BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 2004, didapatkan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai 85%-99%.3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Karies gigi adalah penyakit infeksi dan merupakan suatu proses

BAB 1 PENDAHULUAN. (SKRT, 2004), prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05%. 1 Riset Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. trisomi kromosom 21. Anak dengan Down Syndrome memiliki gangguan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PENGARUH PLAK TERHADAP GIGI DAN MULUT. Karies dinyatakan sebagai penyakit multifactorial yaitu adanya beberapa faktor yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula seperti sukrosa.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB II LANDASAN TEORI


BAB I PENDAHULUAN. sebagai generasi penerus bangsa yang potensi dan kualitasnya masih perlu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dapat dialami oleh setiap orang, dapat timbul pada satu permukaan gigi atau lebih dan

BAB 1 PENDAHULUAN. ini. Anak sekolah dasar memiliki kerentanan yang tinggi terkena karies,

BAB I PENDAHULUAN. setiap proses kehidupan manusia agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh

BAB I PENDAHULUAN. lengkung rahang dan kadang-kadang terdapat rotasi gigi. 1 Gigi berjejal merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN PREVALENSI STATUS GIZI YG. BERBEDA.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. makanan secara mekanis yang terjadi di rongga mulut dengan tujuan akhir proses ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. dapat dipisahkan satu dengan lainnya sebab kesehatan gigi dan mulut akan

BAB I PENDAHULUAN. indeks caries 1,0. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

MENGENAL PARAMETER PENILAIAN PERTUMBUHAN FISIK PADA ANAK Oleh: dr. Kartika Ratna Pertiwi, M. Biomed. Sc

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut di atas

BAB I PENDAHULUAN. (D = decayed (gigi yang karies), M = missing (gigi yang hilang), F = failed (gigi

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. karbohidrat dari sisa makanan oleh bakteri dalam mulut. 1

BAB I PENDAHULUAN. palatum, lidah, dan gigi. Patologi pada gigi terbagi menjadi dua yakni karies dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyerang jaringan keras gigi seperti , dentin dan sementum, ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Community Dental Oral Epidemiologi menyatakan bahwa anakanak. disebabkan pada umumnya orang beranggapan gigi sulung tidak perlu

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT. Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipahami. Ketiga konsep ini saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga konsep pengertian tersebut adalah :

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu masalah gizi yang paling umum di Amerika merupakan faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang kompleks yang terdiri atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang memiliki peran penting dalam

HUBUNGAN TINGKAT KEJADIAN KARIES GIGI DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6-7 TAHUN DI SD INPRES KANITI KECAMATAN KUPANG TENGAH KABUPATEN KUPANG

BAB I PENDAHULUAN. sekolah dasar adalah anak yang berusia 7-12 tahun, memiliki fisik lebih kuat

BAB I PENDAHULUAN. kejadian yang penting dalam perkembangan anak (Poureslami, et al., 2015).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sistemik. Faktor penyebab dari penyakit gigi dan mulut dipengaruhi oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dipisahkan satu dan lainnya karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan ini dapat mempengaruhi kesehatan gigi anak (Ramadhan, 2010). Contoh

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN. ata terbaru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (Depkes) Republik

BAB I PENDAHULUAN. masih cukup tinggi (Paramurthi, 2014). Pada tahun 2014, lebih dari 1,9 miliar

Sindroma Down Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

BAB I PENDAHULUAN. penanganan secara komprehensif, karena masalah gigi berdimensi luas serta mempunyai

energi yang dibutuhkan dan yang dilepaskan dari makanan harus seimbang Satuan energi :kilokalori yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. adalah anak yang mengalami gangguan fisik atau biasa disebut tuna daksa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi atau yang biasanya dikenal masyarakat sebagai gigi berlubang,

