JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1 Pengaruh Penambahan 10at.% dan Waktu Milling pada Paduan Hasil Mechanical loying dan Sintering Ardi Kurniawan, Hariyati Purwaningsih Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 E-mail: hariyati@mat-eng.its.ac.id Abstrak Paduan magnesium banyak dikembangkan sebagai Hydrogen Storage Materials. Penambahan unsur dan dalam paduan magnesium berguna untuk mengurangi energi ketika proses hidrogenasi berlangsung. Sintesa paduan magnesium dilakukan dengan metode mechanical alloying menggunakan Modification Horizontal Ball Mill. Paduan - akan didoping dengan menambahkan 10at.% menggunakan variasi waktu milling selama 2, 5, 10, dan 20 jam. Setelah milling selesai, kemudian dilakukan proses sintering pada temperatur 600 0 C. Hasil sampel yang didapat dilakukan pengujian XRD, SEM/EDX, Sieving, dan DSC/TGA untuk menganalisa paduan yang terbentuk. Hasil pengujian menunjukkan bahwa variasi waktu milling selama 10 jam dengan temperatur sintering 600 0 C mampu membentuk paduan -- berupa larutan padat, dan 3 2. Kata Kunci:,,, Milling Time, Sintering, Mechanical loying, Hydrogen Storage mengakibatkan serbuk akan terdeformasi sehingga akan hancur menjadi partikel nano. Kemudian akan dilakukan proses sintering terhadap paduan setelah dilakukan mechanical alloying. Proses sintering ini merupakan proses metalurgi serbuk dengan memberikan pemanasan agar dapat terjadi difusi atom sehingga dapat merubah fasa paduan.. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil milling, diantaranya waktu milling, penambahan PCA, kecepatan milling, temperatur dan tekanan milling, ukuran grinding ball, komposisi serbuk, rasio grinding ball dengan serbuk [4]. Pada penelitian ini akan difokuskan kepada faktor milling time pada metode mechanical alloying terhadap pengaruh pembentukan paduan yang didoping dengan menambahkan. Pada penelitian sebelumnya penambahan pada paduan yang dimilling selama 20 jam menggunakan planetary ball mill menghasilkan fasa γ 17 12 [2]. Pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh penambahan pada paduan dan memberikan parameter yang ideal dalam pembentukan paduan berbasis --. I. PENDAHULUAN P aduan magnesium () banyak dikembangkan sebagai aplikasi dalam berbagai bidang. Magnesium itu sendiri merupakan unsur terbanyak kedelapan keberadaannya di bumi dan merupakan termasuk logam yang ringan. Perkembangan teknologi fuel cell banyak memacu penelitian untuk mengembangkan teknologi fuel cell itu sendiri Akhirakhir ini penelitian berfokus pada aplikasi logam sebagai metode penyimpanan hidrogen sebagai metal hydride. Metode penyimpanan melalui benda padat ini dirasa lebih aman jika dibandingkan dengan metode penyimpanna dengan media cair maupun gas Paduan berbasis magnesium dalam beberapa tahun kebelakang ini telah dilakukan berbagai pengembangan agar dapat diaplikasikan sebagai metal hydride. Salah satu caranya yaitu memadukan magnesium dengan unsur lain, diantara nya dapat dipadukan dengan nickel (), alumunium (), besi (Fe), chromium (Cr), titanium (Ti). Pada paduan magnesium-alumunium akan didoping dengan penambahan 10at.