ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN WATERFRONT : STUDI KASUS KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA FIRDAWATY MARASABESSY

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

DAFTAR PUSTAKA. inase_perkotaan.pdf. download [28 Juli 2012] Anonim What s Green Infrastructure?. /greeninfrastructure.net.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

Hirarki Wilayah Kota Ternate Pasca Pengembangan Kawasan Waterfront City

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

BAB 1 MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) KOTA TERNATE BAB PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PERGERAKAN LALU LINTAS SEBAGAI ARAHAN PUSAT-PUSAT KEGIATAN WILAYAH KOTA BOGOR DEWI ANNISA RIZKI

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Akhir ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih. Medan, Desember 2012

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I

ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI ABSTRAK

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia.

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id. 1.1 Latar Belakang

Analisis Ketersediaan Dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Pada Kawasan Pusat Pelayanan Kota (Studi Kasus Kecamatan Palu Timur, Kota Palu)

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

VI. REKOMENDASI 6.1. Analisis dan Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasar RTRW Rekomendasi Kebijakan untuk RTRW

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

Transkripsi:

ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN WATERFRONT : STUDI KASUS KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA FIRDAWATY MARASABESSY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2013 Firdawaty Marasabessy NRP : A156100142

ABSTRACT FIRDAWATY MARASABESSY. The Analysis of Urban Infrastructure in Waterfront Area : Case Study Ternate City, North Maluku Province. Supervised by WIDIATMAKA and SOEKMANA SOMA. The development of waterfront city of Ternate in 2006-2015 initially began with the limitation of land due to the high amount of population, geographical and topographical conditions of the region, the threat of catastrophic volcanic eruptions as well as national and provincial development strategy. The purpose of this study is focused on three points related to urban growth of Ternate City. First, land use mapping of the urban growth of Ternate was done, divided into two periods: before and after the development of the waterfront. Second, by coverage of urban infrastructure to support socio-economic activities of the community is analyzed. Third, by determining the strategy in the structuring and management of sustainable infrastructure based on the interests of the stakeholders for the improvement towards a better infrastructure. The methodology used in this research were Geographical Information System (GIS), descriptive analysis, scalogram analysis, linear regression and Analytical Hierarchy Process (AHP). The result of the analysis showed that the spatial changes of Ternate City were characterized by changes in the shoreline and land use due to the development of waterfront areas done by reclamation. The regional hierarchy analysis (2005-2011) showed that there were aspects of the development of infrastructure and accessibility, where coastal villages was more developed than non coastal village. Spreading of infrastructure in Ternate City was mainly concentrated in the downtown area, so the access is relatively easy linked to the road, but the travel time in each district is different. The evaluation shows that the availability of infrastructure don t meet the service standard, they are water supply from PDAM, electricity, the disposal garbage transported to sanitary landfill (TPA), the capacity of educational facilities, and market facilities. The infrastructures which were inadequate the service standards were roads, health facilities, commerce facilities, and green open space. The prediction of infrastructure needs in 2013-2032 were analyzed based on the projected population. The infrastructure needs until 2032 were water supply from PDAM 28.002.700 liters/day, the need for electricity 114.557 KVA, the production of garbage 636.425 liters/day, health facilities 129 units, and commerce facilities 1.037 units. The structuring and managing infrastructure in waterfront areas that need to be prioritized based on the perceptions of stakeholders are the integrated garbage management, the structuring area of street vendor (PKL) and the arrangement of city park landscape. Keywords : waterfront city, shoreline change, land use change, urban infrastructure.

RINGKASAN FIRDAWATY MARASABESSY. Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh WIDIATMAKA dan SOEKMANA SOMA. Pengembangan wilayah pesisir saat ini menjadi prioritas pembangunan terutama pada kota-kota pesisir. Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota. Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya masyarakat serta dapat mempertahankan daya dukung lingkungan. Dalam konteks penataan ruang, pembangunan infrastruktur merupakan kebutuhan turunan sebagai konsekuensi logis dari perencanaan tata ruang yang dapat membentuk struktur ruang wilayah. Salah satu kota tepian air (waterfront city) di Indonesia yang tengah mengalami perkembangan adalah Kota Ternate. Pengembangan waterfront city yang termuat dalam rencana tata ruang kota Ternate tahun 2006-2015 diantaranya bermuara dari keterbatasan lahan kota dalam menyediakan infrastruktur perkotaan akibat tekanan populasi yang semakin meningkat, kondisi geografis dan topografis wilayah, ancaman bencana dari letusan gunung api serta strategi pengembangan Nasional dan Provinsi. Sebelum pengembangan kawasan waterfront, kondisi ketersediaan infrastruktur di kota Ternate belum mencapai standar kebutuhan, khususnya untuk infrastruktur dasar cakupan pelayanannya terkonsentrasi di kawasan pesisir. Perubahan status dari Keresidenan hingga menjadi Kota, menuntut adanya pembangunan infrastruktur kota yang layak dan mudah dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Pengembangan kawasan waterfront di Kota Ternate diharapkan dapat meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah pengembangan waterfront, menganalisis perubahan hierarki wilayah setelah pengembangan waterfront, melakukan pemetaan sebaran dan ketersediaan infrastruktur, memprediksikan kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan, dan menentukan arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder, diantaranya masterplan kawasan waterfront, RDTR Kota Ternate, RTRW Kota Ternate, Peta RBI, citra satelit, data tabular infrastruktur, SNI infrastruktur dan Kota Ternate Dalam Angka. Metodologi dalam peneltian ini menggunakan analisis spasial Sistem Informasi Geografis (SIG), analisis skalogram, analisis deskriptif, analisis regresi linear serta Analitycal Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis menunjukkan bahwa garis pantai Kota Ternate mengalami perubahan karena adanya pengembangan kawasan waterfront yang dilakukan dengan cara reklamasi pantai. Perubahan garis pantai ditandai dengan majunya garis pantai berkisar 30-250 m dan luas kawasan waterfront yang direklamasi adalah 23,26 ha (0,23 km 2 ). Perubahan penggunaan lahan yang terjadi setelah pengembangan kawasan waterfront adalah berkurangnya luas penggunaan lahan

tidak terbangun sebesar 411 ha, sedangkan lahan terbangun meningkat seluas 521 ha. Hierarki wilayah Kota Ternate (tahun 2005-2011) menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan menjadi 6 kelurahan, sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir yang semula 3 kelurahan berkurang menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga meningkat dari 8 kelurahan menjadi 10 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 23 kelurahan menjadi 20 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir meningkat dari 13 kelurahan menjadi 12 kelurahan. Kelurahan/desa pesisir cenderung lebih berkembang dibandingkan dengan kelurahan/desa bukan pesisir yang terlihat dari perubahan tingkatan hierarki wilayah. Sebaran infrastruktur di kota Ternate terkonsentrasi di pusat kota. Akses pencapaian ke infrastruktur perkotaan relatif mudah karena dihubungkan dengan jalan, namun waktu tempuh pencapaian setiap kecamatan berbeda. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur yang belum memenuhi standar pelayanan diantaranya adalah kekurangan kapasitas produksi air bersih PDAM, daya listrik, pengangkutan sampah ke TPA, daya tampung fasilitas pendidikan, prasarana pasar. Infrastruktur yang telah mencukupi standar pelayanaan diantaranya adalah jaringan jalan, prasarana kesehatan, prasarana niaga dan perdagangan dan ruang terbuka hijau (RTH). Prediksi kebutuhan infrastruktur tahun 2013-2032 dianalisis berdasarkan proyeksi jumlah penduduk di tahun tersebut. Proyeksi penduduk di tahun 2013 diprediksikan mencapai 188.795 jiwa dan di tahun 2032 mencapai 254.570 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 20 tahun sebesar 1,68%. Melihat proyeksi jumlah penduduk Kota Ternate diatas, maka kebutuhan infrastruktur hingga tahun 2032 diantaranya adalah air bersih PDAM 28.002.700 lt/hari, kebutuhan daya listrik sebesar 114.557 KVA, produksi sampah 636.425 lt/hari, prasarana kesehatan 129 unit dan prasarana niaga dan perdagangan 1.037 unit. Arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront yang perlu diprioritaskan pada tiap kategori infrastruktur berdasarkan persepsi stakeholder adalah pengelolaan sampah terpadu untuk infrastruktur fisik, penataan kawasan PKL untuk infrastruktur sosial ekonomi dan penataan lansekap taman kota untuk infrastruktur hijau. Kata kunci : Kota tepian air, perubahan garis pantai, perubahan penggunaan lahan, infrastruktur perkotaan.

Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN WATERFRONT : STUDI KASUS KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA FIRDAWATY MARASABESSY Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc

Karya ini ku persembahkan untuk : Ayahanda Tercinta Hi. Bunyamin Marasabessy dan Ibunda Tercinta Hj. Satiah Mahmud (Alm.) terima kasih atas segala kasih sayang, doa dan pengorbanan yang tiada henti

PRAKATA Alhamdulillahirabbila lamin, atas limpahan rahmat dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis yang dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA., Dr. Ir. Soekmana Soma M.SP., M.Eng sebagai Komisi Pembimbing atas segenap waktu, pemikiran dan arahanya semenjak awal penelitian hingga selesainya penulisan tesis. 2. Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc., sebagai Penguji Luar Komisi atas waktu, kritik dan sarannya. 3. Ketua, Sekretaris dan Manajemen Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor atas bantuan dan kerjasamanya. 4. Seluruh Dosen Pengajar dan Asisten atas didikan dan bimbingannya selama belajar di PWL. 5. Pemerintah Daerah Kota Ternate atas izin untuk melakukan penelitian di Kota Ternate. 6. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Ternate atas kesediaan memberikan data dan kerjasamanya. 7. Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate atas kesediaan memberikan data dan kerjasamanya. 8. Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Ternate atas kesediaan memberikan data dan kerjasamanya. 9. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara atas kesediaan memberikan data. 10. BUMN Kota Ternate (PDAM dan PLN) atas kesediaan memberikan data. 11. Universitas Khairun Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur atas bantuan dan kerjasamanya. 12. Ayahanda Prof. Drs. Hi. B. Marasabessy M.Pd., Ibunda Hj. Satiah Mahmud (Alm.) dan Kakak-kakak tercinta Rauf CH, Dra. Fachria M.Pd., M.Si., Helmy, Fitri, Nurainy, ST., dan Chairil ST., serta keponakan tecinta Aldy, Caca dan Ehsan atas segala limpahan kasih sayang, didikan serta doanya yang tiada henti. 13. Teman-teman seperjuangan (Desyan Rya, SP., M.Si., Rahmi Fajarini, SP., Djoko Purnomo, S.Si., Manijo, SP) dan teman PS PWL Reguler lainnya atas segala bantuan dan dukungannya selama belajar di PWL. 14. Teman-teman Arsitektur angk. 2003 Universitas Khairun (Asmiyani, ST., Nurzakiah, ST., Wahyudi Djamaa, ST., Iswanto, ST.) atas bantuan dan kerjasamanya. 15. Semua pihak yang yang tidak sempat disebutkan dan memiliki andil dalam penyelesaian masa studi. Akhir kata, mudah-mudahan apa yang disajikan pada penulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Februari 2013 Firdawaty Marasabessy

RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Ternate, tanggal 16 Mei 1986, putri kelima dari lima bersaudara dari Ayahanda Hi. Bunyamin Marasabessy dan Ibunda Hj. Satiah Mahmud (Alm.). Tahun 2003, penulis menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 1 Ternate dan melanjutkan studi ke Universitas Khairun Ternate, Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 tahun 2009, penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada tahun 2010 dengan biaya sendiri. Tahun 2009, penulis pernah bekerja sebagai Asisten Dosen pada Universitas Khairun Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur. Pada tahun yang sama pula penulis bekerja di lembaga Profesi Arsitek sebagai staf pada Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Maluku Utara.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR LAMPIRAN... iv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 6 Manfaat Penelitian... 7 Kerangka Pemikiran... 7 TINJAUAN PUSTAKA... 10 Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota... 10 Perkembangan Kota Tepian Air (Waterfront City)... 13 Pertumbuhan Kota Dalam Konsep Pengembangan Wilayah... 17 Infrastruktur dan Hierarki Wilayah Perkotaan... 19 Infrastruktur Fisik... 22 Infrastruktur Sosial Ekonomi... 38 Infrastruktur Hijau... 41 METODOLOGI PENELITIAN... 46 Lokasi dan Waktu Penelitian... 46 Bahan dan Alat... 46 Jenis dan Sumber Data... 47 Metode Analisis Data... 48 Analisis Sistem Informasi Geografis... 48 Analisis Hierarki Wilayah dengan Skalogram... 50 Analisis Ketersediaan Infrastruktur... 52 Infrastruktur Fisik... 52 Infrastruktur Sosial dan Ekonomi... 57 Infrastruktur Hijau... 58 Analisis Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032... 59 Analisis Persepsi Stakeholder dengan AHP... 59 GAMBARAN UMUM KOTA TERNATE... 65 Letak Geografis dan Batas Administratif... 65 Topografi dan Kondisi Iklim... 66

Kependudukan... 69 Penggunaan Lahan Perkotaan... 71 Gambaran Struktur Ruang Kota... 74 Kawasan Kota Tepian Air (Waterfront City)... 79 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)... 82 HASIL DAN PEMBAHASAN... 85 Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate... 85 Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront... 85 Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront... 88 Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010... 91 Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate... 93 Cakupan Pelayanan Infrastruktur... 98 Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik... 98 Infrastruktur Jaringan Jalan... 98 Infrastruktur Air Bersih... 107 Infrastruktur Listrik... 113 Infrastruktur Sistem Drainase... 118 Infrastruktur Persampahan... 129 Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi... 135 Prasarana Pendidikan... 135 Prasarana Kesehatan... 145 Prasarana Niaga dan Perdagangan... 149 Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau... 154 Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2013-2032... 162 Persepsi Stakeholder dalam Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Waterfront... 167 SIMPULAN DAN SARAN... 173 Simpulan... 173 Saran... 174 DAFTAR PUSTAKA... 175 LAMPIRAN... 180

DAFTAR TABEL Halaman 1. Kebutuhan Air untuk Kategori Kota... 27 2. Klasifikasi Sampah Menurut Ditjen Cipta Karya... 35 3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil... 47 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki WIlayah... 50 5. Klasifikasi Jalan Perkotaan... 52 6. Kebutuhan Air Non Domestik Perkotaan... 55 7. Bagian Jaringan Drainase... 55 8. Besaran Timubulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber Sampah... 56 9. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Sosial dan Ekonomi... 57 10. Fungsi dan Penerapan RTH Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan... 58 11. Wilayah Administrasi Kota Ternate... 65 12. Temperatur Rata-rata di Kota Ternate Tahun 2010... 67 13. Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate Tahun 2010... 67 14. Kecepatan Angin Rata-rata, Kecepatan Maksimum Mutlak dan Arah Angin di Kota Ternate... 68 15. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kota Ternate Menurut Bulan, Tahun 2010... 68 16. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2010... 69 17. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Rasio Jenis Kelamin... 70 18. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur... 71 19. Penggunaan Lahan di Kota Ternate, 2010... 72 20. Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan... 73 21. Fungsi Strategis BWK I dan BWK II dalam mendukung Waterfront City Kota Ternate... 80 22. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku... 84 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront... 90 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010... 92 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010... 92 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011... 95 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005... 96 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011... 97 29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate... 101 30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010... 102 31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi... 108 32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011... 112 33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang... 114 34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate... 115

35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011... 117 36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah... 120 37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan... 122 38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara... 124 39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate... 125 40. Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate... 127 41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru... 129 42. Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate... 132 43. Komposisi Sampah Kota Ternate... 133 44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008... 133 45. Jumlah Prasarana Pendidikan... 135 46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik... 136 47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar... 137 48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate... 137 49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate... 139 50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate... 141 51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate... 142 52. Prasarana Kesehatan di Kota Ternate... 145 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate... 147 54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan... 148 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan... 150 56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan... 152 57. Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan... 153 58. Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate... 156 59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan... 157 60. Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan... 157 61. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan... 158 62. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah... 159 63. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah... 159 64. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Utara... 161 65. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Utara... 159 66. Proyeksi Jumlah Penduduk Tahun 2013-2032... 162 67. Prediksi Kebutuhan Air Bersih PDAM Tahun 2013-2032... 164 68. Prediksi Kebutuhan Daya Listrik Tahun 2013-2032... 165 69. Prediksi Produksi Sampah Tahun 2013-2032... 165 70. Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan Tahun 2013-2032... 166 71. Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan Tahun 2013-2032. 166

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran... 9 2. Dimensi Jalan Arteri dengan Jalur Lambat... 24 3. Penampang Jalan Kolektor Kawasan Permukiman... 25 4. Bagan Aliran Proses Pengolahan Air... 26 5. Komponen Utama dalam Penyaluran Listrik... 29 6. Sistem Drainase Perkotaan... 33 7. Teknik Operasional Sampah Perkotaan... 38 8. Jaringan Infrastruktur Hijau... 44 9. Lokasi Penelitian... 46 10. Bagan Alir Penelitian... 49 11. Struktur Hierarki AHP... 62 12. Peta Kemiringan Lereng Kota Ternate... 66 13. Persentase Jumlah Penduduk di Kota Ternate... 69 14. Penggunaan Lahan di Kota Ternate Tahun 2010... 73 15. Peta Rencana Struktur Ruang Kota... 78 16. Kawasan Prioritas Action Plan Waterfront City Kota Ternate... 81 17. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011... 83 18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010... 86 19. Perubahan Spasial Kota Ternate... 87 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront... 89 21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010... 91 22. Nilai Standar Deviasi dan Nilai Rataan Indeks Perkembangan... 94 23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011... 97 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010... 99 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan... 100 26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah... 103 27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan... 104 28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara... 105 29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate... 106 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate... 109 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM... 110 32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010... 110 33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN... 115 34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN, 2011... 116 35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah... 121 36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan... 123 37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara... 124 38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate... 126 39. Jaringan Drainase dan Daerah Genangan di Kota Ternate... 128

40. Blok Pelayanan dan Prasarana Persampahan Kota Ternate... 131 41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK... 138 42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD... 140 43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP... 141 44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK... 143 45. Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate... 146 46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate... 151 47. RTH Kecamatan Ternate Selatan... 157 48. RTH Kecamatan Ternate Tengah... 159 49. RTH Kecamatan Ternate Utara... 160 50. Hasil AHP Aspek Infrastruktur... 168 51. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Fisik... 168 52. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Sosial dan Ekonomi... 169 53. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Hijau... 170 54. Hasil AHP Alternatif Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Waterfront Kota Ternate... 171 55. Struktur Hierarki AHP... 172

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil Pengecekan Lapang Beberapa Titik di Lokasi Kota Ternate... 180 2. Hasil Analisis Skalogram untuk Hierarki Wilayah... 181 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate... 187 4. Lembaran Kuesioner... 199

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk pembangunan (Anwar, 1999). Upaya pembangunan pada suatu wilayah bertujuan agar kesejahteraan masyarakat tercapai. Pengembangan wilayah memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana secara optimal dan berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan ekonomi (perdagangan, industri dan pertanian), perlindungan lingkungan, penyediaan fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana (transportasi, komunikasi dan lain-lain) adalah bentuk kegiatan yang mampu menggerakkan perkembangan wilayah (Witoelar, 2002 diacu dalam Gustiani, 2005). Populasi digunakan sebagai indikator pertumbuhan kota (Hsu, 1996 diacu dalam Cheng dan Masser, 2003). Pertumbuhan wilayah perkotaan yang kian pesat ditandai dengan meningkatnya populasi. Konsentrasi populasi kota-kota di dunia diprediksikan pada tahun 2020 mencapai 2,5 juta jiwa, hampir 65 persen berada di sepanjang pantai (Agenda 21, 1992 diacu dalam Vallega, 2001). Sebagai contoh kasus, Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi secara signifikan, dimana lebih dari 86 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir timur hingga ke wilayah pesisir selatan, diantaranya kota Sydney, Brisbane, Melbourne dan Perth (Norman, 2011). Kota-kota tersebut kemudian berkembang pesat menjadi kota-kota pantai (waterfront city) yang terkenal dan menjadi daya tarik utama sebagai kawasan wisata. Di Indonesia terdapat 516 kota andalan dengan 216 kota diantaranya merupakan kota tepian air (waterfront city) yang berada di tepi pantai, sungai atau danau (Suprijanto, 2007). Perkembangan kota pantai (waterfront city) di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan kegiatan utamanya perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan (Mulyandari, 2010). Kota pantai di Indonesia secara historis merupakan titik awal pertumbuhan suatu kota, dan juga berfungsi sebagai pintu gerbang aktivitas kawasan perkotaan baik aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya yang

2 berorientasi ke laut (Laras, 2011). Wilayah pesisir dewasa ini memegang peran penting dalam perkembangan kota. Kota Ternate merupakan salah satu waterfront city di Indonesia, yang pada awalnya dikenal dalam sejarah dunia sebagai pusat perdagangan rempah-rempah skala internasional di abad ke-15. Jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah 185.705 jiwa dengan laju pertumbuhan selama periode 10 tahun terakhir (2000-2010) sebesar 1,79% dan memiliki penduduk terpadat di Maluku Utara dengan kepadatan penduduk 740 jiwa/km 2 (BPS Kota Ternate, 2011) yang sebagian besar bermukim di wilayah pesisir. Pertambahan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun penyediaan sarana dan prasarana perkotaan. Lahan merupakan sumberdaya alam yang hampir tidak dapat diperbaharui (non renewable), sedangkan kebutuhan lahan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kondisi yang demikian terjadi di Kota Ternate, dimana jumlah penduduk semakin bertambah, namun ketersediaan lahan terbatas karena kondisi topografis yang kurang menunjang. Untuk itu kebijakan pengembangan wilayah pesisir diarahkan untuk penyediaan infrastruktur sehingga dapat melayani kebutuhan masyarakat kota yang semakin heterogen. Kebijakan tersebut termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2006-2015 yang mengalokasikan wilayah pesisir yang berada di pusat kota (CBD) untuk dikembangkan sebagai kawasan waterfront (BAPPEDA Kota Ternate, 2006). Kawasan waterfront Kota Ternate tumbuh sebagai pusat pelayanan jasa, perdagangan, sarana ibadah, transportasi dan ruang terbuka hijau (taman kota berbasis budaya). Isu kawasan waterfront di Kota Ternate berkaitan dengan perkembangan spasial kota. Pengembangan kawasan dengan cara reklamasi pantai berarti menambah luas wilayah pesisir Kota Ternate. Penambahan daratan di wilayah pesisir tentunya berdampak pada perubahan garis pantai. Dengan bertambahnya luas daratan, maka penggunaan lahan di Kota Ternate ikut meningkat. Sistem penggunaan lahan perkotaan yang didominasi oleh aktivitas manusia yang

3 kompleks berpengaruh terhadap dinamika spasial-temporal perkembangan wilayah (Hu dan Lo, 2007). Indikator ketersediaan infrastruktur menjadi tolak ukur perkembangan kota. Peningkatan pelayanan infrastruktur ikut mempengaruhi pola permukiman di perkotaan. Umumnya masyarakat cenderung memilih tempat bermukim yang dekat atau mudah diakses dalam hal sarana dan prasarana wilayah. Preferensi bermukim dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan permukiman yang baik, fasilitas transportasi dan penyediaan barang dan jasa, serta pusat lapangan kerja (Sinulingga, 1999). Ketersediaan infrastruktur yang memadai akan mendorong pertumbuhan kota yang berkelanjutan. Pendekatan dalam penyediaan infrastruktur di kawasan pesisir harus didasari konsep penataan ruang wilayah pesisir yang berkelanjutan. Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti perlunya mengedepankan keseimbangan dan integrasi aspek fisik-lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi (Madiasworo, 2011 diacu dalam Lubis, 2011). Pemenuhan ketiga aspek tersebut dapat dilakukan melalui penataan ruang kawasan yang kembali menjadikan pesisir sebagai beranda, agar memiliki nilai estetika sehingga mampu memberikan kualitas visual yang baik terhadap lansekap kota (Bischof, 2007 diacu dalam Lubis, 2011). Untuk mewujudkan hal tersebut, maka keterpaduan antara konsep infrastruktur fisik (grey infrastructure), infrastruktur hijau/ramah lingkungan (green infrastructure), dan infrastruktur sosial (social infrastructure) dapat diterapkan guna membangun infrastruktur yang berkelanjutan. Pengembangan kawasan waterfront di Kota Ternate, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan. Studi ini difokuskan pada tiga poin berikut yang berkaitan dengan pertumbuhan Kota Ternate. Pertama, memodelkan perkembangan Kota Ternate setelah pengembangan kawasan waterfront. Ini berarti bahwa pengembangan kawasan waterfront merupakan faktor kunci yang mempengaruhi proses pembangunan perkotaan. Kedua, mengkaji cakupan pelayanan infrastruktur kota sebagai penunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Ketiga, menentukan arahan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur secara berkelanjutan di kawasan waterfront berdasarkan persepsi stakeholders guna perbaikan infrastruktur kearah yang lebih baik.

4 Perumusan Masalah Pengembangan wilayah Kota Ternate secara eksternal tidak dapat dilepaskan dari kedudukan, peran dan fungsinya dalam lingkup antar wilayah, baik dalam wilayah Propinsi Maluku Utara, Kawasan Timur Indonesia, Nasional serta kemungkinan keterkaitannya dengan negara lain di Kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan strukturnya, wilayah Kota Ternate terletak pada jalur pelayaran internasional serta berada di titik singgung lingkaran pasifik yang secara langsung akan dipengaruhi oleh perubahan global. Pengaruh ini akan memungkinkan Kota Ternate berkembang sebagai salah satu pintu masuk dan keluar diantara sistem banyak pintu (multygate system) ke arah lingkaran Pasifik tersebut. Kondisi semacam ini membentuk suatu sistem keterkaitan wilayah antar kota kota (pulaupulau) yang berada di dalam satu Kawasan Laut Pulau (KLP), yang secara fungsional dapat menghilangkan atau mengabaikan batas batas administratif dalam upaya pemberdayaan wilayahnya. Sementara dari tinjauan nasional, Kota Ternate berada dalam konstelasi wilayah yang dilewati jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia 3 (ALKI 3) dan jalur poros pengembangan strategis Nasional (Manado-Ternate-Sorong-Biak- Jayapura). Selain itu Kota Ternate juga berperan sebagai jalur transit ke kabupaten/kota dalam lingkup provinsi Maluku Utara. Secara regional Kota Ternate masuk dalam pengelompokan Kawasan Timur Indonesia, yang saat ini menjadi fokus untuk pengembangan dan pembangunan nasional. Dipihak lain, Kota Ternate diperhadapkan pada kondisi geografis wilayahnya yang berupa daerah perbukitan dengan sebuah gunung api aktif dan memiliki kemiringan lereng terbesar diatas 40% yang mengerucut kearah puncak gunung dan dikelilingi laut. Hal ini tentunya berdampak pada ketersediaan lahan untuk pengembangan ruang publik kota. Wilayah pesisir menjadi salah satu alternatif strategis dalam pengembangan kawasan, khususnya dalam pemenuhan infrastruktur perkotaan dengan metode reklamasi pantai yang saat ini tengah menjadi tren pengembangan kawasan kota pantai (waterfront city) di Indonesia. Secara spasial, luas kawasan pesisir Kota Ternate saat ini semakin bertambah. Kawasan tersebut meliputi pesisir timur dan pesisir selatan kota yang dijadikan kawasan pengembangan waterfront. Teknik reklamasi pantai bertujuan

5 untuk mendapatkan lahan/daratan baru melalui pengurugan atau pengeringan. Strategi ini dipilih antara lain karena semakin langkanya ketersediaan lahan perkotaan untuk mengakomodir pemenuhan kebutuhan fungsi perkotaan. Hal yang demikian akan berpengaruh terhadap spasial kota dan perubahan garis pantai karena kawasan waterfront bersinggungan langsung dengan wilayah pesisir. Sebelum pengembangan kawasan waterfront, kondisi eksisiting infrastruktur masih terbatas cakupan pelayanannya terutama di wilayah belakang (hinterland) yaitu di kecamatan Pulau Ternate, sebagian kecamatan Ternate Utara dan sebagian kecamatan Ternate Selatan yang cenderung berada pada kondisi topografis perbukitan (upland) dan jauh dari pusat kota. Ketimpangan sebaran infrastruktur menyebabkan perbedaan yang cukup signifikan antara wilayah bagian barat dan wilayah bagian timur Pulau Ternate, dari segi cakupan pelayanan terhadap penduduk. Kondisi ini menunjukkan adanya prioritas pembangunan wilayah yang berorientasi di wilayah bagian timur Pulau Ternate sebagai kawasan cepat tumbuh dalam menghubungkan dengan pulau-pulau sekitarnya dalam lingkup lokal maupun regional. Perkembangan kawasan kota pantai (waterfront city) khususnya di kawasan pesisir timur dan sebagian pesisir selatan Kota Ternate menyebabkan berkembangnya hierarki wilayah di kawasan tersebut serta kawasan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari indikator sebaran dan ketersediaan infrastruktur. Secara teoritik, hierarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas, yang ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur, kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas perekonomiannya. Pengembangan wilayah harus memperhatikan karakteristik potensial yang dimiliki wilayah. Permasalahan muncul setelah pengembangan waterfront, baik dari segi ekosistem dan fisik lingkungan pesisir, sosial ekonomi, serta persoalan sarana dan prasarana lingkungan. Sistem drainase buruk dan pembuangan air limbah kawasan waterfront yang bermuara ke laut mengakibatkan badan air terkontaminasi. Status perairan dalam kondisi buruk di kawasan waterfront Kota Ternate untuk pemanfaatan budidaya perikanan akibat beban pencemaran dari limbah permukiman, pasar, restoran, pertokoan, industri kecil, dan aktivitas pelabuhan

6 laut (Drakel, 2004). Hal ini terkait pula dengan pengelolaan sampah, dimana sistem persampahan di kawasan ini masih minim pengelolaan dan masih terjadi tumpukan sampah di pesisir pantai. Kapasitas pemenuhan infrastruktur sosial dan ekonomi, misalnya pasar tradisional masih belum memenuhi daya tampung untuk para pedagang. Akibatnya lahan di kawasan terminal angkutan kota dimanfaatkan sebagai lokasi untuk berjualan. Kondisi ini tentunya menimbulkan kesemrawutan di sekitar kawasan terminal. Dampak yang terjadi ialah konflik dalam pemanfaatan kawasan tersebut, areal untuk parkir kendaraan menjadi berkurang dan sering kali terjadi kemacetan lalu lintas. Aspek sosial ekonomi yang timbul ialah munculnya sektor informal (kawasan PKL) yang tidak terencana di kawasan. Keadaan tersebut membutuhkan arahan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan waterfront yang terintegrasi. Berdasarkan berbagai permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan di Kota Ternate sebelum (2001) dan sesudah (2010) pengembangan waterfront? 2. Bagaimana perubahan hierarki wilayah Kota Ternate setelah pengembangan waterfront? 3. Bagaimana perkembangan eksisting sebaran dan ketersediaan infrastruktur perkotaan dapat melayani standar kebutuhan masyarakat? 4. Bagaimana prediksi kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan? 5. Bagaimana arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront? Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai perkembangan Kota Ternate dalam kurun waktu sebelum dan sesudah pengembangan kawasan waterfront ditinjau dari aspek infrastruktur untuk perencanaan wilayah. Secara lebih detil dapat dijabarkan dalam sub tujuan sebagai berikut : 1. Melakukan pemetaan perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah pengembangan waterfront.

