakat yang mengambil kayu yang biasanya dilakukan di hutan titipan sesuai dengan izin ketua adat untuk pembangunan pemukiman karena hutan tersebut masuk dalam kawasana inti maka kegiatan masyarakat dianggap sebagai illegal logging. Masyarakat adat sendiri menganggap bahwa sistem zonasi yang dibuat oleh taman nasional sama artinya dengan sistem pengelolaan hutan secara adat, terutama untuk zona inti dan hutan tutupan Kasepuhan. Namun, permasalahannya adalah ketika kebun, ladang, sawah dan pemukiman masyarakat dijadikan zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Masyarakat adat tidak boleh tinggal dan berada di kawasan zona rimba dan zona rehabilitasi karena zona rimba berfungsi sebagai kawasan yang mendukung zona inti dan zona rehabilitasi berfungsi untuk pemulihan ekosistem hutan. Pentingnya kawasan kebun, sawah, dan ladang masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan hidup, memaksa masyarakat tetap berada di lahan garapan dan mengolah lahan seperti biasanya walaupun harus dengan cara sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap. Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan yang diklaim sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan antara lain; pemanfaatan kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak, tanaman hias, satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, dan penambangan emas secara tradisional. Secara 59

tiba-tiba, pemerintah mengklaim hutan milik masyarakat sebagai bagian dari taman nasional, dan dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat Kasepuhan dan mengancam kehidupan masyarakat. Selain itu, konflik pemanfaatan lahan pun terjadi karena sempitnya lahan garapan masyarakat Kasepuhan akibat pengklaiman lahan sebagai taman nasional. Namun, terdesak oleh kebutuhan hidup yang harus tetap berlanjut, masyarakat tetap mengelola lahan tersebut, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Cimapag. Masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam hutan Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di hutan Halimun. Seperi yang diungkapkan oleh Bapak RDI (55 tahun) yang bekerja sebagai petani. Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga Dalam perjalanannya, kemudian pihak taman nasional mulai memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke dalam kawasan konservasi di berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menakuti-nakuti masyarakat bahwa sewaktu-waktu masyarakat dapat diusir dari tempat hidupnya karena pemukimannya masuk dalam wilayah taman nasional. Pada tahun 2007 terjadi juga penangkapan terhadap warga Kasepuhan yang tinggal di Kampung Cibalandongan karena mengambil kayu dari kebun miliknya sendiri, karena dianggap telah merusak kawasan taman nasional. Warga tersebut ditahan selama 10 bulan penjara. Setelah itu, ada pula warga Kampung Lebak Nangka pada tahun 2008 juga ditangkap karena mengambil kayu di kebun 60