%. Sintesa dilakukan dengan menggunakan metode mechanical alloying yang memanfaatkan energi tumbukan bola dengan serbukyang II. URAIAN PENELITIAN Penelitian menggunakan serbuk dengan kemurnian 99,7%, 90%, dan serbuk 98%. Serbuk dan dengan perbandingan + 11,24at.% dimilling dengan variasi waktu 2, 5, 10, dan 20 jam. Kemudian setelah selesai dimilling, akan dimilling kembali dengan penambahan 10at.%. Sehingga komposisi dalam paduan akan menjadi + 10 at.% + 10 at.%. Milling dilakukan menggunakan alat Modification Horizontal Ball Mill dengan kecepatan 700rpm. Ketika milling berlangsung, Ethanol dengan kemurnian 90% ditambahkan ke dalam vial sebagai PCA. Setelah serbuk selesai dimilling, kemudian diambil sampel untuk diuji XRD Phillips X Pert MPD System (X-Ray Diffraction), SEM FEI tipe INSPECT S50 (Scanning Electron Microscope), BET dan Sieving. Pegujian DSC/TGA (Differential Scannig Calorimetry / Thermo Gravimetrik Analysis) dilakukan pada serbuk degan milling time 20 jam Kemudian dilakukan proses sintering pada temperatur 600 o C dengan holding time selama 2 jam dalam lingkungan Argon. Hasil proses sintering dianalisa menggunakan XRD dan SEM. DSC/TGA dilakukan pada serbuk dengan milling time 20 jam.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 2 III. DATA DAN PEMBAHASAN Tabel 1 memperlihatkan distribusi ukuran partikel pada serbuk hasil milling. Hasil pengujian sieving ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu milling, ukuran partikel akan semakin mengecil. Tabel 1 Distribusi Ukuran Partikel Ukuran Partikel (µm) Distribusi Ukuran Partikel (%) 0 Jam 2 Jam 5 Jam 10 Jam 20 Jam >55 63,7 61,3 59,8 59,5 58,6 55-50 8,3 6,9 6,7 6,2 5,8 50-45 13,1 12,4 12,2 11,5 10,7 45-40 9,2 11,3 11,5 12,3 12,5 <40 5,7 8,1 8,2 10,5 12,4 Tabel 2 menunjukkan surface area pada serbuk hasil milling dengan variasi waktu milling selama 2, 5, 10, dan 20 jam. Dari hasil BET pada serbuk -- dapat diketahui bahwa telah terjadi pengecilan ukuran partikel ketika proses milling berlangsung sehingga luas kontak partikel semakin meluas. Namun ketika serbuk dimilling selama 20 jam, menyebabkan terjadi nya penurunan luas area permukaan yang disebabkan terjadinya penggumpalan pada serbuk. Dengan demikian milling time 10 jam merupakan waktu milling yang optimal untuk mendapatkan partikel dengan surface area yang paling baik [6]. Tabel 2 Hasil Pengujian BET Milling Time Luas Permukaan Serbuk 2 17.088m 2 /gr 5 20.304m 2 /gr 10 21.694m 2 /gr 20 15.112m 2 /gr Gambar 1 menunjukkan grafik XRD pada serbuk setelah dilakukan milling. Perbedaan pola difraksi terjadi pada posisi 2-theta yang menunjukkan adanya interaksi selama proses milling berlangsung. Khususnya pada unsur dan dengan perubahan posisi dan intensitas yang selalu berubah secara signifikan. Tabel 3. Analisa Data XRD Hasil Mechanical loying. Sampel Fasa Peak D 2θ ( o ) Interg. FWHM 36,6794 40843.1 0,1718 487.56 As- 38,5389 11875.3 0,2069 407.00 Received 44.5272 17718.3 0.1537 558.95 2 jam 36,5964 38,4920 44.4926 22936.40 10656.20 25756.70 0,1075 0,1898 0.1276 485.74 443.70 673.21 5 jam 36,6161 38,4985 44.5148 25702.30 9222.90 27400.10 0.1130 0,1979 0.1933 491.76 378.64 418.01 10 jam 36.6186 38.4725 44.4917 42797.90 9650.40 26069.60 0,1703 0,2224 0.2055 491.86 378.54 418.01 20 jam 36,6716 38,5287 44.5424 35327.30 11259.80 29358.60 0,1692 0,2130 0.1709 495.04 395.42 502.73 Pada Tabel 3 menunjukkan analisa data