PENILAIAN STATUS GIZI BALITA (ANTROPOMETRI) Saptawati Bardosono

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi dan radang gusi (gingivitis) merupakan penyakit gigi dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tempat, yaitu PAUD Amonglare, TK Aisyiyah Bustanul Athfal Godegan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahan baku utamanya yaitu susu. Kandungan nutrisi yang tinggi pada keju

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. zat seng / zinc. Padahal zinc merupakan co-faktor hampir 100 enzim yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down John Langdon adalah seorang dokter dari Inggris yang pertama kali menggambarkan kumpulan gejala dari sindrom Down pada tahun 1866. Namun sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan seorang anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan sindrom Down. 1 Gambar 1. Kromosom pada Sindrom Down 13 Sindrom Down merupakan kelainan genetik (pada kromosom 21/trisomi 21) yang terjadi pada masa pertumbuhan janin dengan gejala yang sangat bervariasi mulai dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental. Anak dengan sindrom Down adalah individu yang dapat dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan terbatas yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Gambar 1). Materi genetik yang berlebih diperkirakan terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya

6 yang menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat. 1,2 2.1.1. Etiologi Etiologi sindrom Down berkaitan dengan masalah non-disjunctional meliputi: 1 1. Genetik. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down. 2. Radiasi. Pada tahun 1981, Uchida menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya konsepsi. 3. Infeksi. 4. Autoimun. Pada penelitian Fialkow tahun 1966 mengemukakan bahwa adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama. 5. Umur ibu. Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar Lueteinizing Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunction. 6. Umur ayah. Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Namun korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.

7 Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia, dan frekuensi koitus masih didiskusikan sebagai penyebab dari sindrom Down juga. 1 2.1.2. Kondisi Fisik Anak sindrom Down ditandai dengan kranium kecil, bagian anteroposterior yang mendatar, jembatan hidung yang datar, lipatan epikantus, ruas-ruas jari pendek, jarak yang lebar antara jari tangan dan kaki pertama dan kedua, dan retardasi mental sedang sampai berat. Selain itu pada anak sindrom Down juga ditemukan adanya keterbatasan intelektual, pertumbuhan yang lambat, masalah pada penglihatan dan pendengaran serta gangguan pada jantung. 3,14 Kecepatan pertumbuhan fisik anak dengan sindrom Down lebih rendah bila dibandingkan dengan anak normal (Gambar 2). Perlu dilakukan pemantauan pertumbuhan secara berkelanjutan karena pada anak sindrom Down sering disertai adanya hipotiroid. Jika pertumbuhannya kurang dari yang diharapkan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid. Selain itu pada anak sindrom Down juga disertai masalah pada saluran pencernaan atau dengan penyakit jantung bawaan yang berat serta badan yang lebih pendek bila dibandingkan dengan anak sindrom Down yang tanpa komplikasi. 1 Perkembangan anak sindrom Down juga cenderung lebih lambat dari anak yang normal. Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital, hipotonia yang berat, serta masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan keterampilan untuk menolong diri sendiri. Sebaliknya anak yang mendapat program intervensi dini, orang tua yang memberi lingkungan yang mendukung, serta tanpa adanya kelainan jantung bawaan, maka perkembangan anak menunjukkan kemajuan yang relatif pesat. 1 Perilaku anak sindrom Down pada awal kehidupannya tidak menunjukkan temperamen yang berbeda dengan anak yang normal. Demikian pula perilaku sosial anak sindrom Down mempunyai pola interaksi yang sama dengan anak normal seusianya. Walaupun tingkat responnya berbeda secara kuantitatif tetapi polanya hampir sama. 1