7 2. Menganalisis perubahan hierarki wilayah berdasarkan karakteristik wilayah yang dimiliki setelah pengembangan waterfront. 3. Melakukan pemetaan sebaran dan ketersediaan infrastruktur eksisting di Kota Ternate. 4. Memprediksikan kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan. 5. Menyusun arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Memberikan kontribusi data spasial ketersediaan infrastruktur perkotaan. 2. Memberikan arahan perencanaan infrastruktur perkotaan hingga 20 tahun mendatang (2032). 3. Memberikan pemikiran serta kajian ilmiah pada konsep infrastruktur perkotaan dan waterfront city. 4. Memberikan arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur perkotaan kepada Pemerintah Daerah dalam merancang konsep kebijakan pengelolaan kelayakan infrastruktur yang berkelanjutan. Kerangka Pemikiran Perkembangan Kota Ternate dapat diidentifikasi dari perubahan spasial kota sebelum (tahun 2001) dan setelah pengembangan kawasan waterfront (tahun 2010). Ini menandakan bahwa pengembangan kawasan waterfront menjadi tolak ukur terhadap perkembangan kota. Pengembangan kawasan waterfront dilakukan dengan cara reklamasi pantai guna mendapatkan lahan/daratan baru. Kawasan waterfront yang berada di kawasan pesisir menyebabkan perubahan spasial kota yang dapat dianalisis dari parameter garis pantai dan penggunaan lahan. Wilayah-wilayah pesisir yang dekat dengan kawasan waterfront cenderung ikut berkembang seiring dengan berkembangnya kawasan waterfront. Wilayah-wilayah yang berkembang ditandai dengan meningkatnya aksesibilitas dan jumlah sarana dan prasarana (infrastruktur) di wilayah tersebut. Untuk mengetahui hierarki wilayah kota Ternate, maka dapat dianalisis dengan indikator

8 aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur. Wilayah-wilayah yang termasuk kategori hierarki 1 merupakan pusat pelayanan kota, wilayah dengan kategori hierarki 2 berarti masih bergantung pada wilayah hierarki 1, sedangkan wilayah dengan kategori hierarki 3 merupakan wilayah belakang (hinterland). Untuk itu, analisis skalogram digunakan dalam menentukan hierarki wilayah. Ketersediaan infrastruktur yang dianalisis meliputi infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau. Ketiga jenis infrastruktur tersebut dianalisis sebaran dan ketersediaannya guna menyediakan data spasial ketersediaan infrastruktur perkotaan dan mengetahui cakupan pelayanan infrastruktur kepada masyarakat. Cakupan pelayanan infrastruktur berkorelasi dengan jumlah penduduk dan akses pencapaian. Untuk menganalisis sebaran dan ketersediaan infrastruktur, maka digunakan analisis spasial (SIG) untuk menentukan jarak dan wilayah pelayanan. Selain itu dilakukan prediksi kebutuhan infrastruktur guna perencanaan hingga 20 tahun mendatang (2032), berdasarkan proyeksi jumlah penduduk. Pengembangan kawasan waterfront masih menyisakan permasalahan diantaranya adalah belum optimalnya pengelolaan sampah, konflik penggunaan lahan pasar tradisional dan terminal angkutan kota serta timbulnya kawasan PKL (sektor informal) yang tidak tertata, yang tentunya harus segera diselesaikan. Arahan penataan dan pengelolaan berdasarkan persepsi stakeholder diharapkan dapat menjadi alternatif penangan permasalahan yang ada di kawasan waterfront. Untuk itu, analisis AHP digunakan untuk menentukan skala prioritas penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

9 Sebelum Pengembangan Kawasan Waterfront (sebelum tahun 2001) Perubahan Spasial Kota Perubahan Garis Pantai Perubahan Penggunaan Lahan Hierarki I (Pusat Pelayanan) Pengembangan Wilayah Kota Ternate Hierarki Wilayah Hierarki II Hierarki III (Wilayah Belakang/ hinterland) Data Spasial Sebaran dan Ketersediaan Infrastruktur Analisis Cakupan Pelayanan Infrastruktur Infrastruktur Fisik Setelah Pengembangan Kawasan Waterfront (setelah tahun 2010) Sebaran & Ketersediaan Infrastruktur Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau Jumlah Penduduk Akses Pencapaian Prediksi Kebutuhan Infrastruktur hingga tahun 2032 Alternatif Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur di Kota Ternate Gambar 1. Kerangka Pemikiran 9

TINJAUAN PUSTAKA Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota Urbanisasi secara harfiah berarti pengkotaan, yaitu proses menjadi kota (Pontoh dan Kustiawan, 2008). Urbanisasi dipahami secara umum sebagai proses menjadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, perubahan pekerjaan dari bertani berubah menjadi non-petani, dan juga menyangkut perubahan pola perilaku manusia (Daldjoeni, 1987 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Pengkotaan juga dapat diterapkan pada suatu negara, sehingga dapat meningkatkan proporsi penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan. Faktor-faktor pendorong terjadinya urbanisasi dapat ditinjau dalam beberapa perspektif, yaitu kemajuan di bidang pertanian, industrialisasi, potensi pasar, peningkatan kegiatan pelayanan, kemajuan transportasi, tarikan sosial dan kultural, kemajuan pendidikan dan pertumbuhan penduduk alami (Hammond, 1979 diacu dalam Rustiadi et al., 2009). Alasan penduduk melakukan migrasi dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang berkaitan dengan alasan pekerjaan ataupun alasan non ekonomi yang berkaiatan dengan sosial, budaya, pendidikan, politik dan keamanan. Ditinjau dari aspek demografis, urbanisasi yang diartikan sebagai mengalirnya penduduk dari desa ke kota yang disebabkan oleh adanya perbedaan signifikan tingkat kehidupan antara desa dan kota. Dalam konteks ini, para pakar mengidentifikasikan faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors) yang berkaitan dengan bangkitan urbanisasi (Khairuddin, 1992 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Faktor pendorong ialah semakin terbatasnya lapangan kerja di pedesaan, kemiskinan di pedesaan akibat bertambahnya jumlah penduduk, transportasi desakota yang semakin lancar, tingginya upah buruh di kota dari pada di desa, meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat desa, dan tata cara serta adat istiadat yang kadang kala dianggap sebagai beban oleh masyarakat desa. Sementara faktor penarik antara lain adalah kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasi di kota, tingkat upah yang lebih tinggi, lebih banyak kesempatan untuk maju (diferensiasi pekerjaan dan pendidikan dalam segala bidang), tersedianya barang-barang kebutuhan yang lebih lengkap, terdapatnya berbagai kesempatan untuk rekreasi

11 dan pemanfaatan waktu luang, dan bagi orang-orang atau kelompok tertentu di kota memberikan kesempatan untuk menghindari diri dari kontrol sosial yang ketat. Analisis hubungan keterkaitan antara urbanisasi dengan pembangunan ekonomi menurut ahli ekonomi dan sosial dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan peran urbanisasi terhadap pembangunan ekonomi dan aspek kedua tentang pengaruh dari pembangunan ekonomi terhadap urbanisasi (Sukirno, 1985 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Kedua aspek analisis tersebut menunjukkan bahwa diantara urbanisasi dan pembangunan ekonomi terdapat hubungan sebab akibat yang timbal balik sifatnya, dimana pembangunan ekonomi dapat mempercepat proses urbanisasi dan sebaliknya proses urbanisasi dapat pula mempercepat proses pembangunan ekonomi. Lebih lanjut menurut Sukirno (1985), faktor yang bersifat ekonomi merupakan penyebab terpenting dari timbulnya urbanisasi dan perkembangan kota. Pembangunan ekonomi akan diikuti oleh perombakan dalam corak kegiatan ekonomi, dimana semakin maju suatu kegiatan ekonomi, maka semakin penting peranan kegiatan industri dan perdagangan. Perkembangan tersebut selanjutnya akan menghasilkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Urbanisasi timbul oleh adanya usaha untuk mempertinggi efisiensi kegiatan tukar menukar, karena usaha tersebut akan mengembangkan pusat-pusat perdagangan yang nantinya dapat berfungsi sebagai tempat pengumpulan barang produksi suatu wilayah yang akan dipersiapkan untuk didistribusikan ke wilayah lainnya. Untuk menjamin kelancaran usaha pengumpulan dan pendistribusian barang oleh pusat-pusat perdagangan tersebut, maka secara tidak langsung akan berkembang pula kegiatan-kegiatan yang merupakan suplemen/tambahan dari kegiatan perdagangan seperti kegiatan pengangkutan, komunikasi, dan badanbadan keuangan. Perkembangan dari berbagai kegiatan tersebut mendorong orang untuk berpindah ke kota-kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dalam suatu wilayah tertentu. Kaitan urbanisasi dengan perkembangan ekonomi menyangkut pula sumber-sumber pembangunan atau pengembangan ekonomi. Pembangunan bersumber dari beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah pembentukan

12 modal, perkembangan penduduk dan teknologi. Sejarah pembangunan di negara maju menunjukkan bahwa perkembangan teknologi memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan faktor tersebut dianggap lebih penting dari pada faktor lainnya. Implikasi dari keadaan ini bahwa kemajuan dalam teknologi sangat berpengaruh terhadap penyebaran kegiatan ekonomi diantara kawasan pedesaan dan perkotaan, yakni kemajuan teknologi menyebabkan kegiatan ekonomi lebih dominan dilakukan di perkotaan. Sementara untuk kasus di negara-negara berkembang, kecepatan urbanisasi jauh lebih besar dibandingkan dengan faktor kemajuan teknologi maupun pembentukan modal. Secara spasial, proses urbanisasi ini tidak berlangsung secara merata di semua ukuran kota, tapi hanya terkonsentrasi di kota-kota besar atau kota-kota utama saja sehingga menimbulkan fenomena primate city (kota yang tidak proporsional dalam sistem hierarki perkotaan). Pertumbuhan penduduk perkotaan yang kian pesat berdampak pada kebutuhan sarana dan prasarana/infrastruktur perkotaan (urban infrastructure). Penduduk kota dipandang dalam konteks permintaan (demand), sedangkan penyediaan infrastruktur kota merupakan penawaran (suplly) (Adisasmita dan Sakti, 2010). Dalam pembangunan perkotaan yang berkesinambungan, maka sisi permintaan dan sisi penawaran harus diupayakan mencapai titik keseimbangan, sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang berujung pada terjadinya kelangkaan ataupun kesulitan dalam pelayanan terhadap masyarakat. Kegagalan dalam meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan menjadi penyebab utama dari masalah kota-kota di negara berkembang. Dalam laporan The UN Centre for Human Settlements (1986 diacu dalam Sadyohutomo, 2008), dinyatakan bahwa sekitar 30% dari populasi perkotaan di negara berkembang tidak memiliki akses terhadap penyediaan air bersih, dan populasi sekitar 40%- 50% hidup di perumahan kumuh dan perkampungan. Semakin lengkap ketersediaan infrastruktur perkotaan, akan semakin kuat daya tarik penduduk untuk melakukan urbanisasi. Urbanisasi sangat dipengaruhi oleh semakin banyaknya pelayanan infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur perkotaan memberikan kemudahan bagi masyarakat kota dalam menunjang kegiatannya. Kemudahan diartikan sebagai suatu keadaan dimana dapat diperoleh

13 dengan mudah atau dalam jumlah yang cukup pelayanannya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melaksanakan kegiatannya. Suatu kota yang memiliki ketersediaan infrastruktur yang lengkap, berarti memiliki tingkat kemudahan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kota tersebut memberikan peluang bagi kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan dan penghematan eksternal (external economies) secara berkesinambungan. Oleh karena itu terdapat kecenderungan manusia (terutama pengusaha dan pemilik modal) untuk berpindah tempat tinggal guna menempatkan kegiatan usahanya (membawa modal, ketrampilan dan pengalamannya) ke suatu tempat (kota) yang memiliki tingkat kemudahan tinggi, sehingga memberikan keuntungan yang tinggi dan keberhasilan bagi usahanya. Dengan demikian tingkat kemudahan merupakan faktor penentu lokasi kegiatan (usaha). Dalam hal migrasi penduduk ke kota (urbanisasi), manusia cenderung meninggalkan tempat bermukim asal dan berpindah ke tempat permukimannya yang baru karena di tempat baru tersebut memberikan peluang lapangan kerja, peningkatan pendapatan, pengembangan bakat, dan menikmati kehidupan yang lebih baik. Semua peluang tersebut merupakan daya tarik perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau dari kota-kota kecil ke kota-kota yang lebih besar. Kota sebagai wadah konsentrasi permukiman penduduk dan berbagai kegiatan produktif (ekonomi dan sosial) merupakan kutub daya tarik (pole of attraction) (Adisasmita, 1988 diacu dalam Adisasmita dan Sakti, 2010). Perkembangan Kota Tepian Air (Waterfront City) Pembangunan kota tepian air (waterfront city) berkembang sebagai tren pembangunan kawasan perkotaan yang populer saat ini. Secara umum, waterfront city dapat didefinisikan sebagai suatu daerah/area yang berbatasan dengan perairan (pantai, sungai dan danau), dimana terdapat satu atau beberapa kegiatan pada kawasan tersebut (Laras, 2011). Kota tepian air adalah tempat dimana komponen-komponen alam seperti badan air dan formasi tanah serta ekosistemnya saling bersinggungan satu sama lain dengan ketidakstabilan (fluidity) yang besar (Bunce dan Desfor, 2007). Bentuk-bentuk komponen alam hasil dari artifisial manusia ternyata tidak meninggalkan kota tepian air sebagai

14 tempat alam yang masih asli, tetapi telah dipengaruhi oleh transformasi dari waktu ke waktu. Lebih lanjut Bunce dan Desfor (2007) menambahkan bahwa sejarah perkembangan kota tepian air telah menunjukkan seluk-beluk hubungan antara masyarakat dan alam, tetapi yang lebih penting bahwa komponen pembentuk alam tersebut terus-menerus dikembangkan melalui proses sosial. Alam diejawantahkan sebagai komponen integral dari hubungan kekuasaan dan produksi ekonomi di kota tepian air. Pendekatan pembangunan waterfront memiliki jangkaun luas, mulai dari konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan laut. Waterfront berdasarkan tipe proyeknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development) (Soesanti dan Sastrawan, 2006 diacu dalam Nurfaida, 2009). Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Redevelopment merupakan upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Development adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai. Awalnya konsep pengembangan waterfront merupakan inovasi Amerika Serikat. Konsep tersebut sebagai bentuk redesign kawasan Baltimore dalam mengatasi kebangkrutan yang dialami kota-kota besar akibat resesi ekonomi pada tahun 1970an. Strategi pengembangan kawasan perkotaan tersebut secara tidak langsung dijadikan sebagai solusi untuk memperbaiki pengkumuhan kota-kota besar yang mengkhawatirkan di Amerika Utara. Rehabilitasi waterfront dapat menyumbangkan kemajuan perbaikan lingkungan di dunia yang sedang berkembang (Vollmer, 2009 diacu dalam Laras, 2011). Contoh kasus Toronto merupakan wilayah tepian danau yang tercemar berat, dengan penggunaan konsep kota tepian air (waterfront city), yang dalam waktu singkat (1980-2000) telah mampu meningkatkan tahapan pengelolaan dari semula pendekatan ekosistem dengan semboyannya lingkungan sehat, pemulihan

15 ekonomi, keberlanjutan, dan menjaga kesejahteraan masyarakat, dapat ditingkatkan menjadi pendekatan global yang sangat penting dengan semboyan peningkatan efektifitas dan kreatifitas. Era kota pantai (waterfront city) telah melewati dua tahap, yaitu tahap pertama (1960-1990) dengan program revitalisasi pantai dirancang untuk mengejar tujuan-tujuan penting bagi pengambilan keputusan lokal dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dan tahap kedua sebagai bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi mengedepankan pekerjaan dan produk bruto per kapita (PDB), sedangkan konsep pembangunan berkelanjutan yang diadopsi oleh komunitas internasional (UNCED), ditunjukkan sebagai tujuan akhir penilaian revitalisasi pantai yang terintegrasi dengan program pembangunan. Relevansi dari revitalisasi pantai untuk pengelolaan kawasan pesisir telah menjadi isu utama karena manajemen terpadu yang telah diklaim oleh Agenda 21 sebagai alat untuk mengejar pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau (Vallega, 2001). Merujuk pada pendekatan pembangunan berkelanjutan, banyak kota-kota pantai telah menemukan karakteristik dalam menghadapi pilihan dasar, antara merencanakan dan mengelola pantai berdasarkan kriteria konvensional, atau merancang rencana pembangunan dimana tepi pantai adalah komponen inti dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Perkembangan kota pantai (waterfront city) di Indonesia dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara di masa silam dengan kegiatan utama adalah perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan. Karakteristik tersebut menjadikan wilayah pesisir sebagai elemen utama yang berperan penting dalam perkembangan kota. Oleh sebab itu, kota-kota pantai di Indonesia memiliki unsur historikal dan budaya yang kuat dalam pengembangan kawasan pesisir. Karakteristik pantai dan pengaruhnya dalam perkembangan kawasan kota pantai di Indonesia menurut Hantoro (2001 diacu dalam Mulyandari, 2011), antara lain : a. Wilayah pesisir memiliki bentang alam yang dibentuk oleh gejala endogen geologi, dimana tiga gejala utama tektonik merupakan pengontrol awal bentang alam yang meliputi tumbukan lempeng, gerak gesek antar lempeng, gunung api

16 dengan komponen gerak tegaknya. Jenis batuan menentukan kestabilan pantai dan kemampuan bertahan dari terjangan laut dan cuaca. b. Di perairan yang stabil tanpa gejala geologi endogen, di bagian yang mengalami pengaruh kuat perubahan paras muka laut, di pesisir dan di pantai, pembentukan bentang alam lebih dipengaruhi oleh gejala cuaca (erosi) dan laut (erosi dan sedimentasi). c. Pantai yang menghadap perairan terbuka dengan agitasi kuat memiliki kota pantai yang berkembang di rataan pasir pantai, berawal dari permukiman dan pelabuhan sebagai bandar niaga di muara sungai. Pemilihan muara di bentang manapun sebagai awal permukiman sangat umum dijumpai di Indonesia, di daratan alluvial, di kaki gunung pulau volkanik, di pesisir perairan paparan tepian kontinen atau di pantai dataran limpahan banjir. d. Kota pantai tumbuh dan berkembang sesuai status dan fungsinya dari waktu ke waktu melalui beberapa periode masa penjajahan dan kemudian masa setelah kemerdekaan. Perkembangan luas kota yang berstatus kota pusat pemerintahan terlihat cenderung lebih pesat. e. Perluasan permukiman mulai terasa sejak 30 tahun terakhir. Demikian halnya dengan sarana pelabuhan dan transportasi lain. f. Sejumlah besar kota pantai berkembang pesat oleh peningkatan usaha ekonomi perniagaan, pertanian/perkebunan, dan industri, sementara mariekultur dan industri hilirnya hanya berkembang di beberapa kota pantai atau hanya sebagai suplemen kecil usaha ekonomi. Usaha ekonomi kelautan di segala bidang perlu untuk ditingkatkan misalnya industri rekayasa, budidaya dan tangkap, pengolahan, dan wisata. g. Pertumbuhan kota-kota pantai akhir abad 20-an cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi merusak. Keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan perluasan merambah lingkungan pantai yang seharusnya dipertahankan sebagai penyangga (buffer). h. Cuaca, kondisi laut dan tektonik merupakan gejala-gejala yang mengontrol bentang alam dari awal pembentukan hingga bentuk saat ini, sehingga

17 fenomena tersebut harus diperhitungkan sebagai potensi alam dalam upaya mempertahankan kelestarian lingkungan kota pantai. i. Jenis ancaman bencana pada kota-kota pantai beragam, bergantung pada fenomena alam misalnya ancaman abrasi pantai, gelombang tsunami maupun intrusi air laut. Pertumbuhan Kota dalam Konsep Pengembangan Wilayah Kota merupakan wadah berkelompok penduduk yang disertai dengan keragaman aktivitas ekonomi maupun sosial. Munculnya kota dalam peradaban manusia sudah sejak berabad-abad silam, yang awalnya sebagai tempat persinggahan pedagang, berkembang menjadi kelompok permukiman, kemudian terbentuk kota kecil, kota menengah hingga kota besar. Dimensi pertumbuhan kota merupakan keterkaitan yang bersifat multi disiplin. Masing-masing disiplin ilmu tersebut melingkupi bidang demografi, keteknikan, tata ruang, ekonomi, sosiologi dan sebagainya, memiliki cakupan objek bahasan, cara pandang, metode analisis tersendiri. Namun dalam rumusan teori pertumbuhan kota (urban growth theory), ternyata banyak menampilkan teori-teori pengembangan wilayah yang muncul dalam tahun 1930-an hingga tahun 1970-an (Adisasmita dan Sakti, 2010). Dalam pandangan Rondinelli (1985 diacu dalam Suhono, 2008), terdapat tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: (1) kutub pertumbuhan (growth pole); (2) integrasi fungsi (functional integration); dan (3) pendekatan desentralisasi wilayah (decentralized territorial approaches). Pembangunan setidaknya memuat tiga komponen dasar, yaitu kecukupan (sustainance) dalam pemenuhan kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih, yang dijadikan sebagai konsep dasar dan pedoman praktis dalam menterjemahkan pembangunan yang hakiki (Todaro, 2000 diacu dalam Rustiadi et al., 2009). Dalam pembangunan, kota merupakan pusat pembangunan, dimana terdapat berbagai kegiatan pembangunan yang didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana pembangunan. Kegiatan pembangunan di wilayah perkotaan selain meliputi berbagai kegiatan sektoral, dapat juga melingkupi kegiatan fisik, ekonomi dan sosial yang dilaksanakan secara intensif. Di kota-kota besar terdapat

18 industri-industri dan perusahan-perusahan besar akan mendistribusikan hasil-hasil pembangunan ke wilayah sekitarnya. Menurut Perroux (1949 diacu dalam Tarigan, 2006) dalam teori kutub pertumbuhan (growth pole), bahwa pertumbuhan itu tidak terjadi pada setiap wilayah, namun hanya terjadi pada wilayah tertentu yang memiliki industri pendorong. Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara fungsional dan secara geografis (Tarigan, 2006). Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri karena adanya keterkaitan unsur-unsur sifat yang dinamis, sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di tempat tersebut dan adanya pemanfaatan fasilitas kota meskipun tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Selanjutnya Tarigan (2006) mengemukakan bahwa pusat pertumbuhan harus memiliki 4 (empat) ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya unsur pengganda (multiplier effect), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan ke daerah belakangnya (hinterland). Konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia telah mengalami perkembangan dan koreksi untuk setiap periodenya (Djakapermana dan Djumantri, 2002 diacu dalam Djakapermana, 2010). Mulai dari pengembangan wilayah dengan pengembangan sektoral dan parsial pada era tahun 1960-an, kutub pertumbuhan (growth pole) yang lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur, regionalisasi dengan batas wilayah fungsional (fuctional regional) yaitu membagi wilayah Indonesia dengan satuan-satuan ekonomi, sampai dengan konsep pengembangan wilayah pada era tahun 2000-an dengan pendekatan lingkungan, khususnya dengan lahirnya Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang telah mengalami penyempurnaan dan diganti oleh Undang-undang No. 26 tahun 2007. Memasuki abad ke 21 ini, konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia harus mengikuti kaidah penataan ruang. Undang-undang No. 26 tahun 2007

19 disusun atas dasar keinginan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan untuk mensejahterakan rakyat, dengan pertimbangan prinsip keberlanjutan, menjaga keserasian dan mencegah adanya kesenjangan baik antar pusat dan daerah, antar desa dan kota maupun antar wilayah/kawasan, menciptakan ruang yang nyaman, aman, produktif dan berkelanjutan, serta berbasis mitigasi bencana untuk meningkatkan keselamatan, kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Hal tersebut dapat direpresentasikan dengan pengaturan sistem pusat pertumbuhan (kota) dan sistem pengembangan wilayah secara merata dan berhierarkis. Berdasarkan landasan undang-undang tersebut, menurut Djakapermana (2010), konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia adalah by legal dan empirikal harus mengikuti kaidah pendekatan yang bersifat gabungan (mixedconcept). Mixed-concept melingkupi adanya struktur ruang yang terdiri dari pusatpusat permukiman sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial secara hierarki (growth pole) sebagai pusat yang akan memberikan penjalaran perkembangan dan jaringan infrastruktur wilayah. Jaringan infrastruktur dapat berupa media/alat untuk menjalarkannya yaitu jaringan transportasi, listrik, telepon, energi dan jaringan sumberdaya air, serta pola ruang yang terdiri dari pengaturan kawasan yang berfungsi lindung serta kawasan budidaya untuk kegiatan yang dapat meningkatkan produktivitas bagi tumbuh dan berkembangnya ekonomi wilayah dan kegiatan sosial. Infrastruktur dan Hierarki Wilayah Perkotaan Definisi infrastruktur sangat beragam dikalangan para ahli. Namun beberapa bahan acuan dapat digunakan untuk menterjemahkan pemahaman mengenai infrastruktur itu sendiri. Menurut Webster's New World Dictionary infrastruktur adalah substructure or underlying foundation on which the continuance and growth of a community or state depends (Soma, 2011b). Dalam kaitannya dengan ekonomi, menurut Macmillan Dictionary of Modern Economics (Pamungkas, 2009), infrastruktur merupakan elemen struktural ekonomi yang memfasilitasi arus barang antara pembeli dan penjual. The Routledge Dictionary of Economics (1995 diacu dalam Radiansyah, 2012), memberikan pengertian yang lebih luas bahwa infrastruktur merupakan pelayanan utama dari suatu negara

20 yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat dalam rangka penyediaan transportasi serta fasilitas pendukung lainnya. World Bank (1994 diacu dalam Laras, 2011) membagi infrastruktur atas 3 (tiga) golongan yaitu : 1. Infastruktur ekonomi, merupakan pembangunan fisik yang menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (telekomunikasi, air bersih, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, irigasi, drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel kereta api, pelabuhan, lapangan terbang). 2. Infrastruktur sosial, merupakan infrastruktur yang mengarah kepada pembangunan manusia dan lingkungannya seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, merupakan infrastruktur dalam bentuk penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Selain itu, Jacob et al. (1999 diacu dalam Pamungkas, 2009), membagi infrastruktur kedalam kategori infrastruktur dasar dan infrastruktur pelengkap, sebagai berikut : 1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure) meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk sektor perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non-tradeable) dan tidak dapat dipisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan dan sebagainya. 2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) berupa sarana dan prasarana penunjang dalam aktivitas ekonomi maupun sosial, diantaranya seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Fungsi dan hierarki kota merupakan tata jenjang yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar komponen pembentuk struktur pemanfaatan ruang. Penentuan fungsi kota pada prinsipnya didasarkan pada komponen pembentuk yang dominan mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi perkotaan, sedangkan hierarki kota adalah hubungan antar kegiatan yang berpengaruh terhadap pola

21 pemanfaatan ruang, dalam skala wilayah yang dikenal dengan sistem kota atau orde kota berdasarkan skala pelayanannya. Perkotaan berperan besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Hal ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tersier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi penduduk. Disisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta berpusatnya berbagai kegiatan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Perkotaan memiliki nilai strategis, tidak hanya sebagai pemusatan penduduk tetapi juga sebagai pusat berbagai fungsi sosial-ekonomi-politik dan administrasi, serta berpotensi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional maupun regional. Perkembangan wilayah perkotaan dapat diukur dari tingkat ketersediaan infrastruktur/fasilitas pelayanan yang ada. Perhitungan jumlah dan jenis sarana dan prasarana pelayanan (infrastruktur) yang ada pada suatu wilayah, dapat digunakan untuk mengukur hierarki perkembangan wilayah (Rustiadi et al., 2009). Teori tempat sentral (central place theory) mengemukakan bahwa dalam penentuan hierarki kota-kota dalam suatu wilayah dapat dilakukan dengan cara meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota (Christaller, 1933 diacu dalam Sinulingga, 1999). Suatu ciri umum dari daerah-daerah nodal menurut Christaller (1933 diacu dalam Sinulingga, 1999) adalah bahwa penduduk kota tidaklah tersebar secara merata diantara pusat-pusat yang sama besarnya, tetapi tersebar diantara pusatpusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu hierarki perkotaan (urban hierarchy). Penyebab dari perkembangan seperti ini adalah kurang efisiennya mensuplai barang-barang dan jasa-jasa tertentu di pusatpusat kecil sedangkan barang-barang dan jasa-jasa lainnya lebih efisien jika disuplai di pusat-pusat yang lebih besar. Menurut teori ini, fungsi-fungsi pokok suatu pusat kota adalah bertindak sebagai pusat pelayanan bagi daerah belakangnya, mensuplai barang-barang dan jasa-jasa sentral seperti jasa-jasa eceran, perdagangan, perbankan, fasilitasfasilitas pendidikan, hiburan dan kebudayaan, serta pelayanan pemerintah kota.

22 Pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya/hierarkinya melayani pusat-pusat yang lebih rendah hierarkinya, dan antara pusat-pusat yang hierarkinya sama tidak saling melayani. Infrastruktur Fisik Infrastruktur Jaringan Jalan Tata ruang kota dapat berkembang menjadi dinamis, karena adanya jaringan jalan. Hal ini serupa dengan pandangan Sinulingga (1999), bahwa jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang membentuk struktur tata ruang kota. Semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung berkaitan dengan jaringan jalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 tahun 1985 tentang jalan, menegaskan bahwa pengadaan jalan diselenggarakan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan yang terkoneksi ke pusat-pusat produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan ke wilayah pemasarannya. Jaringan jalan dibangun secara hierarki dimulai dari jenjang terendah yang bersifat lokal/lingkungan hingga ke jenjang wilayah berhubungan satu dengan lainnya (Rachmawati, 2011). Sebagai komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah, sistem jaringan jalan berperan memperlancar kegiatan aliran barang, orang dan jasa, sehingga secara langsung akan menurunkan biaya produksi (Djakapermana, 2010). Pada gilirannya wilayah akan berkembang secara ekonomis. Breheny (1995 diacu dalam Djakapermana, 2010), mengemukakan bahwa transportasi khususnya jaringan jalan sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan kegiatan ekonomi wilayah. Kegiatan pembangunan transportasi akan mendorong dan mempromosikan kegiatan ekonomi yang kompetitif. Ditinjau dari fungsi kota terhadap wilayah pengembangannya, maka sistem jaringan jalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem primer dan sistem sekunder. Sistem Primer merupakan jaringan jalan yang berkaitan dengan hubungan antar kota. Di dalam kota, sistem primer ini akan terkoneksi dengan fungsi-fungsi kota yang bersifat regional, seperti kawasan industri, perdagangan maupun pelabuhan. Sistem Sekunder, yaitu jaringan jalan yang berkaitan dengan pergerakan lalu lintas yang bersifat hanya di dalam kota. Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang

23 menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder ke satu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Hierarki jaringan jalan sistem primer dan sistem sekunder dapat diklasifikasi berdasarkan fungsi menjadi jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal. Jalan Arteri Berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 1980, jalan arteri berada pada setiap kota yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan agak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Jalan arteri di perkotaan dapat dibagi ke dalam fungsi primer dan fungsi sekunder. Dimensi jalan arteri dengan jalur lambat disajikan pada Gambar 2. Jalan arteri primer menghubungkan kota orde pertama dengan kota orde pertama lainnya yang berdampingan atau kota orde pertama dengan kota orde kedua (PP No.26 tahun 1985). Jalan arteri primer hanya terdapat pada kota orde pertama dan kota orde kedua dari suatu Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Di dalam kota, jalan arteri primer akan melalui fungsi-fungsi kota yang bersifat primer seperti pergudangan, perindustrian, ekspor ataupun pelabuhan. Beberapa persyaratan dari jalan arteri primer adalah sebagai berikut : a. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter. b. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. c. Pada jalan arteri primer, lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang-alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal. d. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien dan didesain sedemikian rupa sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b) masih tetap terpenuhi. e. Persimpangan jalan arteri primer, dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b). f. Jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota.

24 Dalam sistem sekunder maka jaringan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan pusat kota dengan pusat bagian wilayah kota, pusat bagian wilayah kota dengan bagian wilayah kota lainnya serta menghubungkan pusat kota dengan kawasan primer atau kawasan yang berfungsi melayani regional. Sesuai dengan PP No. 26 tahun 1985 persyaratan untuk jalan arteri sekunder adalah : a. Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter. b. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. c. Pada jalana arteri sekunder, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. d. Persimpangan pada jalan arteri sekunder, dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b). Gambar 2. Dimensi Jalan Arteri dengan Jalur Lambat Sumber : Sinulingga (1999) Jalan Kolektor Jalan kolektor merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jalan sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi (UU No.13 tahun 1980). Jaringan jalan ini menghubungkan jalan arteri dengan jalan lokal. Jadi volume lalu lintas dari jalan lokal dikumpulkan oleh jalan kolektor dan dibawa ke jalan arteri dan selanjutnya dibawa ke tempat tujuan. Penampang jalan kolektor di kawasan permukiman disajikan pada Gambar 3.