sendiri. Padahal sebelum adanya taman nasional, lahan kebun termasuk pohon yang di dalamnya adalah milik warga, karena sejak wilayah tersebut masih dimiliki oleh Perhutani, warga boleh menggarap lahan tersebut dan menanam pohon kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari. Seperti yang dinyatakan oleh Tokoh Adat, Wa UGS (64 tahun). Kami seperti pencuri di tanah milik sendiri, seperti tamu di rumah sendiri. Padahal kami telah tinggal di sini sebelum ada taman nasional, bahkan sebelum Indonesia merdeka, kami sudah tinggal di sini. Tapi mengapa mengambil hasil yang kami tanam sendiri membuat kami ditangkap? Sudah ada empat kasus penangkapan yang dikarenakan mengambil kayu di kebunnya sendiri, dan hingga saat ini (tahun 2010) masih ada warga yang ditahan oleh kepolisian, yaitu satu orang warga Kasepuhan Cipta Gelar di Kampung Lebak Nangka. Seperti yang diutarakan oleh Bapak PPN (53 tahun) Tokoh Masyarakat dari Kampung Lebak Nangka, dalam dialog interaktif kader lingkungan hidup di Kasepuhan Cipta Gelar pada tanggal 31 Agustus 2010. Lahan garapan masyarakat dirampas oleh taman nasional. Jika itu merupakan hak taman nasional, maka akan kami beri, tetapi tidak untuk lahan garapan. Tolong diselesaikan dengan baik. Ditakutkan, jika hak masyarakat dirampas, maka akan terjadi keributan. Bapak Dirjen pernah berkata, silahkan mengambil pohon yang ditanam di kebun sendiri. Namun, kenyataannya sudah ada empat kasus penangkapan karena menebang pohon yang ditanam di kebun sendiri. Menurut Bapak PPN (53 tahun) Tokoh Masyarakat, penetapan kawasan taman nasional tersebut tidak dikompromikan dengan masyarakat dan tata batas wilayahnya juga tidak jelas. Hal ini dapat memicu keributan, karena tidak sedikit lahan garapan masyarakat yang masuk dalam kawasan taman nasional. Sebenarnya masyarakat tidak menolak dengan adanya kawasan konservasi di wilayah adat mereka. Bahkan mereka sangat mendukung dan merasa satu tujuan dengan balai taman nasional karena ingin melindungi kawasan Gunung Halimun. Namun, masyarakat menolak, jika lahan garapan mereka dan pemukiman mereka diklaim sebagai kawasan taman nasional dan mereka ditangkap ketika mengambil kayu yang mereka tanam sendiri. Masyarakat merasa bahwa lahan garapan dan pemukiman mereka adalah hak mereka karena mereka 61

telah mendiami kawasan tersebut sejak lama. Ketika ada kasus penangkapan orang yang dituduh melakukan illegal logging, masyarakat merasa takut untuk kembali mengambil kayu di lahan mereka, namun lama kelamaan mereka melawan karena mereka tidak merasa bersalah dan merasa dengan melawan atau tidak akan tetap ditangkap oleh polisi kehutanan. Setidaknya mereka puas telah mempertahankan hak mereka walaupun pada akhirnya mereka tetap ditangkap ketika melakukan pengambilan kayu. 62

Tabel-6 Peta Sejarah Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Waktu Kejadian Pihak yang Berkonflik Kronologis Keterangan Tahun 1970-an Perhutani dan Konflik terjadi ketika hak pengelolaan hutan Masyarakat Adat dipegang oleh Perhutani. Terjadi tumpang tindih Kasepuhan antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik masyarakat adat. Tahun 1974 Kawasan Kasepuhan pindah ke daerah Ciganas, dan Hal ini tidak menjadi persoalan yang masyarakat Kasepuhan membuka areal perbukitan berkepanjangan, mengingat saat itu, untuk huma, serta dianggap menyerobot lahan milik Perhutani. hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan pemerintah daerah setempat Tahun 1983 Tahun 1992 Taman Nasional Gunung Halimun dengan Masyarakat Adat Kasepuhan Permasalahan terjadi ketika wilayah Kasepuhan yang dipimpin oleh Abah Anom kembali berpindah ke Cipta Rasa. Masyarakat membuka areal hutan utuh milik Perhutani untuk pemukiman dan ladang baru. Pemerintah mengeluarkan SK.Menhut No. 282 Tahun 1992yang menetapkan kawasan Halimun seluas 40.000 ha sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional terjalin dengan baik Permasalahan diselesaikan dengan menyelenggarakan musyawarah yang mempertemukan pihak Kasepuhan dengan Perhutani. Hasilnya, masyarakat an masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di wilayah adatnya sesuai dengan wangsit dari karuhun yang belum memerintahkan untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan tanahnya seluas hampir 16.000 m 2 di Ciarca untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta Rasa (blok Datar Putat). Tapi pihak kehutanan mengizinkan incu putu untuk menggarap wilayah di Ciarca tersebut dengan sistem tumpang sari. 63

(BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak BTN mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat-obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona rehabilitasi taman nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman nasional. Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dalam kawasan taman nasional, kawasan Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam kawasan taman nasional hanya kawasan lahan garapan warga saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan sawah. Tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 175 Tahun 2003 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 ha. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. kemudian pihak taman nasional mulai memasang plang pelarangan masuk kawasan konservasi di 64

Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2010 berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menakutinakuti warga bahwa sewaktu-waktu warga dapat diusir dari tempat hidupnya karena pemukimannya masuk dalam wilayah taman nasional. Terjadi penangkapan warga Cibalandongan karena diduga melakukan illegal logging, warga tersebut ditahan selama 10 bulan. Terjadi kembali penangkapan warga Lebak Nangka, diduga pula melakukan illegal logging di kawasan taman nasional. Masih ada warga Kasepuhan di dusun Lebak Nangka yang ditahan oleh kepolisian, dan belum dibebaskan. Selain itu, masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag menduga taman nasional mengembangbiakan babi hutan di hutan untuk mengganggu tanaman masyarakat sehingga gagal panen. 65

Konflik kehutanan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah terjadi sejak pemerintah turut campur dalam pengelolaan hutan. Berbedanya sistem pengelolaan hutan yang diterapkan oleh pemerintah dalam hal ini Perhutani dan Balai Taman Nasional dengan Masyarakat Adat Kasepuhan, khususnya dalam zona rehabilitasi atau hutan bukaan Kasepuhan menjadi salah satu penyebab konflik. Selain itu, ada pula perbedaan penafsiran dan penggunaan istilah dalam peraturan yang tercantum dalam peraturan pemerintah dan peraturan adat. 2.4 Peta Konflik Sumberdaya Hutan Analisa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dalam dilakukan dengan pendekatan pemetaan konflik. Fisher et al. (2001) menyatakan bahwa pemetaan konflik memiliki tujuan untuk memahami situasi yang baik, melihat hubungan diantara berbagai pihak secara jelas, menjelaskan letak kekuasaan, memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi, melihat para sekutu yang potensial berada dimana, mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan dan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan. 2.4.1 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Konflik Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai sejak tahun 1954 hingga tahun 2010 dengan pihak-pihak yang selalu berganti di setiap masanya. Pihak-pihak tersebut memiliki kepentingan yang pasti berbeda. Pihakpihak yang terlibat dalam konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun adalah sebagai berikut: 1. Perhutani Perhutani Sebagai Badan Usaha Milik Negara, berbentuk Perusahaan Umum pengelola sumberdaya hutan di pulau Jawa dan Madura yang berperan mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura. Wilayah kerja Perhutani adalah kawasan hutan negara di Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Barat dan Banten seluas 2.426.206 hektar. Luas hutan yang dikelola Perhutani tidak termasuk kawasan hutan suaka alam dan hutan wisata yang dikelola oleh Kementrian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Pelestarian Alam (PHPA) 66

(www.perumperhutani.com). Dasar hukum yang digunakan dalam mengelola hutan di pulau Jawa adalah Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Sifat usaha merupakan dua misi yaitu mengusahakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Perhutani mulai mengelola kawasan Gunung Halimun sejak tahun 1970- an. Pada tahun 1983, masyarakat dianggap telah menyerobot lahan milik Perhutani tanpa izin dan membuka areal yang sebelumnya merupakan hutan utuh. Namun, permasalahan diselesaikan dengan musyawarah yang mempertemukan keduanya dan menghasilkan kesepakatan bahwa masyarakat adat masih diperbolehkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari. Selain itu, ada permasalahan lain yang muncul, ketika Perhutani menjadikan hutan titipan masyarakat sebagai hutan produksi. Padahal menurut adat Kasepuhan hutan titipan adalah hutan yang tidak memperbolehkan adanya kegiatan ekonomi di dalamnya, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang dikhususkan untuk kegiatan ekonomi. Namun pada tahun 1992, pemerintah mengalihkan pengelolaan Gunung Halimun kepada Balai Taman Nasional Gunung Pangrango, dan menjadikan kawasan yang sebelumnya adalah wilayah kerja Perhutani di kawasan Gunung Halimun sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Halimun melalui SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992. 2. Masyarakat Adat Definisi masyarakat adat menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara merupakan kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Secara lebih sederhana, masyarakat adat dapat disebut sebagai masyarakat yang terikat secara oleh hukum adat, keturunan, dan tempat tinggal (CIFOR, 2002). Masyarakat adat Kasepuhan yang berada di kawasan Gunung Halimun tergabung dalam Komunitas Masyarakat Adat Banten Kidul, karena berasal dari keturunan leluhur yang sama. Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu 67

komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al. (2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang nerasal dari dinamika konflik yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang didatangkan oleh VOC dari seluruh nusantara). Komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran inilah yang diyakini sebagai moyang masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi. Masyarakat Adat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Kasepuhan, khususnya masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang secara administratif termasuk dalam masyarakat Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, dan tinggal menetap di sana. Masyarakat Kasepuhan atau disebut dengan incu putu umumnya memiliki ketergantungan tinggi pada sektor kehutanan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aturan adat dan tradisi masyarakat masih mengikat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan pengelolaan sawah dan huma (ladang). 3. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Taman nasional adalah salah satu bentuk dari Kawasan Pelestarian Alam, yang memiliki fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, memiliki wewenang yang berasal dari Pemerintah Pusat yaitu Kementerian Kehutanan. Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok 68

Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, pemerintah menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun, seperti yang tercantum dalam www.tnhalimun.go.id. Kemudian dengan mempertimbangkan kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak yang merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, maka pemerintah pada tanggal 10 Juni 2003 mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts- II/2003 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 hektar. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak secara administratif terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Menindaklanjuti SK Menteri Kehutanan tersebut, pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak mempunyai kepentingan dan wewenang dalam penetapan dan penataan batas kawasan taman nasional. Penataan batas kawasan merupakan tahapan awal sebelum mengukuhkan kawasan menjadi taman nasional. Pada tahap ini, Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seharusnya melibatkan berbagai pihak baik pemerintah daerah, organisasi non pemerintah dan masyarakat setempat. Keberadaan taman nasional telah meresahkan masyarakat. Demi menegakkan konservasi, balai taman nasional mensterilkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dari aktivitas pertanian masyarakat adat dan masyarakat lokal yang telah lama mendiami kawasan Gunung Halimun. Mulai dari pengusiran secara halus, pemasangan papan pengumuman, hingga penangkapan masyarakat yang sedang melakukan aktivitas di dalam hutan, yang dianggap masyarakat sebagai hutan adat. Perlakukan-perlakuan seperti ini menimbulkan perlawanan dari masyarakat adat Kasepuhan, khususnya masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar, dan 69

Kasepuhan Cipta Mulya, dengan menuntut dibentuknya Peraturan Daerah Sukabumi mengenai pengakuan hak-hak atas wilayah adat. 5.2.2 Kepentingan Masing-masing Pihak yang Berkonflik Konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun- Salak terjadi karena ada pihak-pihak yang memiliki banyak kepentingan atas hutan. Pihak-pihak yang terlibat merasa bahwa kepentingan mereka harus didahulukan dibanding yang lain. Namun, dalam kasus yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kepentingan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan kepentingan masyarakat adat Kasepuhan harus sama-sama didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya. Ketika kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum ditetapkan, wilayah Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Perhutani pun memiliki kepentingan yang berbeda pula dengan masyarakat, yaitu berusaha mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura, Selain itu, melalui hutan produksinya, Perhutani memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan serta sebagai pendukung bisnis yang berkelanjutan. Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan Perhutani maupun antara masyarakat dengan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, memiliki kesamaan dalam hal pengklaim-an wilayah hutan. Dengan kepentingan yang berbeda-beda, memungkinkan untuk terjadinya konflik karena masing-masing pihak menginginkan kepentingannya terlebih dulu yang harus didahulukan. 70

