4. STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) DALAM MINUMAN MODEL

dokumen-dokumen yang mirip
5. PERBAIKAN INTENSITAS DAN STABILITAS WARNA ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) SECARA KOPIGMENTASI INTERMOLEKULAR

III METODOLOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian,

Gambar 6. Kerangka penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II)

3. KANDUNGAN TOTAL ANTOSIANIN MONOMERIK DAN KOMPOSISI ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hati ungu (Tradescantia pallida) merupakan jenis tanaman hias yang berasal dari

III. BAHAN DAN METODOLOGI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ABSTRAK HIBAH KOMPETENSI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE. laboratorium Biomassa, laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi

Bab III Bahan dan Metode

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

BAB IV METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah eksperimental, dengan rancangan One Group

METODOLOGI PENELITIAN

APLIKASI EKSTRAK PIGMEN DARI BUAH ARBEN (Rubus idaeus (Linn.)) PADA MINUMAN RINGAN DAN KESTABILANNYA SELAMA PENYIMPANAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAHAN DAN METODE. Pelaksanaan Penelitian

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian A. Penentuan Tingkat Ekstraksi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September 2015 di

SKRIPSI. KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Neraca analitik, tabung maserasi, rotary evaporator, water bath,

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)

BAB III METODE PENELITIAN

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan

Pewarna Alami untuk Pangan MERAH BIT

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

DAFTAR LAMPIRAN. xvii

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

Bab III Bahan dan Metode

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

Bab III Metodologi Penelitian

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,

BAB III METODE PENELITIAN. salam dan uji antioksidan sediaan SNEDDS daun salam. Dalam penelitian

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat Dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama

EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT MANGGIS SERTA UJI STABILITASNYA

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan

ABSTRAK HIBAH KOMPETENSI

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi.

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama sebagai bahan

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

Transkripsi:

4. STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) DALAM MINUMAN MODEL PENDAHULUAN Antosianin telah digunakan secara luas sebagai pewarna alami untuk pangan (Mateus & Freitas, 2009). Problem utama dari antosianin yang digunakan sebagai pewarna adalah karakteristik kestabilan yang rendah. Beberapa faktor fisik dan kimia yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin meliputi struktur dan konsentrasi pigmen, ph, suhu, cahaya, keberadaan kopigmen, ion-ion metal, enzim, oksigen, asam askorbat, gula dan produk degradasinya dan sulfur dioksida (Markakis 1982; Francis 1989; Elbe & Schwartz 1996; Jackman & Smith 1996). Meskipun antosianin tidak stabil dan mudah mengalami kerusakan selama proses, senyawa antosianin secara luas digunakan sebagai pewarna alami yang aman dalam pangan (MacDougall 2002). Pewarna alami berbasis antosianin berbahan baku kulit anggur, kubis merah, dan wortel ungu telah digunakan secara komersial untuk mewarnai bahan pangan (Delgado-Vargas dan Paredes- Lopez, 2003). Buah duwet mengandung antosianin terutama pada bagian kulit. Kulit buah duwet mengandung antosianin lebih tinggi dibandingkan kandungan antosianin kulit anggur dan kubis merah yang telah digunakan secara komersial sebagai pewarna. Antosianin buah duwet yang banyak terakumulasi pada bagian kulit juga dapat digunakan sebagai pewarna pangan alami bebasis antosianin. Keunggulan penggunaan ekstrak antosianin buah duwet sebagai pewarna adalah berasal dari buah-buahan yang dapat dikategorikan dalam status GRAS (generally recognized as safe) yang aman digunakan sebagai pewarna sehingga nantinya lebih mudah untuk dikomersialisasikan. Sampai sekarang belum ditemukan penelitian yang melakukan pengkajian karakterisasi warna dan kestabilan antosianin buah duwet terutama kajian stabilitas terhadap ph, pemanasan, pencahayaan, dan kondisi penyimpanan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Sari et al. (2005) telah melakukan penelitian mengenai karakterisasi stabilitas warna antosianin buah duwet pada model bufer ph 1, pada kondisi ph ini tidak sesuai untuk aplikasi pada pangan. Selain itu, Veigas et al. (2007) menguji stabilitas antosianin buah duwet dalam ekstrak pekat dan sirup antitusif yang mengandung salbutamol yang disimpan pada suhu ruang. Berdasarkan penjelasan diatas maka pada penelitian ini dilakukan karakterisasi

40 warna dan stabilitas warna antosianin buah duwet untuk tujuan penggunaan sebagai pewarna pangan. Pengaplikasian dilakukan pada model minuman ph 3 yang merupakan kondisi ph minuman berbasis asam. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi-informasi dari penelitian sebelumnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan karakterisasi warna dan stabilitas warna antosianin buah duwet yang dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan pewarna enosianin (pewarna antosianin komersial), sehingga dapat diketahui potensi penggunaannya sebagai pewarna pangan. BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan SEAFAST Center (Gedung PAU), IPB; Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen ITP, FATETA, IPB; serta Laboratorium Terpadu Mikrobiologi Medik, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah buah duwet matang berwarna ungu kehitaman yang diperoleh dari hutan di Probolinggo, Jawa Timur. Sampel buah duwet telah mendapat pengesahan determinasi jenis tanaman dari LIPI Biologi, Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah kubis merah diperoleh dari supermarket di Bogor, Jawa Barat dan bubuk enosianin E-163 (pewarna antosianin komersial dari kulit anggur merah yang mengandung 3% antosianin) diperoleh dari Sensient Food Colors (Jerman). Bahan kimia yang digunakan berspesifikasi pro analisis. Asam klorida (HCl), kalium klorida, natrium asetat, asam sitrat, natrium sitrat, kalium sorbat, dan natrium meta bisulfit diperoleh dari Merck (Darmstadt, Jerman). Etanol teknis (96%) dan gas nitrogen diperoleh dari suplier bahan kimia di Bogor. Peralatan yang digunakan adalah pisau baja tahan-karat, hand blender, timbangan analitik, pengaduk/stirer, batang stirer, sentrifugasi, kertas Whatman no 1, pompa vakum, vakum rotary evaporator, ph-meter, pipet mikrometer, vortek, spektrofotometer UV-Vis, refraktometer, lemari pendingin, lampu fluoresens, penangas air, kromameter (CR-310), dan alat-alat kaca.