XRD serbuk hasil milling. Berdasarkan Tabel 3 terlihat perubahan posisi 2-theta, FWHM dan ukuran kristal yang terjadi pada serbuk hasil milling. Ukuran kristal dari setiap unsur dapat dihitung sesuai dengan rumus Debye Scherrer pada persamaan 1 sebagai berikut. (1) dimana D adalah ukuran kristal (nm), λ adalah panjang gelombang yang digunakan dalam pengujian XRD yaitu 1.54056 Å, B adalah lebar setengah puncak (FWHM) dalam radian, dan θ adalah posisi sudut terbentuknya puncak. Gambar 1 Hasil Uji XRD Pada Serbuk dengan Milling Time: a) 0 Jam, b) 2 Jam, c) 5 Jam, d) 10 Jam dan e) 20 Jam. Gambar 2 Hasil Uji SEM Dengan Perbesaran 600X Serbuk hasil Milling a). 2 Jam, b). 5 Jam c). 10 Jam d). 20 Jam.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 3 Morfologi partikel hasil milling dari umunium dan kel terlihat menyebar melapisi partikel Magnesium. Pada proses Mechanical loying ini belum terlihat adanya paduan baru. Hanya posisi 2-theta dari masing masing unsur pembentuk yang berubah. Hal ini disebabkan terjadi nya interaksi antar unsur akibat energy yang diberikan saat proses milling berlangsung. Seperti terlihat pada hasil SEM untuk serbuk hasil milling, partikel aluminium bergerak menutupi partikel magnesium, dan nikel. Penambahan pada serbuk ini memunculkan peak baru yang teridentifikasi sebagai unsur kel. Perbedaan grafik hasil XRD antara serbuk dengan dapat dilihat pada Gambar 3 Serbuk yang di milling ini memiliki komposisi 80at.% + 10at.% + 10at.%. Menurut diagram fasa ternary, pada temperatur 427 0 C paduan dan 3 2 akan terbentuk. Sistem tersebut ditandai dengan huruf X pada gambar 10. Sehingga sintering kemudian dilakukan pada temperatur 600 0 C agar dapat memunculkan paduan baru pada sistem. Sintering dilakukan dengan holding time selama 2 jam dalam lingkungan argon. Gambar 3 Hasil Uji XRD Pada serbuk dan dengan milling time selama 20 Jam Komposisi awal paduan sebelum ditambahkan adalah + 11,24at.%. Hasil milling selama 20 jam menghasilkan solid solution dan terbentuk nya fasa metastabil paduan 2 3. Pada komposisi tersebut memang dimungkinkan terbentuk fasa metastabil 2 [3] 3. Penambahan dapat menstabilkan fasa paduan yang terbentuk, terlihat peak 2 3 menghilang yang menandakan bahwa penambahan unsur pada paduan dapat menstabilkan paduan yang terbentuk. Counts 10000 +10 20H before sinter 20H before sinter * * 2 3 Gambar 6 Grafik hasil XRD serbuk yang dimilling selama 2, 5, 10 dan 20 jam dengan sintering pada temperatur 600 0 C Gambar 6 menunjukkan grafik XRD untuk serbuk setelah mengalami sintering pada temperatur 600 o C. Hasil sintering serbuk pada temperatur 600 0 C menunjukkan terbentuk nya fasa baru yaitu dan 3 2 kedua paduan tersebut dilaporkan oleh Buoudina pada penelitian nya [2]. Serbuk dengan milling time selama 2 jam masih menyisakan fasa metastabil 3 2. 2500 * 0 30 35 40 Position [ 2Theta] Gambar 4 Komparasi grafik XRD dengan. Gambar 7 Pola difraksi serbuk sintering 600 0 C dan holding time 120 menit pada sudut antara 40 0-47 0 Gambar 5 Ternary Phase Diagram Pada 427 0 C Sistem yang disinter pada temperatur 600 0 C ini menghasilkan paduan fasa 3 2 pada rentang sudut sekitar 40,5 0 yang teridentifikasi oleh software High Score Plus sebagai 3 2, paduan tersebut sesuai dengan database ICDD 00-0530-0580. Berikut Tabel yang memperlihatkan perilaku pembentukan dan 3 2 pada rentang sudut 2θ 40 0-47 0.