25 Untuk sistem primer, jalan kolektor primer menghubungkan kota orde kedua dengan kota orde kedua lainnya dan menghubungkan kota orde kedua dan kota orde ketiga. Adapun persyaratan jalan kolektor primer adalah : a. Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter. b. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. c. Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b) masih tetap terpenuhi. d. Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki kota. Pada jaringan jalan sistem sekunder, jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat sub bagian wilayah kota. Persyaratan dari jalan kolektor sekunder ialah didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter. Gambar 3. Penampang Jalan Kolektor Kawasan Permukiman Sumber : Sinulingga (1999) Jalan Lokal Dalam sistem primer hierarki jaringan jalan, jalan lokal primer merupakan jalan yang menghubungkan pusat kota dari orde pertama, orde kedua, dengan persil-persil pada kawasan yang berfungsi regional. Jalan lokal primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan paling kurang 6 meter. Berbeda dengan sistem sekunder, jalan lokal sekunder menghubungkan pusat kota dengan perumahan, pusat bagian wilayah kota dengan perumahan, dan

26 pusat sub bagian wilayah kota dengan perumahan yang terdekat pada masingmasing pusat tersebut. Jalan lokal sekunder dirancang berdasarkan kegiatan rencana paling rendah 10 km/jam dan lebar jalan tidak kurang dari 5 meter. Infrastruktur Air Bersih Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi penduduk kota, sehingga ketersediaannya menentukan derajat kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Pada kenyataannya, keterbatasan penyediaan air bersih erat kaitannya dengan penyebab kemiskinan, karena kemiskinan juga disebabkan oleh masalah kesehatan. Oleh karena itu, penyediaan jaringan air bersih terutama pada permukiman miskin padat penduduk sangat penting untuk ikut memecahkan masalah kemiskinan. Realita di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat miskin yang tidak terjangkau PDAM harus membeli air bersih secara eceran yang harganya jauh lebih mahal dibanding masyarakat yang memperoleh akses air bersih dari PDAM. Untuk dapat dijadikan sebagai air minum, maka air harus memenuhi persyaratan fisik diantaranya ialah tidak memeberi rasa, tidak berwarna, tidak berbau, suhu di antara 20-25 C. Selain itu ada juga persyaratan khusus yaitu kondisi biologi dan kimia, dimana air hanya mengandung kadar besi dan asam arang dalam jumlah tertentu, mengadung soda flour untuk kesehatan gigi, mengandung yodium untuk mencegah gondok, serta tidak boleh mengandung bakteri patogen (penyebab penyakit) (Sinulingga, 1999). Syarat-syarat tersebut diatas haruslah dipenuhi dan apabila air yang tersedia belum dapat memenuhi persyaratan yang ada, maka harus diupayakan melalui suatu proses pengolahan sehingga kualitas air tersebut dapat layak untuk dikonsumsi. Gambar 4 menunjukkan proses pengolahan air. Gambar 4. Bagan Aliran Proses Pengolahan Air Sumber : Sinulingga (1999)

27 Sumber utama air bersih bagi penduduk pedesaan dan perkotaan berbeda. Bagi penduduk pedesaan, air sumber atau air tanah dangkal hanya diperoleh dengan membuat sumur cukup sehat untuk langsung digunakan untuk memasak dan mencuci. Sementara untuk penduduk perkotaan yang padat, air tanah dangkal sudah diragukan kebersihannya karena kemungkinan tercemar septictank dan limbah rumah tangga. Apabila air tanah dangkal sudah tercemar, maka dilakukan upaya pemanfaatan air tanah dalam (aquifer). Air tanah dalam kualitasnya lebih baik dari air tanah dangkal apabila belum terjangkau pencemaran dari lapisan tanah atasnya. Pemompaan air tanah dalam perlu diatur karena berdampak terhadap kestabilan lapisan tanah yang berisi air tersebut. Jika aquifer diambil secara berlebihan dapat berdampak pada penurunan lapisan permukaan tanah atau intrusi air laut ke dalam aquifer tersebut. Air bersih dibutuhkan bagi makhluk hidup sangat bervariasi tergantung pada berat dan besar tubuh, besarnya penguapan, dan cuaca (Soma, 2011a). Menurut Al-Layla (1978 diacu dalam Soma, 2011a), penggunaan air di berbagai kota dan negara sangat bervariasi bergantung pada faktor jumlah penduduk, keadaan cuaca, kebiasaan dan cara hidup, fasilitas perpipaan (plumbing) yang dimiliki oleh pelanggan, sistem air limbah (sewerage) komunal yang tersedia, jumlah industri yang membutuhkan pasokan, serta besarnya pajak yang dikenakan untuk setiap pengambilan air. Standar kebutuhan air untuk kota-kota di Indonesia menurut Departemen Pekerjaan Umum dibedakan berdasarkan kategori kota dan besarnya jumlah penduduk (Soma, 2011a). Hal tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Air untuk Kategori Kota No Kategori Kota Jumlah Penduduk (jiwa) 1. Metropolitan > 1.000.000 2. Kota besar 0,5 1 juta 3. Kota sedang 0,1 0,5 juta 4. Kota kecil 20.000 100.000 5. Semi urban 3.000 20.000 Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (2007) Kebutuhan air (lt/orang/hari) 150 200 120 150 100 120 90 100 60 90 Kebutuhan air bersih di perkotaan perlu ditangani secara massal dalam bentuk penyediaan fasilitas jaringan pipa air minum. Pengelola fasilitas ini umumnya dilakukan oleh Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Pengelola

28 penyediaan air bersih melakukan kegiatan pengambilan bahan baku air, pengolahan air, hingga penyaluran air bersih ke pelanggan. Dari ketiga kegiatan pokok tersebut, sebagian besar PDAM di Indonesia masih menghadapi masalah teknis, manajemen dan institusional. Sumber air baku PDAM sebagian besar mengandalkan air sungai, danau dan mata air. Pengambilan air baku menghadapi masalah teknis ketersediaan air yang terbatas pada musim kemarau. Dalam penggunaan air sungai menghadapi masalah kualitas air yang sudah tercemar berbagai polutan dari buangan limbah rumah tangga maupun industri. Untuk menjaga kualitas dan kuantitas air baku yang berasal dari daerah lain (lintas kabupaten/kota) menghadapi masalah institusional. Tersedianya air baku umumnya tidak saja ditentukan oleh ketersediaannya di dalam wilayah administrasi sendiri, melainkan juga terkait dengan sistem tata air wilayah, seperti DAS atau aliran air tanah dalam (aliran aquifer). Disini terdapat masalah institusional horizontal maupun vertikal. Pengolahan air baku menghadapi kendala teknis kualitas air baku yang rendah dengan teknis penjernihan yang masih konvensional. Hal ini diperberat dengan mahalnya input produksi, serta kemampuan modal dan manajemen keuangan yang lemah. Akibatnya, air jernih yang dihasilkan tidak layak untuk langsung diminum. Perusahan juga kurang mampu memelihara sarana produksi dan perpipaan yang telah disediakan dengan dana proyek (APBD/APBN) sehingga kualitas pelayanan semakin menurun. Demikian pula dalam penyaluran air bersih menghadapi kebocoran (teknis dan keuangan). Dalam penentuan tarif layak tidak diawali dengan efisiensi manajemen intern. Disamping itu, penentuan tarif tidak bersifat independen karena perlu persetujuan DPRD yang kadangkadang mengandung unsur politis. Oleh karena itu, sebagian besar PDAM masih merugi sehingga perlu subsidi dari pemerintah daerah masing-masing (Sadyohutomo, 2008). Menurut Anwar (1992 diacu dalam Kusuma, 2006), permasalahan sumberdaya air sering diperhadapkan pada sumberdaya yang bersifat terbuka (open acces) pada beberapa wilayah. Keadaan demikian akan menimbulkan gejala eksternalitas yang meluas, dimana ada pihak yang menanggung manfaat atau biaya dari proses penggunaan sumberdaya oleh pemiliknya. Oleh karena itu,

29 eksternalitas dapat menimbulkan perbedaan manfaat dan biaya yang dinilai oleh pihak swasta (private) dengan manfaat atau biaya yang dinilai oleh masyarakat (social). Air merupakan sumberdaya alam pokok dan penting dalam pembangunan wilayah. Hal ini mengingat bahwa sumberdaya air berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan sumberdaya lingkungan. Perkembangan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur wilayah secara ekonomi dapat mempengaruhi peningkatan kebutuhan air sehingga berdampak krisis dalam pembangunan wilayah. Infrastruktur Jaringan Listrik Sistem jaringan listrik memiliki berbagai fasilitas yang berfungsi sebagai sarana sistem, kapasitas sistem dan tingkat pelayanan sistem. Untuk itu, interkoneksi antara berbagai sarana sistem tersebut mampu memberikan jaminan tingkat layanan sistem (Rachmawati, 2011). Infrastruktur jaringan listrik terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, meliputi pembangkit, penyaluran (transmisi), dan disitribusi (gardu) (Gambar 5). Gambar 5. Komponen Utama dalam Penyaluran Listrik Sumber : Anonim (2012) Pembangkit listrik adalah bagian dari alat industri yang dipakai untuk memproduksi dan membangkitkan tenaga listrik dari berbagai sumber tenaga. Pembangkit listrik umumnya dapat berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga

30 Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pembangkit merupakan sumber daya listrik dimana hampir semua kota memilikinya. Saluran listrik dari sumber pembangkit tenaga listrik sampai transformator terakhir, sering disebut juga sebagai saluran transmisi. Sementara saluran distribusi atau saluran primer merupakan saluran listrik dari transformator terakhir sampai pada konsumen terakhir. Ada 2 (dua) macam saluran transmisi/distribusi PLN yaitu saluran udara (overhead lines) dan saluran kabel bawah tanah (underground cable). Kedua cara penyaluran tersebut masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Dari segi estetika, saluran bawah tanah lebih disukai dan juga tidak mudah terganggu oleh cuaca buruk misalnya hujan, petir, angin, dan sebagainya, namun saluran bawah tanah jauh lebih mahal dibanding saluran udara, tetapi saluran bawah tanah tidak cocok untuk daerah rawan banjir karena bila terjadi gangguan akan sangat berbahaya. Sistem tenaga listrik yang paling terakhir untuk disalurkan pada pelanggan adalah sistem distribusi (Prihastomo, 2008 diacu dalam Rachmawati, 2011). Sistem distribusi terdiri atas jaringan yang diisi dari sebuah Gardu Induk (GI). Jaringan distribusi GI beroperasi secara tepisah, karena pada umumnya tidak dihubungkan secara listrik dengan jaringan distribusi lain. Sistem distribusi terbagi menjadi Jaringan Tegangan Menengah (JTM) dan Jaringan Tegangan Rendah (JTR). JTM dan JTR beroperasi secara radial. Untuk sistem jaringan baru, jaringan distribusi langsung diisi oleh pusat listrik, karena bebannya relatif rendah sehingga tidak diperlukan sistem transmisi (penyaluran). Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, sistem kelistrikan tumbuh dengan baik, karena pembangunan infrastruktur tersebut telah mampu mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang mencapai pertumbuhan rata-rata 13% per tahun. Dalam kurun waktu 1969-1993, kapasitas pembangkit tenaga listrik nasional meningkat signifikan dari 542 MW menjadi 13.569 MW. Investasi dalam pembangunan fasilitas ketenagaan dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan transmisi sepanjang 6.350 km, gardu induk dengan kapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan tegangan listrik lainnya (Kadin, 2006 diacu dalam Pamungkas, 2009).

31 Meskipun mengalami perkembangan, namun listrik di Indonesia dirasakan masih jauh dari mencukupi. Akses terhadap listrik masih sulit, diperkirakan sekitar 90 juta penduduk, 90% diantaranya adalah masyarakat miskin tidak mendapat akses listrik. Selain itu, biaya sambungan di daerah pedesaan 33% lebih mahal dari pada di perkotaan. Kondisi demikian mengakibatkan tingkat pemasangan listrik di Indonesia masuk dalam kategori rendah se-asia (Pamungkas, 2009). Saat ini Indonesia mengalami kekurangan pasokan listrik. Sejak tahun 1997 hingga 2004, kelistrikan relatif tidak ada penambahan kapasitas baik pada sistem Jamali (Jawa-Madura-Bali) maupun sistem di luar Jamali. Disatu sisi permintaan terhadap listrik terus meningkat, sedangkan investasi pada bidang ini baik melingkupi padat modal maupun teknologi tinggi, memerlukan persiapan dan konstruksi yang lama. Untuk itu penambahan kapasitas listrik nasional menjadi terhambat terutama pasca krisis ekonomi di tahun 1997. Dalam hubungannya dengan peningkatan output, beberapa penelitian menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur listrik memberikan kontribusi dalam perekonomian suatu bangsa. Hasil penelitian Lee dan Anas (2005 diacu dalam Bulohlabna, 2008), menyimpulkan bahwa kekurangan kapasitas listrik menjadi hambatan terbesar pada perkembangan perusahaan yang berujung pada kondisi perekonomian wilayah setempat. Infrastruktur Sistem Drainase Drainase dapat didefinisikan sebagai prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan air dan atau ke bangunan resapan buatan, sementara drainase permukiman adalah drainase di wilayah permukiman yang berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga tidak mengganggu masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi kegiatan kehidupan manusia (Soma, 2011b). Fungsi saluran drainase perkotaan meliputi : a. Mengeringkan bagian wilayah kota yang permukaan lahannya rendah dari genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan infrastruktur kota dan harta benda milik masyarakat.

32 b. Mengalirkan kelebihan air permukaan ke badan air terdekat secepatnya agar tidak membanjiri/menggenangi kota. c. Mengendalikan sebagian air permukaan akibat hujan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air dan kehidupan akuatik. d. Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian air tanah. Saluran drainase merupakan prasarana yang melekat dengan lingkungan permukiman, yang gunanya untuk menjaga agar lingkungan tidak tergenang oleh air hujan. Sistem drainase kota sering juga disebut sistem tulang daun, yaitu terdiri dari saluran utama (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air hujan ke laut, saluran pengumpul (kolektor) dan saluran lokal. Saluran utama terdiri dari sungai-sungai yang melewati kota, dan apabila tidak ada sungai atau jumlahnya tidak mencukupi, maka harus dibuat kanal buatan (yang biasanya hampir menyamai sungai) untuk membawa air hujan ke laut. Saluran utama berfungsi melayani hampir seluruh bagian wilayah kota sehingga kekurangan pada saluran ini akan berdampak sangat luas dari bagian wilayah kota tersebut (Sinulingga, 1999). Selanjutnya saluran pengumpul (colector drain) membawa air menuju sungai (saluran utama), biasanya terdiri dari anak sungai atau saluran buatan terbuka maupun tertutup. Saluran pengumpul tersebut melayani lingkungan permukiman dan diameter salurannya tergantung pada jumlah kapasitas daya tampung debit air hujan. Berdasarkan luasan kota, maka saluran pengumpul dibagi menjadi dua macam, yaitu saluran pengumpul besar (saluran primer) yang langsung menuju sungai dan saluran pengumpul kecil (saluran sekunder) yang mengalirkan airnya menuju saluran pengumpul besar. Saluran yang melayani lingkungan permukiman pada tiap-tiap persil ialah saluran lokal yang dapat berbentuk terbuka ataupun tertutup. Untuk kawasan perdagangan, disarankan untuk membuat saluran yang bersifat tertutup agar tidak mengganggu pergerakan manusia yang cukup sibuk. Untuk merencanakan dimensi masing-masing sistem saluran, diperlukan debit rencana banjir yang akan terjadi, yang ditentukan oleh besarnya curah hujan, karakteristik daerah aliran

33 (topografi) dan koefisien aliran permukaan. Gambar 6 menunjukkan sistem drainase di kawasan perkotaan. Gambar 6. Sistem Drainase Perkotaan Sumber : Soma (2011b) Pada masa Orde Baru, yang ditandai dengan berlakunya Rencana Pembangunan Lima Tahun I-II (Repelita I-II) pada tahun 1696 1979, maka dibentuk Direktorat Teknik Penyehatan di Departemen PU. Penanganan drainase pada masa tersebut, banyak difokuskan kepada bantuan teknis ke Pemerintah Daerah antara lain penyiapan Outline Plan dan detail desain drainase. Bentuk bantuan fisik difokuskan ke arah rehabilitasi saluran yang sifatnya darurat. Selanjutnya pada Repelita III-IV mulai dilakukan penanganan drainase yang cukup komprehensif melalui program-program P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu), sehingga dihasilkan keterpaduan program dengan sektor-sektor lain terutama jalan kota, air limbah dan persampahan. Namun ketika terjadi krisis moneter pada masa Repelita VI (1994 1998) yang menekan keuangan pemerintah, kondisi fisik sarana dan prasarana drainase sangat memprihatinkan terutama berkurangnya perhatian terhadap pemeliharaan rutin berkala. Seiring dengan makin langkanya air baku yang dibutuhkan untuk air minum, paradigma baru penanganan drainase adalah mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air baku dan kehidupan

34 akuatik dengan meresapkan air permukaan tersebut ke dalam tanah (konservasi air). Pergesaran paradigma baru tersebut diberlakukan sejak Repelita V tahun 1989, dimana perencanaan drainase sebagai prasarana perkotaan didasarkan pada konsep pembangunan berwawasan lingkungan (berkelanjutan). Pemanfaatan air hujan dimaksudkan agar air lebih banyak meresap kedalam tanah (maximazing percolation) dan tidak banyak terbuang sebagai aliran permukaan (minimazing run-off), melalui bangunan resapan, kolam tandon, serta penataan lansekap dan sengkedan (Soma, 2011b). Penanganan drainase saat ini menunjukkan kinerja yang masih rendah dibandingkan dengan sub program PLP (Penyehatan Lingkungan Permukiman) lainnya misalnya persampahan dan air limbah. Selama Pelita VI, kinerja penanganan drainase hanya mercapai 43.016 ha atau 49% luas genangan dari sasaran sebanyak 89.485 ha. Saat ini, hanya 43% dari rumah tangga yang mempunyai akses ke saluran drainase, sisanya 57% tidak mempunyai saluran drainase, atau sistem drainase yang ada dalam keadaan tergenang atau alirannya lambat dengan kapasitas aliran yang kurang memadai. Masalah sampah dan kurangnya pemeliharaan saluran juga memperparah keadaan yang ada serta mempercepat kerusakan saluran (Anonim, 2007). Evaluasi ekonomi yang dilakukan Asian Development Bank (ADB) di Indonesia tahun 1999, memperkirakan bahwa biaya sosial yang harus ditanggung dari kondisi kesehatan lingkungan yang buruk di Indonesia melebihi 2,4% dari GDP per tahun (Anonim, 2007). Kesehatan lingkungan yang buruk menyebabkan biaya ekonomi yang lebih tinggi melalui perawatan kesehatan atau kehilangan produktivitas kerja. Dampak sosial lainnya yang muncul adalah tingginya angka kematian bayi dan pengaruh kehidupan keluarga karena hambatan kegiatan pendidikan. Persampahan Menurut Tchobanoglous (1977 diacu dalam Soma, 2010), sampah didefinisikan sebagai semua jenis bahan buangan baik yang berasal dari manusia ataupun binatang yang biasanya berbentuk padat karena dianggap tidak berharga, tidak bernilai dan tidak diinginkan lagi. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)

35 Universitas Indonesia (1989 diacu dalam Nalarsih, 2007) mengemukakan bahwa pada prinsipnya yang digunakan mengenai batasan pengertian sampah adalah : 1. Adanya sesuatu bahan atau benda padat. 2. Adanya hubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan manusia. 3. Bahan atau benda yang sudah tidak disenangi. 4. Bahan atau benda yang dibuang dengan menggunakan cara-cara umum. Menurut Ditjen Cipta Karya (1991), sampah diklasifikasi menjadi 12 jenis, seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Sampah menurut Ditjen Cipta Karya No Sampah Contohnya 1. 2. 3. 4. Basah (garbage) Kering (rubbish) Debu Berbahaya Sisa makanan dan sayuran a. Sampah mudah terbakar; kayu, plastik, kain. b. Sampah tidak mudah terbakar; logam, kaca, keramik Debu (asbes, kapur, semen) dan abu a. Patogen; dari rumah sakit atau klinik b. Beracun; sisa pestisida c. Radioaktif; nuklir d. Mudah meledak; petasan dll. Mobil rusak, kulkas rusak, pohon tumbang. Daun, kertas pembungkus dll. Bangkai kucing, ayam, dll. Potongan kayu, genteng, bata, sisa adukan. Berasal dari kegiatan industri. Surat rahasia negara, rahasia patent dari pabrik. Sisa tulang, kulit, daging, kotoran hewan 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Bulky Waste Jalanan Binatang Mati Bangunan Industri Khusus Kandang/rumah potong hewan 12. Lumpur Lumpur selokan, septictank dll. Sumber : PU-Ditjen Cipta Karya (1991) Pengelolaan sampah di Indonesia menuai kendala dan tantangan semenjak zaman orde baru hingga saat ini. Sejak diluncurkan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) di tahun 1969, sistem sanitasi mulai diperhatikan seperti persampahan dan air limbah. Puncak keberhasilan pembangunan subsektor persampahan berdasarkan The World Bank Report (1992 diacu dalam Soma, 2010) terjadi menjelang tahun 1990, yakni dengan peningkatan cakupan rata-rata pelayanan persampahan di perkotaan yang meningkat mencapai lebih dari 50% dibanding pada Repelita I yakni hanya 15%.

36 Pencapaian layanan persampahan yang digalakkan oleh pemerintah pusat maupun daerah diperhadapkan pada berbagai tantangan berat, khususnya ketika Repelita terhenti yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1997. Data BPS (2000) dan Studi National Action Plan Bidang Persampahan oleh Departemen PU (2004), menunjukkan bahwa tingkat pelayanan persampahan kota menurun cukup tajam hingga mencapai angka 41% pada tahun 1997 (Soma, 2010). Sistem pengelolaannya menjadi permasalahan di kota besar, berdasarkan data BPS tahun 2000, sebanyak 384 kota di Indonesia menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton/hari, sampah yang diangkut ke TPA sebesar 4,2%, dibakar sebesar 37,6%, dibuang ke sungai 4,9% dan tidak tertangani sebesar 53,3% (Rachmawati, 2011). Penurunan cakupan pelayanan persampahan pasca Orde Baru tersebut didasarkan atas adanya kendala (Zulkifli, 2005 diacu dalam Soma, 2010) sebagai berikut : 1. Tingginya pertumbuhan penduduk perkotaan yang tidak sebanding dengan kuantitas dan kualitas pelayanan persampahan. 2. Minimnya dukungan keuangan negara yang diperkirakan hanya mampu membiayai kurang dari 20% kebutuhan infrastruktur perkotaan (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002) 3. Ketidaksesuaian penempatan sumberdaya manusia dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kompetensi yang dimiliki. 4. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang standar kebersihan dan kesehatan serta kurangnya pengetahuan masyarakat akan mahalnya pembiayaan penanganan persampahan. 5. Pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia belum direncanakan dengan konsep optimasi pengaturan ruang pelayanan secara spasial. Tingkat pelayanan pengelolaan sampah meliputi kuantitas dan kualitas pelayanan. Tingkat pelayanan terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu strategi pelayanan, frekuensi pelayanan dan kriteria penentuan kualitas pengelolaan pelayanan.

37 1. Strategi pelayanan Strategi pelayanan adalah mendahulukan pencapaian keseimbangan pelayanan dilihat dari segi kepentingan sanitasi dan ekonomi, serta kuantitas pelayanan maupun kualitas pelayanan. 2. Frekuensi pelayanan Berdasarkan hasil penentuan skala prioritas daerah pelayanan di atas maka frekuensi pelayanan dibagi dalan beberapa kondisi sebagai berikut : a. Wilayah dengan pelayanan intensif yaitu wilayah pusat kota, jalan protokol, taman/hutan kota, kawasan pemukiman tidak teratur dan perdagangan termasuk pasar. b. Wilayah dengan pelayanan menengah yaitu wilayah pemukiman teratur, komplek pendidikan, perkantoran, komplek kesehatan dan industri. c. Wilayah dengan pelayanan rendah yaitu wilayah pinggir kota. 3. Kriteria penentuan kualitas pengelolaan pelayanan. Kriteria untuk menentukan pengelolaan pelayanan adalah sebagai berikut : a. Penggunaan jenis peralatan b. Sampah yang terisolasi dari lingkungan c. Frekuensi pelayanan d. Frekuensi penyapuan jalan e. Estetika f. Tipe kota g. Variasi daerah pelayanan h. Pendapatan dari retribusi sampah i. Timbulan sampah musiman Menurut Rahmadi (1995 diacu dalam Yudiyanto, 2007), teknik operasional pengelolaan sampah dipengaruhi oleh karakteristik wilayah pelayanan, besarnya timbulan sampah, keserasian pola operasi antara subsistem penanganan sampah serta kondisi sosial ekonomi masyarakat. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan berdasarkan acuan SNI-19-2454-2002, terdiri dari kegiatan pewadahan hingga pembuangan akhir sampah harus bersifat terpadu

38 dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Pada Gambar 7 disajikan skema teknik operasional pengelolaan persampahan perkotaan. Timbulan Sampah Pemilahan, Pewadahan dan Pengolahan di Sumber Pengumpulan Pemindahan Pemilahan dan Pengolahan Pengangkutan Pembuangan Akhir Gambar 7. Teknik Operasional Sampah Perkotaan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Infrastruktur sosial dan ekonomi yang dimaksud ialah prasarana dalam menunjang aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Prasarana sosial dapat meliputi prasarana kesehatan, pendidikan, peribadatan, maupun kebudayaan dan rekreasi. Sementara untuk infrastruktur ekonomi dapat melingkupi prasarana niaga dan perdagangan. Standar kebutuhan pelayanan infrastruktur sosial ekonomi dapat diacu berdasarkan SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Prasarana Kesehatan Prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Penyediaan prasarana kesehatan didasarkan pada jumlah penduduk yang akan dilayani. Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733- 2004 adalah sebagai berikut :

39 a. Posyandu yang berfungsi memberikan pelayanan kesehatan untuk anak-anak usia balita; b. Balai pengobatan warga yang berfungsi memberikan pelayanan kepada penduduk dalam bidang kesehatan dengan titik berat terletak pada penyembuhan (curative) tanpa perawatan, dan berobat pada waktu-waktu tertentu juga untuk vaksinasi; c. Balai kesejahteraan ibu dan anak (BKIA/Klinik Bersalin), yang berfungsi melayani ibu baik sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan serta melayani anak usia sampai dengan 6 tahun; d. Puskesmas dan balai pengobatan, yang berfungsi melayani kesehatan tingkat pertama yang memberikan pelayanan kepada penduduk dalam penyembuhan penyakit, selain melaksanakan program pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit di wilayah kerjanya; e. Puskesmas pembantu dan balai pengobatan, yang berfungsi sebagai unit pelayanan kesehatan sederhana yang memberikan pelayanan kesehatan terbatas dan membantu pelaksanaan kegiatan puskesmas dalam lingkup wilayah yang lebih kecil; f. Tempat praktek dokter, merupakan salah satu prasarana yang memberikan pelayanan kesehatan secara individual dan lebih dititikberatkan pada usaha penyembuhan tanpa perawatan; dan g. Apotek, berfungsi untuk melayani penduduk dalam pengadaan obat-obatan, baik untuk penyembuhan maupun pencegahan. Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya diharapkan dapat meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata. Pengembangan prasarana kesehatan, baik secara kuantitas maupun kualitas, akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang merupakan faktor input pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (Wahyuni, 2009).

40 Prasarana Pendidikan Dasar penyediaan prasarana pendidikan adalah untuk melayani setiap unit administrasi pemerintahan baik yang informal (RT, RW) maupun yang formal (Kelurahan, Kecamatan), dengan mempertimbangkan usia anak sekolah yang akan dilayani. Selain itu dasar penyediaan prasarana pendidikan ini juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Hal ini tentunya dapat terkait dengan bentuk grup bangunan/blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya. Penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. Perencanaan prasarana pendidikan harus didasarkan pada tujuan pendidikan yang akan dicapai, dimana prasarana pendidikan dan pembelajaran ini akan menyediakan ruang belajar harus memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta sikap secara optimal. Oleh karena itu dalam merencanakan prasarana pendidikan harus memperhatikan: a. Berapa jumlah anak yang memerlukan fasilitas ini pada area perencanaan; b. Optimasi daya tampung dengan satu shift; c. Efisiensi dan efektifitas kemungkinan pemakaian ruang belajar secara terpadu; d. Pemakaian sarana dan prasarana pendukung; e. Keserasian dan keselarasan dengan konteks setempat terutama dengan berbagai jenis sarana lingkungan lainnya. Prasarana Niaga dan Perdagangan Prasarana niaga dan perdagangan tidak selalu berdiri sendiri dan terpisah dengan bangunan prasarana yang lain. Dasar penyediaan selain berdasarkan jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Hal ini terkait dengan bentukan grup bangunan/blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya. Sementara untuk penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar prasarana tersebut yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu.

41 Menurut skala pelayanan, penggolongan jenis prasarana niaga dan perdagangan adalah: a. Toko/warung (skala pelayanan unit RT 250 penduduk), yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari; b. Pertokoan (skala pelayanan 6.000 penduduk), yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa seperti wartel, fotocopy, dan sebagainya; c. Pusat pertokoan atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit kelurahan 30.000 penduduk), yang menjual keperluan sehari-hari termasuk sayur, daging, ikan, buah-buahan, beras, tepung, bahan-bahan pakaian, barang-barang kelontong, alat-alat pendidikan, alat-alat rumah tangga, serta pelayanan jasa seperti warnet, wartel dan sebagainya; d. Pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kecamatan 120.000 penduduk), yang selain menjual kebutuhan sehari-hari, pakaian, barang kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, reparasi, unitunit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan serta kegiatan niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank, industri kecil dan lain-lain. Infrastruktur Hijau Kota ramah lingkungan (eco-city) merupakan dasar pemikiran yang mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan kota yang seimbang dan berkelanjutan. Misi utama eco-city untuk membangun kota-kota yang ekologis dan seimbang dengan alam. Konsep tersebut menuntut adanya penataan ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur yang mendukung keseimbangan dengan alam dalam prinsip pembangunan berkelanjutan (Roseland, 1997). Dalam Ecocity World Summit 2008 yang berlangsung di San Francisco, konsep kota ramah lingkungan (eco-city) dirumuskan sebagai solusi atas pemanasan global, urbanisasi dan semakin langkanya sumberdaya yang akan terjadi di masa mendatang. Konsep kota ramah lingkungan di negara-negara maju telah dikenal dengan penataan infrastruktur berbasis lingkungan yang sehat atau disebut juga dengan istilah infrastruktur hijau (green infrastructure). Konsep pembangunan

42 infrastruktur hijau mulai menjadi tren di negara-negara maju pada abad 21 ini, dimana perencanaan konservasi menjadi salah satu tujuan utama pembangunan. Di Indonesia, konsep tersebut saat ini diimplementasikan dengan mengelola kawasan terbuka hijau (Herwirawan, 2009). Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam. Jadi RTH dapat didefinisikan sebagai ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut, diantaranya faktor kenyamanan, keamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Tujuan pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah perkotaan adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan dan menciptakan kota yang sehat, layak huni dan berkelanjutan. Sementara untuk fungsi RTH meliputi konservasi tanah dan air, ameliorasi iklim, pengendali pencemaran, konservasi habitat satwa dan plasma nutfah, sarana kesehatan dan olahraga, sarana rekreasi dan wisata, sarana pendidikan dan penyuluhan, area evakuasi bencana, pengendali tata ruang kota dan estetika kota (Joga dan Ismaun, 2011). Kondisi RTH di kota-kota Indonesia belum dapat mencapai standar minimum dalam penyediaannya yaitu sebesar 30% dari total luas wilayah kota. RTH rata-rata di hampir kawasan perkotaan, baik dalam kategori kota megapolitan ataupun kota kecil hanya 12,69%. Kota Jakarta sebagai kota megapolitan dan pusat ibukota negara, hanya mampu menyediakan RTH 9,8% (2011) yang masih jauh dari angka idealnya. Sementara di kota-kota besar lainnya misalnya Yogyakarta hanya memiliki RTH 17,17%, Semarang 16,64%, Medan 15,89%, Makassar 11,23%, Bandung 10,58%, dan kota Surabaya yang memiliki luasan RTH paling sedikit yaitu 9% (KemenPU, 2011 diacu dalam Joga, 2011). Namun sebenarnya konsep green infrastructure memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan ruang terbuka hijau. Secara keseluruhan, infrastruktur hijau adalah sistem jaringan holistik ekologis, yang terdiri dari satu set vegetasi

43 alami, danau dan daerah lain dengan nilai ekologis yang dikenal atau potensial (yaitu hub) dan kemudian dihubungkan oleh koridor atau link (Chang et al., 2012). Sebuah jaringan keseluruhan infrastruktur hijau dapat digunakan untuk menginformasikan keputusan konservasi yang berhubungan dengan penggunaan lahan, jika dua bagian utama dari hub dan link yang secara proaktif diidentifikasi, direncanakan dan dikelola sebelum pengembangan terutama di kota, dimana pertumbuhan kota telah mengubah bahkan mengurangi kualitas dan kuantitas ruang hijau secara luas. Menurut Benedict dan McMahon (2002) infrastruktur hijau merupakan hubungan interkoneksi dari ruang terbuka yang melindungi fungsi dan nila-nilai ekosistem alam dan memberikan keuntungan bagi makhluk hidup. Jadi infrastruktur hijau merupakan kerangka dasar ekologi yang dibutuhkan untuk keberlanjutan sistem lingkungan, sosial dan ekonomi, atau dapat dikatakan sebagai sistem kehidupan alami yang berkelanjutan. Green infrastructure terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link dan site. Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan menyediakan komponen ekosistem alam. Hubs terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran seperti daerah perlindungan, hutan lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links disisi lain merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs tersebut. Links dapat berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk hijau (green belt) maupun jaringan jalan. Green infrastructure juga dibekali dengan sites yang lebih kecil dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site pada kenyataannya dapat berupa taman ataupun ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun kawasan rekreasi atau tempat wisata alam. Jaringan infrastruktur hijau disajikan pada Gambar 8.