41 Metode Penelitian Persiapan sampel Buah duwet matang (warna ungu kehitaman) dan kubis merah disortasi lalu dicuci dengan air bersih. Selanjutnya kulit buah duwet dikupas menggunakan pisau baja tahan-karat dan kubis merah dipotong-potong dalam ukuran kecil. Kulit buah duwet dan kubis merah diblansir uap panas 80 o C secara terpisah selama 3 menit. Kulit buah duwet dan kubis merah dikemas dalam kantong plastik polietilena (PE) dan disimpan pada suhu -20 o C. Ekstraksi antosianin Kulit buah duwet dan kubis merah beku di-thawing pada suhu ruang, selanjutnya setiap sampel dihancurkan dengan menggunakan hand blender secara terpisah. Ekstraksi antosianin buah duwet dan kubis merah dilakukan secara maserasi dengan diaduk (stirer). Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol, pelarut food grade (Francis 1982; Cacace & Mazza 2003). Perbandingan sampel dan pelarut 1:2 (b/v). Ekstraksi secara maserasi dilakukan pada suhu ruang selama 60 menit, kemudian disentrifus (3552 g) selama 10 menit untuk memisahkan filtrat dan residu. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali dengan menggunakan pelarut dan cara yang sama. Filtrat digabung dan disaring dengan menggunakan penyaring vakum, lalu pelarut organik dievaporasi dengan vakum evaporator putar pada suhu 40 o C untuk mendapatkan ekstrak aqueous antosianin yang berwarna ungu kehitaman, Gambar 4.1. Ekstrak ditempatkan dalam botol, diembus dengan nitrogen lalu disimpan pada -20 o C sampai digunakan untuk analisa. Ekstrak dianalisis kandungan total antosianin monomerik dengan metode perbedaan ph (Giusti & Wrolstad 2001). Ekstrak juga diukur nilai ph dengan phmeter dan total padatan menggunakan refraktometer. Pengukuran kandungan total antosianin monomerik Kandungan total antosianin monomerik diukur berdasarkan metode perbedaan ph (Giusti & Wrolstad 2001). Sampel dalam jumlah tertentu dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama ditambah larutan bufer kalium klorida (0,025 M) ph 1 hingga volume menjadi 5 ml. Tabung reaksi kedua ditambahkan larutan bufer natrium asetat (0,4 M) ph 4,5 hingga

42 volume menjadi 5 ml. Absorbans dari kedua perlakuan ph diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm dan 700 nm setelah didiamkan selama 15 menit. Nilai absorbans dihitung dengan rumus: A = [(A 520 - A 700 ) ph 1 - (A 520 - A 700 ) ph 4,5 ]. Kandungan antosianin dihitung sebagai sianidin-3- glikosida menggunakan koefisien ekstingsi molar sebesar 29 600 dan bobot molekul sebesar 448,8. Kandungan antosianin (mg/l) = (A x BM x FP x 1000) / (ε x 1), A adalah absorbans, BM adalah berat molekul, FP adalah faktor pengencer, dan ε adalah koefisien ekstingsi molar. Kandungan total antosianin monomerik dinyatakan sebagai mg CyE/g sampel. Gambar 4.1 Ekstrak antosianin kulit buah duwet. Karakterisasi warna antosianin pada nilai ph 1-8 Setiap sampel pigmen disiapkan pada ph 1-8 menggunakan larutan bufer kalium klorida (0,025 M) untuk ph 1-4 dan bufer natrium asetat (0,4 M) untuk ph 5-8. Penambahan pigmen dilakukan sehingga diperoleh pembacaan absorbans pada kisaran nilai 1 (λ vis-maks ) pada ph 1. Campuran didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang kemudian dilakukan pengukuran spektra dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 350-700 nm. Stabilitas warna antosianin dalam minuman model Pengujian stabilitas warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin dilakukan dalam minuman model menggunakan bufer sitrat (0,1 M; asam sitrat-natrium sitrat) pada ph 3 yang mewakili kondisi ph pada pangan berbasis asam. Kalium sorbat 0,05% (b/v) ditambahkan untuk mencegah pertumbuhan mikroba selama perlakuan. Penambahan pigmen dilakukan sehingga diperoleh pembacaan absorbans pada kisaran nilai 0,75-0,8 pada panjang gelombang penyerapan maksimum di daerah visibel (λ vis-maks ).