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 4 Tabel 5 Analisa data XRD hasil Milling setelah di sintering pada temperatur 600 C dan di holding selama 120 menit. Sampel 2 jam 5 jam 10 jam 20 jam Identifikasi Peak Fasa 2θ ( o ) Integr. FWHM D 3 2 44.3561 40.5920 3 2 3 2 44.2689 40.5951 44.201840.5892 3 2 44.2623 40.5911 24280.20 2123.80 47573.80 3962.00 33063.00 7600.00 40625.10 7491.40 0.4416 0.1911 0.1030 0.1878 0.0889 0.1895 0.0708 0.1827 194.43 443.59 302.12 451.39 306.15 447.34 543.10 463.99 Dari Gambar 7dan Tabel 5 diatas terlihat bahwa semakin lama waktu milling intensitas dari paduan yang terbentuk akan semakin meningkat. Dan jika dilihat dari nilai FWHM dan posisi 2-theta, proses milling dengan waktu milling selama 10 jam merupakan waktu milling yang paling ideal untuk membentuk paduan dan 3 2 karena pada milling time 10 jam sudah mampu membentuk paduan yang kristalin dengan kurva yang menyempit..(2) x Dimana dengan dan menunjukkan densitas electron dari elemen A dan B. Untuk - menunjukkan perbedaan keelektronegatifan antara elemen. V A dan V B merupakan volum molar dari elemen, untuk C A dan C B merupakan konsentrasi atomic dari elemen. Untuk permodelan thermodinamika antara logam transisi dengan non-logam transisi dapat menggunakan persamaan 3 sebagai berikut. x.(3) Dengan menggunakan persamaan 2 dan 3 maka dapat diketahui bahwa enthalpy pembentukan dari lebih rendah yaitu -49,8 kj/mol, untuk paduan sebesar -6,72 kj/mol, sedangkan untuk paduan sebesar -2,023 kj/mol. Dengan nilai enthalpy pembentukan yang lebih kecil, maka pembentukan paduan akan lebih stabil jika dibandingkan dengan paduan. Tabel 6 Parameter Perhitungan Enthalpy Pembentukan (Miedema, 1980) Paramete r (V) cm 2 3,45 1,17 5,8 4,2 1,39 4,6 5,2 1,75 3,5 Gambar 14 Hasil SEM Setelah sintering 600 0 c pada serbuk a) 2 jam, b) 5 jam, c) 10 jam, d) 20 jam Perubahan struktur akibat proses sintering terjadi dengan munculnya partikel yang berupa gumpalan dan menyebar merata. Sedangkan partikel yang bereaksi dengan partikel dan membentuk paduan 3 2, tetapi beberapa partikel Magnesium tidak bereaksi, sehingga menyisakan larutan padat pada paduan [5]. Pada proses sintering paduan yang terbentuk dari hasil sintering tergantung dari nilai enthalpy pembentukan (ΔH) paduan. Untuk menghitung enthalpy pembentukan paduan, A.R Miedema dkk (1980) [1] dalam papernya memberikan permodelan thermodinamika untuk pembentukan paduan antara dua elemen non-logam transisi dengan menggunakan persamaan 4.2 sebagai berikut Gambar 17 Hasil Pengujian DSC.TGA Pada Serbuk Dengan Milling Time 20 Jam. Grafik DSC/TGA pada serbuk hasil terlihat peak eksothermic pertama pada temperatur 220 0 C menunjukkan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 5 mulai terjadinya reaksi antara dan yang pada diagram fasa ditunjukkan dengan membentuk paduan 17 12 dan solid solution dengan entalpi sebesar -2,78 J/mol. Kemudian pada temperatur 352.66 0 C terjadi dekomposisi pada solid solution dan yang terdapat pada paduan dengan perubahan entalpi sebesar -5,81 J/mol. Rekristalisasi paduan terjadi pada temperatur 404.5 0 C yang ditunjukkan sebagai peak eksothermik