44 Gambar 8. Jaringan Infrastruktur Hijau Sumber : Anonim (2010) Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju bunuh diri ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi dari pada dimensi ekologis. Lingkungan alami dikonversi menjadi lingkungan binaan tanpa mempertimbangkan aspek ekologis. Pembangunan struktur fisik kota tumbuh lebih cepat dibadingkan dengan pengembangan struktur alami kota yang kian mengalami kemunduran. Struktur alami sebagai tulang punggung RTH harus dilihat sebagai aset, potensi dan investasi kota jangka panjang yang memiliki nilai ekologis, sosial, ekonomi, edukatif, evakuasi dan estetis. Bencana ekologis yang marak terjadi dewasa ini seperti banjir, longsor, krisis air tanah, peningkatan suhu di wilayah perkotaan, pemanasan bumi, serta perubahan iklim, pada umumnya disebabkan oleh dampak pembangunan kota yang kurang mempertimbangkan aspek ekologis (Joga dan Ismaun, 2011). Kecenderungan perencanaan wilayah dengan menggunakan pendekatan green infrastructure menurut Manuwoto (2011), didasarkan pada beberapa hal, diantaranya adalah masalah fragmentasi lansekap dan pertumbuhan wilayah kumuh, masalah sumberdaya air, perlindungan terhadap spesies langka, kesehatan masyarakat, meningkatnya nilai jual hunian dan permukiman di kawasan sekitar kawasan hijau, revitalisasi kawasan perkotaan yang menekankan kawasan alami di dalam kota, smart growth policies, serta upaya pembangunan yang didasarkan

45 pada sustainability baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Perkembangan infrastruktur hijau dapat menjadi solusi dari kompleksitas pembangunan ekonomi yang semakin maju yang menuntut adanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Suhono, 2008). Prinsip green infrastructure menurut Benedict dan McMahon (2002 diacu dalam Manuwoto, 2011) yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk menggabungkan pendekatan infrastruktur hijau menjadi penggunaan lahan, rencana pembangunan ekonomi dan kebijakan adalah sebagai berikut: 1. Infrastruktur hijau harus berfungsi sebagai kerangka kerja untuk konservasi dan pembangunan. 2. Desain dan rencana infrastruktur hijau sebelum pembangunan. 3. Linkage menjadi kunci antara wilayah ekologis maupun antara berbagai lembaga 4. Infrastruktur hijau berfungsi di seluruh wilayah hukum dan pada skala yang berbeda. 5. Infrastruktur hijau didasarkan pada ilmu yang tepat dan teori perencanaan penggunaan lahan dan prakteknya. 6. Infrastruktur hijau adalah investasi publik yang sangat penting. 7. Infrastruktur hijau melibatkan mitra kunci serta melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) yang beragam. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 telah diamanatkan tentang proporsi luas RTH minimal 30% dari luas wilayah kota yang terdiri atas RTH Publik 20% (dikelola oleh pemerintah daerah) dan RTH privat 10% (dimiliki masyarakat dan swasta). Luas RTH minimal 30% bertujuan untuk menyeimbangkan ekosistem kota, baik sistem hidrologi, klimatologi untuk menjamin udara bersih, maupun sistem ekologis lainnya, termasuk menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan estetika kota. Undang-undang tersebut telah mengakomodasi pembangunan kota yang tetap mempertimbangkan fungsi kelestarian lingkungan (ekologis) atau pembangunan kota berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Ternate yang merupakan salah satu kota di Propinsi Maluku Utara. Secara administratif, Kota Ternate berada pada 0 2 LU dan 126 128 BT, yang terdiri dari 4 (empat) pulau berpenghuni yaitu Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulau Moti dan Pulau Batangdua. Lokasi penelitian dibatasi pada kawasan reklamasi pantai yang berada di Pulau Ternate. Kota Ternate (khususnya Pulau Ternate) memiliki 2 kecamatan di pesisir timur dan selatan yang tepat berada di kawasan waterfront, yaitu Kecamatan Kota Ternate Utara dan Kecamatan Kota Ternate Tengah (Gambar 9). Luas wilayah Kota Ternate adalah 5.795,40 km 2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut. Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga bulan Oktober 2012. Gambar 9. Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) RTRW dan RDTR Kota Ternate, (2) Peta Digital Rupabumi Indonesia (RBI) dengan NLP 2516-64, (3) Citra Satelit GeoEye tahun 2001 dan citra Quickbird tahun 2010, (4) Dokumen Perencanan Infrastruktur Kementerian PU, (5) Data tabular BPS, (6) Data Potensi

47 Desa (PODES) dan (7) Kuesioner. Alat yang digunakan adalah perangkat komputer berserta software Microsoft Office, Microsoft Exel, ArcGIS 9.3, Global Position System (GPS), dan kamera digital. Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei di kawasan waterfront, kuesioner dan wawancara terkait dengan ketersediaan infrastruktur dan waterfront. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait diantaranya data tabular BPS, dokumen perencanaan infrastruktur, peta dasar dan citra satelit, RTRW dan RDTR. Jenis data, sumber data, teknik analisis, serta hasil yang akan dicapai disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Hasil Peta RBI BAKOSURTANAL SIG Citra Satelit Google Earth Peta Administrasi BAPPEDA 1. Pemetaan perubahan spasial kota 2. Analisis hierarki wilayah 3. Pemetaan ketersediaan infrastruktur di kota Ternate Pengamatan Lapang Potensi Desa (PODES) Peta Tematik Ketersediaan infrastruktur Batas Administrasi Kota Ternate Dalam Angka Data Tabular Infrastruktur SNI Infrastruktur Primer Peta perubahan garis pantai di kawasan waterfront Peta penggunaan lahan kawasan waterfront Peta perubahan penggunaan lahan BPS Skalogram Hierarki wilayah berdasarkan jumlah ketersediaan infrastruktur PU BAPPEDA BPS PU, PDAM, PLN, Dinas Tata Kota SIG Analisis Deskriptif Peta sebaran dan ketersediaan infrastruktur di kota Ternate 4. Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032 5. Penentuan arahan strategi penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront Pengamatan Lapang Jumlah Penduduk SNI Infrastruktur Primer BPS PU Regresi Linear Prediksi Kebutuahn Infrastruktur untuk perencanaan infrastruktur perkotaan hingga tahun 2032 kuesioner AHP Persepsi stakeholder untuk arahan strategi penataan dan pengelolaan infrastruktur

48 Metode Analisis Data Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Analisis Perubahan Garis Pantai Pengembangan kawasan waterfront di pesisir timur dan selatan kota Ternate menyebabkan terjadinya perubahan spasial kawasan pesisir. Salah satu parameter yang dapat diukur adalah perubahan garis pantai karena adanya rekayasa teknis reklamasi pantai untuk penambahan luas daratan. Penentuan perubahan garis pantai dilakukan dengan cara tracking sepanjang garis pantai dengan menggunakan GPS (Global Position System) dan pengolahan data citra Quickbird dan GeoEye pada dua titik tahun (akuisisi citra tahun 2001 dan tahun 2010) dengan menggunakan tools Sistem Informasi Geografis (SIG). Pengolahan data citra dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu pertama, koreksi geometri dengan sistem UTM (Universal Transverse Mercator) karena daerah penelitian relatif kecil dan kedua, delineasi garis pantai secaran visual di kawasan waterfront untuk memisahkan kawasan darat dan laut. Hasil pengolahan citra tersebut kemudian ditumpang-susunkan atau overlay (data citra tahun 2001 dan tahun 2010) untuk mendapatkan peta perubahan garis pantai. Selanjutnya analisis SIG digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan di kawasan waterfront. Analisis menggunakan citra Quickbird tahun 2010 dengan cara digitasi secara visual. Hasil analisis berupa peta kondisi eksisting penggunaan lahan kawasan waterfront. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Analisis penggunaan lahan dalam dua titik tahun (tahun 2004 dan tahun 2010) dilakukan untuk membandingkan penggunaan lahan sebelum dan sesudah pengembangan kawasan waterfront. Analisis ini menggunakan data citra satelit dengan resolusi tinggi yaitu citra Quickbird dan citra GeoEye. Analisis citra dilakukan dengan menggunakan alat analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). Pengolahan data citra dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu pertama, koreksi geometri meliputi penyiapan data dengan pengambilan titik kontrol di bumi antara citra dengan peta; penentuan titik kontrol dilakukan dengan sistem UTM (Universal Transverse Mercator) dan kedua, digitasi visual yang didasarkan pada warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan dan asosiasi spasial. Citra

49 resolusi tinggi memiliki kenampakan visual yang dapat membedakan antara objek satu dengan objek lainnya sehingga memudahkan dalam interpretasi tutupan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan ditetapkan menjadi 2 kelompok, yaitu lahan terbangun (permukiman, jasa dan perdagangan, dan kawasan industri) dan lahan tidak terbangun (hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, taman dan tubuh air). Analisis deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara tumpang susun (overlay) peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010. Hasil analisis berupa peta perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya data atribut dari peta tersebut digunakan untuk analisis perubahan luas penggunaan lahan dengan menggunakan matriks transisi. Analisis Sebaran dan Ketersediaan Infrastruktur Analisis SIG juga digunakan untuk menganalisis sebaran dan ketersediaan infrastruktur di kota Ternate. Penentuan sebaran dan ketersediaan infrastruktur dilakukan dengan cara on screen digitizer dan hasilnya berupa peta eksisting sebaran dan ketersediaan infrastruktur masing-masing unit kecamatan. Peta tersebut dimanfaatkan untuk mengidentifikasi radius pelayanan infrastruktur dalam hal akses pencapaian. Gambar 10 menunjukkan bagan alir penelitian dengan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). Survei Lapang Citra Satelit GeoEye tahun 2001 Quickbird tahun 2010 Citra Satelit GeoEye tahun 2004 Quickbird tahun 2010 Sistem Informasi Geografis (SIG) Survei Lapang Peta Administrasi Citra Quickbird 2010 Peta Tematik Infrastruktur Peta Perubahan Garis Pantai Peta Perubahan Penggunaan Lahan Peta Penggunaan Lahan Kawasan waterfront Peta Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Gambar 10. Bagan Alir Penelitian

50 Analisis Hierarki Wilayah dengan Skalogram Salah satu cara untuk mengukur hierarki wilayah secara cepat dan mudah adalah menggunakan metode skalogram. Pada prinsipnya suatu wilayah yang berkembang secara ekonomi dicirikan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana serta tingkat aksesibilitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki rangking tertinggi adalah lokasi yang dapat menjadi pusat pelayanan. Berdasarkan analisis ini dapat ditentukan prioritas pengadaan infrastruktur atau sarana dan prasarana di setiap unit wilayah yang dianalisis dan tingkat perkembangan wilayahnya. Data yang digunakan dalam metode skalogram meliputi data umum wilayah, aksesibilitas ke pusat pelayanan, keadaan perekonomian wilayah yang ditunjukkan oleh aktifitas masyarakat yang ada di wilayah tersebut, dan data tentang fasilitas umum yang meliputi data jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, komunikasi dan jenis data penunjang lainnya. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel-variabel yang telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan tujuan penelitian yang berkaitan dengan infrastruktur dan waterfront city. Beberapa variabel yang digunakan adalah variabel yang bersumber dari hasil penelitian Gustiani (2005), yang sebelumnya menggunakan 33 variabel (variabel aksesibilitas dan variabel infrastruktur sosial ekonomi) untuk menentukan hierarki wilayah pesisir. Variabel yang digunakan dalam metode skalogram disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah No Variabel 1. Jumlah penduduk 2. Luas desa/kelurahan 3. Jarak dari desa ke ibukota kecamatan 4. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kecamatan 5. Jarak dari desa ke ibukota kabupaten 6. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten 7. Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat 8. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat 9. Jumlah TK 10. Jumlah SD 11. Jumlah SLTP 12. Jumlah SMU/SMK 13. Jumlah Perguruan Tinggi (PT) 14. Jumlah Rumah Sakit Umum

51 Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah (Lanjutan) No Variabel 15. Jumlah Rumah Sakit Bersalin 16. Jumlah Puskesmas 17. Jumlah Tempat Praktek Dokter 18. Jumlah Apotek 19. Jumlah Terminal Penumpang Kendaraana Bermotor Roda 4 atau Lebih 20. Jumlah Wartel/Kiospon/Warpostel/Warparpostel 21. Jumlah Kios Sarana Produksi Pertanian 22. Jumlah industri UKM 23. Jumlah Supermarket/ pasar swalayan/toserba/ minimarket 24. Jumlah Restoran/rumah makan 25. Jumlah Toko/Warung kelontong 26. Jumlah Hotel 27. Jumlah Bank Umum (Kantor Pusat/Cabang/Capem) 28. Jumlah Bank Perkreditan Rakyat 29. Jumlah Koperasi 30. Jumlah KUD 31. Jumlah Koperasi Simpan Pinjam 32. Jumlah Koperasi Non KUD lainnya 33. Jumlah Keluarga yang menggunakan listrik PLN 34. Jumlah Keluarga yang menggunakan air bersih PDAM 35. Jumlah Sarana Ibadah Selanjutnya terhadap masing-masing data atau variabel dilakukan pembobotan dan standarisasi. Struktur pusat pelayanan dalam wilayah dinilai berdasarkan indeks perkembangan wilayah tersebut. Setiap wilayah diurutkan hierarkinya berdasarkan akumulasi dari prasarana yang ada di wilayah tersebut setelah dilakukan pembobotan dan standarisasi. Wilayah dengan tingkat hierarki yang terbesar merupakan wilayah yang memiliki ketersediaan prasarana terlengkap, demikian seterusnya hingga urutan hierarki terkecil atau merupakan pusat pelayanan bagi wilayah yang hierarki wilayahnya lebih rendah. Urutan hierarki yang diperoleh kemudian dikelompokan lagi menurut selang hierarki. Nilai indeks perkembangan (IP) masing-masing unit kelurahan/desa selanjutnya dikelompokan lagi untuk menentukan hierarki kelurahan/desa yaitu hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2 dan hierarki 3 (hinterland). Penentuan pengelompokan menggunakan selang hierarki berdasarkan nilai standar deviasi IP dan nilai rataan dari IP. Hierarki 1 adalah nilai rata-rata ditambah dengan standar deviasi, hierarki 2 adalah nilai yang berada diantara nilai hierarki 1 dan 3, sedangkan hierarki 3 adalah nilai rata-rata standar deviasi.

52 Analisis Ketersediaan Infrastruktur Identifikasi ketersediaan infrastruktur menggunakan data tabular, kemudian dibandingkan dengan standar/pedoman kebutuhan infrastruktur berdasarkan ketetapan dari Kementrian Pekerjaan Umum. Jumlah penduduk dan akses pencapaian digunakan sebagai parameter untuk perhitungan ratio jumlah dan sebaran infrastruktur dengan kebutuhan masyarakat pada masing-masing kecamatan. Data yang digunakan merupakan data tabular ketersediaan infrastruktur eksisting (tahun 2010 atau 2011). Hasil analisis diinterpretasikan sebagai kondisi ketersediaan infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi dan infrastruktur hijau sesudah pengembangan kawasan waterfront. Infrastruktur Fisik a. Jaringan Jalan Infrastruktur jalan memiliki peran penting sebagai media pergerakan manusia maupun kendaraan dari satu tempat ke tempat lainnya, serta sebagai akses pelayanan. Jalan perkotaan dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsinya, yaitu jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal/lingkungan sebagaimana termuat dalam Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990. Tabel 5. Klasifikasi Jalan Perkotaan Sistem Dimensi dari Elemen-Elemen Jalan Jaringan Jalan Perkotaan Jalur (m) Bahu (m) Trotoar (m) Separator (m) Median (m) Arteri Primer 6.0-7.0 1.0 2.0 1.5 2.5 Kolektor Primer 5.0-6.0 1.0 1.5 1.0 1.5 Lokal Primer 4.5-5.0 0.7 1.5 - - Arteri Sekunder Kendaraan yang diizinkan Mobil, motor, kendaraan umum bus, angkutan barang berat Mobil, motor, bus, angkutan barang berat Mobil, motor, bus, kendaraan angkutan barang Mobil, motor, bus, angkutan 6.0-7.0 1.0 2.0 1.0 2.0 barang ringan, Kolektor Mobil, motor, 5.0-6.5 1.0 2.0 1.0 1.5 Sekunder bus Lokal 3.0-4.5 0.5 2.0 - - Mobil, motor, Sekunder Sumber : Panduan Klasifikasi Jalan Perkotaan No.010/T/BNKT/1990 (diolah)

53 Evaluasi ketersediaan jaringan jalan di Kota Ternate dianalisis dengan data jalan dalam deret waktu (time series) untuk mengetahui tingkat perkembangan jaringan jalan yang ada. Selain itu parameter kerapatan jalan juga dianalisis guna mengidentifikasi kecamatan-kecamatan mana yang memiliki tingkat kerapatan jalan tinggi dalam penyediaan infrastruktur jalan. Kondisi eksisting ketersediaan jalan saat ini dibandingkan dengan pedoman pada Tabel 5, untuk menunjukkan kesesuaian kondisi jaringan jalan berdasarkan standar/pedoman tersebut. b. Jaringan Listrik Penyediaan infrastruktur jaringan listrik perkotaan meliputi pembangkit, gardu dan jaringan kabel. Umumnya setiap kota memiliki pembangkit sebagai sumberdaya listrik misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) maupun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Penelitian ini difokuskan untuk evaluasi distribusi daya listrik yang disebarkan melalui gardu listrik yaitu: gardu tiang/portal, gardu tembok/beton, gardu cantol atau gardu kios, dan jaringan kabel yang ada di Kota Ternate. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan sarana dan prasarana listrik di Kota Ternate. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi cakupan pelayanan (jumlah pelanggan/penduduk yang terlayani) jaringan listrik berdasarkan SNI 03-1733- 2004. Data yang digunakan meliputi data tabular dalam deret waktu (time series), sehingga dapat mengetahui perkembangan cakupan pelayanan jaringan listrik sesudah pengembangan kawasan waterfront. Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan listrik yang harus disediakan pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah: a) kebutuhan daya listrik; dan b) jaringan listrik. Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan sarana dan prasarana listrik yang harus dipenuhi berdasarkan SNI 03-1733-2004 adalah: a) Penyediaan kebutuhan daya listrik 1) Setiap lingkungan perumahan harus mendapatkan daya listrik dari PLN atau dari sumber lain; dan

54 2) Setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlah kebutuhan rumah tangga. b) Penyediaan jaringan listrik 1) Penyediaan jaringan listrik lingkungan mengikuti hierarki pelayanan, dimana besar pasokannya telah diprediksikan berdasarkan jumlah unit hunian yang mengisi blok siap bangun; 2) Penyediaan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan pada area damija (daerah milik jalan) pada sisi jalur hijau yang tidak menghalangi sirkulasi pejalan kaki di trotoar; 3) Penyediaan gardu listrik untuk setiap 200 KVA daya listrik ditempatkan pada lahan yang bebas dari kegiatan umum; 4) Penerangan jalan yang disyaratkan memiliki kuat penerangan 500 lux dengan tinggi >5 meter dari muka tanah; 5) Daerah di bawah tegangan tinggi sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk tempat tinggal atau kegiatan lain yang bersifat permanen karena akan membahayakan keselamatan. c. Air Bersih Data lokasi sumber air bersih diambil dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS), wawancara dan observasi. Analisis deskriptif digunakan untuk identifikasi ketersediaan pelayanan instalasi air bersih pada sarana publik misalnya pasar, pertokoan/mall, dan mesjid maupun terhadap kebutuhan untuk rumah penduduk. Hasil analisis dibandingkan dengan SNI-03-1733-2004 dan standar kebutuhan air bersih dari PDAM sebagai bahan acuan (Tabel 6).

55 Tabel 6. Kebutuhan Air Domestik dan Non Domestik Perkotaan Jenis Sarana Kebutuhan Rumah Tangga Sekolah 100 lt/org/hari 10 1t/murid/hari Rumah sakit 200 lt/tempat tidur/hari Puskesmas 2 m 3 /hari Mesjid 2 m 3 /hari Kantor 10 1t/pegawai/hari Pasar 12 m 3 /ha/hari Hotel 150 1t/tempat tidur/hari Rumah makan 100 1t/tempat duduk/hari Kompleks militer 60 1t/orang/hari Kawasan industri 0,2-0,8 lt/dt/ha Kawasan pariwisata 0,1-0,3 lt/dt/ha Sumber : PDAM Kota Ternate (2007) d. Drainase Sistem drainase merupakan rangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tersebut tidak terganggu. Analisis ketersediaan sistem drainase perkotaan dilakukan dengan identifikasi jenis saluran yang terlayani pada masing-masing kecamatan. Hasil analisis data di lapang dikomparasikan dengan SNI 02-2406-1991 tentang Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Pekotaan (Tabel 7) dan Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No.008/T/BNKT/1990. Tabel 7. Bagian Jaringan Drainase Jenis Sarana Prasarana Badan Penerima Air Sumber air di permukaan tanah (laut, sungai, danau) Sumber air di bawah permukaan tanah (air tanah akuifer) Bangunan pelengkap Pertemuan saluran Bangunan terjun Jembatan Street inlet Pompa Pintu air Sumber : SNI 02-2406-1991 e. Sampah Pengelolaan sampah menurut Tchobanoglous (1997 diacu dalam Soma, 2010) dapat dikelompokan kedalam 6 (enam) elemen terpisah yaitu :

56 1. Pengendalian bangkitan (control of generation) 2. Penyimpanan (storage) 3. Pengumpulan (collection) 4. Pemindahan dan pengangkutan (transfer and transport) 5. Pemrosesan (processing) 6. Pembuangan (disposal) Keterkaitan antar elemen-elemen tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan sampah. Untuk mewujudkan efisiensi dalam pengelolaan sampah, maka setiap elemen harus dikelola secara optimal dengan tetap mempertimbangkan faktor kendala misalnya teknologi, biaya, pendidikan maupun perilaku masyarakat (Soma, 2010). Identifikasi sistem pengelolaan sampah dalam penelitian ini meliputi perilaku pembuangan sampah, timbulan sampah (sumber dan tipe sampah), pewadahan sampah, frekuensi pelayanan kebersihan (pengumpulan), proses pemindahan dan pengangkutan sampah, serta pembuangan akhir (TPA). Analisis deskriptif digunakan untuk meninjau sistem persampahan rumah tangga dalam unit masing-masing kecamatan. Pedoman standar yang digunakan sebagai acuan adalah SNI 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan dan SNI 19-3983-1995 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil dan Sedang di Indonesia (Tabel 8). Tabel 8. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber Sampah Komponen Sumber Sampah Satuan Volume (liter) Berat (kg) Rumah permanen per org/hari 2,25-2,50 0,350-0,400 Rumah semi permanen per org/hari 2,00-2,25 0,300-0,350 Rumah non permanen per org/hari 1,75-2,00 0,250-0,300 Kantor per pegawai/hari 0,50-0,75 0,025-0,100 Toko/ruko per petugas/hari 2,50-3,00 0,150-0,350 Sekolah per murud/hari 0,10-0,15 0,010-0,020 Jalan arteri sekunder per meter/hari 0,10-0,15 0,020-0,100 Jalan kolekter sekunder per meter/hari 0,10-0,15 0,010-0,050 Jalan lokal per meter/hari 0,05-0,10 0,005-0,025 Pasar per meter 2 /hari 0,20-0,60 0,100-0,300 Sumber: SNI 19-3983-1995

57 Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Penyediaan infrastruktur sosial dan ekonomi berdasarkan jumlah penduduk terlayani, radius area layanan terkait dengan kebutuhan pelayanan yang harus dipenuhi. Standar kebutuhan dan pelayanan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi mengacu pada SNI-03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan (Tabel 9). Analisis deskriptif digunakan untuk evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi dengan cara tabulasi, perhitungan dan penyajian dalam bentuk angka. Tabel 9. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Sosial dan Ekonomi Jenis Sarana & Prasarana Jumlah Penduduk Pendukung (jiwa) Kebutuhan per satuan sarana Luas Luas Lantai Lahan Min. Min. (m 2 ) (m 2 ) Standar (m 2 /jiwa) Radius (m ) Kriteria Lokasi dan Penyelesaian Pertokoan 6.000 1.200 3.000 0,5 2.000 Di pusat kegiatan sub lingkungan. KDB 40% dapat berbentuk P&D Pusat Pertokoan + Pasar Lingkungan Pusat Perbelanjaan dan Niaga (toko + pasar + bank + kantor) Mesjid (Kecamatan) Gedung Serbaguna Gedung Bioskop Terminal wilayah (tiap kecamatan) 30.000 13.500 10.000 0,33 Dapat dijangkau dengan kendaraan umum 120.000 36.000 36.000 0,3 Terletak di jalan utama, termasuk sarana parkir sesuai ketentuan setempat 120.000 3.600 5.400 0,03 Berdekatan dengan pusat lingkungan/ kelurahan. Sebagian sarana berlantai 2, KDB 40% 120.000 1.500 3.000 0,025 100 Dapat dijangkau dengan kendaraan umum 120.000 1.000 2.000 0,017 100 Terletak di jalan utama, dapat merupakan bagian dari pusat perbelanjaan 120.000 2.000 jarak jangkauan pejalan kaki ideal ke titik transit lain /daerah tujuan = 400m Sumber: SNI 03-1733-2004 (diolah)

58 Infrastruktur Hijau Infrastruktur hijau (green infrastructure) merupakan konsep pengembangan kota ekologis (eco-city) atau seimbang dengan alam dan berkelanjutan. Pendekatan konsep infrastruktur hijau menurut Jongman dan Pungetti (2004 diacu dalam Herwirawan, 2009) adalah hubungan multi fungsi antar kawasan terbuka termasuk taman, kebun, areal tanaman hutan, koridor hijau, saluran air, pohon-pohon di sepanjang jalan, dan daerah terbuka lainnya serta kondisi fisik lingkungan di pedesaan maupun perkotaan. Dalam penelitian ini, analisis kapasitas pemenuhan infrastruktur hijau dimaksudkan untuk evaluasi karakteristik dan standar penyediaan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Ternate. Berdasarkan Undang-Undang No.26 Tahun 2007, Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam. Ketentuan UU No. 26/2007 menyatakan bahwa penyediaan RTH 30%, terdiri dari RTH publik di kawasan perkotaan minimal 20% dan RTH privat minimal 10% dari luas wilayah kota. Dalam kasus ini, kondisi eksisting ketersediaan RTH tiap kecamatan di Kota Ternate (kecamatankecamatan yang berada di pusat kota) dikomparasikan dengan ketentuan UU No.26/2007 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (Tabel 10). Tabel 10. Fungsi dan Penerapan RTH Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan Tipologi Kawasan Karakteristik RTH Perkotaan Fungsi Utama Penerapan Kebutuhan RTH Pantai Pengaman wilayah pantai Sosial budaya Mitigasi bencana Berdasarkan luas wilayah Berdasarkan fungsi tertentu Pegunungan Konservasi tanah Konservasi air Keanekaragaman hayati Berdasarkan luas wilayah Berdasarkan fungsi tertentu Rawan Bencana Mitigasi/evakuasi bencana Berdasarkan fungsi tertentu Berpenduduk jarang sampai sedang Dasar perencanaan kawasan Sosial Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan jumlah penduduk Berpenduduk padat Ekologis Sosial Hidrologis Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan jumlah penduduk Sumber : PERMEN PU No.05/PRT/M/2008

59 Analisis Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032 Prediksi kebutuhan infrastruktur dimaksudkan untuk membantu merencanakan sistem penyediaan infrastruktur di masa mendatang. Analisis prediksi kebutuhan infrastruktur diantaranya adalah air bersih, listrik, sampah, sarana kesehatan serta niaga dan perdagangan. Analisis ini menggunakan parameter jumlah penduduk dalam 20 tahun kedepan (hingga tahun 2032) untuk menentukan besarnya kebutuhan infrastruktur yang harus disediakan di suatu wilayah. Metode proyeksi penduduk dapat dibagi atas proyeksi secara global, proyeksi secara kategorik dan proyeksi menurut lokasi (distribusi menurut lokasi (Tarigan, 2006). Dalam studi kasus ini, metode yang digunakan adalah proyeksi global dimana semua penduduk dianggap memiliki karakteristik yang sama (hanya jumlah penduduk yang diproyeksi). Proyeksi secara global menggunakan metode regresi linear dengan persamaan sebagai berikut : Linear Regression a dan b dapat dihitung : Y = a + bx Pt = a + bx b Dimana: Pt = Penduduk pada tahun t a = Konstanta b = Arah garis X = variabel independen (jumlah penduduk) Analisis Persepsi Stakeholders dengan Analitycal Hierarchy Process (AHP) Setelah pengembangan kawasan waterfront masih menyisahkan beberapa permasalahan dalam penataan maupun pengelolaan infrastruktur. Untuk dapat menangani permasalahan tersebut, maka diperlukan integrasi antara stakeholder untuk dapat merumuskan kebijakan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Stakeholder yang dipilih terkait langsung dengan bidang infrastruktur, diantaranya adalah instansi pemerintah (BAPPEDA Kota Ternate,

60 Dinas Tata Kota, dan Dinas PU), pihak swasta (konsultan perencana dan kontraktor) dan akademis dengan jumlah responden sebanyak 11 responden. Metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk analisis persepsi stakeholders terkait dengan permasalahan dalam ketersediaan infrastruktur di kawasan waterfront. Prinsip kerja AHP ialah menyederhanakan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dengan berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2000 diacu dalam Faizu, 2011). Hal-hal yang diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam AHP adalah dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas dan konsistensi logika. Adapun tahapan pendekatan AHP diuraikan dibawah ini. a. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan dan memerlukan variabel yang berpengaruh dan solusi yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, bahwa metoda AHP digunakan untuk mendapatkan solusi dalam permasalahan terkait dengan infrastruktur di kawasan waterfront. Untuk itu pertanyaan diajukan dalam pendekatan 3 (tiga) kelompok infrastruktur yaitu infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau. b. Penyusunan Sistem Hierarki Penyusunan struktur hierarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkat kriteria paling bawah (Gambar 11). c. Pembuatan Matriks Perbandingan Berpasangan Matriks perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria/kepentingan setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan persepsi responden dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya.

61 Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen dengan perbandingan berpasangan dimulai dari level tertinggi sampai pada level terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan persepsi responden dengan skala komparasi 1-9 (Saaty, 1991 diacu dalam Faizu, 2011). Nilai komparasi digunakan untuk mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif.

62 Tingkat 1: Fokus Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Waterfront Tingkat 2 : Aspek Infrastruktur Fisik Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau Tingkat 3: Sub Aspek Jaringan Jalan Pelayanan Air Bersih Jaringan Listrik Saluran Drainase Sampah Pasar Tradisional Pertokoan/ Mall Mesjid Terminal Angkutan Taman Kota Lapangan Olahraga Tingkat 4: Alternatif Perbaikan Saluran Drainase Penataan Jalur Pedestrian Pengelolaan Sampah Terpadu Penataan Kawasan PKL Revitalisasi kawasan Pasar Tradisional Penataan Lansekap Taman Kota Dodoku-Ali Penataan Lansekap Kawasan Gelanggang Remaja Gambar 11. Struktur Hierarki AHP 62

63 1) Perhitungan Matriks Pendapat Individu Formulasi matriks individu, sebagai berikut : C 1 C 2... Cn C 1 1 a 12... a 1n A = (a ij ) = C 2 1/a 12 1... a 2n............... Cn 1/a 1n 1/a 2n... dimana : C 1, C 2,..., Cn = set elemen pada satu tingkat keputusan dalam hierarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj 2) Perhitung Matriks Pendapat Gabungan Matriks pendapat gabungan merupakan matriks baru yang elemenelemennya ( ij ) berasal dari rata-rata geometrik elemen matrik pendapat individu yang nilai rasio konsistensinya (CR) memenuhi syarat. Tujuan dari penyusunan matriks pendapat gabungan ini adalah untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang ada. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mengukur tingkat konsistensi serta prioritas dari elemen-elemen hierarki yang mewakili semua responden. Pendapat gabungan ini menggunakan formula sebagai berikut ; dimana : g ij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j a ij = elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i kolom ke-j k = 1,2,...m. dan m = jumlah responden

64 3) Pengolahan Vertikal Pada penyusunan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama dilakukan pengolahan vertikal. Bila CV ij merupakan nilai prioritas pengaruh elemen ke-i pada tingkat ke-j terhadap sasaran utama, maka : Untuk, i = 1,2,3,...p j = 1,2,3,...r dan t = 1,2,3...s Dimana : Cvij = nilai prioritas pengaruh ke-i pada tingkat ke-j terhadap sasaran utama Chij (t,i 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i=1) VWt(i 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1) terhadap sasaran utama p = jumlah tingkat hierarki keputusan r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i ke (i-1) s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-1) 4) Revisi Pendapat Revisi pendapat dilakukan apabila nilai konsistensi ratio (CR) pendapat cukup tinggi (>0,1) dengan mencari deviasi RMS (Root Mean Square) dari barisbaris (a ij ) dan perbandingan nilai bobot kolom (Wi/Wj) dan merevisi pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar, dengan persamaan : ( ) Catatan dari beberapa ahli bahwa jika jumlah revisi terlalu besar, sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Oleh karena itu penggunaan revisi ini sangat terbatas sekali mengingat akan terjadi penyimpangan dari jawaban.