43 Campuran didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang untuk mencapai kesetimbangan. Stabilitas warna antosianin dianalisis terhadap pengaruh suhu pemanasan, cahaya, dan kondisi penyimpanan. Pengaruh suhu pemanasan terhadap stabilitas warna antosianin dilakukan dengan merendam botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin di dalam penangas air pada suhu 80 and 98 o C selama interval waktu 0, 30, 60, 90, dan 120 menit. Pengaruh cahaya terhadap stabilitas warna antosianin dilakukan dengan menyinari botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin dengan lampu fluoresens putih (lampu Philip, 23 watt) didalam kotak berukuran 58 x 72 x 60 cm sehingga diperoleh intensitas pencahayaan 4000 lux. Pencahayaan dilakukan selama interval waktu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 hari pada suhu 32 o C. Kontrol untuk perlakuan suhu pemanasan dan pencahayaan dibuat dengan membungkus botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin dengan aluminium foil kemudian disimpan pada suhu ruang untuk perlakuan suhu pemanasan dan disimpan pada suhu 32 o C untuk perlakuan pencahayaan. Pengujian stabilitas antosianin terhadap kondisi penyimpanan dilakukan pada suhu refrigerasi dan ruang selama 8 minggu pada kondisi gelap. Masing-masing sampel pigmen pada setiap perlakuan dihitung nilai persen retensi warna menggunakan persamaan: % Retensi warna = A t /A 0 x 100, dimana t = waktu; A t = absorbans setelah perlakuan (waktu t); A 0 = absorbans sebelum perlakuan (waktu 0) (Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos 2004). Warna polimerik dan indeks degradasi Warna polimerik (WP) dan indeks degradasi (ID) juga dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya degradasi warna antosianin. Kandungan warna polimerik (polymeric color) dalam minuman model dianalisa menggunakan metode bleaching bisulfit (Giusti & Wrolstad 2001). Kandungan warna polimerik dinyatakan sebagai % dari total densitas warna (colour density). Indeks degradasi dihitung sebagai nisbah antara A 420nm and A λvis-maks (Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos 2004). Pengukuran warna polimerik dan indeks degradasi dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Perbedaan nilai WP dan ID sebelum dan setelah perlakuan dinyatakan sebagai nilai ΔWP dan ΔID. Semakin tinggi nilai ΔWP dan ΔID menunjukkan terjadinya degradasi antosianin selama perlakuan semakin besar.

44 Pengukuran warna dengan kromameter Pengukuran warna menggunakan alat Minolta Chroma CR-310 colorimeter menggunakan sistem pengukuran CIELAB. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Parameter-parameter yang diukur meliputi L* (lightness), a* (redness), b* (yellowness), C* (chroma), H* (hue angle), and ΔE (perbedaan warna secara keseluruhan). Perbedaan warna secara keseluruhan dihitung menggunakan persamaan, ΔE = [(ΔL*) 2 + (ΔC*) 2 + (ΔH*) 2 ] 1/2. Nilai ΔE merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna kromasitas secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai ΔE menunjukkan perubahan warna sampel selama perlakuan semakin besar (Gonnet 1998). Kinetika degradasi antosianin Degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin selama perlakuan pemanasan, pencahayaan, dan penyimpanan mengikuti kinetika reaksi orde pertama. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada orde pertama (Kirca & Cemeroglu 2003; Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos 2004; Wang & Xu 2007). Konstanta laju reaksi (k) dan waktu paruh (t 1/2 ), waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan/degradasi antosianin sebesar 50%, untuk reaksi orde pertama dihitung menggunakan persamaan berikut : ln(a t /A o ) = -kt + C ln (retensi warna) = -kt + C t 1/2 = -ln 0.5 x k -1 A 0 = absorbansi sebelum perlakuan (waktu 0), A t = absorbansi setelah perlakuan (waktu t); k = konstanta laju reaksi; t 1/2 = waktu paruh. Analisa data secara statistik Data hasil pengujian dianalisis secara statistika dengan menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi menggunakan aplikasi Microsoft Office EXCEL 2007 serta analisis sidik ragam (uji ANOVA) kemudian dihitung nilai bedanya dengan uji beda Duncan Multiple Range Test pada taraf 5% (p < 0,05) menggunakan aplikasi SPSS 17.0.

45 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ekstrak Antosianin Ekstrak antosianin yang digunakan dalam pengujian stabilitas meliputi ekstrak antosianin dari buah duwet dan kubis merah, serta pewarna enosianin (pewarna antosianin komersial) yang berbentuk bubuk. Kandungan antosianin dalam ekstrak buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 4,37 mg/ml; 1,83 mg/ml; dan 1,73 mg/ml. Nilai ph untuk ekstrak antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 3,74; 5,25; dan 3,23. Ekstrak antosianin dan pewarna enosianin mempunyai nilai ph yang lebih asam. Nilai total padatan terlarut untuk ekstrak antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin berturut-turut sebesar 11,00; 9,50; dan 15,50 (Brix %). Total padatan terlarut ekstrak antosianin buah duwet lebih tinggi dari ekstrak antosianin kubis merah karena kandungan gula yang lebih tinggi dalam ekstrak antosianin buah duwet. Total padatan terlarut dalam pewarna enosianin paling tinggi karena kandungan gula pada anggur dan adanya penambahan bahan pengisi dalam pembuatan bubuk pewarna. Komposisi antosianin buah duwet terdiri dari delfinidin, sianidin, petunidin, peonidin, dan malvidin, yang semuanya dalam bentuk 3,5-diglukosida tanpa gugus asil dari asam aromatik. Antosianin utama dalam buah duwet adalah delfinidin 3,5-diglukosida (41%), petunidin 3,5-diglukosida (28%), dan malvidin 3,5-diglukosida (26%). Komposisi antosianin buah duwet didasarkan pada hasil penelitian pada tahap I (Sari et al. 2009) dan Brito et al. (2007). Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Hrazdina et al. (1977); Giusti et al. (1999); Dyrby et al. (2001); Wu dan Prior (2005b) diperoleh bahwa komposisi antosianin pada kubis merah sangat komplek mengandung antosianidin (sianidin) glikosilasi dengan 2 jenis gula yang berbeda dan terasilasi dengan beberapa jenis asam aromatik. Komposisi antosianin utama dalam kubis merah adalah sianidin-3,5- diglukosida (20%) dan sianidin-3-soforosida-5-glukosida (80%) yang terasilasi dengan asam sinapat, ferulat, kumarat, dan kafeat. Pewarna enosianin yang dibuat dari kulit anggur merah (Vitis vinifera) mempunyai komposisi antosianin terdiri dari 3-glukosida dan 3-asetilglukosida dari malvidin, peonidin, delpinidin, petunidin, dan sianidin serta malvidin-3-kumarilglukosida (Bridle & Timberlake 1997; Wu & Prior 2005a; Gόmez-Plaza et al. 2006). Malvidin 3-glukosida adalah antosianin utama dalam anggur (Malien-Aubert et al. 2001). Informasi struktur