8 (a) (b) Gambar 2.Rata-rata (a) Tinggi Badan dan (b) Berat Badan Anak Sindrom Down 1 2.1.3. Kondisi Rongga Mulut Adapun karakteristik khas pada rongga mulut anak sindrom Down antara lain adanya gigitan terbuka, macroglossia, bibir dan lidah yang berfisur, angular cheilitis, terlambatnya erupsi gigi, oligodontia, microdontia, bruxism, kebersihan rongga mulut yang buruk, tingginya insidensi penyakit periodontal, dan rendahnya insidensi karies gigi. Bell, Kaidonis, dan Towsend melaporkan bahwa atrisi dan erosi gigi cenderung lebih besar terjadi pada anak sindrom Down daripada anak normal. 15 Anak sindrom Down yang bebas karies memiliki jumlah Streptococcus mutans yang cenderung lebih rendah dan jumlah saliva yang cenderung lebih tinggi sehingga konsentrasi IgA pun tinggi. Rendahnya prevalensi karies pada anak sindrom Down dihubungkan terhadap keterlambatan erupsi gigi permanen, kehilangan gigi akibat kongenital, ph saliva yang tinggi, mikrodonsia, adanya jarak antar gigi, dan fisur yang dangkal. 16,17 2.2 Karies Gigi Karies gigi adalah suatu proses kronis dan regresif yang dimulai dengan larutnya mineral enamel sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara enamel dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat

9 (medium makanan bagi bakteri). Kemudian timbul destruksi komponen-komponen organik dan akhirnya terjadi kavitas (pembentukan lubang). 19,20 Beberapa jenis karbohidrat makanan seperti sukrosa dan glukosa dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga ph plak akan menurun sampai di bawah 5 dalam tempo 1-3 menit. Penurunan ph yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses karies pun dimulai. Paduan keempat faktor penyebab tersebut digambarkan sebagai suatu lingkaran yang bersitumpang (Gambar 4). Karies hanya dapat terjadi hanya kalau keempat faktor tersebut ada. 20 Gambar 3. Empat Lingkaran yang Menggambarkan Paduan Faktor Penyebab Karies 20 Adapun faktor risiko terjadinya karies meliputi: 20 1. Pengalaman karies. Penelitian epidemiologis telah membuktikan adanya hubungan antara pengalaman karies dengan perkembangan karies di masa mendatang. Prevalensi karies pada gigi sulung dapat memprediksi karies pada gigi permanennya.

10 2. Penggunaan fluor. Pemberian fluor yang teratur baik secara sistemik maupun lokal merupakan hal yang penting diperhatikan dalam mengurangi terjadinya karies karena fluor dapat meningkatkan remineralisasi. 3. Oral hygiene. Insiden karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak secara mekanis dari permukaan gigi. Peningkatan oral hygiene dapat dilakukan dengan menggunakan alat pembersih interdental yang dikombinasikan dengan pemeriksaan gigi secara teratur. 4. Jumlah bakteri. 5. Saliva. Saliva berguna untu membersihkan sisa-sisa makanan dan mempunyai efek buffer di dalam rongga mulut. Pada individu dengan fungsi saliva yang berkurang akan menyebabkan aktivitas karies meningkat secara signifikan. 6. Pola makan. Pengaruh pola makan dalam proses karies umumnya lebih bersifat lokal daripada sistemik terutama dalam hal frekuensi mengonsumsi makanan. 7. Umur. Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan terhadap karies. Kerentanan ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi antagonisnya. 8. Jenis kelamin. Perempuan mempunyai nilai DMFT yang lebih tinggi daripada pria. Umumnya oral hygiene perempuan lebih baik sehingga komponen gigi yang hilang (missing) yang lebih sedikit daripada pria. 9. Sosial ekonomi. Skor filling lebih banyak dijumpai pada kelompok pendidikan tinggi, sedangkan skor decayed dan missing lebih banyak pada kelompok pendidikan rendah.