65 GAMBARAN UMUM KOTA TERNATE Letak Geografis dan Batas Administratif Lokasi penelitian berada di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara dengan letak geografis pada 0-2 Lintang Utara dan 126-128 Bujur Timur. Batas administrasinya adalah sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Laut Maluku, Sebelah timur berbatasan dengan Selat Halmahera, Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Maluku, dan Sebelah barat berbatasan dengan Laut Maluku. Secara administratif, kota Ternate terdiri dari kawasan kepulauan dengan luas daratan sebesar 250,85 km², sementara luas lautannya 5.547,55 km², dan terbagi dalam 7 kecamatan, 77 kelurahan/desa dengan klasifikasi 56 kelurahan/desa pesisir dan 21 kelurahan/desa bukan pesisir. Tabel 11 menunjukkan wilayah administrasi Kota Ternate. Tabel 11. Wilayah Administrasi Kota Ternate Kecamatan Luas Daratan Jumlah (km 2 ) Desa Pesisir Pulau Ternate 65,88 12 Moti 24,60 6 Pulau Batang Dua 101,05 6 Pulau Hiri 6,70 6 Ternate Selatan 19,44 11 Ternate Tengah 18,52 4 Ternate Utara 14,16 11 Jumlah Desa Bukan Pesisir 1 - - - 6 11 3 Jumlah 250,85 56 21 Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Lokasi penelitian difokuskan di Kota Ternate (Pulau Ternate), yang terdiri dari 4 (empat) kecamatan, yakni Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Ternate Selatan, Kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate Utara. Hal ini berkaitan dengan pengembangan kawasan waterfront yang terdapat di sekitar lokasi tersebut atau dengan kata lain hanya berada di Pulau Ternate. Dengan demikian, analisis perkembangan wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur hanya dibatasi pada kecamatan-kecamatan yang disebutkan diatas.

66 Topografi dan Kondisi Iklim Kondisi topografi Kota Ternate adalah berbukit dengan sebuah gunung berapi yang masih aktif dan terletak di tengah pulau. Kondisi yang demikian ditandai dengan tingkat ketinggian dari permukaan laut yang beragam. Namun secara sederhana dikelompokan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: kemiringan lereng rendah (2%-8% atau 0 499 mdpl), kemiringan lereng sedang (10%-20% atau 500 699 mdpl) dan kemiringan lereng terjal (>40% atau lebih dari 700 mdpl) (Gambar 12). Berdasarkan klasifikasi tersebut, daerah ini memiliki kelurahan dengan tingkat ketinggian dari permukaan laut dengan kriteria rendah sebanyak 53 kelurahan berada pada kemiringan lereng rendah yaitu berupa kawasan pesisir, 6 kelurahan berada pada kemiringan lereng sedang dan 4 kelurahan berada pada kemiringan lereng terjal. Sementara untuk kedalaman laut bervariasi, terdapat tingkat kedalaman sekitar 10 meter sampai pada jarak sekitar 100 meter dari garis pantai sehingga memberikan peluang untuk diadakannya reklamasi pantai. Jenis tanah dominan adalah tanah Regosol dan Rendzina, yang merupakan ciri tanah pulau vulkanis dan pulau karang. Gambar 12. Peta Kemiringan Lereng Kota Ternate

67 Kota Ternate dan juga umumnya daerah pantai di Propinsi Maluku Utara memiliki tipe iklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya heterogen sesuai indikasi umum iklim tropis. Di daerah ini dikenal dua musim yakni utara barat dan timur selatan yang seringkali diselingi dengan dua kali masa pancaroba setiap tahunnya. Selama tahun 2010 kondisi iklim Kota Ternate menurut hasil pengukuran Stasiun Meteorologi dan Geofisika Ternate adalah sebagai berikut : Temperatur rata-rata 27,3ºC Kelembaban nisbi rata-rata 84% Tingkat penyinaran sinar matahari rata-rata 64% Kecepatan angin rata-rata 4 knot dengan kecepatan maksimum mutlak ratarata 19 knot. Selengkapnya mengenai kondisi iklim di Kota Ternate disajikan pada Tabel 12 sampai dengan Tabel 15. Tabel 12. Temperatur Rata-rata di Kota Ternate Tahun 2010 Bulan Temperatur Rata-Rata Maksimum Minimum Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 26,7 27,0 27,6 27,6 27,6 27,2 26,8 26,5 27,0 27,5 27,3 27,5 31,1 31,7 32,6 32,0 32,1 31,7 31,4 30,8 30,7 31,9 31,9 31,0 24,0 24,2 24,7 25,1 24,9 24,6 24,0 23,3 23,1 24,3 23,7 23,9 Rata-Rata 27,3 31,58 24,15 Sumber : BPS Kota Ternate (2011) Tabel 13. Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate Tahun 2010 Bulan Kelembaban Nisbi Rata-rata Penyinaran Matahari (%) (%) Januari Februari Maret April Mei Juni 82 81 85 85 85 8 51 75 79 61 67 60

68 Tabel 13. Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate Tahun 2010 (Lanjutan) Bulan Kelembaban Nisbi Rata-rata Penyinaran Matahari (%) (%) Juli Agustus September Oktober November Desember 85 85 84 80 83 83 62 55 67 69 71 46 Rata-Rata 84 64 Sumber : BPS Kota Ternate (2011) Tabel 14. Kecepatan Angin Rata-rata, Kecepatan Maksimum Mutlak dan Arah Angin di Kota Ternate Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Kecepatan Angin Rata- Rata (knot) 06 06 07 05 05 04 03 04 04 04 04 04 Kecepatan Maksimum Mutlak (knot) 18 22 21 24 15 17 12 18 30 15 19 20 Arah Angin ( ) Rata-Rata 04 19 280 Sumber : BPS Kota Ternate (2011) 330 340 330 330 340 230 330 120 230 230 230 330 Tabel 15. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kota Ternate Menurut Bulan, Tahun 2010 Bulan Jumlah Hujan Curah Hujan (Hari) (mm) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 23 15 8 23 22 17 23 21 22 16 19 21 225,0 89,6 77,5 332,7 381,2 126,5 211,4 228,4 166,6 269,8 135,9 418,6 Sumber : BPS Kota Ternate (2011)

69 Kependudukan Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Ternate sebanyak 185.705 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 94.476 jiwa dan perempuan sebanyak 91.229 jiwa. Sebagian besar penduduk Kota Ternate bermukim di wilayah kecamatan Ternate Selatan yaitu sebanyak 34,33% dari jumlah penduduk sedangkan wilayah yang paling sedikit penduduknya yaitu kecamatan Pulau Batang Dua, karena hanya 1,34% dari jumlah penduduk Kota Ternate yang tinggal di kecamatan tersebut. Untuk lebih jelasnya, data kependudukan disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 13. Ternate Utara; 24,54% Pulau Ternate; 7,91% Moti; 2,37% Pulau Batang Dua; 1,34% Pulau Hiri; 1,47% Ternate Tengah; 28,04% Ternate Selatan; 34,33% Gambar 13. Persentase Jumlah Penduduk di Kota Ternate Penduduk tidak hanya dilihat dari segi jumlahnya saja, tetapi juga perlu ditinjau dari kepadatannya. Wilayah yang penduduknya banyak belum tentu memiliki kepadatan penduduk yang besar. Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa wilayah yang paling padat penduduknya adalah kecamatan Ternate Tengah sebesar 4.799 jiwa/km 2, sedangkan wilayah yang paling kecil kepadatan penduduknya yaitu kecamatan Pulau Batang Dua. Tabel 16. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2010 Kecamatan Jumlah Penduduk Luas Wilayah Kepadatan (jiwa) (Km 2 ) (Km 2 /jiwa) Pulau Ternate Moti Pulau Batang Dua Pulau Hiri Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara 14.692 4.399 2.487 2.735 63.746 52.072 45.574 37,23 24,8 29,04 6,70 16,98 10,85 14,38 394 177 85 408 3.754 4.799 3.169 Jumlah 185.705 139,98 1.326 Sumber : BPS Kota Ternate (2011)

70 Kecamatan Ternate Selatan memiliki penduduk lebih banyak daripada kecamatan Ternate Tengah, tetapi luas wilayahnya lebih besar dari pada luas wilayah Ternate Tengah sehingga kecamatan Ternate Tengah lebih padat penduduknya. Faktor penyebab padatnya penduduk di kecamatan Ternate Tengah karena kecamatan ini merupakan pusat pelayanan meliputi pusat pemerintahan, pelayanan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan, yang sebagian besar juga terletak di kecamatan ini. Pada tahun 2010 jumlah penduduk jenis kelamin laki-laki sebanyak 94.476 jiwa lebih banyak dibanding dengan perempuan 91.229 jiwa dengan rasio jenis kelamin penduduk sebesar 104 (lihat Tabel 17). Jumlah rumah tangga pada tahun 2010 sebesar 39.418 KK, berarti rata-rata jiwa per rumah tangga yaitu berkisar antara 4-5 orang. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga terbanyak, masing-masing yaitu 32.447 orang laki-laki dan 31.299 orang perempuan dengan rasio jenis kelamin 104 dan memiliki jumlah rumah tangga sebanyak 13.666 KK. Tabel 17. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Rasio Jenis Kelamin Kecamatan Penduduk Rasio Jenis Jumlah Rumah Tangga Laki-Laki Perempuan Kelamain (KK) Pulau Ternate Moti Pulau Batang Dua Pulau Hiri Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara 7.449 2.151 1.259 1.390 32.447 26.735 23.045 7.243 2.248 1.228 1.345 31.299 25.337 22.529 103 96 103 103 104 106 102 3.026 905 585 498 13.666 10.966 9.772 Jumlah 94.476 91.229 104 39.418 Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Penduduk Kota Ternate yang berusia produktif (20-24 tahun) memiliki komposisi terbanyak. Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur yang disajikan pada Tabel 18 memperlihatkan bahwa penduduk Kota Ternate terbanyak berada pada kelompok umur 20-24 tahun yaitu sebesar 24.434 jiwa, sedangkan penduduk Kota Ternate terkecil pada kelompok umur 75 tahun keatas yaitu sebesar 1.285 jiwa. Komposisi kelompok umur tersebut seharusnya dipergunakan pemerintah sebagai modal untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan keterampilan penduduk guna menjadi sumberdaya manusia yang

71 berkualitas. Untuk itu program pembangunan perlu diupayakan dapat mengarah pada penciptaan lapangan kerja baru, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Tabel 18. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur Penduduk (jiwa) Laki-Laki Perempuan 0 4 10.273 9.749 5 9 9.391 8.744 10 14 8.161 7.905 15 19 8.995 9.173 20 24 12.648 11.786 25 29 10.333 9.759 30 34 8.462 8.215 35 39 6.892 6.645 40 44 5.641 5.459 45 49 4.381 4.254 50 54 3.444 3.233 55 59 2.358 2.195 60 64 1.471 1.555 65 69 937 1.044 70 74 586 731 75 + 503 782 Jumlah 20.022 18.135 16.066 18.168 24.434 20.092 16.677 13.537 11.100 8.635 6.677 4.553 3.026 1.981 1.317 1.285 Jumlah 94.476 91.229 185.705 Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Penggunaan Lahan Perkotaan Informasi penggunaan lahan di Kota Ternate dihasilkan dari interpretasi citra satelit. Hasil olahan data citra Quickbird tahun 2010 (data sekunder Bappeda Kota Ternate) digunakan untuk interpretasi penggunaan lahan di kota Ternate. Data citra diklasifikasi berdasarkan kelas penggunaan lahan kemudian diverifikasi melalui survei lapang. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang terluas ialah penggunaan lahan perkebunan 8.745,64 ha atau 54,15%. Penggunaan lahan hutan diketahui seluas 4.574,83 ha atau 28,33%, permukiman 1.380,18 ha atau 8,55%, kawasan jasa perdagangan 152,79 ha atau 0,95%, serta penggunaan lahan yang terkecil yaitu lapangan 19,09 ha atau 0,12%. Penggunaan lahan selengkapnya disajikan pada Tabel 19.

72 Tabel 19. Penggunaan Lahan di Kota Ternate, 2010 Penggunaan Lahan Luas Persentase (ha) (%) Bakau 94,20 0,58 Danau 47,18 0,29 Hutan 4574,83 28,33 Kawah 80,94 0,50 Kawasan Jasa Perdagangan 152,80 0,95 Kebun Campuran 249,39 1,54 Lahan Kosong 63,09 0,39 Lapangan 19,10 0,12 Makam 35,60 0,22 Perkebunan 8745,65 54,15 Permukiman 1380,18 8,55 Pertanian Lahan Kering 403,31 2,50 Semak Belukar 258,87 1,60 Taman 31,56 0,20 TPA 14,24 0,09 Jumlah 16.150,94 Gambar 14 menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan yang dominan yakni perkebunan yang berada pada ketinggian diatas 500 mdpl dan menutupi hampir 50% daratan Pulau Ternate. Penggunaan lahan hutan berada di kawasan sekitar kawah gunung api di Pulau Ternate yang memiliki ketinggan diatas 700 mdpl (kemiringan lereng >40%). Penggunaan lahan permukiman tersebar merata di wilayah pesisir bagian timur hingga ke wilayah pesisir bagian selatan. Sementara itu penggunaan lahan kawasan jasa dan perdagangan cenderung terkonsentrasi di pusat kota yang sebagaian besar lahannya merupakan kawasan waterfront.

73 Gambar 14. Penggunaan Lahan di Kota Ternate Tahun 2010 Penggunaan lahan pada masing-masing kecamatan secara detil disajikan pada Tabel 20. Secara detil, luas wilayah kecamatan Pulau Ternate lebih luas (4.746 ha), tetapi memiliki penggunaan lahan permukiman paling kecil (171 ha) dibanding kecamatan lainnya yang berada di Pulau Ternate. Penggunaan lahan hutan, perkebunan, lapangan, makam, permukiman dan pertanian lahan kering berada di setiap wilayah kecamatannya. Tabel 20. Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan Kecamatan Penggunaan Lahan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Bakau Danau Hutan Kawah Kawasan Jasa Perdagangan Kebun Campuran Lahan Kosong Lapangan Makam Perkebunan Permukiman Pertanian Lahan Kering Semak Belukar Taman TPA 0,34 28,86 1.161,24 37,26 0,95 128,23 8,26 2,11 6,17 3.015,47 171,61 88,19 77,17 6,28 14,24 3,38 18,32 766,75 20,48 11,18 49,89 25,05 4,42 6,69 809,77 456,03 64,19 0,96 11,97 - - - 343,84 8,53 72,37 21,96 2,57 4,13 12,91 631,64 306,84 2,45-4,45 - - - 336,43 14,66 68,30 5,02 27,20 3,36 4,33 668,81 335,73 53,34 177,60 8,86 - Jumlah (ha) 4.746,38 2.249,08 1.411,69 1.703,64

74 Gambaran Struktur Ruang Kota Struktur ruang kota merupakan kerangka sistem pusat-pusat pelayanan kegiatan kota yang berhierarki dan satu sama lain dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah. Struktur ruang kota berfungsi sebagai pembentuk sistem pusat-pusat pelayanan yang memberikan layanan bagi wilayah kota dan juga sebagai arahan penempatan jaringan prasarana wilayah kota sesuai dengan fungsi jaringannya yang menunjang keterkaitan antar pusat-pusat pelayanan. Berdasarkan kondisi eksisting Kota Ternate, pusat pelayanan utama kota saat ini berada di sekitar kawasan pusat kota (Kecamatan Ternate Tengah). Sementara untuk ke arah luar, pusat pelayanan kota cenderung tumbuh mengikuti struktur jaringan jalan. Sebaran permukiman berkembang secara sporadis tanpa adanya pola yang jelas. Kondisi ini akan mempengaruhi penyediaan sarana dan prasarana yang kebutuhannya dari waktu ke waktu terus meningkat. Pada tatanan wilayah Kota Ternate, fungsi pelayanan primer diemban oleh Kecamatan Ternate Utara, Ternate Tengah dan Ternate Selatan dicirikan dengan ketersediaan fasilitas pelayanan yang melayani seluruh wilayah pengembangannya terutama dalam konteks pelayanan administrasi pemerintahan (Gambar 15). Fungsi pelayanan sekunder diemban oleh Kecamatan Pulau Ternate, Moti, Pulau Hiri dan Pulau Batang Dua yang memiliki jangkauan pelayanan penunjang terhadap wilayah pengembangan pusat kota. Adapun penetapan sistem pusat pelayanan kota Ternate direncanakan sebagai berikut : 1. Sistem pusat pelayanan kota dikembangkan dalam 1 (satu) pusat pelayanan kota, 6 (enam) sub pusat pelayanan kota, dan 26 (dua puluh enam) pusat lingkungan. 2. Masing-masing sistem pusat pelayanan kota dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas keamanan dan keselamatan; 3. Pengembangan fasilitas pendidikan terdiri atas: a. TK dan SD dengan jangkauan pelayanan lingkungan; b. SLTP dengan jangkauan pelayanan sub pelayanan kota; c. SLTA dengan jangkauan pelayanan kota; dan

75 d. Pendidikan/Perguruan Tinggi dengan jangkauan pelayanan kota dan regional. 4. Pengembangan fasilitas kesehatan terdiri atas: a. Balai Pengobatan dan praktek dokter dengan jangkauan pelayanan lingkungan; b. Puskesmas, puskesmas pembantu, dan apotek dengan jangkauan pelayanan Sub Pusat Pelayanan Kota (SPK); dan c. Rumah sakit dengan jangkauan pelayanan kota dan regional. 5. Pengembangan fasilitas peribadatan menyebar ke seluruh Kota Ternate sesuai dengan agama yang dianut oleh masyarakat disesuaikan dengan jangkauan pelayanan masing-masing jenis rumah ibadah serta jumlah dan sebaran pemeluknya. 6. Pengembangan fasilitas keamanan dan keselamatan terdiri atas : a. Fasilitas pos polisi dengan jangkauan pelayanan setingkat lingkungan dan berlokasi di setiap pusat lingkungan; b. Pemadam kebakaran berada dalam jangkauan pusat dan sub pelayanan setingkat kota dan berlokasi di Kota Ternate; c. Rencana pengembangan pemadam kebakaran dibuat dalam hierarki di setiap kecamatan Kota Ternate; d. Badan Penanggulangan Bencana Daerah berada dalam jangkauan pelayanan setingkat kota dan berlokasi di Kecamatan Ternate Selatan. Pusat Pelayanan Kota (PPK) Pusat Pelayanan Kota (PPK) berperan untuk melayani seluruh wilayah kota dan/atau regional. Pusat pelayanan kota di Kota Ternate, terletak di sebagian Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan, yang meliputi Kelurahan Salero, Soa, Makassar Timur, Makassar Barat, Gamalama, Muhajirin, Tanah Raja, Takoma, Kota Baru, Maliaro, Stadion, Tanah Tinggi, Kalumpang, Santiong dan Salahuddin. Pusat Pelayanan Kota (PPK) di Kota Ternate terdapat arah dan fungsi pengembangan meliputi: Pusat pelayanan Pemerintahan Kota; Pendidikan dan

76 olahraga; Perdagangan dan Jasa; Pusat pelayanan transportasi; Pusat pelayanan kesehatan; Pusat keamanan dan keselamatan; dan Pusat sejarah dan kebudayaan. Sub Pusat Pelayanan Kota (SPK) Sub Pusat Pelayanan Kota (SPK) merupakan pusat pelayanan kegiatan kota dengan lingkup wilayah pelayanan sebagian pengembangan wilayah kota sebagaimana diatur dalam rencana perwilayahan kota. Sub pusat pelayanan di Kota Ternate terbagi dalam 6 (enam) sub pusat pelayanan, yang meliputi: wilayah yang terletak di Kelurahan Dufa-Dufa (Pemerintahan, jasa perdagangan, pendidikan dan transportasi) Kelurahan Bastiong (jasa perdagangan, pendidikan dan transportasi), Kelurahan Jambula, Kelurahan Moti Kota, Kelurahan Faudu dan Kelurahan Mayau. Sub Pusat Pelayanan Kota di Kota Ternate terdapat arah dan fungsi pengembangan meliputi: Pusat pelayanan pemerintahan Kecamatan, Pendidikan, Perdagangan dan Jasa, Pusat pelayanan transportasi, Pusat pelayanan kesehatan, Pusat keamanan dan keselamatan dan Pusat sejarah dan kebudayaan. Pusat Lingkungan Pusat Lingkungan merupakan pusat pelayanan kegiatan dengan skala pelayanan lingkungan yang tersebar di setiap Bagian Wilayah Kota (BWK) dengan kegiatan dan kelengkapan fasilitas pada Pusat Lingkungan berupa pusat pelayanan pemerintahan tingkat kelurahan, perdagangan tingkat lingkungan atau kegiatan pendidikan skala lingkungan seperti sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Konsep dasar struktur tata ruang ditetapkan setelah mendapatkan masukan dari visi dan misi tata ruang serta mencermati hasil analisis konektivitas antara pusat-pusat pertumbuhan perkotaan serta konektivitas antar Pulau-pulau, baik konektivitas internal maupun eksternal terhadap orientasi regional Kawasan Timur Indonesia (KTI). Bagian Wilayah Kota (BWK) Dalam penentuan Bagian Wilayah Kota (BWK) berdasarkan Rencana Detil Tata Ruang Kota Ternate tahun 2007, dimana terdapat 7 BWK yang

77 semuanya memiliki peran dan fungsi secara proporsional terhadap wilayah dalam masing-masing BWK. 1. BWK 1 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Dufa-Dufa Kecamatan Ternate Utara yang meliputi Kelurahan Tarau, Sango, Tabam, Tafure, Akehuda, Tubo, Dufa-Dufa, Sangadji Utara, Sangadji, Toboleu, Kasturian, Salero, Soa-Sio, dan Soa. Adapun arah pengembangan di BWK 1 adalah sebagai permukiman, kawasan bandara, pelabuhan, pariwisata, militer, jasa, perdagangan, perikanan, pendidikan, dan olahraga. 2. BWK 2 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Salahuddin Kecamatan Ternate Tengah yang meliputi Kelurahan Makassar Timur, Makassar Barat, Salahuddin, Kalumpang, Santiong, Gamalama, Moya, Kampung Pisang, Marikurubu, Muhajirin, Tanah Raja, Maliaro, Stadion, Takoma, dan Kota Baru. Adapun arah pengembangan di BWK 2 diarahkan sebagai kawasan jasa, perdagangan, pariwisata, pelabuhan, permukiman, pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga. 3. BWK 3 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Kalumata Kecamatan Ternate Selatan yang meliputi Kelurahan Sasa, Gambesi, Ngade, Fitu, Kalumata, Kayu Merah, Tabona, Ubo-Ubo, Bastiong Karance, Bastiong Talangame, Mangga Dua Utara, Mangga Dua, Jati Perumnas, Jati, Tanah Tinggi Barat, Tanah Tinggi, dan Toboko. Adapun arah pengembangan BWK 3 sebagai jasa, perdagangan, pariwisata, pelabuhan, perikanan, militer olahraga dan pendidikan. 4. BWK 4 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Jambula Kecamatan Pulau Ternate yang meliputi Kelurahan Jambula, Kastela, Foramadiahi, Rua, Afe Taduma, Dorpedu, Togafo, Loto, Takome, Sulamadaha, Tobololo, Bula dan Kulaba. Adapun arah pengembangan BWK 4 sebagai permukiman, pariwisata, dan pertanian. 5. BWK 5 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Togolobe Kecamatan Pulau Hiri yang meliputi Kelurahan Faudu, Tomajiko, Dorari Isa, Togolobe, Tafraka, dan Mado. Pusat BWK 5 di Kelurahan Togolobe. Adapun arah pengembangan BWK 5 sebagai perikanan, pertanian dan permukiman.

78 6. BWK 6 dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Moti Kota Kecamatan Moti yang meliputi Kelurahan Moti Kota, Takofi, Tadenas, Figur, Tafamutu, dan Tafaga. Adapun arah pengambangan BWK 6 sebagai permukiman, pertanian dan perikanan. 7. BWK 7 dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Mayau Kecamatan Batang Dua yang meliputi Kelurahan Mayau, Tifure, Bido, Lelewi, Perum Bersatu dan Pante Sagu. Adapun arah pengembangan BWK 7 sebagai permukiman, pertanian dan perikanan. Gambar 15. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Sumber : BAPPEDA Kota Ternate (2010)

79 Kawasan Kota Tepian Air (Waterfront City) Secara administratif, kota Ternate terdiri dari kesatuan kawasan yang terdiri dari 5 (lima) gugusan pulau dalam satu kluster pengembangan, yakni Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulau Tifure dan Pulau Mayau (Batang Dua). Ditinjau dari fungsional kawasan perkotaan, maka kota Ternate berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian dan pusat pariwisata. Kondisi geografis kota Ternate memiliki luas lautan yang lebih luas dibandingkan luas daratan, sehingga strategi pengembangan kota diarahkan pada kawasan pesisir dalam upaya peningkatan dan pengembangan waterfront city pada suatu sistem wilayah kepulauan. Upaya pengembangan tersebut dapat melalui peningkatan infrastruktur perkotaan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dalam rangka pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan. Berdasarkan pertimbangan sasaran strategis pengembangan kawasan dalam mendukung upaya pengembangan waterfront Kota Ternate, serta memperhatikan rekomendasi dari arah kebijakan kota serta visi dan misi tata ruang, maka ditetapkan 5 skenario pengembangaan kawasan waterfront, yaitu: 1) Pengelolaan lingkungan pesisir, 2) Pengembangan dan pengelolaan pelabuhan, 3) Penataan permukiman kumuh di kawasan pesisir, 4) Penataan kawasan khusus, dan 5) Pengembangan objek wisata bahari, sejarah dan budaya (BAPPEDA, 2006). Skenario pengembangan kota pantai (waterfront city) di Kota Ternate, secara garis besar bertumpu pada karakteristik kota pantai yang tetap melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan pantai. Berdasarkan kebijakan rencana aksi pengembangan kawasan pesisir, maka difokuskan arahan pengembangan pada Bagian Wilayah Kota I (BWK I) dan BWK II yang mencakup Kecamatan Ternate Utara, dan Kecamatan Ternate Tengah. Hal tersebut tentunya akan mempermudah integrasi pengembangan infrastruktur yang akan dibangun. Fungsi strategis kedua BWK ini disajikan dalam Tabel 21.

80 Tabel 21. Fungsi Strategis BWK I dan BWK II dalam mendukung Waterfront City Kota Ternate Wilayah Strategi Pengembangan Tata Lokasi Fungsi Kegiatan Utama Administrasi Ruang BWK I Kecamatan Ternate Utara BWK II Kecamatan Ternate Tengah Sumber : DKP (2008) Permukiman, Bandara, Pelabuhan, Pariwisata, Militer, Jasa, Perdagangan, Perikanan dan Olahraga Jasa Perdagangan, Pariwisata, Pelabuhan, Perikanan dan Permukiman Pengendalian pertumbuhan permukiman Pengendalian tata bangunan dan lingkungan kawasan pesisir dan kawasan berkepadatan tinggi Pengembangan pariwisata sejarah Pengembangan pusat pendidikan Pengembangan sub pusat pertumbuhan kawasan jasa dan perdagangan skala kota Pengembangan sub sektor perikanan Pengembangan pusat olahraga, Pengembangan Sektor Jasa dan Perdagangan Pengendalian pertumbuhan permukiman dan pengendalian tata bangunan dan lingkungan kawasan Pengembangan sub sektor perikanan Pengembangan sub pusat pertumbuhan baru Pengembangan struktur ruang kawasan waterfront city Kota Ternate akan diarahkan berdasarkan kluster-kluster pengembangan dengan inti pusat kawasan prioritas yang terdiri dari 9 (sembilan) kawasan prioritas yang ditentukan berdasarkan hasil analisis pengembangan struktur ruang dan analisis pendapat stakeholders. Sebaran kawasan prioritas tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.

81 Gambar 16. Kawasan Prioritas Action Plan Waterfront City Kota Ternate Sumber : DKP (2008) Kondisi geografis wilayah kota Ternate merupakan suatu gugusan pulaupulau dan secara topografis sebagian besar kawasannya adalah lahan dengan ketinggian lereng yang berbeda sehingga hanya beberapa bagian kawasan saja yang dapat difungsikan sebagai kawasan terbangun. Pusat pengembangan kawasan waterfront diarahkan pada BWK I dan BWK II yang berada di wilayah pusat kota, sedangkan wilayah lainnya difungsikan sebagai kawasan pendukung. Hasil analisis struktur ruang wilayah, kawasan perkotaan, perekonomian, kemasyarakatan, kelembagaan, pendapat stakeholder dan fisik kawasan, maka menghasilkan strategi pengembangan kawasan pesisir kota Ternate. Strategi pengembangan kawasan pesisir diarahkan sebagai suatu sistem wilayah kepulauan melalui peningkatan infrastruktur perkotaan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dalam rangka pengembangan ekonomi masyarakat.

82 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Ternate Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan telah diterima secara luas sebagai indikator pembangunan dalam skala wilayah dan negara. Secara umum PDRB dapat definisikan sebagai jumlah nilai tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara atau wilayah dalam periode satu tahun. Jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan di suatu wilayah telah dihilangkan unsur-unsur intermediate cost (Rustiadi et al., 2009). Nilai PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan yaitu : 1. Segi Produksi, merupakan jumlah nilai tambah bruto atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Nilai tambah bruto yang terdiri dari biaya faktor produksi (upah/gaji, bunga netto, sewa tanah, keuntungan), penyusutan barang modal dan pajak tak langsung netto. 2. Segi Pendapatan, merupakan balas jasa (pendapatan) yang diterima faktorfaktor produksi karena ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah, dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). 3. Segi Pengeluaran, merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, Pemerintah dan Lembaga Swasta Non Profit, pembentukan modal tetap, perubahan stok serta Ekspor Netto, biasanya dalam jangka waktu tertentu. Saat ini Kota Ternate baru menghitung PDRB dari segi produksi saja. PDRB terdiri dari PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku merupakan penjumlahan nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi dan dinilai menggunakan harga yang berlaku pada tahun bersangkutan. PDRB atas dasar harga konstan merupakan penjumlahan nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi dan dinilai menggunakan harga pada tahun dasar yaitu tahun 2000. Besarnya nilai PDRB atas dasar harga berlaku di suatu wilayah memberikan gambaran potensi perekonomian wilayah tersebut. PDRB atas dasar harga berlaku Kota Ternate dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Pada

83 tahun 1999 PDRB atas dasar harga berlaku sebesar 349.727 juta rupiah meningkat pada tahun 2011 menjadi 1.145.573 juta rupiah. Pada tahun 1999-2011 sektorsektor yang berkontribusi besar terhadap pembentukan PDRB atas dasar harga berlaku yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor pertanian (Gambar 17 dan Tabel 22). Peningkatan ini menunjukkan bahwa terjadi perkembangan perekonomian Kota Ternate. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh kenaikan produksi barang dan jasa pada wilayah tersebut pada tahun tertentu. Jika kenaikan produksi barang dan jasa pada tahun tertentu lebih tinggi dari tahun sebelumnya maka dikatakan terjadi kenaikan pertumbuhan. 400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahan Jasa-Jasa Gambar 17. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011

84 Tabel. 22. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011 (dalam juta rupiah) Sektor 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Pertanian 45.831 46.016 49.517 50.556 53.868 57.288 60.870 64.756 76.963 108.284 120.257 134.682 151.855 Pertambangan & Penggalian 3.294 3.610 3.713 3.719 3.795 3.879 3.962 5.111 5.761 7.373 10.056 11.488 13.841 Industri Pengolahan 24.229 18.209 18.423 24.879 25.306 26.894 29.102 31.343 34.049 37.925 50.766 53.230 58.449 Listrik, Gas, Air Bersih 5.070 5.222 5.430 5.967 6.402 6.736 7.125 7.645 8.114 10.508 11.716 12.637 14.222 Bangunan 8.142 10.143 13.665 15.335 17.706 21.363 24.525 27.686 30.932 39.906 51.447 65.965 81.347 Perdagangan, Hotel & Restoran 111.989 110.058 113.320 118.569 128.514 139.790 156.176 166.854 187.741 199.348 246.306 294.696 337.365 Pengangkutan & Komunasi 60.937 65.939 69.013 53.447 57.212 59.118 64.526 77.338 89.648 114.500 133.526 155.427 186.029 Keuangan, Persewaan & Jasa 28.326 26.113 27.081 27.470 28.351 29.482 31.256 32.824 36.794 55.764 71.659 85.925 101.039 Perusahan Jasa-Jasa 61.909 63.839 66.133 68.416 77.493 84.852 93.108 104.365 115.658 121.272 149.633 177.744 201.426 Jumlah 349.727 349.149 366.295 368.358 398.647 429.402 470.650 517.922 585.660 694.880 845.366 991.794 1.145.573 Sumber : BPS Kota Ternate (2011) 84

85 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan, terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam (Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai (garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008). Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai. Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan langsung dengan daratan baru. Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir mengalami perubahan. Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia

86 sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye tahun 2001. Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara darat dan laut. Gambar 18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010

87 Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km 2 ), dengan titik awal delineasi pada koordinat 0 46 941 LU, 127 23 305 BT dan titik akhir pada koordinat 0 48 033 LU, 127 23 160 BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah 3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi 3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar 30-250 m. Perubahan garis pantai atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat 0 47 456 LU, 127 23 415 BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai awal (tahun 2001). Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan hanya 110,07 km 2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau Ternate bertambah menjadi 110,30 km 2. Secara administratif, terjadi penambahan luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08 km² (tahun 2010) (Gambar 19). Gambar 19. Perubahan Spasial Kota Ternate Tahun 2001-2010

88 Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront Secara administratif, reklamasi pantai berada pada 4 (empat) kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk (perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut. Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir tersebut. Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara digitasi visual dari data citra Quickbird tahun 2010. Interpretasi citra secara visual untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur, bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya. Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/mall. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II) yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam

89 bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan waterfront. Gambar 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

90 Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya. Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12 ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront. Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront Penggunaan Lahan Luas Persentase (ha) (%) Badan air 4,25 17 Jalan 3,90 16 RTH/Taman Kota 2,86 12 Mall/Dept.Store 2,56 11 Pasar Tradisional 2,01 8 Permukiman 2,02 8 Pertokoan 1,42 6 RTH/Jalur Hijau 1,40 6 Ruko 1,12 5 Sarana Ibadah 0,87 4 Terminal Angkutan Umum 0,90 4 Perkantoran 0,59 2 TPS 0,03 1 Jumlah 23,93 100

91 Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010 Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi. Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business District- CBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2004-2010 disajikan pada Gambar 21. Gambar 21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010

92 Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun 2004-2010 (Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%). Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha (55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004 seluas 10.110 ha dan tahun 2010 seluas 10.220 ha. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan kawasan waterfront. Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010 Tahun Penggunaan Lahan Lahan Tidak Terbangun Lahan Terbangun 2004 (ha) 9.166 944 2010 (ha) 8.755 1.465 Luas (ha) -411 521 Jumlah Luas 10.110 10.220 110 Perubahan Persentase Perubahan luas/luas lahan awal (%) -4 55 Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel 25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha. Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi. Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010 Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha) Penggunaan Lahan Tahun 2004 (ha) Lahan Tidak Terbangun (non built up) Lahan Terbangun (built up) Lahan Tidak Terbangun (non built up) Lahan Terbangun (built up) Jumlah Luas (ha) 8.721 445 9.166 34 910 944 Jumlah Luas (ha) 8.755 1.355

93 Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang ada di unit wilayah tersebut. Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland). Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP. Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun 2011. Keempat titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan. Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi (Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04 (lihat Gambar 22).