46 dan komposisi antosianin yang terkandung dalam suatu bahan atau ekstrak berhubungan dengan karakteristik stabilitas dan intensitas warna antosianin. Antosianin buah duwet semuanya dalam bentuk diglikosida, antosianin kubis merah merupakan di- dan tri-glikosida yang terasilasi, sedangkan antosianin pewarna enosianin merupakan monoglikosida. Menurut Francis (1989), umumnya diketahui asilasi pada antosianin dapat membuat warna antosianin lebih stabil, tetapi pada konsentrasi yang rendah bersifat tidak stabil. Karakterisasi Warna Antosianin pada Nilai ph 1-8 Warna antosianin buah duwet, kubis merah dan pewarna enosianin dikarakterisasi pada kisaran nilai ph 1-8 untuk melihat perubahan warna antosianin pada kondisi ph asam, netral, dan basa. Perubahan warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam sistem bufer ph 1-8 ditampilkan pada Gambar 4.2 dan spektra absorbans dari masing-masing antosianin ditampilkan pada Gambar 4.3. Nilai absorbans dan warna antosianin buah duwet pada ph 1-2 menunjukkan nilai yang tinggi dan berwarna merah, begitu juga pada antosianin kubis merah dan pewarna enosianin. Hal ini disebabkan pada ph di bawah 2, struktur antosianin utamanya berada dalam bentuk kation flavilium yang berwarna merah (Mazza & Brouillard 1987). Pada ph 3 warna merah antosianin buah duwet mulai pudar, sedangkan pada antosianin kubis dan pewarna enosianin masih menunjukkan warna merah dan nilai absorbans lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet. Pada ketiga sampel antosianin yang diujikan, terlihat kecenderungan nilai absorbans yang menurun dengan meningkatnya ph hingga ph 6 (Gambar 4.3). Penurunan nilai absorbans secara tajam terjadi pada antosianin buah duwet terutama pada ph 4-6. Sistem bufer yang mengandung antosianin buah duwet pada kisaran ph 4-6 menjadi tidak berwarna yang menunjukkan terbentuknya struktur antosianin tidak berwarna. Pada kondisi ini, kation flavilium merah mengalami hidrasi menjadi bentuk struktur tidak berwarna karbinol (Mazza & Brouillard 1987). Pada antosianin kubis merah pada kisaran ph 4-6 masih menunjukkan warna merah keunguan disebabkan adanya gugus asil. Keberadaan gugus asil dapat menyebabkan peningkatan intensitas warna dan perubahan warna menjadi merah keunguan serta terjadi pergeseran panjang gelombang yang lebih tinggi dibandingkan pada antosianin tanpa asilasi (fenomena kopigmentasi intramolekular). Pada ph 1-6,

47 antosianin pewarna enosianin masih terlihat berwarna merah serta mempunyai nilai absorbans pada λ vis-maks yang paling tinggi dibandingkan antosianin buah duwet dan kubis merah. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) yang juga melakukan karakterisasi warna dari pewarna antosianin komersial anggur merah (enosianin) pada ph 1-11,7. Hasil penelitian menunjukkan warna antosianin anggur merah (enosianin) pada ph 4-6 tidak berwarna. Adanya perbedaan hasil penelitian kemungkinan karena perbedaan sampel pewarna yang digunakan. Pada penelitian disertasi ini digunakan sampel dalam bentuk bubuk yang mungkin sudah ditambahkan agensia peningkat warna (color enhancer), sedangkan pada penelitian Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) menggunakan pewarna antosianin komersial dari anggur merah (enosianin) bentuk konsentrat cair. Warna antosianin kubis merah berwarna merah keunguan, sedangkan antosianin duwet dan pewarna enosianin berwarna merah (Gambar 4.2). Delgado-Vargas dan Paredes-Lopez (2003) menjelaskan bahwa antosianin kubis merah menunjukkan warna merah keunguan pada nilai ph diatas 3. Keberadaan asilasi asam sinamat berpengaruh pada karakteristik spektra dan warna yang menyebabkan pergeseran batokromik pada λ vis-maks, dengan sedikit efek biru (bluing effect). Pergeseran batokromik terjadi pada semua pewarna yang diujikan pada ph>4, serta terjadi peningkatan nilai absorbans pada kisaran panjang gelombang 570-600 nm pada ph 7-8 (Gambar 4.3). Hal ini disebabkan pembentukan struktur kuinonoidal biru yang tidak stabil pada perlakuan ph tinggi. Peningkatan ph akan menyebabkan terjadinya kehilangan proton (deprotonisasi) yang menghasilkan struktur kuinonoidal biru yang tidak stabil (Mazza & Brouillard 1987). Hal ini diperjelas pada Gambar 4.2 dimana terlihat pada ph 7-8 untuk antosianin buah duwet dan kubis merah menunjukkan warna biru sedangkan untuk pewarna enosianin berwarna coklat kehitaman. ph 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 Buah duwet Kubis merah Enosianin Gambar 4.2 Warna antosianin pada kisaran nilai ph 1-8.