Tabel-7 Peta Kepentingan atas Hutan bagi Pihak-pihak yang Terlibat Konflik Pihak-pihak yang Terlibat Konflik Perhutani Kepentingan atas hutan Sebagai Badan Usaha Milik Negara, yang berperan mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura, Selain itu, melalui hutan produksinya, Perhutani memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan serta sebagai pendukung bisnis yang berkelanjutan. Masyarakat Adat Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Selain itu, hutan pun memiliki nilai spiritual yang tinggi. Kawasan hutan titipan yang merupakan hutan titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang harus dijaga. Selain itu, kawasan hutan titipan juga merupakan daerah resapan air (leuweung sirah cai), dimana air merupakan kebutuhan pokok manusia. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, melalui upaya konservasi. Sumber: diolah dari data primer, 2010, www.perumperhutani.com dan www.tnhalimun.go.id Masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda atas obyek yang sama yaitu hutan. Perhutani saat mengelola kawasan Gunung Halimun, memiliki peran untuk mendukung sistem kelestarian lingkungan dan memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan hutannya. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mustahil bagi mereka untuk meninggalkan dan lepas dari hutan. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, beranggapan Gunung Halimun dan Gunung Salak perlu untuk di konservasi karena memiliki keanekaragaman yang tinggi dan perlu dilestarikan. Kepentingan-kepentingan yang berbeda dan masing-masing pihak merasa bahwa kepentingannya yang harus didahulukan 71

membuat pihak-pihak tersebut bentrok, karena tidak ada yang mau mengorbankan kepentingannya. 5.3 Tahapan Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui untuk membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al., 2001). Analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, yaitu; prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pasca konflik. Analisis tahapan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, adalah sebagai berikut: Prakonflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih hingga timbul konflik. Dalam kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, muncul ketidaksesuain persepsi antar pihak dalam membapak/ibung hutan. Pihak-pihak memiliki kepentingan yang berbeda atas hutan, muncul ketidaksesuaian pendapat mengenai kepemilikan Gunung Halimun. Ketidak sesuaian persepsi antar pihak dalam membapak/ibung hutan terjadi ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Pihak Perhutani menjadikan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan kayu-kayu keras. Pihak Kasepuhan sendiri mempersepsikan hutan titipan sebagai hutan yang tidak diperkenankan kegiatan perekonomian dengan tujuan memperoleh keuntungan, misalnya untuk menjual kayu-kayuan. Ketika pengelolaan Gunung Halimun beraliih kepada Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, perbedaan persepsi kembali tejadi antara pihak balai taman nasional dengan masyarakat adat Kasepuhan. Pihak balai taman nasioal menganggap kawasan Pegunungan Halimun-Salak merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, sehingga perlu diadakan upaya konservasi dan mensterilkan kawasan tersebut dari aktivitas pertanian oleh masyarakat. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sendiri diklaim pemerintah sebagai milik Negara, karena 72

berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Masyarakat adat Kasepuhan sendiri, karena menganggap telah lama ada sebelum balai taman nasional mengelola Gunung Halimun, masyarakat menganggap kawasan Gunung Halimun adalah ruang hidup mereka untuk menjalankan kehidupan mereka, yang diwariskan dari leluhur untuk kesejahteraan anak-cucu mereka nantinya, sehingga mereka tidak dapat dipisahkan hidupnya dari Gunung Halimun. Kawasan Gunung Halimun, menurut masyarakat adat Kasepuhan adalah milik adat karena merupakan warisan para leluhur mereka di masa lalu. Konfrontasi: Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, petugas balai taman nasional memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke kawasan konservasi di area perkebunan dan pemukiman warga. Pihak taman nasional pun mulai mengusir warga secara halus, namun masyarakat tetap tidak mau pindah dari pemukimannya, karena belum mendapatkan perintah dari ketua adat. Krisis: merupakan puncak konflik ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, tidak sampai terjadi pertumpahan darah antara pihak-pihak yang berkonflik. Hanya terjadi penangkapan terhadap masyarakat adat yang dianggap telah melakukan illegal logging di kawasan taman nasional. Hingga bulan Oktober 2010 masih ada masyarakat yang ditahan di kepolisisan karena dituduh melakukan illegal logging. Padahal yang dilakukan masyarakat di dalam hutan hanya memungut ranting dan kayu kering untuk kayu bakar, mengambil tanaman untuk obat-obatan dan menebang kayu untuk membangun sarana dan prasarana, dan dilakukan di kebun masyarakat serta hutan titipan atas izin ketua adat. Namun, karena kebun dan kawasan hutan titipan masyarakat diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional, maka masyarakat yang melakukan aktivitas sehari-hari di dalam hutan dianggap telah merambah hutan. Akibat: Akibat adanya penangkapan serta penuduhan illegal logging terhadap masyarakat, membuat pihak Kasepuhan, khususnya Kasepuhan Sinar 73

Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar dan Kasepuhan Cipta Mulya, mulai menyusun agenda dan menuntut Pemerintah Daerah Sukabumi untuk membuat Peraturan Daerah Sukabumi mengenai pengakuan hak-hak adat masyarakat adat Kasepuhan. Hingga bulan Oktober 2010, berkas Peraturan Daerah tersebut masih di proses di Badan Legislatif Daerah Kabupaten Sukabumi, karena belum adanya peta wilayah adat Kasepuhan. Pasca Konflik: Hingga bulan Desember 2010, konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak masih belum selesai. Tata batas yang masih belum jelas membuat berkas Peraturan Daerah mengenai pengakuan hak adat masih tertunda di Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Perlu diadakan pemetaan oleh pihak Kasepuhan untuk melengkapi berkas Peraturan Daerah agar bisa ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Jika permasalahan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum diselesaikan dan terus berlarut, maka ada kemungkinan konflik kembali pada tahap prakonflik. 5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan bersifat multak. Namun, menurut Tadjudin (2000) perbedaan tersebut hanya berada pada tingkat persepsi. Pihak lain dapat mempersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda dan pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara obyektif sama sekali tidak terdapat perbedaan. Seperti yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dan taman nasional. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Seperti kawasan adat Kasepuhan Sinar Resmi, di mana huma, sawah, 74

kebun, hutan tutupan dan hutan titipan, diklaim telah masuk dalam kawasan taman nasional. Pada tataran perundang-undangan, terjadi pula perbedaan dalam menginterpretasikan maknanya. Misalnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 pasal 1 tertulis bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Berdasarkan pernyataan tersebut tersirat jelas bahwa hutan adat adalah hutan negara, yang pengaturan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara karena berada dalam penguasaan negara. Berdasarkan pernyataan itu pula, tersirat juga bahwa tidak ada pengakuan hak ulayat untuk masyarakat adat, sehingga dianggap tidak memiliki hak atas hutan. Seperti yang diungkapkan Tokoh Adat Kasepuhan, Wa UGS (64 tahun). Pemerintah menggunakan UU No. 41 Tahun 1990 sebagai acuan, yang menganggap hutan adat sebagai hutan negara, maka hutan adat yang kami miliki tidak diakui sebagai milik adat. Tidak adanya pengakuan hak atas hutan adat di kawasan Gunung Halimun juga menjadi penyebab munculnya konflik di sana. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2008) 2 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menunjukkan ada empat penyebab konflik yang terjadi di kawasan taman nasional ini, mulai dari perbedaan sistem nilai yang berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas hingga konflik ketidakpastian akses. Menurut penelitian ini, konflik di taman nasional itu adalah persoalan hak dan akses. Berbagai konflik di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun membuktikan, institusi yang ada tidak berhasil menyelesaikan konflik. Ini disebabkan kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan menyepakati rezim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundangan, keterbatasan sumber daya, serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi juga menjadi persoalan pelik yang tak mudah diatasi. 2 Rusdayanto, Pauk. Villa di Taman Nasional. 2010. http://bataviase.co.id diakses 26 Oktober 2010 pukul 12.59 WIB 75