11 2.2.1. Indeks Karies Indeks karies adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap karies gigi. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan karies gigi mulai dari yang ringan sampai berat. Ada beberapa indeks karies yang biasa digunakan seperti indeks Klein dan indeks WHO, namun belakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya. Pada penelitian ini akan digunakan indeks DMFT WHO. 21 Indeks DMFT WHO bertujuan untuk menggambarkan pengalaman karies seseorang atau suatu populasi. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT yang digunakan untuk gigi permanen pada orang dewasa dan deft untuk gigi sulung pada anak-anak. Pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan kaca mulut datar. 21 2.3 Status Gizi Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: 22 1. Produk pangan (jumlah dan jenis makanan). 2. Akseptabilitas (daya terima), menyangkut penerimaan atau penolakan terhadap makanan yang terkait dengan cara memilih dan menyajikan makanan. 3. Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu, seperti anggapan yang keliru bahwa terong dapat berdampak buruk karena menyebabkan tubuh lemas. 4. Pantangan pada makanan tertentu. 5. Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu. 6. Kebiasaan makan. 7. Selera makan. 8. Sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, penyimpanan). 9. Pengetahuan gizi.

12 Gangguan gizi dapat disebabkan oleh faktor primer maupun sekunder. Faktor primer meliputi susunan makanan seseorang yang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai ke sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya pencernaan seperti gigi-geligi yang tidak baik, kelainan struktur saluran cerna, dan kekurangan enzim. 23 2.3.1 Pemeriksaan Antropometri Secara umum antropometri berarti ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. 24 Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter merupakan ukuran tunggal dari tubuh manusia meliputi: 1. Umur. Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. 24 2. Berat badan. Berat badan dapat menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Berat badan digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan, pengukuran objektif, dan dapat menggunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah, serta tidak

13 memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan memiliki kelemahan yaitu tidak sensitif terhadap proporsi tubuh seperti pendek gemuk atau tinggi kurus. 1,24 3. Tinggi badan. Ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai mencapai tinggi maksimal. Keuntungan indikator tinggi badan ini adalah pengukurannya yang objektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik untuk gangguan pada masa pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting) dan sebagai perbandingan terhadap perubahan-perubahan relatif seperti terhadap nilai berat badan dan lingkar lengan atas. Kerugian indikator tinggi badan adalah perubahan tinggi badan yang relatif lambat, sukar mengukur tinggi badan yang tepat, dan kadang-kadang diperlukan lebih dari seorang tenaga. 1 4. Lingkaran lengan atas. Lingkaran lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan. 1 5. Lingkaran kepala. Lingkaran kepala mencerminkan volume intrakranial. Parameter ini digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan otak. 1 6. Lipatan kulit. Tebalnya lipatan kulit pada daerah triseps dan subskapular merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak di bawah kulit yang mencerminkan kecukupan energi. 1 2.3.2 Indeks Antropometri Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkaran lengan atas menurut umur (LLA/U), indeks massa tubuh (IMT), dan sebagainya. Pada

14 penelitian ini indeks antropometri yang digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT) anak yaitu indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). 24 Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi seseorang khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: 24 Indeks Massa Tubuh = Berat Badan (kg) Tinggi Badan (m) Tinggi Badan (m) Ambang batas IMT/U ditentukan dengan merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010 yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan usia 5-18 tahun. Ambang batas IMT/U ini dengan memperhatikan Z scores atau standar deviasi (SD). Z scores merupakan indeks antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi dan pertumbuhan yang dinyatakan dalam satuan standar deviasi (SD) populasi rujukan. 25,26 Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur 25 Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z scores) Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5-18 Tahun Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas <-3 SD -3 SD sampai dengan <-2 SD -2 SD sampai dengan 1 SD >1 SD sampai dengan 2 SD >2 SD

15 2.4 Kerangka Teori Anak Sindrom Down Kondisi Rongga Mulut Kondisi Fisik Maloklusi Karakteristik Fisik Jaringan Lunak Perkembangan Anak Jaringan Keras Gigi Pertumbuhan Fisik Status Karies Gigi Status Gizi

16 2.5 Kerangka Konsep Status Karies - Indeks DMFT WHO Sindrom Down - Usia - Jenis Kelamin Status Gizi - Indeks Massa Tubuh menurut Umur