48 1.2 1 Buah Duwet 1 1.2 1 Kubis merah 1 0.8 0.8 2 2 0.6 0.6 0.4 0.4 3 8 0.2 7 8 0.2 3 7 4, 5, 6 0 4, 5, 6 0 350 400 450 500 550 600 650 700 350 400 450 500 550 600 650 700 Panjang gelo mbang ( nm) Panjang g elomb ang ( nm) 1.2 1 Enosianin 1 2 0.8 0.6 3 4 8 5 7 6 0.4 0.2 0 350 400 450 500 550 600 650 700 Panjang gelo mbang ( nm) Gambar 4.3 Pola spektrum absorpsi dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin pada kisaran nilai ph 1-8 setelah ekuilibrium selama 1 jam. Warna antosianin berubah sebagai respon dari ph. Secara umum dapat dijelaskan, berkurangnya intensitas warna dengan meningkatnya ph disebabkan terjadi reaksi kesetimbangan antara 4 spesies antosianin: basa kuinonoidal (A), kation flavilium (AH + ), karbinol atau pseudobasa (B), dan kalkon (C). Di dalam larutan asam, 4 spesies antosianin berada dalam kesetimbangan, Gambar 4.4. Interkonversi antara 4 struktur antosianin dijelaskan sesuai skema pada Gambar 4.4. Pada kondisi ph di bawah 2, antosianin berada utamanya dalam bentuk kation flavilium merah (AH + ). Peningkatan ph menyebabkan terjadinya kehilangan proton secara cepat dari gugus hidroksil C-4, C-5, atau C-7 kation flavilium menghasilkan bentuk kuinonoidal biru (A). Lebih lanjut terjadi reaksi hidrasi oleh nukleofilik molekul air yang menyerang kation flavilium pada posisi C-2 menghasilkan struktur karbinol tidak berwarna atau pseudobasa (B) yang akan membentuk kesetimbangan dengan struktur kalkon (C) (Brouillard 1982; Mazza & Brouillard 1987). MacDougall (2002), juga menjelaskan pada ph rendah

49 (ph 1), warna antosianin adalah merah (AH + ), sebagai ph ditingkatkan maka antosianin mengalami dua kemungkinan pathway: (1) deprotonisasi menghasilkan senyawa kuinonoidal biru (A) atau (2) hidrasi menghasilkan kalkon (C). Kesetimbangan asam-basa (1) Kesetimbangan hidrasi (2) Kesetimbangan tautomerik ring-chain (3) A AH + Basa kuinoidal (biru) Kation flavilium (merah) C B Kalkon (tidak berwarna) Pseudobasa karbinol (tidak berwarna) Gambar 4.4 Pengaruh ph pada interkonversi dan perubahan warna antosianin. Glc = glukosa (Kidmose et al. diacu dalam MacDougall 2002; Mazza & Brouillard 1987). Pada Gambar 4.2 dan 4.3 juga terlihat bahwa antosianin buah duwet mempunyai intensitas warna merah atau biru yang lebih rendah pada semua ph yang diujikan dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan pewarna enosianin. Hal ini berhubungan dengan struktur antosianin buah duwet yang semua struktur glikosilasi adalah 3,5-diglukosida. Menurut Mazza dan Brouillard (1987), pada nilai ph yang diujikan, antosianin 3-glikosida memiliki karakteristik lebih berwarna dibandingkan dengan antosianin 3,5-diglikosida dan 5-glikosida.

50 Penelitian yang dilakukan oleh Brouillard dan Delaporte (1977) yang disitasi oleh Mazza dan Brouillard (1987) menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida memiliki karakteristik kurang berwarna dibanding malvidin 3-glukosida. Hal ini terjadi karena nilai pk h untuk kesetimbangan antara bentuk kation flavilium dan karbinol pseudobasa dari diglukosida satu unit ph lebih rendah dari bentuk monoglukosida. Eksperimen yang dilakukan pada larutan malvidin 3,5- diglukosida pada kondisi diatas ph 4 juga menunjukkan perubahan warna larutan menjadi tidak berwarna. Lebih lanjut dijelaskan oleh Delgado-Vargas dan Paredes-Lopez (2003), substitusi gula juga berperanan penting pada warna antosianin. Terjadinya pergeseran hipsokromik disebabkan oleh keberadaan glikosilasi pada antosianin. Stabilitas Warna Antosianin Selama pengolahan pangan, antosianin diekspos pada kondisi ph, suhu, dan pencahayaan yang ekstrim sehingga antosianin mudah mengalami degradasi (Delgado-Vargas & Paredes-Lopez 2003). Untuk itu perlu dilakukan pengujian stabilitas warna antosianin buah duwet terhadap pengaruh pemanasan, pencahayaan, serta kondisi penyimpanan (suhu dingin dan ruang) yang dapat menyebabkan degradasi antosianin. Umumnya pewarna berbasis antosianin digunakan pada bahan pangan yang memiliki kisaran nilai ph 3 (Nielsen et al. 2002). Dyrby et al. (2001); Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) juga melakukan pengujian stabilitas warna antosianin dalam minuman model pada ph 3. Selain itu, antosianin memiliki karakterteristik yang lebih stabil pada kondisi asam (ph rendah) dibandingkan pada kondisi larutan alkali (Brouillard 1982; Elbe & von Schwartz 1996). Pada penelitian ini, pengujian stabilitas warna antosianin buah duwet dilakukan pada ph 3 yang mewakili ph kebanyakan pangan berbasis asam. Gambar 4.5 menunjukkan minuman model yang dibuat dari bufer sitrat ph 3 yang telah ditambahkan ekstrak antosianin buah duwet, kubis merah dan pewarna enosianin. Karakteristik warna (kromasitas) antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam buffer sitrat ph 3 disajikan pada Tabel 4.1. Antosianin kubis merah berwarna merah keunguan, sedangkan antosianin buah duwet dan pewarna enosianin berwarna merah.