dengan entalpi sebesar -7,48 J/mol mengindikasikan mulai terbentuknya paduan, dimana yang bereaksi dengan merupakan hasil dekomposisi solid solution pada reaksi sebelum nya. Pada temperatur sekitar 430 0 C, terdapat peak endothermik yang menunjukkan terjadinya melting pada paduan 17 12 dengan perubahan entalpi sebesar -4,98 J/mol. Paduan yang sudah melting dan terdekomosisi ini akan menyelubungi partikel yang temperatur melitng nya lebih tinggi dari pada unsur maupun, sehingga akan terjadi reaksi antara, dan membentuk paduan 3 2. Gambar 19 Hasil Pengujian DSC/TGA Pada Serbuk 20 jam setelah sintering 600 0 C. Sintering 600 0 C menghasilkan paduan berupa solid solution, paduan dan paduan 32. Sehingga pada peak eksothemric pertama pada temperatur 250 0 C dengan entalpi -1,6 J/mol mengindikasikan terjadinya transisi pada solid solution yang tersisia pada paduan yang kemudian akan mengalami rekristalisasi pada temperatur 290 0 C dengan perubahan entalpi sebesar -6,6 J/mol sehingga paduan dapat menjadi lebih stabil dan dapat melakukan proses absobsi gas pada temperatur 300 0 C yang ditunjukkan oleh kenaikan grafik TGA. menunjukkan terjadi nya interaksi pada unsur, dan dengan milling time selama 10 jam merupakan waktu milling paling ideal yang dapat menghasilkan paduan dan 3 2 dengan intensitas paling banyak. 3. Milling time hingga 20 jam berpengaruh terhadap surface area partikel serbuk, dengan millling time selama 10 jam merupakan yang paling optimal karena dapat menghasilkan serbuk dengan surface area yang paling luas yaitu 21,694m 2 /gr. 4. Paduan -- berupa solid solution, paduan dan paduan 3 2 dengan struktur yang amorfus dapat terbentuk setelah serbuk hasil milling dipanaskan pada temperatur 600 0 C dan holding time selama 2 jam. DAFTAR PUSTAKA [1] A.R. Miedema, P.F. de Chatel, F.R. de Boer. 1979. Cohesion In loys Fundamentals of a Semi- Emphirical Model. Philips Research Laboratories, Univesity of Amsterdam: Netherland. [2] Bououdina M., Z.X. Guo. 2001. Comparative Study of Mechanical loying of (+) and (++) Mixtures for Hydrogen Storage. Journal of alloys and Compounds 336 () : 222-231. [3] H. Suwarno, W.A. Adi, A. Insani. 2008. The Mechanism of 2 3 Formation by Mechanical loying. Center for Nuclear Fuel Technology, BATAN. [4] Suryanarayana, C. 2003. Mechanical loying and Milling. New York : Marcel Dekker. [5] Sheng-Long Lee, Fu-Kai Hsu, Wen-Chi Chen, Chih- Kuang Lin, Jing-Chie Lin Influence of 3 2 content on the cycling stability of 3 2 hydrogen storage alloy electrodes. Intermetallics 19:1953-1958. [6] Vincent Berube, Greeg Radtke, Mildred Dresselhaus, Gang Chen. 2006. Size Effects on the Hydrogen Storage Properties of Nanostructured Metal Hydrides: A Review. International Journal of Energy Research 637-663. IV. KESIMPULAN Hasil penelitian sintesa paduan -- menggunakan metode mechanical alloying yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan, yaitu: 1. Penambahan unsur pada paduan hasil mechanical alloying dengan menggunakan Modification Horizontal Ball Mill dapat menstabilkan fasa paduan yang terbentuk dimana hal ini dapat diketahui dari kurva XRD yang menunjukkan hilang nya fasa metastabil paduan. 2. Variasi waktu milling berpengaruh terhadap perubahan fasa ketika proses sintering dilakukan yang