94 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 58,49 59,73 48,34 60,17 25,04 24,55 26,05 24,86 10,17 10,15 12,75 11,95 9,25 9,86 8,29 9,80 2005 2006 2008 2011 Stdev IP Average IP Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit. Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006, 2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun 2011. Hal ini berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu tempuh. Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3 (hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,

95 terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa), dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma). 2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 24,86-34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir. 3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir. Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011 Hierarki Wilayah Jenis Kelurahan Banyaknya Kelurahan/Desa Hierarki 1 Pesisir 6 Bukan pesisir 1 Hierarki 2 Pesisir 8 Bukan pesisir 7 Hierarki 3 Pesisir 18 Bukan pesisir 8 Indeks Perkembangan (IP) Jumlah Jenis > 34,66 140 24,86-34,66 275 < 24,86 398 Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12 kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir

96 (Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro). 2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir. 3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir. Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005 Hierarki Wilayah Jenis Kelurahan Banyaknya Kelurahan/Desa Hierarki 1 Pesisir 3 Bukan pesisir 3 Hierarki 2 Pesisir 7 Bukan pesisir 5 Hierarki 3 Pesisir 22 Bukan pesisir 8 Indeks Perkembangan (IP) Jumlah Jenis > 34,29 123 25,04-34,29 213 < 25,04 428 Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011), sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi 18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.

97 Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011 Tahun 2005 Tahun 2011 Hierarki Wilayah Banyaknya Kelurahan/Desa Bukan pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Bukan pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Pesisir Hierarki 1 3 3 1 6 Hierarki 2 5 7 7 8 Hierarki 3 8 22 8 18 Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah hinterland dari wilayah yang lainnya. Gambar 23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011

98 Cakupan Pelayanan Infrastruktur Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen. Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya serta dapat mempertahankan daya dukung lingkungan. Pemerintah Daerah/Kota berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Infrastruktur tersebut meliputi infrastruktur fisik (greey infrastructure), infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur hijau (green infrastructure). Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah dianalisis sebelumnya menunjukkan adanya perkembangan ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan. Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik Infrastruktur Jaringan Jalan Kondisi Eksisting Jaringan Jalan Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa

99 pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah. Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010 Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997 hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2001. Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km

100 (2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun 2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km. Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate. 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1997 1998 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32 Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00 Rusak 6,05 6,55 9,61 1,17 52,35 80,50 9,81 23,62 123,75 Rusak Berat 10,03 6,94 14,90 54,69 18,26 9,97 84,99 47,82 6,67 Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990 Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan). Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.

101 Jaringan jalan kolektor sekunder dan jalan lokal/lingkungan umumnya berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan pemukiman maupun dengan pusat-pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi jalan ini berupa jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah. Jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat sub bagian wilayah kota dengan panjang jalan 23,10 km dan lebar jalan 5-6 m. Jalan lokal primer menghubungkan jalan kolektor sekunder dengan lokal sekunder, dengan panjang jalan 39,8 km. Sementara untuk jalan lokal sekunder merupakan jalan lingkungan yang menghubungkan langsung dengan jalan lokal primer. Panjang jalan lokal primer adalah 41,27 km dan hanya tipe kendaraan mobil dan motor yang dapat diizinkan untuk melintas. Klasifikasi jalan perkotaan sesuai fungsinya berdasarkan Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990, yang dibandingkan dengan kondisi eksisting jaringan jalan di kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 29 dan Lampiran 3. Lebar jalur pada jalan kolektor primer dan jalan kolektor sekunder telah memenuhi standar yang ada. Jalan lokal primer dan lokal sekunder masih belum memenuhi standar, yaitu masing-masing masih terdapat ruas jalan dengan lebar jalur hanya 3 m dan 1,5 m. Tabel 29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate Status Jalan Kondisi Panjang Lebar Jalur Standar Jalan Jalan (km) (m) Lebar Jalur* (m) Keterangan Kolektor Primer Baik 47,499 6,0-8,0 5,0-6,0 Memenuhi Jumlah 47,499 standar Kolektor Sekunder Baik 41,651 5,0-6,0 5,0-6,5 Memenuhi Rusak 7,947 standar Jumlah 49,598 Lokal Primer Baik 21,278 Belum 3,0-7,0 4,5-5,0 Rusak 4,958 memenuhi Jumlah 26,236 standar Lokal Sekunder Baik 26,347 Belum Rusak 2,720 1,5-5,0 3,0-4,5 memenuhi Jumlah 29,067 standar * Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990 Akses Pencapain Infrastruktur Jalan per Kecamatan Akses pencapaian prasarana jalan dianalisis berdasarkan kerapatan jalan yaitu hasil perbandingan antara luas wilayah dibagi dengan panjang jalan. Semakin rapat jalan semakin mudah akses di dalam wilayah, yang berimplikasi pada; 1) cakupan wilayah pelayanan jaringan jalan dan 2) jarak tempuh. Analisis

102 kerapatan jalan di Kota Ternate menunjukkan bahwa kecamatan Ternate Tengah memiliki kerapatan jalan tinggi. Ini ditandai dengan kerapatan jalan 0,280 km (<0,5 km), yang berarti bahwa untuk menuju ke kecamatan ini mudah diakses dan waktu tempuh relatif lebih cepat. Berbeda halnya dengan kecamatan Pulau Ternate yang hanya memiliki kerapatan jalan 1,073 km (>0,5 km). Hal ini menunjukkan kerapatan jalan rendah di kecamatan Pulau Ternate dibanding dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Pulau Ternate juga memiliki permukiman yang jarang, sehingga berpengaruh pada perkembangan jaringan jalan yang ada. Analisis kerapatan jalan di Kota Ternate tahun 2010 disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010 Kecamatan Panjang Jalan Luas Wilayah Kerapatan Jalan Keterangan* (km) (km 2 ) (km/km 2 ) Pulau Ternate 34,685 37,23 1,073 Kerapatan jalan rendah Ternate Selatan 38,293 16,98 0,443 Kerapatan jalan tinggi Ternate Tengah 38,656 10,85 0,280 Kerapatan jalan tinggi Ternate Utara 27,504 14,38 0,522 Kerapatan jalan rendah *kerapatan jalan <0,5 km/km 2 = kerapatan jalan tinggi; kerapatan jalan >0,5 km/km 2 = kerapatan jalan rendah Kecamatan Ternate Tengah merupakan Bagian Wilayah Kota II (BWK II), yang diarahkan untuk pengembangan kawasan jasa dan perdagangan, pariwisata, pelabuhan, pemukiman, pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga, sehingga kerapatan jalan meningkat/tinggi yang menyebabkan akses ke pusat kota (sarana dan prasarana kota) semakin mudah. Luas wilayahnya hanya 10,85 km 2, dengan panjang jalan 38,656 km yang menunjukkan tingkat kerapatan jalan tinggi yaitu 0,280 km/km 2. Hal ini memberikan dampak pada tingginya mobilisasi moda transportasi di kecamatan tersebut (lihat Gambar 26).

103 Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder Gambar 26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah Gambar 27 menampilkan prasarana jalan di Kecamatan Ternate Selatan, dengan tingkat kerapatan tinggi hanya terdapat pada beberapa kelurahan/desa yang temasuk bagian pusat kota Ternate. Luas wilayah 16,98 km 2 memiliki panjang jalan 38,293 km, sehingga kerapatan jalannya tergolong tinggi yaitu 0,443 km/km 2. Jalan lokal sekunder mendominasi jaringan jalan yang ada di kecamatan tersebut, sehingga akses dari permukiman ke pusat-pusat prasarana dapat dicapai dan waktu tempuh relatif lebih cepat.

104 Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder Gambar 27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan Infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara memiliki kerapatan jalan rendah. Kerapatan jalannya 0,522 km/km 2 (>0,5 km/km 2 ) dengan luas wilayah 14,38 km 2 dan panjang jalan yang berada di kecamatan ini adalah 27,504 km. Kerapatan jalan dominan berada di sekitar pusat kota (menuju Kecamatan Ternate Tengah). Meskipun demikian, akses dari permukiman ke pusat-pusat sarana dan prasarana kota cenderung mudah, yang dihubungkan dengan jalan lokal primer dan lokal sekunder (jalan lingkungan) menuju jalan kolektor sekunder maupun jalan kolektor primer. Gambar 28 memperlihatkan ketersediaan infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara.

105 Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder Gambar 28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara Sementara untuk infrastruktur jalan di Kecamatan Pulau Ternate yang ditampilkan dalam Gambar 29, menunjukkan bahwa hanya terdapat jalan kolektor primer, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Umumnya kawasan permukiman memadati sepanjang jalan kolektor primer. Luas wilayahnya 37,23 km 2 cenderung lebih luas dibandingkan dengan 3 (tiga) kecamatan lainnya yang merata dengan panjang jalan 34,685 km, sehingga memiliki kerapatan jalan rendah yaitu 1,073 km/km 2 (>0,5 km/km 2 ). Akses menuju pusat sarana dan prasarana kota tergolong mudah, karena dihubungkan dengan jalan kolektor

106 primer yang mengelilingi pulau Ternate (jalur trans Ternate), namun waktu tempuh yang dibutuhkan relatif lebih lama. Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder Gambar 29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate Kesimpulan Cakupan Pelayanan Jaringan Jalan Infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang akan membentuk struktur tata ruang kota (Sinulingga, 1999), dimana hampir semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung memerlukan jaringan jalan. Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan sosial budaya masyarakat,

107 infrastruktur jalan yang baik akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam pasar karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan. Hal ini disebabkan karena adanya aliran orang, barang, dan jasa dari satu tempat ke tempat lainnya. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan mempengaruhi kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi terhadap pemakai jalan. Faktor topografis wilayah mempengaruhi sebaran prasarana jalan yang ada di kota Ternate. Jaringan jalan yang mengelilingi pulau yang dihubungkan dengan jalan kolektor primer, dan terkonsentrasi di wilayah pesisir sampai daerah dataran tinggi. Namun bagian yang terluas atau memiliki prasarana jalan tinggi terpusat pada wilayah pesisir. Hal ini berkaitan dengan permukiman penduduk yang tersebar merata di wilayah pesisir. Sementara wilayah dataran tinggi memiliki prasarana jalan sedang karena permukiman jarang/kurang penduduknya. Kerapatan jalan tinggi berada pada wilayah kecamatan Ternate Tengah, sebagian kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara, yang merupakan pusat kota/pusat kegiatan. Perkembangan jaringan jalan yang terpusat di 3 (tiga) kecamatan tersebut menyebabkan wilayah-wilayah ini lebih cepat berkembang. Adanya pergerakan/mobilisasi aliran orang maupun barang yang mudah dan waktu tempuh yang singkat menyebabkan timbulnya aglomerasi pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tersebut. Infrastruktur Air Bersih Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Air Bersih Air bersih yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum bagi masyarakat kota saat ini masih bersumber pada air permukaan dan air tanah melalui sumur dalam maupun sumur dangkal yang terdapat di wilayah Kota Ternate. Sumber air baku yang meliputi air permukaan berasal dari danau Laguna di kecamatan Ternate Selatan, sedangkan air tanah berasal dari mata air Tege- Tege yang berada di kecamatan Ternate Tengah, mata air Akega ale, mata air Santosa di kecamatan Ternate Utara, dan mata air Akerica di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 30).

108 Instalasi Pengolahan Air Minum pertama yang dibangun guna memenuhi kebutuhan pelabuhan Ternate pada tahun 1976 adalah dengan membuat sumur gali dan menara air (tower reservoir) di jalan Jenderal A.Yani. Sistem tersebut kemudian dikembangkan pada ground reservoir yang bersumber dari mata air Santosa dan mulai melayani 200 sambungan pelanggan di pusat kota Ternate. Dengan bantuan hibah dalam program Six City s Water Supply pada tahun 1980, kemudian dibangun 6 unit sumur berkapasitas 60 liter/detik dengan sistem pengendalian terpusat di Operation Building yang berada di Kelurahan Kalumpang, Ground Reservoir dengan kapasitas 1.080 m 3 di Skep (Kelurahan Salahudin) dan jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang ±82 km yang tersebar di pusat kota. Pada tahun 1991 hingga saat ini, bangunan penyadap air semakin bertambah. Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah bagian tengah dan utara kota, maka dibangun Instalasi Akega ale dengan kapasitas 60 lt/det yaitu 6 unit sumur dangkal, reservoir di Facei dengan kapasitas 500 m 3 serta sistem booster di Skep dan reservoir di Tabahawa 300 m 3 dan perluas jaringan pipa distribusi sepanjang ±52 km. Untuk melayani wilayah bagian selatan kota, dibangun instalasi Ubo-Ubo sebesar 40 lt/det dengan 2 unit sumur bor, reservoir di kelurahan Ubo-Ubo yang berkapasitas 500 m 3 kapasitas 100 m 3 dalam upaya melayani pada daerah ketinggian. serta reservoir di Jan dengan Jaringan pipa yang tertanam di tiap-tiap kota umumnya menggunakan jenis pipa Poly Vinyl Cloride (PVC) dan Galvanis Iron Pipe (GIP) dengan berbagai ukuran, seperti yang disajikan dalam Tabel 31. Tabel 31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi Jaringan Pipa (mm) Transmisi (m) Distribusi (m) Dn-315 Dn-250 Dn-200 Dn-160 Dn-110 Dn-90 Dn-75 Dn-63 Dn-50 1.700 1.481 3.505 975 2.066 - - - - 1.276 1.382 6.391 14.535 27.106 28.059 39.445 51.485 13.297 Jumlah 9.664 182.968 Sumber: PDAM Kota Ternate (2011)

109 Sebaran sumber air baku, reservoir dan jaringan pipa transmisi dan distribusi disajikan pada Gambar 30. Gambar 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate Wilayah cakupan pelayanan air bersih yang bersumber dari PDAM melingkupi 4 (empat) kecamatan di Kota Ternate, yaitu kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate. Data tahun 2008 sampai tahun 2011 yang bersumber dari PDAM Kota Ternate, menampilkan jumlah penduduk yang terlayani pada 4 (empat) kecamatan tersebut semakin meningkat. Pada tahun 2008, misalnya pada Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM yaitu 33.738 jiwa meningkat menjadi 41.916 jiwa di tahun 2011. Di kecamatan Pulau Ternate, peningkatan jumlah penduduk yang terlayani tidak terlalu singnifikan, yakni penambahan jumlah penduduk hanya berkisar 200 jiwa atau naik dari 2.025 jiwa (tahun 2008) menjadi 2.256 jiwa (tahun 2011) (Gambar 31).

110 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 PULAU TERNATE TERNATE SELATAN TERNATE TENGAH TERNATE UTARA 2008 2.052 33.738 29.688 28.344 2009 2.058 35.820 30.864 27.756 2010 2.082 37.488 32.010 32.112 2011 2.256 41.916 36.228 32.550 Gambar 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM Cakupan pelayanan air bersih tahun 2010 disajikan pada Gambar 32. Kategori jumlah penduduk yang terlayani <1.000 jiwa terdapat di 3 kelurahan di kecamatan Pulau Ternate, 6 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, 1 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, dan 3 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya, cakupan pelayanan dengan kategori >5.000 jiwa hanya terdapat di 2 kelurahan yang masing-masing berada di kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan. Gambar 32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010

111 Komparasi Ketersediaan Air Bersih dengan Standar Kebutuhan Air Minum Berdasarkan Pedoman No.534/KPTS/M/2001 Standar kebutuhan air bersih untuk wilayah perkotaan adalah 60-220 liter/orang/hari dengan cakupan pelayanan 55%-75% (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001). Jika kebutuhan air bersih kota Ternate diasumsikan 100 liter/orang/hari, maka kebutuhan air bersih dapat dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah kebutuhan dasar penduduk untuk klasifikasi kota sedang (100 liter/orang/hari). Dengan perhitungan ini, maka diketahui kebutuhan air bersih pada tahun 2011 adalah sebesar 18.331.300 lt/hari (Tabel 33). Sementara itu, ketersediaan air bersih hanya 3.965.760 lt/hari, sehingga masih kekurangan 14.365.540 lt/hari. Data tersebut mengindikasikan bahwa masih dibutuhkan peningkatan kapasitas produksi sebesar 78% di tahun 2011. Perhatikan Tabel 32, jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011 sebanyak 183.313 jiwa, dimana jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM di Kota Ternate sebanyak 112.950 jiwa (62%) dan penduduk yang tidak terlayani sebanyak 70.363 jiwa (38%). Kecamatan Ternate Utara memiliki jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM yang terbanyak yaitu sekitar 68% (32.550 jiwa) dari jumlah penduduk yang bermukim di kecamatan tersebut. Kecamatan Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Pulau Ternate masing-masing memiliki jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM sebanyak 66% (36.228 jiwa), 64% (41.916 jiwa) dan 15% (2.256 jiwa). Merujuk pada jumlah penduduk dan jumlah penduduk terlayani air bersih, maka jumlah penduduk yang tidak terlayani air bersih di empat kecamatan tersebut berkisar 32-85%. Angka tersebut didasarkan pada hasil perhitungan persentase jumlah penduduk tidak terlayani dibagi dengan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang belum terlayani air bersih dari PDAM cukup tinggi. Hal demikian dipengaruhi oleh adanya beberapa kelurahan/desa di kecamatan Pulau Ternate yang belum mendapat akses air bersih dari PDAM.

112 Tabel 32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011 Kecamatan Infrastruktur Air Bersih PDAM Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan Air Bersih* (lt/hari) Jumlah Penduduk Terlayani PDAM Ketersediaan Air Bersih PDAM Jumlah Penduduk Tidak Terlayani PDAM Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate 15.024 65.888 54.677 47.724 183.313 1.502.400 6.588.800 5.467.700 4.772.400 18.331.300 (Jiwa) 2.256 41.916 36.228 32.550 112.950 (%) 15 64 66 68 62 (lt/hari) 79.210 1.471.702 1.271.993 1.142.855 3.965.760 (%) 5 22 23 24 22 (jiwa) 12.768 23.972 18.449 15.174 70.363 (%) 85 36 34 32 38 Kekurangan Air (lt/hari) 1.423.190 5.117.098 4.195.707 3.629.545 14.365.540 Bersih PDAM (%) 95 78 77 76 78 *Standar 100 lt/org/hari Secara fisik, air dari produksi PDAM Kota Ternate telah memenuhi syarat yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Namun dalam proses distribusinya bisa terjadi kontaminasi akibat kebocoran pipa ataupun kontinuitas pengaliran pada beberapa lokasi yang belum mencapai 24jam/hari. Untuk itu diperlukan sisa chlor pada air di jaringan pipa distribusi terjauh minimal 0,01 ppm. Kondisi demikian belum terpenuhi di PDAM kota Ternate, karena dalam 5 tahun terakhir proses desinfeksi tidak lagi dilakukan. Dari data kapasitas terpasang dan produksi air PDAM Kota Ternate pada tahun 2011 telah terlayani 62% pelanggan (18.916 sambungan). Namun sebagian pelanggan tidak bisa menerima air secara penuh 1x24 jam sehingga timbul kesan bahwa syarat pelayanan air minum secara kuantitas belum memadai. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat kehilangan air PDAM di tahun 2011 sebesar 40,97% atau 5.930.417 m 3 dari jumlah air yang terdistribusi yaitu 14.475.024 m 3. Dampak kehilangan air akan mempengaruhi biaya yang lebih tinggi (nilai jual) yang ditanggung konsumen dari pada harga produksi (Soma, 2011a). Sebagian besar pelanggan PDAM Kota Ternate telah dapat dilayani secara kontinyu 24 jam/hari terutama yang bermukim di daerah dataran rendah hingga ke pesisir pantai. Sementara beberapa lokasi yang umumnya terletak di dataran tinggi/pegunungan masih dilakukan secara bergiliran 2-3 hari sekali untuk

113 mendapatkan distribusi air minum PDAM. Hal ini mengindikasikan belum terpenuhinya persyaratan kontinuitas secara menyeluruh dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Air Bersih Masih terdapat beberapa kelurahan/desa pada Kecamatan Ternate Tengah, dan Kecamatan Pulau Ternate yang belum terlayani air bersih PDAM. Di Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2 (dua) kelurahan yang tidak terlayani. Sementara untuk Kecamatan Pulau Ternate masih terdapat 10 (sepuluh) kelurahan yang belum tersedia air bersih dari PDAM. Hal ini disebabkan karena kondisi topografis, dimana wilayah/kelurahan tersebut berada pada ketinggian (dataran tinggi) dan jauh dari sumber air atau reservoir yang ada sebelumnya. Untuk mendistribusikan air bersih ke wilayah tersebut tentunya memerlukan biaya operasional yang tinggi, karena pada umumnya sumber air baku berada pada wilayah pesisir/dataran rendah. Wilayah yang tidak terlayani air bersih dari PDAM, masih memanfaatkan sumur gali, penampungan air hujan dan mata air sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari. Kapasitas produksi air (supply) masih jauh dari rata-rata kebutuhan air (demand) yang harus disediakan oleh PDAM. Hal ini dikaitkan juga dengan tingkat kehilangan air yang cukup tinggi yaitu sekitar 40% di tahun 2011, sehingga menimbulkan biaya (nilai jual) yang tinggi terhadap konsumen. Wilayah cakupan pendistribusian air bersih hanya menjangkau bagian pusat kota yang berada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelayanan PDAM terhadap kebutuhan masyarakat di Kota Ternate masih belum mencukupi standar pelayanan. Tingkat akses prasarana air yang rendah akan mengakibatkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Infrastruktur Listrik Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Listrik Infrastruktur listrik memiliki 3 (tiga) komponen dasar yaitu pembangkit, penyaluran (transmisi), dan distribusi (gardu). Kota Ternate memperoleh pasokan listrik dari PT PLN (Persero) Wilayah Maluku dan Maluku Utara Cabang Ternate.

114 Pembangkit listrik yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di Kota Ternate yaitu dengan memanfaatkan tenaga diesel. Panjang jaringan yang ada untuk tegangan rendah (SUTR) 171,83 KMS dan tegangan menengah (SUTM) 94,08 KMS, dengan jumlah gardu sebanyak 133 dan kapasitas terpasang 35.870 VA (lihat Tabel 33). Sampai tahun 2010, wilayah pelayanan (service area) kelistrikan sudah menjangkau seluruh kelurahan di Kecamatan Ternate Utara, Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Pulau Ternate, namun demikian pada waktu tertentu sering mengalami pemadaman bergilir dalam kurun waktu rata-rata 1 jam. Tabel 33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang Uraian Satuan Jumlah Jumlah Pelanggan Sambungan 27.310 SKTM KMS 0,70 SUTM KMS 94,08 SUTR KMS 171,83 Daya Terpasang VA 35.870 Gardu Buah 133 Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2010) Pada tahun 2010 jumlah mesin PT.PLN (Persero) yang digunakan untuk membangkitkan listrik di Kota Ternate sebanyak 6 buah. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan 7 buah mesin, dikarenakan kerusakan mesin yang masih dalam proses perbaikan. Dengan 6 buah mesin tersebut produksi listrik yang dihasilkan sebesar 102.233 MWH dengan daya tersambung sebesar 40.467 MVA (lihat Tabel 34). Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan kapasitas produksi listrik, meskipun dalam keterbatasan jumlah mesin yang ada. Pada Tabel 34 diuraikan tren perkembangan jumlah mesin dan kapasitas mesin, selama tahun 2006-2011. Jumlah mesin tetap dari tahun 2006 hingga tahun 2011, yaitu 7 unit, meskipun pada tahun 2008 dan 2010 berkurang yaitu hanya 6 unit. Dengan jumlah mesin yang tetap, kapasitas mesin dalam menghasilkan energi listrik terus mengalami peningkatan. Misalnya untuk produksi listrik yang dihasilkan sebesar 65.600 MWH di tahun 2006 meningkat hingga 115.620 MWH pada tahun 2011. Sama halnya dengan daya sambung listrik, di tahun 2006 sebesar 31.239 KVA meningkat menjadi 41.042 KVA di tahun 2011. Daya mampu antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan. Hal ini

115 mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dalam waktu rata-rata 4 jam/hari, sehingga menggangu aktivitas masyarakat. Tabel 34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate Keadaan Mesin 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah Mesin (Unit) Kapasitas Terpasang (KW) Daya Mampu (KW) Beban Puncak (KW) Produksi (MWH) Daya Sambung (KVA) 7 21.122 13.300 12.811 65.600 31.239 7 21.122 12.800 12.811 76.553 34.814 6 24.402 11.300 12.270 82.904 38.468 7 26.842 14.500 15.000 87.015 39.215 6 25.802 18.900 16.815 102.233 40.467 7 27.064 26.200 19.000 115.620 41.042 Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2011) Cakupan pelayanan listrik pada masing-masing kecamatan ikut mengalami peningkatan. Variabel jumlah penduduk sebagaimana disajikan pada Gambar 33 menunjukkan bahwa kapasitas pelayanan listrik dari PT. PLN Cabang Ternate cenderung semakin meningkat. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan terbanyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Sementara untuk jumlah pelanggan listrik yang terkecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh faktor jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk di kecamatan Ternate Selatan lebih banyak sedangkan penduduk yang jumlahnya lebih kecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. 14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 PULAU TERNATE TERNATE TERNATE TERNATE SELATAN TENGAH UTARA 2005 2.263 6.968 7.434 5.672 2006 2.279 6.968 7.434 5.678 2008 3.093 11.195 10.632 8.711 2011 3.250 12.884 12.292 10.186 Gambar 33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN Tahun 2005-2011

116 Gambar 34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN Tahun 2011 Cakupan pelayanan listrik tahun 2011 (Gambar 34) untuk kategori jumlah pelanggan <100 sambungan/pelanggan terdapat 1 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah. Kategori jumlah pelanggan 700-1.000 sambungan/pelanggan terdapat pada 3 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 4 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan dan 7 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya untuk cakupan pelayanan dengan kategori >1.000 pelanggan terdapat 6 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 3 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, dan 1 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaran cakupan pelayanan listrik di kota Ternate, terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang cenderung berada di pusat kota (kecamatan Ternate Tengah) atau dekat dengan pusat kota. Komparasi Ketersediaan Listrik Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004 Jaringan distribusi dan jumlah daya terpasang/daya sambung listrik menjadi hal utama dalam pemenuhan energi listrik. Daya sambung listrik yang diproduksi oleh pusat pembangkit tenaga listrik disalurkan ke gardu induk melalui jaringan transmisi selanjutnya diteruskan ke gardu-gardu distribusi kemudian

117 disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, mengsyaratkan bahwa setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlahkebutuhan rumah tangga. Evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana listrik dianalisis berdasarkan jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah pelayanan. Besaran daya dalam wilayah layanan dipengaruhi jumlah dan kepadatan rumah tangga (KK) wilayah tersebut. Pasokan daya yang dibutuhkan disebar melalui jaringan transmisi (gardu listrik). Jika distandarkan daya listrik minimal yang harus dilayani 450 VA per jiwa, maka dapat dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011 sebanyak 183.313 jiwa sehingga didapat jumlah daya listrik yang dibutuhkan adalah 82.491.300 VA atau 82.491 KVA. Dibadingkan dengan daya sambung 41.042 KVA pada tahun 2011, maka pasokan listrik rumah tangga secara keseluruhan belum mampu melayani standar kebutuhan yang ada dan masih kekurangan pasokan daya listrik sekitar 50%. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011 Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah Keluarga (KK) Jumlah Pelanggan Daya Tersambung Standar Kebutuhan Daya Listrik* (KVA) Kekurangan Daya Listrik (PLG) (%) (KVA) (%) (KVA) (%) Pulau Ternate 15.024 3.947 3.250 82 3.455 51 6.761 3.306 49 Ternate Selatan 65.888 15.795 12.884 82 13.695 46 29.650 15.955 54 Ternate Tengah 54.677 11.898 11.892 100 13.066 53 24.605 11.539 47 Ternate Utara 47.724 10.882 10.186 94 10.827 50 21.476 10.649 50 Kota Ternate 183.313 42.522 38.212 90 41.042 50 82.491 41.449 50 *Standar minimal daya listrik 450 VA per jiwa Melihat jumlah pelanggan listrik dengan jumlah keluarga di Kota Ternate yang tersaji pada Tabel 36, maka jumlah keluarga yang telah mendapat akses listrik sekitar 90%. Pada masing-masing kecamatan, persentase jumlah pelanggan yang telah teraliri listrik berkisar 82-100%. Persentase jumlah pelanggan tersebut didasarkan pada perhitungan jumlah pelanggan dibagi dengan jumlah keluarga

118 yang berada pada masing-masing kecamatan. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap listrik mudah dan telah menjangkau empat kecamatan yang ada di Kota Ternate. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Listrik Ketersediaan infrastruktur listrik telah menjangkau ke seluruh kecamatan yang berada di kota Ternate. Cakupan pelayanan listrik di tiap kecamatan ikut mengalami peningkatan dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2011. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang terbanyak, sedangkan kecamatan Pulau Ternate memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan tersebut. Jika dibandingkan dengan standar SNI 03-1733-2004 yang mengsyaratkan setiap unit rumah tangga harus dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa, maka pasokan daya listrik rumah tangga pada tahun 2011 belum mampu melayani standar kebutuhan masyarakat. Daya mampu infrastruktur listrik antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan, disebabkan oleh rusaknya mesin pembangkit listrik. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dengan waktu rata-rata 4 jam/hari. Pemadaman listrik secara bergilir berdampak pada terganggunya aktivitas masyarakat dan menambah biaya (cost) untuk produksi di berbagai sektor yang berujung pada kerugian perekonomian daerah. Infrastruktur Sistem Drainase Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Sistem Drainase Sistem drainase kota juga disebut sistem tulang daun, yakni terdiri dari saluran utama/primer (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air hujan ke laut, saluran pengumpul (sekunder) dan saluran lokal (tersier). Saluran drainase primer di Kota Ternate berupa sungai (kalimati) membentuk sistem drainase makro, sedangkan sistem drainase mikro berupa saluran drainase sekunder dan tersier terbentang mengikuti jaringan jalan utama maupun jalan lingkungan.