51 A B C A B C Gambar 4.5 Minuman model (bufer sitrat ph 3) mengandung antosianin buah duwet (A), kubis merah (B), dan pewarna enosianin (C) Tabel 4.1. Karakteristik warna (kromasitas) antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin Ekstrak/pewarna Parameter warna (CIELAB) antosianin L* C* H* Buah duwet 50,94 34,92 353,90 Kubis merah 49,68 43,33 341,97 Enosianin 46,59 30,49 1,57 L*, kecerahan/lightness; C*, kroma/chroma; H*, sudut warna/hue angle. Stabilitas terhadap Pemanasan Salah satu faktor fisik yang dapat mempengaruhi stabilitas antosianin adalah suhu pemanasan (Francis 1989; Elbe & von Schwartz 1996; Jackman & Smith 1996). Suhu pemanasan yang digunakan untuk pengujian stabilitas warna antosianin adalah 80 dan 98 o C yang dipilih berdasarkan perlakuan panas yang umum untuk bahan pangan (misal blansing, pasteurisasi, dan perebusan). Stabilitas warna antosianin sebagai fungsi suhu dan lama pemanasan dinyatakan sebagai persen retensi warna antosianin (Gambar 4.6). Pemanasan dapat menstimulasi pembentukan senyawa hasil degradasi antosianin seperti karbinol dan turunannya yang tidak berwarna sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai retensi warna selama perlakuan pemanasan. Pada pemanasan suhu 80 o C, antosianin buah duwet dan enosianin menunjukkan stabilitas warna lebih baik dibandingkan pada suhu 98 o C. Nilai retensi warna antosianin buah duwet dan enosianin mengalami penurunan masing-masing menjadi 74% dan 84% pada pemanasan suhu 80 o C setelah pemanasan selama 120 menit. Sedangkan pada pemanasan suhu 98 o C, nilai retensi warna antosianin buah duwet dan enosianin mengalami penurunan hingga 41 dan 68%. Waktu paruh (t 1/2 ) untuk antosianin buah duwet dan enosianin pada pemanasan suhu 80 o C masing-masing sebesar 4,94 jam dan 8,29 jam, sedangkan pada pemanasan suhu 98 o C sebesar 1,58 jam untuk

52 antosianin buah duwet dan 3,73 jam untuk antosianin enosianin (Tabel 4.2). Dari nilai retensi warna dan waktu paruh ini belum dapat digunakan untuk menentukan tingkat stabilitas dari antosianin buah duwet dan enosianin, masih diperlukan data penunjang lainnya seperti nilai ΔID (perbedaan indeks degradasi), dan ΔWP (perbedaan warna polimerik), ΔE (perbedaan total warna kromasitas), yang ditampilkan pada Tabel 4.2. Retensi warna pada λ max (%) 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 0 30 60 90 120 Waktu (menit) Gambar 4.6 Pengaruh perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98 o C pada retensi warna antosianin (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam minuman model bufer sitrat ph 3. ( ), buah duwet (80 o C); ( ), buah duwet (98 o C); ( ), kubis merah (80 o C); ( ), kubis merah (98 o C); ( ), enosianin (80 o C); ( ), enosianin (98 o C). Tabel 4.2 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model bufer sitrat ph 3 pada perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98 o C Ekstrak/Pewarna Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW (%) K t 1/2 (jam) Pemanasan 80 o C Duwet 0,13 b 10,03 b 5,50 b 25,83 c 0,0024 4,94 a Kubis merah 0,08 a 4,77 a 2,23 a 0,00 a 0,0005 28,88 c Enosianin 0,16 c 13,86 c 12,62 c 15,65 b 0,0014 8,29 b Pemanasan 98 o C Duwet 0,28 b 15,24 b 16,86 b 58,92 c 0,0073 1,59 a Kubis merah 0,09 a 6,86 a 5,88 a 4,33 a 0,0016 7,33 c Enosianin 0,31 c 20,77 c 18,24 c 31,95 b 0,0031 3,73 b Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (berlaku untuk masing-masing perlakuan pemanasan) menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP, perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan total warna kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t 1/2, waktu paruh. Pemanasan selama 120 menit. Meskipun nilai retensi warna dan waktu paruh dari antosianin enosianin lebih tinggi daripada antosianin buah duwet, namun dari hasil pengukuran ΔE,

53 ΔID, dan ΔWP dari enosianin menunjukkan nilai lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet pada kedua perlakuan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa antosianin enosianin mengalami kerusakan lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet. Secara visual, warna antosianin buah duwet pada pemanasan 80 o C masih menunjukkan warna merah pudar dan pada suhu 98 o C menunjukkan warna merah kecoklatan, sedangkan warna antosianin enosianin pada pemanasan 80 dan 98 o C berubah warna menjadi kecoklatan. Warna kecoklatan dapat digunakan sebagai indikasi terjadinya pembentukan senyawa degradasi antosianin selama proses pemanasan yang dapat dilihat dari nilai ΔID dan ΔWP yang tinggi. Nilai indeks degradasi (ID) dan warna polimerik (WP) mengukur pembentukan senyawa degradasi polimerik berwarna coklat. Selama proses pemanasan terjadi peningkatan pembentukan warna polimerik yang terjadi karena monomerik antosianin mengalami polimerisasi. Pembentukan warna polimerik dan produk-produk degradasi lainnya berwarna coklat paling tinggi terjadi pada pewarna enosianin. Hasil ini menunjukkan bahwa antosianin buah duwet memiliki stabilitas warna yang lebih tinggi dibandingkan antosianin dari pewarna enosianin. Nilai retensi warna dari pewarna enosianin lebih tinggi dibandingkan buah duwet karena dipengaruhi oleh adanya produk degradasi antosianin yang berwarna coklat. Warna coklat dalam minuman model dapat mempengaruhi hasil pengukuran dengan spektrofotometer yang dapat memberikan nilai absorbans yang tinggi. Pada Gambar 4.6 juga dapat diperoleh informasi, bahwa antosianin kubis merah mempunyai stabilitas yang paling tinggi pada kedua suhu pemanasan, 80 dan 98 o C. Selama pemanasan pada kedua suhu terjadi peningkatan nilai retensi warna melebihi nilai 100%. Penurunan nilai retensi warna hingga 95% hanya terjadi pada pemanasan suhu 98 o C pada waktu pemanasan 120 menit. Namun demikian, kecenderungan grafik menunjukkan terjadi penurunan nilai retensi warna atau degradasi antosianin yang relatif lambat. Terjadinya peningkatan nilai retensi warna selama perlakuan pemanasan juga ditemukan pada antosianin ubi jalar merah (yang juga mengandung gugus asil) pada bufer ph 1 selama proses pemanasan 98 o C sampai pemanasan 60 menit, namun tidak dijumpai pada bufer ph 3. Antosianin ubi jalar ungu menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan antosianin wortel ungu, jagung ungu, dan anggur merah selama proses pemanasan pada suhu 98 o C (Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Dyrby et al. (2001) juga menunjukkan