5.4.1 Perbedaan Persepsi sebagai Sumber Konflik Perbedaan persepsi tentang makna sumberdaya hutan terjadi ketika ada pihak-pihak yang memiliki hak atas hutan memiliki persepsi yang berbeda dalam mempersepsikan hutan. Dalam kasus di Kasepuhan Sinar Resmi, perbedaan persepsi terjadi ketika hak pengelolaan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Menurut Wa UGS (64 tahun) tokoh Adat Kasepuhan, permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi. Padahal menurut adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan (leuweung titipan) tidak boleh ada kegiatan ekonomi termasuk untuk produksi massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan incu putu untuk menggarap hutan produksi dengan sistem tumpang sari. Berikut pernyataan Wa UGS (64 tahun) tokoh Adat Kasepuhan. Konflik pernah terjadi dengan Perhutani, ketika Perhutani mengklaim kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi. Namun, konflik tidak terlalu keras, karena Perhutani melepas klaimnya atas hutan titipan, dan menggantinya dengan hutan diluar hutan titipan dan masyarakat masih diizinkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari. Ada perbedaan dalam mempersepsikan hutan terhadap hutan yang sama oleh dua pihak. Pihak Perhutani menganggap kawasan hutan yang disebut hutan titipan oleh pihak Kasepuhan adalah kawasan hutan produksi, sehingga wajar apabila di dalam hutan tersebut dilakukan kegiatan ekonomi dan difungsikan sebagai hutan untuk memproduksi hasil hutan, khususnya kayu, dalam jumlah besar. Namun, bagi adat Kasepuhan hutan yang dianggap hutan produksi oleh pihak Perhutani adalah hutan titipan yang dialokasikan untuk pemukiman di masa mendatang dan tidak boleh dilakukan kegiatan ekonomi termasuk memproduksi hasil hutan secara besar-besaran. Tidak adanya kesamaan dalam mempersepsikan hutan, kerap menimbulkan konflik antara keduanya. Namun, konflik yang terjadi 76

hanya berupa ketegangan antara kedua pihak yang berkonflik dan bersifat tertutup, serta berada pada tahap prakonflik. Selain itu, perbedaan persepsi atas hutan terjadi pula antara masyarakat dan pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat menebang dan memungut ranting dan kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohon di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah konservasi adalah hal yang dilarang dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Taman nasional pun menganggap kegiatan masyarakat tersebut sebagai kegiatan illegal logging dan masyarakat pun disebut sebagai pelaku perambah hutan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak KHR (47 tahun) Polisi Kehutanan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat adat telah dilarang untuk menggarap lahan bekas Perhutani secara tumpang sari, tetapi masih tetap digarap oleh masyarakat. Masyarakat juga melakukan illegal logging dan merambah hutan. Jadi pelaku illegal logging adalah masyarakat adat. Lahan garapan masyarakat adat Sinar Resmi berada pada zona rehabilitasi taman nasional. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menhut No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional.. Seperti yang dituturkan oleh Bapak KHR (47 tahun), Polisi Kehutanan. Saya meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan, karena mereka terlihat seperti masyarakat pada umumnya. Perbedaan hanya terletak pada ritual-ritual yang mereka lakukan, dan saya tidak mengerti ritual tersebut memiliki arti apa. Lagipula, mereka pasti akan menebang hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi, walau peraturan adat melarangnya. Selain itu, pihak taman nasional pun meragukan ke-adat-an masyarakat adat Kasepuhan. Karena mereka melihat masyarakat adat Kasepuhan tidak berbeda dengan masyarakat di sekitar hutan pada umumnya, yang akan melakukan apa saja, termasuk menebang pohon di dalam hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Maka, sudah selayaknya masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai perambah hutan dan pelaku illegal logging. 77