119 Kondisi eksisting saluran drainase utama kota Ternate, baik alamiah maupun buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih tinggi (>500 mdpl) dari pada elevasi dasar muara/pantai (< 50 mdpl). Hal ini berkaitan dengan kondisi topografis yang bervariatif, karena berupa pulau gunung api yang mengerucut ke puncak (kawah gunung api). Kondisi topografis yang demikian memudahkan dalam mengalirkan air permukaan menuju ke laut tanpa memerlukan teknologi, namun kelemahannya terletak pada tingkat sedimentasi yang sangat tinggi akibat erosi, apalagi jenis tanahnya ialah Regosol yang sangat peka terhadap pergerakan air. Secara makro pola penggunaan lahan perkotaan mempengaruhi sistem drainase. Pola penggunaan lahan di kota Ternate, diantaranya lahan permukiman (1.270,23 ha), jasa dan perdagangan (69,26 ha), hutan lindung (2.608,26 ha), perkebunan (5.125,68 ha), dan pertanian lahan kering (208,18 ha). Penggunaan lahan permukiman terkonsentrasi di kawasan pusat kota, akibat adanya daya tarik ketersediaan infrastruktur yang terpusat di kawasan tersebut. Keterbatasan lahan dalam kota yang disertai tingginya harga lahan serta kecenderungan berkembangnya permukiman yang mendekat ke infrastruktur kota memicu pembangunan perumahan pada areal bantaran sungai serta lahan pertanian dan perkebunan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dengan tingkat kemiringan lereng 15-30%. Kondisi ini akan berdampak pada cepatnya atau bertambah besar aliran permukaan dan berkurangnya cadangan air tanah, karena semakin berkurangnya daerah resapan air. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, akan berdampak pada kebutuhan lahan permukiman. Kondisi demikian tentunya mempengaruhi konversi lahan dari kawasan perkebunan maupun pertanian menjadi kawasan permukiman. Konversi lahan di kota Ternate tidak merata di setiap kecamatan, disebabkan karena hanya 3 (tiga) kecamatan yang berada di pusat kota atau dekat pusat kota, cenderung memiliki daya tarik untuk bermukim di lokasi tersebut. Khususnya untuk lahan permukiman di sekitar pesisir pantai ikut terkonversi menjadi lahan jasa dan perdagangan, sedangkan wilayah belakang/puncak gunung (hinterland) terkonversi menjadi kawasan permukiman.

120 Konversi lahan perkebunan dan pertanian menjadi lahan terbangun seperti permukiman ataupun sarana dan prasarana tentunya akan berpengaruh pada kondisi tata air tanah dan fisiografis lahan. Kemampuan tanah dalam menyerap air akan semakin berkurang seiring dengan terganggunya tata air tanah yang berdampak pada besarnya aliran permukaan serta perubahan permukaan tanah. Tanpa adanya upaya pematangan lahan yang baik, maka akan berakibat terjadinya longsor dan erosi karena sangat tidak menguntungkan dengan jenis tanah Regosol dan kemiringan lereng rata-rata >8-15% yang mendominasi bentang alam kota Ternate. Material erosi dan longsor yang terbawa serta kedalam saluran air dan sungai menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran. Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Tengah menunjukkan bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut sebagai saluran primer dengan 107 bangunan gorong-gorong (Culvert), 18.131 m saluran tersier, 30.276 m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor yang berada di kawasan permukiman seluas 340,10 ha atau 24,79% dari jumlah luas wilayahnya 1.371,88 ha. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah Luas Wilayah (ha) Luas Lahan Permukiman (ha) Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase Kelurahan Sekunder Tersier (m) (m) Gorong-Gorong Makassar Timur 18,74 18,68 1432 802 12 - Makassar Barat 29,03 22,75 1150 2250 9 - Santiong 24,36 16,47 1440 1906 8 1 Gamalama 40,56 38,99 3578 1394 19 - Kalumpang 25,73 24,38 2383 1945 13 1 Moya 453,20 15,91 3596 2739 19 2 Marikrubu 432,79 51,12 5932 475 7 4 Muhajirin 14,38 14,03 1050 278 3 - Tanah Raja 8,42 8,42 792 444 3 - Stadion 16,54 14,78 1405 1096 - - Kampung Pisang 14,73 14,13 1198 1004 2 1 Maliaro 249,66 57,55 2747 1696 9 4 Takoma 20,46 20,39 1886 1042 - - Kota Baru 23,28 22,50 1687 1060 3 - Jumlah 1.371,88 340,10 30.276 18.131 107 13 Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Sungai Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Tengah seperti yang terlihat dalam Gambar 35, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi

121 tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>500 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >20%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 4 kelurahan yaitu kelurahan Marikurubu, kelurahan Maliaro, kelurahan Soa dan kelurahan Makassar Barat. Gambar 35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Tengah membentuk 3 (tiga) pola, yaitu pola pararel, pola siku dan pola jaring-jaring. Saluran-saluran drainase yang membentuk pola pararel dibuat sejajar dengan saluran sekunder untuk dialiri ke pembuangan saluran primer yakni sungai hingga menuju ke laut. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung sebelum masuk ke saluran sekunder. Kecamatan Ternate Selatan memiliki saluran drainase yang terdiri dari 39 sungai sebagai saluran primer, 142 bangunan gorong-gorong, 19.070 m saluran tersier, dan 31.801 m saluran sekunder yang berada di kawasan permukiman (412,91 ha), dimana saluran sekunder sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor (Tabel 37). Kecamatan ini memiliki saluran primer (sungai) terbanyak dibanding kecamatan lainnya, sehingga aliran air dari hulu

122 sebagian besar masuk ke sungai-sungai yang melintasi kecamatan Ternate Selatan. Namun demikian dimensi sungai yang berada di bagian hilir cenderung semakin menyempit yang diakibatkan oleh permukiman warga yang berada di bantaran sungai. Selain itu, tumpukan sampah dan sedimentasi masih terlihat di hilir sungai hingga sampai ke tepi pantai. Tabel 37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan Kelurahan Jumlah Bangunan Luas Luas Lahan Panjang Drainase Drainase Wilayah Permukiman Sekunder Tersier Gorong- (ha) (ha) Sungai (m) (m) Gorong Toboko 12,06 10,42 956 1213 2 - Tanah Tinggi 44,56 33,10 3241 1713 6 3 Jati 58,11 41,13 3988 1750 6 - Jati Perumnas 25,31 16,70 1922 1849 10 2 Tobona 302,89 27,69 1872 996 10 2 Mangga Dua 58,03 51,87 1628 2487 6 3 Ubu-Ubo 22,23 21,59 1864 1082 11 1 Bastiong 60,38 57,91 2270 2803 28 3 Kalumata 333,63 73,54 2771 745 30 5 Sasa 388,83 30,91 938 1974 12 5 Gambesi 311,29 26,63 3814 2280 9 7 Fitu 331,15 21,42 6537 178 12 8 Jumlah 1.948,47 412,91 31.801 19.070 142 39 Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Selatan, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kalumata, kelurahan Tobona, dan kelurahan Ngade (Gambar 36).

123 Gambar 36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Selatan membentuk 4 (empat) pola, yaitu pola pararel, pola siku, pola jaring-jaring dan pola grid iron. Pola pararel pada jaringan drainase di lokasi ini berfungsi sebagai saluran pengumpul untuk selanjutnya diteruskan ke saluran primer. Pola siku cocok untuk wilayah dengan topografi dataran tinggi, dimana aliran air dapat dialiri dari saluran sekunder yang dibuat lebih tinggi untuk mengaliri dengan baik langsung ke sungai/laut. Pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung/pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder. Beberapa saluran drainase sekunder yang membentuk pola grid iron dibangun sejajar satu sama lain sedangkan saluran yang lainnya dibuat sebagai saluran pengumpul. Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Utara menunjukkan bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 101 bangunan goronggorong, 24.479 m saluran terseier, 18.703 m saluran sekunder yang berada di permukiman 360,79 ha atau 24,33% dari jumlah luas wilayahnya 1.482,42 ha (lihat Tabel 38).

124 Tabel 38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara Kelurahan Jumlah Bangunan Luas Luas Lahan Panjang Drainase Drainase Wilayah Permukiman Sekunder Tersier Gorong- (ha) (ha) Sungai (m) (m) Gorong Tabam 234,89 39,76 1602 142 5 - Tafure 71,06 61,42 1959 106 3 1 Tubo 202,01 13,87 2663 454 5 1 Akehuda 52,79 34,82 2374 554 9 1 Dufa-Dufa 270,31 42,72 1825 1275 11 2 Sangaji 130,92 32,73 3700 6923 20 2 Toboleu 118,46 27,91 2725 2271 12 1 Salero 20,18 14,42 921 1741 12 1 Kasturian 59,67 20,53 3877 1841 11 1 Soasio 17,90 14,67 681 621 6 1 Soa 46,76 26,68 2122 2248 6 2 Sango 257,47 31,26 30 527 1 - Jumlah 1.482,42 360,79 24.479 18.703 101 13 Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Sebagian area permukiman di kecamatan Ternate Utara masih belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kasturian, kelurahan Tubo, dan kelurahan Sangaji (Gambar 37). Gambar 37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara

125 Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Utara membentuk 4 (empat) pola, yaitu pola grid iron, pola radial, pola siku, dan pola jaring-jaring. Jaringan drainase dengan pola grid iron yakni seluruh drainase tersier mengarah pada drainase sekunder yang berada memanjang mengikuti jaringan jalan kemudian masuk ke saluran primer (sungai) hingga menuju ke laut. Pola radial dibangun agar supaya air berpencar ke segala arah sehingga air dibuang ke sebelah utara yang merupakan lahan perkebunan, ke sebelah timur menuju drainase sekunder sedangkan ke selatan menuju sungai. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder. Kecamatan Pulau Ternate memiliki 13 kelurahan, yang terdata memiliki saluran drainase hanya 3 kelurahan yaitu kelurahan Kastela, Foramadiahi dan Jambula. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate menunjukkan bahwa terdapat 9 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 17 bangunan gorong-gorong (Culvert), 2.247 m saluran tersier, 2.918 m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor primer (jalan trans Ternate). Jumlah luas wilayah kecamatan ini adalah 4.770,68 ha dengan luas lahan permukiman 172,56 ha atau 3,62% dari luas jumlahnya. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate Kelurahan Jumlah Bangunan Luas Luas Lahan Panjang Drainase Drainase Wilayah Permukiman Sekunder Tersier Gorong- (ha) (ha) Sungai (m) (m) Gorong Kastela 144,48 11,07 955 415 9 5 Foramadiahi 491,59 5,63 825 958 6 2 Jambula 115,16 33,01 1138 874 2 2 Jumlah 751,23 49,71 2.918 2.247 17 9 Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Kecamatan ini memiliki luas permukiman terkecil dibanding dengan kecamatan lain, sehingga ikut berpengaruh pada jaringan drainase yang tersedia. Jaringan drainase yang berada di kecamatan Pulau Ternate, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Afetaduma, kelurahan Rua, dan kelurahan Dorpedu (Gambar 38).

126 Gambar 38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate Pola jaringan drainase yang terdapat di kecamatan ini ialah bentuk pola siku, dan pola grid iron. Pola tersebut dapat terlihat dari adanya saluran drainase yang dibuat sejajar yang berfungsi sebagai pencegah pembebanan aliran sebelum masuk pada saluran drainase penampung sekaligus pengantar menuju saluran drainase primer/alam (sungai), bahkan drainase pencegah pembebanan aliran bisa juga langsung menuju sungai. Kondisi eksisting saluran riol di kota Ternate terdapat pada jalan utama kota (jalan kolektor primer) atau tepatnya berada di jalan utama (kelurahan Takoma) yang saat ini belum mampu bekerja secara maksimal. Saluran riol membentang sepanjang 200 m, dimensi lebar 2 m dan tinggi 2 m dengan kapasitas tampung 800 m 3 harusnya dapat menampung debit 5,25 m 3 /det. Namun hal tersebut belum dapat terpenuhi, karena disebabkan oleh tingginya outlet riol yang bermuara pada sungai Takoma berada sama dengan tinggi air sungai pada saat musim hujan, disamping itu desain outlet riol yang dibangun tanpa memperhitungkan aliran air sungai sehingga jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, kerap menimbulkan back water pada saluran riol.

127 Limpasan air (run-off) dari wilayah belakang atau dari wilayah atas (dataran tinggi) yang membebani saluran drainase di pusat kota (kelurahan Gamalama dan sekitarnya) yang dapat menimbulkan genangan atau banjir lokal, dapat diatasi dengan adanya riol di kelurahan Takoma. Apabila kawasan permukiman berkembang di kawasan ini atau daerah atasnya, maka diketahui koefisien pengaliran akan meningkat maka dapat dievakuasi masuk kedalam riol tersebut. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa air limpasan dari daerah atas yang kerap menimbulkan masalah banjir bagi kawasan pusat kota dapat diatasi dengan saluran riol tersebut (Dinas PU Kota Ternate, 2008). Identifikasi Daerah Genangan di Kota Ternate Sistem drainase di kota Ternate masih terdapat saluran-saluran yang tidak berfungsi dengan baik sehingga menimbulkan genangan, misalnya di kelurahan Gamalama, kelurahan Mangga Dua Utara, kelurahan Dufa-Dufa, kelurahan Tafure dan Kelurahan Tubo (Lihat Tabel 40 dan Gambar 39). Hal ini disebabkan oleh rusaknya saluran drainase akibat dari sedimentasi dan tumpukan sampah pada saluran yang menyumbat aliran air. Tabel 40. Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate Data Kuantitatif Genangan Lokasi Genangan Banjir Luas Tinggi Waktu Konsentrasi (ha) (cm) (menit) Jl. Poros Tafure 0,4 15 15 Jalan Kel. Tubo RT 03-08 1,7 20 90 Jl. Poros Mangga Dua (Depan SD Islamiyah) Kel. Gamalama (Depan RS. Dharma Ibu) Area yang Tergenang Jalan dan rumah penduduk 0,2 10 12 Jalan 0,3 15 15 Jalan Kel. Dufa-Dufa Lingkungan Toloko 0,7 20 30 Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Jalan dan rumah penduduk Faktor penyebab terjadinya banjir dan genangan di kota Ternate adalah sebagai berikut : a. Limpasan air dari sungai menggenangi dalam kota. b. Limpasan air akibat kecepatan aliran air dalam saluran yang tinggi terutama drainase yang berada pada jalan yang memiliki kemiringan.

128 c. Menurunnya kemampuan saluran/drainase akibat sedimentasi/endapan lumpur dan penyumbatan akibat sampah. d. Tidak cukupnya kapasitas saluran drainase kota. e. Dimensi saluran yang mengecil akibat penyerobotan lahan permukiman atau bangunan ataupun adanya bangunan di atas saluran. f. Kemungkinan back water di saluran drainase atau di muara-muara sungai karena air pasang atau karena sampah dan sedimentasi. Gambar 39. Jaringan Drainase dan Daerah Genangan di Kota Ternate Kesimpulan Cakupan Pelayanan Sistem Drainase Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting dalam menangani kelebihan air permukaan sebelum masuk ke alur-alur besar atau sungai. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada. Kondisi sistem drainase yang ada di kota Ternate memberikan gambaran bahwa masih terdapat wilayah yang belum tersedia saluran drainase (khususnya dataran tinggi) dan daerah-daerah genangan yang umumnya terjadi pada saluran-saluran yang berada di jalan-jalan pusat kota. Waktu konsentrasi genangan tidak berlangsung lama (rata-rata 30 menit) dan

129 terjadi jika intensitas hujan tinggi. Namun demikian, genangan air tersebut dapat memperlambat kendaraan yang melintas dan secara berjangka air dapat merusak infrastruktur jalan. Selain itu, genangan air dapat menurunkan kualitas lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Infrastruktur Persampahan Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Persampahan Pengelolaan sampah di kota Ternate merupakan tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPA Buku Deru-Deru terletak di Kelurahan/Desa Takome Kecamatan Pulau Ternate merupakan tempat pemrosesan akhir terhadap sampah perkotaan. Akses ke TPA ±15 km dari pusat kota, dengan luas 60 ha dan kondisi topografisnya bergelombang pada bagian kaki bukit, serta kemiringan lereng 8-15% kearah pantai dengan kondisi tanah bebatuan. Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open dumping dengan zona aktif 5,25 ha dimanfaatkan sebagai lahan penimbunan terbuka, 0,02 ha digunakan sebagai sarana dan prasarana pendukung TPA dan bangunan komposting. Untuk lahan yang termasuk zona pasif seluas 7,80 ha merupakan eks lahan penimbunan sampah sistem open dumping dan 0,4 ha sistem controlled landfill. Sisa lahan ±46,52 ha merupakan zona penyangga yang ditumbuhi oleh berbagai semak belukar dan tanaman non produktif. Fungsi zona penyangga tersebut berguna untuk meredam dampak yang timbul dari aktivitas TPA seperti bau dan kebisingan terhadap masyarakat yang bermukim di sekitarnya (lihat Tabel 41 dan Gambar 39). Tabel 41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru No Area Luas (ha) Keterangan 1 Zona Pasif TPA controlled landfill Eks open dumping 2 Zona Aktif Open dumping Bangunan sarana dan prasarana Bangunan Komposting 3 Zona Penyangga Semak belukar, tanaman non produktif Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2008) 1,12 0,40 5,25 0,18 0,01 53,03 Belum beroperasi Tidak beroperasi

130 Pengolahan sampah secara open dumping dinilai ekonomis terhadap biaya serta mekanisme pelaksanaannya mudah, namun dampak yang ditimbulkan cukup kompleks terhadap lingkungan sekitar TPA. Dampak yang ditimbulkan meliputi pencemaran udara berupa bau, pencemaran air meliputi pengaruh fisik dan kimia air serta penyakit yang ditularkan oleh perkembangbiakan hewan misalnya lalat, tikus, kecoak, cacing dan berbagai hewan lainnya. Selain itu sistem sanitasi yang tidak baik dapat menimbulkan pencemaran air, karena air lindi dapat meresap/merembes secara terinfiltrasi masuk kedalam tanah yang dapat menyebabkan pencemaran tanah, air permukaan maupun air sungai yang berada di sekitarnya. Secara teknis sistem pengolahan sampah dengan metode open dumping dimulai dari kedatangan truck amroll atau dump truck yang mengangkut sampah dari sumber sampah ke lokasi TPA, selanjutnya petugas pengawas lapangan menunjukkan lokasi dimana sampah yang datang harus dibongkar, hasil pembongkaran selanjutnya diratakan tanpa diberi timbunan penutup, hal ini berlangsung setiap hari yang dilakukan oleh petugas pengelola di lokasi TPA. Adapun mekanisme pengelolaan sampah di lokasi TPA diantaranya dengan cara penimbunan, komposting, pemanfaatan sapi, serta daur ulang (recycling). Dalam perencanaannya kedepan, sistem open dumping akan ditingkatkan menjadi controlled landfill dengan mengambil lokasi dari zona aktif TPA seluas 1,12 ha (Dinas Kebersihan Kota Ternate, 2008). Penyiapan prasarana untuk controller landfill telah dilaksanakan sebagian seperti penyediaan area sel dengan sistem geomembran. Pemrosesan air lindi yang terdiri dari 3 (tiga) kolam, yaitu kolam anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi, pipa saluran air lindi yang meliputi pipa primer 6 dan pipa sekunder 4, dan pembuatan sumur kontrol kualitas air sebanyak 3 buah. Akan tetapi prasarana tersebut belum dapat dipergunakan karena ada beberapa hal teknis yang masih dipertimbangkan.

131 Gambar 40. Blok Pelayanan dan Prasarana Persampahan Kota Ternate Pengelolaan persampahan di Kota Ternate hingga saat ini baru menjangkau 28 kelurahan pada 3 kecamatan di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 blok pelayanan. Pada kecamatan Ternate Utara hanya dapat menjangkau 12 kelurahan dari jumlah14 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 3 blok pelayanan. Sementara untuk kecamatan Ternate Tengah hanya mampu menjangkau kelurahan yang berada di sekitar kawasan pesisir yaitu 12 kelurahan dari jumlah 15 kelurahan dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Ternate Selatan hanya terlayani 12 kelurahan dari jumlah17 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Pulau Ternate belum sama sekali terlayani untuk pengangkutan sampah ke TPA. Namun demikian lokasi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) tersebar merata di seluruh kecamatan (lihat Gambar 40). Cakupan pelayanan pada tahun 2010 sebesar 80,02% dari jumlah penduduk Kota Ternate (lihat Tabel 42).

132 Tabel 42. Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate Volume TPA Produksi Sampah Dan Tingkat Pelayanan Lokasi Luas (ha) Luas Terpakai (ha) Produksi sampah Jumlah Tingkat Pelayanan (jiwa) TPA Buku Deru- Deru (Kel.Takome) Per hari (m 3 ) Per hari lt/hari 56 3 145 2,5 Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010) 80,02 % dari jumlah penduduk kota Ternate Komparasi Ketersediaan InfrastrukturPersampahan Berdasarkan Standar SNI 19-2454-2002 Kondisi eksisting penanganan persampahan di Kota Ternate dianalisis menggunakan beberapa pola pelayanan yang disesuaikan dengan SNI 19-2454- 2002, dengan wilayah pelayanan antara lain : 1. Sampah Rumah Tangga Untuk daerah permukiman menggunakan pola pelayanan dengan sistem pola individual langsung atau sistem door to door yaitu sampah dikumpulkan dan diangkut dengan dump truk dari sumbernya ke TPA. Masyarakat hanya mengumpulkan dengan kantong-kantong plastik dan meletakkan dipinggir jalan. Pola pelayanan tersebut sering menimbulkan kemacetan atau sulitnya kendaraan berlintasan di permukiman yang jalannya sempit. Selain itu sistem door to door ini waktu tempuh pengumpulan dan pengangkutan sampah menjadi lebih lama. 2. Sampah Perkantoran Pola pelayanan sampah perkantoran menggunakan pola komunal langsung yaitu sampah dikumpulkan pada wadahnya/tps kemudian langsung diangkut ke TPA menggunakan dump truk. 3. Sampah Jalan, Taman dan Drainase. Pengumpulan sampah jalan, taman dan drainase pada umumnya dilakukan pembersihan sampah dan dikumpulkan pada bak sampah kemudian diangkut langsung ke TPA. 4. Sampah Pasar Untuk areal pasar, pola pelayanan yang dipakai adalah pola kumunal langsung yaitu sampah diangkut langsung ke TPA setelah sampah dikumpulkan warga pasar dalam kontainer yang disediakan Dinas Kebersihan Kota Ternate.

133 namun demikian, ada pula sampah yang sebagian diolah (komposting) misalnya di wilayah kelurahan Gamalama yang menyediakan bangunan komposting untuk mengolah sampah yang berasal dari pasar. Merujuk pada SNI 19-3983-1995 tentang spesifikasai timbulan sampah untuk ukuran kota kecil yaitu 2,5 2,75 lt/org/hari, maka timbulan sampah yang diangkut ke TPA telah sesuai dengan standar yang ada (lihat Tabel 42) dengan komposisi sampah terlihat pada Tabel 44. Ini berarti bahwa dengan jumlah penduduk kota Ternate di tahun 2010 yang mencapai 174.945 jiwa menghasilkan produksi sampah sebesar 2,5 lt/hari, dengan komposisi sampah terbesar yaitu dari komponen sampah sisa makanan (organik). Namun timbulan sampah yang tidak terangkut ke TPA belum dapat diketahui, karena adanya lokasi (kelurahan) yang belum terlayani pengangkutan sampah misalnya pada kelurahan-kelurahan yang berada di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 39). Tabel 43. Komposisi Sampah Kota Ternate No Komponen Sampah Berat Sampah per Komponen di TPA (kg) 1 Sisa Makanan (organik) 63,82 2 Kertas 2,51 3 Plastik 3,40 4 Kaca/botol gelas 2,88 5 Kulit 0,21 6 Logam 2,48 7 Kaleng 3,19 Persentase (%) 81,31 3,20 4,33 3,67 0,27 3,16 4,06 Jumlah 78,49 100,00 Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010) Adapun produksi sampah dan kapasitas pelayanan mulai dari tahun 2005 sampai 2008 disajikan pada Tabel 44. Tabel 44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008 Tahun 2005 2006 2007 2008 Jumlah Penduduk (jiwa) 163.166 165.961 171.722 185.453 Jumlah Penduduk Terlayani Jumlah Penduduk Tidak Terlayani Produksi Sampah Diangkut ke TPA Tidak diangkut ke TPA jiwa % jiwa % m 3 /tahun m 3 /tahun % m 3 /tahun % 134.499 82 28.667 18 129.240 77.040 60 52.200 40 141.272 85 24.689 15 131.400 80.280 61 51.120 39 142.134 83 29.588 17 136.080 82.800 61 53.280 39 153.925 83 31.528 17 146.880 90.000 61 56.880 39 Kapasitas pelayanan sampah dari tahun 2005 hingga tahun 2008, menunjukkan adanya peningkatan pelayanan. Ini ditandai dengan meningkatnya tingkat pelayanan pada tahun 2005 hanya mampu melayani penduduk 134.499

134 jiwa (82%) dari jumlah penduduk meningkat 153.925 jiwa (83%) di tahun 2008. Jumlah penduduk yang tidak terlayani hanya berkisar 17%-18% dari jumlah penduduk di tahun 2005-2008. Hal ini tentunya berpengaruh pada kapasitas angkut sampah, dimana produksi sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Tercatat dari Tabel 44 bahwa produksi sampah pada tahun 2008 yaitu 146.880 m 3 /tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 90.000 m 3 /tahun (61%) atau adanya produksi sampah yang tidak terangkut berkisar 56.880 m 3 /tahun (39%). Sampah yang tidak terangkut ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Fenomena tersebut sudah membudaya dan berlangsung sejak lama. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran air di sekitar tepian pantai. Contoh kasus ialah pada kawasan permukiman yang berada diatas air (rumah gantung) di kelurahan Makassar Timur, sebelumnya tidak difasilitasi dengan sarana sanitasi dan persampahan yang ideal sehingga badan air sangat mudah tercemar oleh aktivitas masyarakat yang membuang sampah ataupun MCK di tepian pantai tersebut (Djafar, 2004). Kawasan permukiman tersebut sangat terlihat kumuh dan tepat berada di kawasan waterfront, sehingga sangat menganggu estetika kota. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Infrastruktur Persampahan Sampah di kota Ternate dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open dumping yang dinilai ekonomis dalam hal biaya serta mekanisme pelaksanaannya yang mudah, namun berdampak terhadap lingkungan sekitar TPA. Pengelolaan persampahan di Kota Ternate telah menjangkau 28 Kelurahan dari 59 kelurahan yang berada di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 (sepuluh) blok pelayanan. Kapasitas pelayanan sampah pada tahun 2005-2008 cenderung meningkat dari 82% (134.499 jiwa) menjadi 83% (153.925 jiwa). Produksi sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Produksi sampah pada tahun 2008 adalah 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 61% dan sampah yang tidak terangkut berkisar 39%. Sampah yang tidak terangkut

135 ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian, pengelolaan sampah di Kota Ternate memerlukan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh, karena hal ini berkaitan erat dengan keindahan kota dan kesehatan masyarakat. Semakin besar ukuran suatu kota, maka masalah persampahan semakin sulit ditangani karena jumlah bangkitan sampah semakin besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Kondisi Eksisting Prasarana Pendidikan Prasarana Pendidikan Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Secara berjenjang pendidikan dasar terdiri dari pendidikan anak usia dini meliputi taman kanak-kanak, raudhatul athfal, kelompok bermain dengan masa pendidikan 2-3 tahun, pendidikan dasar 6 tahun meliputi sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, kelompok belajar paket A, dan pendidikan dasar 3 tahun meliputi sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah dan kelompok belajar paket B. Sebaran prasarana pendidikan dasar di kota Ternate tahun 2010 adalah jumlah TK 42 unit, jumlah SD 96 unit, jumlah SMP sebesar 19 unit, jumlah SMU/SMK sebesar 19 unit. Sebaran prasarana pendidikan dasar pada setiap jenjang dikaitkan dengan jumlah peserta didik (siswa) dan jumlah tenaga pendidik (guru). Jumlah prasarana pendidikan dasar di Kota Ternate disajikan dalam Tabel 45 dan Tabel 46. Tabel 45. Jumlah Prasarana Pendidikan Kecamatan Jumlah Praarana Pendidikan TK SD SLTP SMU/SMK Pulau Ternate 7 13 4 1 Ternate Selatan 12 33 8 7 Ternate Tengah 12 27 5 6 Ternate Utara 11 23 2 5 Kota Ternate 42 96 19 19 Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

136 Tabel 46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik Kecamatan TK SD SLTP SMU/SMK Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru Pulau Ternate 249 37 1.637 189 440 64 118 33 Ternate Selatan 395 56 5.912 391 2.088 208 1.630 197 Ternate Tengah 396 62 6.283 372 2.473 187 3.213 255 Ternate Utara 381 57 3.819 274 1.502 96 2.353 280 Kota Ternate 1.421 212 17.651 1.226 6.503 555 7.314 765 Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Komparasi Ketersediaan Prasarana Pendidikan Berdasarkan Standar SNI 19-2454-2002 Perencanaan fasilitas pendidikan yang didasarkan pada tujuan pendidikan, harus menyediakan ruang belajar untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta sikap siswa (peserta didik) secara optimal. Penyedian fasilitas pendidikan di suatu wilayah harus mempertimbangkan usia anak sekolah yang membutuhkan pendidikan, pendekatan ruang setiap unit dalam lingkungan, dan memperhatikan jangkauan radius pelayanan. Kebutuhan prasarana pendidikan berdasarkan SNI-03-1733-2004, dianalisis dari jumlah penduduk (usia anak sekolah) secara berjenjang dari unit terendah (PAUD/TK) hingga unit tertinggi (SMU/SMK). Kebutuhan taman kanak-kanak (TK) per 1.250 jiwa dengan radius 500 meter, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 2 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 25-30 siswa dan berada di dalam lingkungan perumahan. Sekolah Dasar (SD) per 1.600 jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa serta berada di dalam lingkungan perumahan bergabung dengan taman dan ruang terbuka hijau. Sekolah Menengah Pertama (SLTP) per 4.800 jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa dan dapat bergabung dengan Sekolah Dasar serta akses pencapaian dapat juga ditempuh dengan kendaraan dan berlokasi di jalan lokal atau jalan lingkungan perumahan. Dengan mengetahui jumlah anak usia sekolah, maka secara langsung akan diketahui kebutuhan prasarana pendidikan dalam suatu wilayah. Hingga tahun 2010, jumlah usia sekolah di Kota Ternate pada masing-masing jenjang pendidikan disajikan pada Tabel 47.

137 Tabel 47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar Umur 0-4 Umur 5-9 Umur 10-14 Umur 15-19 Kecamatan Tahun (jiwa) Tahun (jiwa) Tahun (jiwa) Tahun (jiwa) Pulau Ternate 2.243 1.798 1.938 2.595 Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara 4.807 5.952 4.020 6.038 6.311 3.974 3.277 3.954 2.819 3.121 4.412 3.892 Kota Ternate 17.022 18.121 11.988 14.020 Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Taman Kanak Kanak (TK) Usia sekolah untuk pendidikan usia dini (TK) diasumsikan rata-rata 2-4 tahun sebanyak 10.000 jiwa (Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar ialah 333 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @ 25-30 siswa) atau 167 sekolah (1 gedung sekolah minimal 2 ruang belajar). Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting TK yang ada di Kota Ternate (tahun 2010) yang hanya berkisar 42 unit sekolah atau ketersediaan hanya berkisar 25% (lihat Tabel 48), maka ketersediaan gedung sekolah TK belum mencukupi dari segi jumlah penduduk usia sekolah yang terlayani. Dari perhitungan tersebut maka terlihat bahwa masih kekurangan fasilitas sekolah sebanyak 125 unit (75%). Jumlah penduduk yang tercatat sebagai siswa TK hanya berkisar 1.421 siswa, sementara dengan melihat jumlah anak usia sekolah pendidikan usia dini sebanyak 10.000 jiwa menunjukkan bahwa masih ada sekitar 8.000 jiwa (75%) yang belum mendapatkan akses pendidikan TK. Tabel 48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate Kecamatan Jumlah Penduduk (Usia 0-4) Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan Anak Usia Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah % Sekolah* Pulau Ternate 2.243 1.300 22 249 7 32 15 68 Ternate Selatan 4.807 2.800 47 395 12 26 35 74 Ternate Tengah 5.952 3.500 58 396 12 21 46 79 Ternate Utara 4.020 2.400 40 381 11 28 29 73 Kota Ternate 17.022 10.000 167 1.421 42 *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 0-4 tahun 25 125 75 Ket Tidak cukup Tidak cukup Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup Akses pencapaian sekolah TK pada masing-masing kecamatan rata-rata berada pada radius <500 m dan berada pada lingkungan perumahan. Sebaran

138 fasilitas pendidikan TK, umumnya merata pada 3 (tiga) kecamatan, yaitu kecamatan Ternate Utara, kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan. Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate hanya terdapat 8 sekolah TK yang hanya tersebar pada beberapa kelurahan, sehingga ada sekitar 6 kelurahan yang tidak mendapatkan akses fasilitas gedung sekolah. Namun demikian, jumlah sekolah tentunya berkaitan dengan jumlah usia anak sekolah, dimana jumlahnya di kecamatan Pulau Ternate lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan lainnya, sehingga sebaran fasilitas gedung sekolah lebih sedikit atau terbatas (Gambar 41). Gambar 41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Pendidikan sekolah dasar (SD) dengan usia sekolah 6-12 tahun diasumsikan jumlah penduduk sebanyak 17.800 jiwa (dianalisis dari Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar adalah 445 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau 74 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar).