54 bahwa antosianin kubis merah juga mempunyai karakteristik stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan blackcurrant, kulit anggur, dan elderberry terhadap perlakuan pemanasan pada suhu 25-80 o C. Pada Tabel 4.2 juga dapat dilihat nilai ΔID, ΔWP, ΔE, KW (%) dari antosianin kubis merah lebih kecil pada kedua suhu pemanasan (80 dan 98 o C) yang menunjukkan antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas yang tinggi terhadap panas. Antosianin kubis merah mempunyai waktu paruh (t 1/2 ) sebesar 28,88 jam pada pemanasan suhu 80 o C dan 7,33 jam pada pemanasan 98 o C dalam minuman model ph 3. Waktu paruh kubis merah lebih tinggi dibandingkan waktu paruh dari antosianin buah duwet dan enosianin pada kedua suhu pemanasan. Secara umum, antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin buah duwet dan enosianin pada perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98 o C, dengan urutan stabilitas: antosianin kubis merah > buah duwet > enosianin. Hal ini disebabkan struktur antosianin yang terkandung dalam kubis merah yang merupakan antosianin terasilasi (kopigmentasi intramolekular). Asilasi pada antosianin dapat memperbaiki stabilitas melalui penyusunan struktur secara sandwich dari gugus asil pada cincin pirilium antosianin sehingga dapat menjaga struktur dasar antosianin terhadap faktor-faktor penyebab degradasi antosianin (Jackman & Smith 1996; Delgado-Vargas et al. 2000) terutama dengan adanya perlakuan pemanasan. Penyusunan molekul kopigmen (gugus asil) pada planar polarizable dari antosianin dapat mencegah serangan nukleofilik air pada posisi C-2 dari cincin pirilium yang dapat memicu pembentukan hemiasetal yang tidak berwarna dan kalkon (Dangles 1997 diacu dalam Malien-Aubert et al. 2001). Antosianin buah duwet memliki karakteristik stabilitas yang lebih tinggi dari antosianin enosianin karena struktur antosianin buah duwet dalam bentuk glikosilasi 3,5-diglukosa (diglikosida) sedangkan antosianin enosianin bentuk glikosilasi adalah 3-glukosida (monoglikosida). Hasil penelitian García-Viguera dan Bridle (1999) menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida kehilangan warna lebih lambat dari malvidin 3-glukosida dengan keberadaan atau tanpa adanya asam askorbat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Timberlake dan Bridle (1977) diacu dalam García-Viguera dan Bridle (1999), antosianin 3,5-diglikosida sedikit lebih mudah mengalami serangan elektrofilik dibandingan 3-glikosida. Substitusi glikosil pada C-5 mengurangi serangan dari nukleofilik. Meskipun antosianin

55 enosianin mengandung gugus asil namun tidak mampu memperbaiki stabilitas, kemungkinan dikarenakan jumlahnya yang sedikit dan jenis gugus asil yang berikatan. Struktur antosianin enosianin (anggur) dominan dalam bentuk monoglikosida. Penelitian Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) menunjukkan pewarna antosianin komersial dari anggur merah (enosianin) memiliki stabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan antosianin ubi jalar ungu dan wortel ungu pada perlakuan pemanasan 98 o C dalam larutan buffer ph 3 serta mempunyai stabilitas yang hampir sama dengan antosianin jagung ungu. Proses termal dapat menyebabkan degradasi warna antosianin yang terjadi karena berubahnya kation flavilium yang berwarna merah menjadi basa karbinol dan akhirnya menjadi kalkon yang tidak berwarna dan berakhir pada produk degradasi berwarna coklat. Menurut Elbe dan von Schwartz (1996), panas mengubah kesetimbangan terhadap kalkon yang tidak berwarna dan reaksi kebalikan lebih lambat dari reaksi kedepan. Brouillard (1982) juga mengemukakan bahwa suhu tinggi dapat mengubah kation flavilium ke formasi kalkon. Setelah cincin terbuka, degradasi berlanjut ke produk berwarna coklat. Lebih lanjut Jackman dan Smith (1996); Francis (1989) menyebutkan bahwa koumarin glikosida telah diidentifikasi sebagai produk degradasi termal dari antosianidin 3,5-diglikosida, sedangkan antosianidin 3 glikosida tidak membentuk koumarin. Markakis (1982) juga menjelaskan bahwa antosianin yang dipanaskan pada ph 2-4, pertama kali akan mengalami hidrolisis pada ikatan glikosidik (posisi C-3), diikuti konversi dari aglikon ke bentuk kalkon, kemudian menghasilkan alfa diketon. Secara lengkap Elbe dan von Schwartz (1996) menjelaskan mekanisme degradasi termal yang kemungkinan melalui tiga lintasan (Gambar 4.7) tergantung pada jenis atau tipe antosianin dan suhu degradasi. Koumarin 3,5-glikosida adalah produk degradasi termal untuk antosianidin 3,5-diglikosida. Pada lintasan (a), kation flavilium dirubah ke bentuk kuinonoidal basa, kemudian ke beberapa senyawa intermediet dan akhirnya membentuk turunan koumarin dan senyawa berhubungan dengan cincin B. Pada lintasan (b), kation flavilium dirubah ke bentuk basa karbinol tidak berwarna kemudian ke bentuk kalkon dan terakhir ke produk degradasi berwarna cokelat. Lintasan (c) mempunyai mekanisme yang hampir sama dengan lintasan (b) yang berbeda pada produk degradasi kalkon.