Tabel-8 Peta Persepsi Pihak-pihak yang Berkonflik Perhutani Masyarakat Adat Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Perhutani - Perhutani menganggap masyarakat - menyerobot lahan milik perhutani tanpa izin dan membuka areal yang sebelumnya merupakan areal hutan utuh untuk dijadikan huma. Masyarakat Adat Masyarakat menganggap bahwa - Masyarakat menganggap taman nasional Perhutani telah menyerobot telah mengklaim kawasan hutan adat sebagai hutan adat dan menjadikannya kawasan konservasi dan melarang sebagai hutan produksi. masyarakat untuk melakukan aktivitas di dalam hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, pihak taman nasional pun telah mengancam akan mengusir masyarakat karena wilayahnya Taman Gunung Salak Nasional Halimun- Sumber: Wawancara/Data Primer (diolah), 2010 - Masyarakat dianggap sebagai perambah hutan dan kegiatan mereka dianggap sebagai illegal logging, karena menebang dan mengambil kayu di wilayah zona rehabilitasi. masuk dalam kawasan taman nasional - 78

Pihak-pihak yang berkonflik memiliki persepsi yang berbeda terhadap hutan. Perbedaan inilah yang kerap menjadi penyebab konflik. Persepsi setiap pihak terhadap pihak lainnnya yang berkegiatan di dalam hutan cenderung pada persepsi negatif. Misalnya ketika pihak taman nasional mempersepsikan masyarakat adat sebagai perambah hutan dan kegiatan mereka di anggap sebagai illegal logging karena menebang dan mengambil kayu di wilayah yang menurut taman nasional adalah wilayah zona rehabilitasi. 5.4.2 Perbedaan Tatanilai sebagai Sumber Konflik Perbedaan tatanilai tentang peran dan fungsi hutan dalam kehidupan masyarakat terjadi ketika ada perbedaan dalam menilainya. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi). Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kasepuhan adalah hutan titipan. Hasil yang dimanfaatkan berupa kayu-kayuan dan bambu untuk membuat rumah, leuit, sarana ibadah, dan lainnya, nipah dan kirai untuk membuat atap rumah, buah-buahan, madu hutan, rotan untuk membuat kerajinankerajinan dan peralatan rumah tangga, dan tanaman obat-obatan. Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan tutupan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka 79

sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Adat Abah ASN (44 tahun). Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah, karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat. Namun, pemerintah sendiri pun memiliki penilaian berbeda dalam memaknai hutan. Undang-undang No.41 tahun 1999 sendiri dirumuskan dengan mempertimbangkan hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, yang merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, yang dapat memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Jelas terlihat bahwa pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi kawasan Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya. Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru terjadi bentrokan antara pemerintah (balai taman nasional) dengan masyarakat adat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau zona-zona tertentu seperi zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi. Sedangkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat adat Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya. 80

5.4.3 Perbedaaan Kepentingan sebagai Sumber Konflik Pemerintah atas dasar adanya desakan dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Gunung Halimun- Salak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175/Kpts-II/2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas ± 113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi, sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Adanya kepentingan akan konservasi inilah yang menjadi kepentingan pemerintah atas Gunung Halimun. Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar untuk memasak, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan kawasan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat. Seperti yang dituturkan oleh Bapak RDI (55 tahun) Petani warga Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag. Kami hidup dari pertanian, karena sudah diatur oleh adat. Kami menanam padi di ladang dan sawah, menanam buah-buahan untuk dijual, dan menanam kayu-kayuan keras untuk mendirikan rumah dan lumbung padi. Kami juga harus masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu-kayu kering untuk memasak di tungku sebagai kayu bakar. Semua berada di hutan. Tetapi, saat ini hutan menjadi milik taman nasional. Kami dilarang masuk secara sembarangan, harus sembunyi-sembunyi, takut ditangkap. Ladang, sawah dan kebun kami, menjadi milik taman nasional. Kami hidup darimana jika lahan garapan kami dirampas?. Terdapat perbedaan kepentingan antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pemerintah terhadap nilai ekonomi yang terkandung di dalam Taman 81

Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki kepentingan atas hutan di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai ruang hidup. Sementara pemerintah (balai taman nasional) memiliki kepentingan untuk menegakkan wibawa atas pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Perbedaan ini memicu konflik yang tidak pernah selesai hingga saat ini (tahun 2010). Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya. 82