139 Ketersediaan SD di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 96 sekolah, maka ketersediaan sekolah SD telah melebihi dari standar jumlah penduduk yang terlayani. Meskipun demikian, belum secara keseluruhan jumlah usia anak sekolah SD mendapat akses pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah siswa SD yang terdaftar sebanyak 17.651 siswa, sedangkan jumlah usia sekolah SD sebanyak 17.800 jiwa, sehingga diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 150 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan SD. Selanjutnya dapat disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate Jumlah Kebutuhan Ketersediaan Kecamatan Penduduk Anak Usia Keterangan Sekolah Siswa Sekolah (Usia 5-14) Sekolah* Pulau Ternate 3.736 2.200 9 1.637 13 Cukup Ternate Selatan 9.315 5.500 23 5.912 33 Cukup Ternate Tengah 10.265 6.100 25 6.283 27 Cukup Ternate Utara 6.793 4.000 17 3.819 23 Cukup Kota Ternate 30.109 17.800 74 17.651 96 Cukup *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 6-12 tahun Akses pencapaian sekolah SD pada masing-masing kecamatan terbilang mudah, karena memiliki sebaran merata pada tiap kelurahan. Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas SD berada pada radius <1.000 m dan berada pada lingkungan perumahan maupun jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder. Umumnya fasilitas gedung sekolah yang berada di jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder terkonsentrasi di pusat kota, yaitu pada kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara. Sebaran fasilitas pendidikan SD yang terlihat pada Gambar 42 menunjukkan sebaran merata pada 4 (empat) kecamatan dan kecamatan Ternate Selatan memiliki ketersediaan sekolah SD yang lebih banyak yaitu 33 sekolah. Jumlah siswa yang hanya 5.912 siswa di kecamatan Ternate Selatan lebih kecil dibandingkan kecamatan Ternate Tengah, sehingga secara keseluruhan kecamatan Ternate Tengah lebih cenderung mempunyai daya tampung terpadat dibandingkan dengan kecamatan lainnya (lihat Tabel 49).

140 Gambar 42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama Kebutuhan prasarana pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) dengan usia sekolah 13-15 tahun, diasumsikan jika jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 7.400 jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 185 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar). Jika sarana pendidikan SLTP yang ada di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 19 unit sekolah (cakupan pelayanan 12%) dengan jumlah siswa sebanyak 6.503 siswa (Tabel 50), maka ketersediaan sekolah masih kurang dari standar untuk dapat melayani jumlah usia sekolah tingkat pertama. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diasumsikan bahwa masih dibutuhkan sarana sekolah sekitar 11 unit (37%) untuk dapat menampung sekitar 900 jiwa (jumlah penduduk usia sekolah) yang tersisa.

141 Tabel 50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate Kecamatan Jumlah Penduduk (Usia 10-19) Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan Anak Usia Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah % Sekolah* Pulau Ternate 4.533 1.200 6 440 4 67 2 33 Tidak cukup Ternate Selatan 6.398 1.900 7 2.088 8 100 - - Cukup Ternate Tengah 8.366 2.400 10 2.473 5 50 5 50 Ternate Utara 6.711 1.900 7 1.502 2 29 5 71 Kota Ternate 26.008 7.400 30 6.503 19 63 11 37 *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 13-15 tahun Ket Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup Gambar 43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP Akses pencapaian sekolah SLTP pada masing-masing kecamatan yang terlihat pada Gambar 43 memiliki sebaran merata hampir pada tiap kecamatan. Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas sekolah berada pada radius <1 km untuk kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan, sedangkan untuk kecamatan Ternate Utara, kecamatan Pulau Ternate dan sebagian kecamatan Ternate Selatan berada pada radius >1 km atau jarak terjauh dengan radius 2 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer maupun

142 terletak pada jalan kolektor sekunder, sehingga akses menuju sekolah lebih mudah meskipun waktu tempuh perjalanan berbeda-beda. Rata-rata waktu tempuh ke fasilitas sekolah yang berada di kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan hanya sekitar 10-15 menit. Sementara untuk wilayah kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu tempuh lebih dari 25 menit untuk sampai ke lokasi. Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Sekolah Menengah Umum/Kejuruan Usia sekolah untuk pendidikan sekolah menengah baik umum maupun kejuruan (SMU/SMK), diasumsikan rata-rata 16-18 tahun dengan perhitungan jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 8.200 jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 200 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau dibutuhkan sekitar 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar). Jika sarana pendidikan SMU/SMK yang ada di kota Ternate pada tahun 2010 diketahui sebanyak 19 unit sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 7.314 siswa (Tabel 51), maka berdasarkan standar ketersediaan sekolah masih kurang untuk dapat melayani jumlah usia sekolah menengah. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk untuk usia sekolah, maka diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 1.000 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan dan masih kekurangan fasilitas sekolah adalah 15 unit (44%). Tabel 51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate Kecamatan Jumlah Penduduk (Usia 15-19) Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan Anak Usia Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah % Sekolah* Pulau Ternate 2.595 1.500 6 118 1 17 5 83 Tidak cukup Ternate Selatan 3.121 1.800 7 1.630 7 100 - - Cukup Ternate Tengah 4.412 2.600 10 3.213 6 60 4 40 Ternate Utara 3.892 2.300 9 2.353 5 56 4 44 Kota Ternate 14.020 8.200 34 7.314 19 56 15 44 *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 16-18 tahun Ket Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup

143 Gambar 44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK Akses pencapaian ke fasilitas sekolah SMU/SMK pada masing-masing kecamatan (lihat Gambar 44) memiliki sebaran cenderung bergerombol pada wilayah pusat kota (berada atau dekat kecamatan Ternate Tengah). Radius pencapaian dari permukiman ke fasilitas sekolah untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan <1 km, sedangkan untuk kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate berada pada radius >1 km atau radius terjauh hingga 3 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer dan jalan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses pencapaiannya. Waktu tempuh tiap kecamatan berbeda, misalnya untuk kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu tempuh >30 menit untuk menuju sekolah, dibanding 3 (tiga) kecamatan lainnya yang cenderung membutuhkan waktu <15 menit. Perbedaan jarak antara permukiman dan fasilitas pelayanan menyebabkan adanya perbedaan dalam waktu tempuh.

144 Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Pendidikan Analisis jumlah penduduk berdasarkan tingkat usia sekolah pada tiap jenjang pendidikan memperlihatkan bahwa kebutuhan akan sarana dan prasarana pendidikan dasar belum mencukupi. Fasilitas pendidikan yang belum mencukupi diantaranya sekolah TK, SLTP dan SMU/SMK, sedangkan fasilitas sekolah SD telah mencukupi standar pelayanan. Jika jumlah penduduk usia sekolah dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mendapatkan akses pendidikan, maka diketahui masing-masing jenjang pendidikan masih membutuhkan fasilitas sekolah TK 75%, SLTP 36% dan SMU/SMK 44%. Jumlah usia sekolah untuk jenjang pendidikan usia dini (TK) lebih tinggi untuk kategori yang belum mendapatkan akses pendidikan. Hal ini disebabkan karena umumnya usia sekolah TK di Kota Ternate rata-rata setelah 4 tahun, sehingga jumlah anak yang bersekolah di TK hanya separuh dari jumlah yang ada. Sementara ketentuan pendidikan anak usia dini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ialah usia sekolah untuk jenjang tersebut antara 2-5 tahun. Sebaran fasilitas pendidikan berhubungan dengan jumlah penduduk usia sekolah di suatu wilayah. Jumlah penduduk usia sekolah yang lebih banyak misalnya pada Kecamatan Ternate Tengah (pusat kota), maka ketersediaan fasilitas akan semakin tinggi. Pola sebaran terlihat merata pada tiap kelurahan untuk sarana pendidikan SD, sedangkan untuk sarana pendidikan TK, SLTP, dan SMU/SMK lebih cenderung (lebih banyak) terkonsentrasi di pusat kota. Akses pencapaian pada jenjang pendidikan TK dan SD telah memenuhi standar dengan radius pencapaian masing-masing >500 m dan >1 km. Jenjang pendidikan SLTP dan SMU/SMK di kecamatan Pulau Ternate memiliki jarak tempuh dalam radius terjauh masing-masing 2 km dan 3 km, dan untuk wilayah sekitar pusat kota yang meliputi 3 (tiga) kecamatan memiliki radius ke fasilitas pendidikan < 1 km. Pendidikan merupakan hal yang mendasar untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Jumlah fasilitas atau sarana penunjang yang lengkap berkorelasi positif terhadap kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan yang baik dapat memainkan peran kunci dalam membentuk sumberdaya manusia untuk menciptakan, menyerap teknologi modern, dan untuk mengembangkan kapasitas serta menyebarluaskan

145 pengetahuan. Secara makro mutu pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan daya saing bangsa. Prasarana Kesehatan Kondisi Eksisting Prasarana Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan prasarana ini adalah didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut. Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733- 2004 adalah sebagai berikut : a. Posyandu b. Balai Pengobatan Warga c. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA/Klinik Bersalin) d. Puskesmas dan Balai Pengobatan e. Puskesmas f. Tempat Praktek Dokter g. Apotek Kondisi eksisiting ketersediaan prasarana kesehatan di Kota Ternate pada tahun 2011 meliputi, 6 rumah sakit, 3 rumah sakit bersalin, 1 poliklinik/balai pengobatan, 6 puskemas, 9 puskesmas pembantu, 21 posyandu, 47 tempat praktek dokter dan 26 Apotek (dilihat pada Tabel 52). Tabel 52. Prasarana Kesehatan di Kota Ternate Kecamatan Prasarana Kesehatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Jumlah Posyandu 3 5 2 11 21 Poliklinik/Balai Pengobatan - - 1-1 Rumah Sakit Bersalin - 1 1 1 3 Puskesmas 1 2 2 1 6 Puskesmas Pembantu 2 2 2 3 9 Tempat Praktek Dokter - 11 32 4 47 Apotek - 7 15 4 26 Rumah Sakit - 1 4 1 6 Jumlah 6 29 59 25 119 Sumber : BPS Kota Ternate (2011)

146 Kecamatan Ternate Tengah memiliki prasarana kesehatan terbanyak dari pada kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pusat pelayanan kesahatan terkonsentrasi pada kecamatan Ternate Tengah. Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Posyandu terlihat sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan (lihat Gambar 45). Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Sementara sarana dan prasarana kesehatan lainnya misalnya rumah sakit, rumah sakit bersalin, balai pengobatan, tempat praktek dokter maupun apotek hanya terpusat pada wilayah yang berada di pusat kota atau sekitar pusat kota yaitu pada kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate Utara. Gambar 45. Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate Komparasi Ketersediaan Prasarana Kesehatan Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004 Jangkauan radius pelayanan fasilitas kesehatan dipertimbangkan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi dalam melayani suatu wilayah. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, kebutuhan Posyandu dengan ratio

147 pelayanan per 2.500 jiwa berada pada radius pelayanan 1 km 2, balai kesejahteraan ibu dan anak (BKIA/klinik bersalin) per 30.000 jiwa radius pelayanan 4 km 2, puskesmas pembantu dan balai pengobatan per 30.000 jiwa radius pelayanan 1,5 km 2, puskesmas dan balai pengobatan per 120.000 jiwa dengan radius pelayanan 3 km 2, tempat praktek dokter per 5.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km 2, dan Apotek per 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km 2. Tabel 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate Kecamatan Prasarana Kesehatan Pulau Ternate (15.024 jiwa)* Ternate Selatan (65.888 jiwa)* Ternate Tengah (54.677 jiwa)* Ternate Utara (47.724 jiwa)* Kebutuhan 1-1 1 1 Rumah Ketersediaan - 1 4 1 Sakit Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup Rumah Kebutuhan 2-2 1 1 Sakit Ketersediaan - 1 1 1 Bersalin Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup Kebutuhan 3 1 1 1 1 Puskesmas Ketersediaan 1 2 2 1 Keterangan cukup cukup cukup cukup Kebutuhan 4 3 13 10 9 Posyandu Ketersediaan 3 13 10 11 Keterangan cukup cukup cukup cukup Praktek Dokter Apotek Kebutuhan 5 3 13 11 10 Ketersediaan - 11 32 4 Keterangan tidak cukup tidak cukup cukup tidak cukup Kebutuhan 6-2 1 1 Ketersediaan - 7 15 4 Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup * Jumlah Penduduk tahun 2011 1 Standar 150.000 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 120.000 jiwa; 4 Standar 5.000 jiwa; 5 Standar 5.000 jiwa; 6 Standar 30.000 jiwa; Evaluasi ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat didasarkan pada jumlah layanan dari jenjang terendah yakni posyandu, puskesmas atau balai pengobatan hingga jenjang tertinggi yakni rumah sakit. Ketersediaan fasilitas yang terlihat pada Tabel 53 menunjukkan bahwa untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek sebarannya tidak merata. Fasilitas tersebut cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Jumlah posyandu terbanyak berada di Kecamatan Ternate Utara dengan jumlah penduduk hanya berkisar 47.724 jiwa, sehingga masyarakat terlayani untuk setiap Posyandu adalah sekitar 4.000 jiwa. Untuk fasilitas Puskemas di Kecamatan Ternate Utara memiliki 1 Puskesmas yang melayani 47.724 jiwa. Sama halnya pada kecamatan Pulau Ternate yang memiliki 1 Puskesmas untuk dapat melayani 15.024 jiwa, namun jumlah tersebut masih memenuhi standar SNI

148 03-1733-2004 untuk 30.000 jiwa/puskesmas. Kapasitas pelayanan Puskesmas juga masih tercukupi untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan. Fasilitas praktek dokter dan apotek terpusat di beberapa lokasi, sehingga sebarannya tidak merata. Kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas tersebut paling banyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Untuk itu pelayanan kesehatan di kecamatan ini tergolong lebih tinggi. Selain itu faktor kemudaan dalam akses pencapaian menjadi faktor utama dalam penyediaan tempat praktek dokter dan apotek, dimana hampir keseluruhan berada pada jalan-jalan utama (jalan kolektor). Akses pencapaian dari permukiman ke fasilitas kesehatan didukung oleh adanya jaringan jalan untuk menuju ke lokasi sarana kesehatan. Wilayah pelayanan posyandu rata-rata berjarak <0,5 km dengan waktu tempuh <25 menit, puskesmas rata-rata 1-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, RSB/BKIA dan RS jarak rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >40 menit, dan praktek dokter maupun apotek berjarak rata-rata 0,5-1 km dengan waktu tempuh <30 menit. Umumnya lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga untuk akses ke fasilitas kesehatan sangat mudah. Kondisi jaringan jalan yang baik menjadi titik tolak terpenting untuk melayani pertolongan pertama/tindakan darurat. Akses pencapaian ke sarana kesehatan berkaiatan dengan jaringan jalan dari jenjang jalan lingkungan hingga jalan kolektor. Jarak pencapaian ke fasilitas kesehatan oleh masyarakat disajikan dalam Tabel 54. Tabel 54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan Radius Pencapaian RSB/ Kecamatan Posyandu Puskesmas RS BKIA (km) (km) (km) (km) Pulau Ternate 0,5-1 5-6 6-7 6-7 Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara 0,2-0,5 0,2-0,5 0,2-0,5 2-3 1-2 2-3 2-3 1-2 4-5 2-3 1-1,5 3-4 Praktek Dokter (km) 6-7 1,5-2 0,5-1 1,5-2 Apotek (km) 6-7 1-1,5 0,5-1 1,5-2

149 Radius pencapaian dari permukiman di kecamatan Pulau Ternate ke berbagai fasilitas kesehatan sangat jauh yakni berkisar 6-7 km. Hal ini disebabkan karena minimnya fasilitas yang ada di kecamatan ini, sehingga untuk menjangkau fasilitas kesehatan yang terdekat harus menempuh radius jarak hingga 7 km dengan waktu tempuh > 1 jam. Untuk akses ke fasilitas kesehatan di kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara tergolong sangat mudah. Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, rumah sakit, atau praktek dokter berjarak rata-rata < 1 km. Sebaran sarana dan prasarana kesehatan masyarakat di 3 (tiga) kecamatan tersebut rata-rata berjarak 1-2,5 km. Pencapaian dari permukiman ke sarana dan prasarana kesehatan masyarakat terlayani mulai dari lingkungan hingga ke jenjang kecamatan. Jarak pencapaian terpenuhi atau sesuai standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Kesehatan Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kota Ternate menunjukkan sebaran tidak merata untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek, dan cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Lokasi pelayanaan pada tiap kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses ke fasilitas kesehatan. Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan. Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Ini berarti ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan telah memenuhi standar pelayanan minimum. Prasarana Niaga dan Perdagangan Kondisi Eksisting Prasarana Niaga dan Perdagangan Dasar penyediaan fasilitas niaga dan perdagangan selain berdasarkan jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Lokasi penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan

150 terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lingkungan perumahan dapat dirunut dari jenjang terendah dengan radius pelayanan kecil hingga jenjang tertinggi dengan radius pelayanan skala kota. Urutan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi adalah sebagai berikut: 1. Toko/warung. 2. Pertokoan, Rumah Toko. 3. Pasar di Lingkungan tingkat Kelurahan dan Kecamatan. 4. Mini Market/Swalayan kecil. 5. Supermarket/Pasar Swalayan. 6. Pusat Perbelanjaan/Plaza/Mall. Ketersediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di Kota Ternate pada tahun 2010 meliputi, 3 unit Pasar Tradisional, 21 unit Minimarket, 11 unit Pusat Pertokoan (Ruko), 2 unit Pusat Perbelanjaan (Mall) yang tersebar hanya pada 3 (tiga) kecamatan, sedangkan 3.152 unit toko/warung tersebar di semua kecamatan (lihat Tabel 55). Tabel 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Toko/ Warung 204 815 1.379 754 Pasar Tradisional - 1 1 1 Minimarket - 13 6 2 Pusat Pertokoan (Ruko) - 2 6 Pusat Perbelanjaan/ Mall 3 Jumlah 3.152 3 21 11 2 Sumber : BPS Kota Ternate (2010) - - 2 - Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, khususnya untuk fasilitas toko/warung memiliki sebaran merata di seluruh kecamatan yang ada di Kota Ternate. Fasilitas ini yang melayani kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang bermukim di kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya fasilitas niaga dan perdagangan lainnya misalnya pasar tradisional maupun minimarket di wilayah tersebut. Berdasarkan standar kebutuhan, maka jumlah penduduk manjadi acuan sebagai faktor penyediaan sarana niaga dan

151 perdagangan. Jumlah penduduk kecamatan Pulau Ternate yang hanya berkisar 14.692 jiwa, belum mencukupi standar pelayanan untuk fasilitas pasar atau minimarket. Namun demikian akses ke prasarana tersebut cukup mudah karena ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai, yakni adanya jalan kolektor primer (jalan trans Ternate) sehingga memudahkan akses pencapaian ke pusat kota. Sebaran prasarana niaga dan perdagangan skala besar misalnya pusat perbelanjaan/mall, atau pusat pertokoan (ruko) yang ada di Kota Ternate, hampir semuanya terkonsentrasi di pusat kota atau dekat pusat kota. Sementara untuk pasar tradisional seperti yang terlihat dalam Gambar 46, menunjukkan pola sebaran merata di masing-masing kecamatan, meskipun wilayah kecamatan Pulau Ternate tidak terlayani pasar tradisional. Secara makro, kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas niaga dan perdagangan yang lengkap, atau dengan kata lain bahwa aglomerasi fasilitas niaga dan perdagangan berada di kecamatan ini. Hal ini berkaitan pula dengan peruntukan Bagian Wilayah Kota I (BWK I) berdasarkan RTRW Kota Ternate, dimana kecamatan Ternate Tengah difokuskan sebagai pusat perdagangan skala kota/lokal. Gambar 46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate

152 Studi Komparasi Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004 Kebutuhan fasilitas niaga dan perdagangan berdasarkan SNI-03-1733- 2004 dianalisis berdasarkan ratio jumlah penduduk terlayani dan radius pelayanannya. Kebutuhan toko/warung ratio per 250 jiwa dengan radius 300 m, dan pertokoan/ruko ratio 6.000 jiwa dengan radius 2 km berlokasi di pusat kegiatan sub lingkungan. Kebutuhan pasar berdasarkan ratio penduduk 30.000 jiwa berlokasi di pusat lingkungan jenjang kelurahan atau kecamatan dengan radius pelayanan 5-10 km. Minimarket/swalayan kecil ratio 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 500 m dari pasar dan dapat dijangkau dengan berkendaraan. Kebutuhan pusat perbelanjaan/mall ratio per 120.000 jiwa berlokasi di jalan utama dan pusat kegiatan serta memiliki fasilitas parkir mandiri. Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan seperti toko/warung, minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate berdasarkan standar pelayanan minimum penduduk telah terpenuhi (Tabel 56). Sementara untuk pasar masih diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Pasar tradisonal dan minimarket berada di lokasi sama (berdampingan) yakni pada kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan, sedangkan kecamatan Ternate Utara pasar tradisional tidak dilengkapi dengan minimarket. Jumlah sebaran fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah layanan dengan jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada wilayah pelayanannya terpusat di satu lokasi (kecamatan Ternate Tengah). Tabel 56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Prasarana Niaga dan Perdagangan Toko/warung Kecamatan Pulau Ternate (14.692 jiwa)* Ternate Selatan (63.746 jiwa)* Ternate Tengah (52.072 jiwa)* Kebutuhan 1 59 255 208 182 Ketersediaan 204 815 1.379 754 Keterangan cukup cukup cukup cukup Ternate Utara (45.574 jiwa)* Kebutuhan 2-2 1 1 Pasar Ketersediaan - 1 1 1 Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup Kebutuhan 3-2 1 1 Minimarket Ketersediaan - 13 6 2 Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup Pusat Kebutuhan 4 - - 1 - Perbelanjaan/ Ketersediaan - - 2 - Mall Keterangan tidak butuh tidak butuh cukup tidak butuh * Jumlah Penduduk tahun 2010 1 Standar 250 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 30.000 jiwa; 4 Standar 120.000 jiwa;

153 Wilayah pelayanan fasilitas toko/warung rata-rata berjarak <300 m atau jarak terdekat dengan radius 150 m dengan relatif waktu tempuh <10 menit dari permukiman penduduk. Jarak tempuh ke pasar tradisional rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, minimarket dengan jarak <0,5 km dengan waktu tempuh <15 menit, dan pusat pertokoan (ruko) maupun pusat perbelanjaan/mall masing-masing berjarak rata-rata 2-3 km waktu tempuh >30 menit dan 3 km dengan waktu tempuh >30 menit. Lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan akses ke fasilitas. Jarak pencapaian sarana dan prasarana niaga dan perdagangan disajikan dalam Tabel 57. Tabel 57. Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan Radius Pencapaian Pusat Toko/ Minimarket Kecamatan Pasar Pertokoan Warung (km) (Ruko) (km) (km) (km) Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara 0,2-0,3 0,1-0,25 0,1-0,25 0,2-0,25 6-7 2,5-4 2-2,5 3-5 6-7 0,5-1 0,3-0,5 0,5-1 6-7 2-3 1-2 2-3 Pusat Perbelanjaan/ Mall (km) 9-10 3-5 1-2 3-4,5 Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Niaga dan Perdagangan Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan diantaranya toko/warung, minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate telah memenuhi standar pelayanan minimum. Namun fasilitas pasar masih diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Jumlah fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah pelayanan minimum dengan jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada wilayah pelayanan yang terpusat di satu lokasi yaitu di kecamatan Ternate Tengah. Sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa merupakan sektor-sektor yang memiliki andil terbesar dalam peningkatan Produk Domestik Reginal Bruto (PDRB) Kota Ternate. Terlebih lagi sejak pengembangan kawasan waterfront, peningkatan sektor tersebut cukup signifikan pada waktu memasuki tahun 2008 hingga tahun 2011 (empat tahun terakhir) (lihat pada hal. 82 tentang PDRB Kota Ternate). Hal ini tentunya berkaitan erat dengan peningkatan

154 prasarana niaga dan perdagangan berdasarkan analisis cakupan pelayanannya, sehingga dapat mendukung pertumbuhan sektor tersebut. Akses pencapaian sangat mudah dari permukiman khususnya di kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota yakni kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara untuk menuju sarana dan prasarana niaga dan perdagangan. Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas tersebut berjarak ratarata <1 km, sedangkan pada 3 (tiga) kecamatan lainnya rata-rata radius terdekat berjarak 1-2,5 km. Hal ini didasari oleh peruntukan ruang kecamatan Ternate Tengah, untuk pusat kegiatan khususnya untuk kawasan niaga dan perdagangan (Central Business District) skala kota/lokal. Secara keseluruhan akses pencapaian ke sarana dan prasarana niaga dan perdagngan telah terpenuhi atau sesuai standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai. Pengaturan zona pelayanan diperlukan agar tidak terjadi pemusatan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di satu lokasi. Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau Dalam mewujudkan kota ramah lingkungan (eco-city), maka penataan ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur harus mempertimbangan keseimbangan ekologis dengan menerapkan konsep infrastruktur hijau (green infrastructure). Infrastruktur hijau terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link dan site. Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan menyediakan komponen ekosistem alam, misalnya daerah konservasi, hutan lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs, berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk hijau (green belt) maupun jaringan jalan. Sites merupakan unit yang lebih kecil dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site dapat berupa taman ataupun ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun kawasan rekreasi atau tempat wisata alam. Dari hasil identifikasi citra satelit, peta tematik dan survey lapang, diperoleh objek-objek yang termasuk Hubs, Links dan Site di Kota Ternate,

155 dengan hasil klasifikasi menurut kategori elemen-elemen tersebut, sebagai berikut: Hubs 1. Cadangan alami : Hutan lindung, mangrove, semak belukar 2. Lahan kegiatan usaha: perkebunan cengkeh dan pala, kebun campur, pertanian lahan kering Links 1. Koridor konservasi: sepadan sungai, sepadan danau (badan air) 2. Keterkaitan lansekap: sepadan jaringan jalan Site 1. Taman Kota, Taman wisata sejarah 2. Lapangan 3. Areal Pemakaman Kondisi Eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ternate Konsep pembangunan infrastruktur hijau (green infrastructure) di Indonesia saat ini diimplementasikan dengan mengelola kawasan ruang terbuka hijau (RTH) (Herwirawan, 2009). Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Tipologi RTH secara fisik dapat dibagi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan, sedangkan berdasarkan kepemilikan terbagi atas RTH publik dan RTH privat (PERMEN PU No.05/PRT/M/2008). Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. RTH merupakan salah satu objek kawasan lindung yang diprioritaskan dalam rencana pola ruang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2010-2030.

156 Dengan mengetahui luas wilayah pusat kota Ternate (Kecamatan Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara) 5.428,58 ha, maka luas RTH yang harus disediakan sebesar 1.628,57 ha dari luas kota. Pembagian RTH publik 20% atau 1.085,72 ha dan 10% atau 542,86 ha untuk RTH privat. Target ketersediaan RTH tersebut, dapat diwujudkan dengan sebaran kawasan hijau pada 3 (tiga) kecamatan yang ada di Kota Ternate. Ketersediaan RTH dapat diidentifikasi dari data penggunaan lahan eksisting. Dari hasil analisis citra 2010, penggunaan lahan (landuse) didominasi oleh kawasan vegetasi/rth yaitu 4.035,94 ha atau 74% dari luas wilayah pusat kota Ternate. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pusat kota Ternate tergolong masih hijau, terutama di bagian dataran tinggi hingga menuju ke puncak gunung Gamalama. Kawasan ini meliputi hutan lindung, kebun campur, semak belukar, mangrove, taman dan lapangan. Berikut ini disajikan Tabel 58 berkaitan dengan proporsi penggunaan lahan di Kota Ternate. Tabel 58. Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate Jumlah Luas Persentase Penggunaan Lahan (ha) (%) Lahan Terbangun 1.253,58 23 Kawasan Jasa Perdagangan 151,85 Permukiman 1.101,73 RTH/Vegetasi 4.035,94 74 Mangrove 3,38 Hutan 1.447,21 Kebun Campuran 75,90 Lapangan 11,91 Makam Perkebunan 23,93 2.148,04 Pertanian Lahan Kering 121,51 Semak Belukar 178,56 Taman 25,51 Badan Air 40,55 1 Danau 18,32 Sungai 22,23 Lahan Kosong 54,83 1 Lahan Kosong 54,83 Kawah 43,68 1 Kawah Gunung Api 43,68 Penggunaan lahan di Kota Ternate 5.428,58 Ketersediaan RTH Kota Ternate saat ini adalah 4.035,94 ha, yang terbagi dalam RTH publik 1.690,50 ha dan RTH privat 2.345,46 ha. Jika dibandingan dengan standar ketersediaan RTH kota yakni 30%, maka luas RTH Kota Ternate

157 tergolong masih melebihi dari standar yang ditetapkan yaitu masing-masing RTH Publik 31% dan RTH Privat 43%. Dilihat pada tiap kecamatan, maka luas RTH adalah 76% (Ternate Selatan), 74% (Ternate Utara) dan 72% (Ternate Tengah) (lihat Tabel 59). Tabel 59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan Luas RTH Publik RTH Privat Jumlah Luas RTH Kecamatan Wilayah (ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) Ternate Tengah 1.416,34 365,33 26 656,06 46 1.021,39 72 Ternate Selatan 2.304,99 794,58 34 962,23 42 1.756,80 76 Ternate Utara 1.707,24 530,59 31 727,17 43 1.257,75 74 Kota Ternate 5.428,58 1.690,50 31 2.345,46 43 4.035,94 74 Gambar 47. RTH Kecamatan Ternate Selatan Tabel 60. Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan Penggunaan Lahan Luas Persentase (ha) (%) Lahan Terbangun 470,32 20,40 RTH/Vegetasi 1.756,80 76,22 Badan Air 32,32 1,40 Lahan Kosong 25,05 1,09 Kawah Gunung Api 20,48 0,89 Jumlah 2.304,99 100

158 Penggunaan lahan vegetasi/rth masih terbilang cukup luas di kecamatan Ternate Selatan dengan memiliki luas 1.756,80 ha atau masih ada sekitar 76% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/rth dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 47). Sementara untuk penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai dengan jumlah luasnya 470,32 ha atau 20% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 60. Persentase ketersediaan RTH didasarkan pada perhitungan persentase dari jumlah luas RTH publik maupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Selatan yang terlihat pada Tabel 61 yaitu masing-masing 34% dan 42%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas 962,23 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 794,58 ha. Penggunaan lahan perkebunan mendominasi RTH Privat yaitu 847,59 ha. Tabel 61. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha) Lapangan 4,42 Kebun Campur 48,92 Makam 6,69 Pertanian Lahan Kering 65,72 Mangrove 3,38 Perkebunan 847,59 Taman 12,20 Hutan Lindung 766,93 Semak Belukar 0,96 Jumlah 794,58 962,23 Persentase (%) 34 42 Kondisi eksisting penggunaan lahan Kecamatan Ternate Tengah seperti yang terlihat pada Gambar 48, menggambarkan bahwa perbandingan luas lahan terbangun dan non terbangun hampir 1:3. Kecamatan ini merupakan wilayah terpadat di Kota Ternate, karena merupakan bagian wilayah kota yang melayani sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, jasa dan perdagangan, serta kawasan permukiman. Luas RTH di kecamatan ini tergolong paling kecil diantara kecamatan lainnya yaitu hanya 1.021,39 ha atau 72% (Tabel 62). Kawasan vegetasi/rth dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >40%. Penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai

159 (kemiringan 0-10%) hingga ke dataran tinggi (kemiringan 10-20%) dengan luas berkisar 379,21 ha atau 26% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Tengah. Gambar 48. RTH Kecamatan Ternate Tengah Tabel 62. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%) Lahan Terbangun 379,21 26,77 RTH/Vegetasi 1.021,39 72,11 Badan Air 4,62 0,33 Lahan Kosong 2,57 0,18 Kawah Gunung Api 8,53 0,60 Jumlah 1.416,34 100 Tabel 63. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha) Lapangan 4,12 Kebun Campur 21,96 Makam 12,90 Pertanian Lahan Kering 2,45 Taman 4,45 Perkebunan 631,64 Hutan Lindung 343,84 Jumlah 365,31 656,05 Persentase (%) 26 46

160 Persentase ketersediaan RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Tengah yaitu masing-masing 26% dan 46%. Perhitungan persentase jumlah luas RTH publik ataupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah kecamatan Ternate Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat masih lebih luas 365,31 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 656,05 ha. Penggunaan lahan perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 631,64 ha dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat. Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 63. Proporsi penggunaan lahan di kecamatan Ternate Utara juga menunjukkan penggunaan lahan untuk vegetasi/rth masih terbilang cukup luas yakni 1.257,75 ha atau masih ada sekitar 73% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/rth dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 49). Berbeda halnya dengan penggunaan lahan terbangun, dimana hampir sepanjang kawasan pesisir pantai dipadati permukiman dengan jumlah luasnya berkisar 404,03 ha atau 23% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Utara (lihat pada Tabel 654). Gambar 49. RTH Kecamatan Ternate Utara