56

57 Stabilitas selama Penyimpanan Kondisi dan lama penyimpanan juga dapat mempengaruhi degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin seperti terlihat pada Gambar 4.8 dan Tabel 4.3. Penyimpanan minuman model yang mengandung antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin pada suhu refrigerasi (~5 o C) dapat memperlambat degradasi warna antosianin. Terjadinya peningkatan suhu dari ~5 o C (suhu refrigerasi) ke ~27 o C (suhu ruang) dapat mempercepat laju degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah dan pewarna enosianin seperti terlihat pada penurunan nilai retensi warna (Gambar 4.8) serta peningkatan nilai ΔID, ΔWP, dan ΔE (Tabel 4.3). Nilai waktu paruh (t 1/2 ) antosianin yang disimpan pada suhu refrigerasi memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan waktu paruh antosianin yang disimpan pada suhu ruang. Peningkatan suhu dapat meningkatkan laju reaksi (Moss 2002) sehingga laju degradasi antosianin pada suhu ruang lebih tinggi dibandingkan pada suhu refrigerasi. Nilai retensi warna digunakan untuk mengukur stabilitas warna antosianin (Gambar 4.8). Nilai retensi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 94,64%; 95,70%; dan 94,89% setelah penyimpanan 8 minggu pada suhu refrigerasi. Waktu paruh (t 1/2 ) untuk antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 25,11; 23,73; dan 27,94 bulan pada penyimpanan suhu refrigerasi. Berdasarkan waktu paruh (t 1/2 ) menunjukkan bahwa ketiga sampel antosianin memiliki stabilitas yang hampir sama karena perbedaan nilai waktu paruh yang kecil. Selama penyimpanan pada suhu refrigerasi, warna antosianin buah duwet dan kubis merah sedikit mengalami perubahan warna yang dapat dilihat dari nilai ΔE. Secara visual warna antosianin buah duwet dan kubis merah berwarna merah agak pudar dan tidak terlihat pembentukan warna coklat. Antosianin enosianin mengalami perubahan warna lebih besar yang dapat dilihat dari nilai ΔE lebih tinggi dan secara visual warna antosianin enosianin pada penyimpanan suhu refrigerasi sedikit berwarna coklat. Nilai ΔID dan ΔWP antosianin enosianin juga lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ΔID dan ΔWP antosianin buah duwet dan kubis merah. Parameter nilai ΔID, ΔWP, dan ΔE digunakan sebagai parameter penentu stabilitas antosianin enosianin. Pada penyimpanan suhu refrigerasi, antosianin buah duwet menunjukkan stabilitas yang hampir sama dengan

58 antosianin kubis merah serta menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan antosianin enosianin. 110 Retensi warna pada λ max (%) 100 90 80 70 60 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Waktu (m inggu) Gambar 4.8 Pengaruh kondisi penyimpanan (suhu refrigerasi dan ruang) pada retensi warna (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam minuman model buffer sitrat ph 3, kondisi perlakuan tanpa cahaya. ( ), buah duwet (suhu refrigerasi); ( ), buah duwet (suhu ruang); ( ), kubis merah (suhu refrigerasi); ( ), kubis merah (suhu ruang); ( ), enosianin (suhu refrigerasi); ( ), enosianin (suhu ruang). Tabel 4.3 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model bufer sitrat ph 3 pada perlakuan penyimpanan suhu refrigerasi dan ruang Pewarna Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW (%) k t 1/2 (bulan) Penyimpanan suhu refrigerasi (5 o C) Duwet 0,04 a 2,44 a 0,95 a 5,36 b 0,0069 25,11 a Kubis merah 0,08 b 5,79 b 0,79 a 4,30 a 0,0073 23,73 a Enosianin 0,10 c 7,49 c 2,35 b 5,11 ab 0,0062 27,94 a Penyimpanan suhu ruang (27 o C) Duwet 0,18 b 16,99 b 10,57 b 36,02 c 0,0520 3,36 a Kubis merah 0,13 a 11,16 a 6,67 a 28,63 b 0,0391 4,43 b Enosianin 0,32 c 19,38 c 20,34 c 12,92 a 0,0153 11,37 c Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (berlaku untuk masing-masing perlakuan penyimpanan) menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP, perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan warna kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t 1/2, waktu paruh. Penyimpanan selama 8 minggu. Pada penyimpanan suhu ruang, penurunan nilai retensi warna antosianin buah duwet lebih besar dibandingkan antosianin kubis merah selama penyimpanan 8 minggu. Nilai retensi warna antosianin buah duwet sebesar 64% dan antosianin kubis merah sebesar 71% setelah penyimpanan 8 minggu. Pada Gambar 4.8 memperlihatkan nilai retensi warna dari antosianin enosianin lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet dan kubis merah. Namun secara

59 visual warna antosianin enosianin menunjukkan perubahan warna menjadi kecoklatan selama penyimpanan pada suhu ruang. Tingginya nilai retensi warna pada antosianin enosianin disebabkan adanya pembentukan produk degradasi antosianin berwarna coklat yang mempengaruhi pengukuran nilai absorbans. Nilai retensi warna yang tinggi tidak selalu menunjukkan stabilitas yang lebih baik. Hal ini juga ditunjang dengan nilai ΔE, ΔWP, dan ΔID dari antosianin enosianin yang mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet dan kubis merah. Nilai waktu paruh (t 1/2 ) untuk antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 3,36; 4,43; dan 11,37 bulan pada penyimpanan suhu ruang (Tabel 4.3). Pada penyimpanan suhu ruang, antosianin buah duwet menunjukkan stabilitas lebih rendah dibandingkan stabilitas antosianin kubis merah serta menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan antosianin enosianin dengan urutan stabilitas: kubis merah > duwet > enosianin. Stabilitas warna antosianin berhubungan dengan struktur antosianin. Hrazdina dan Franzese (1974) diacu dalam García-Viguera dan Bridle (1999) menyebutkan bahwa dalam larutan asam, malvidin 3,5-diglukosida dioksidasi lebih cepat daripada malvidin terasilasi. Menurut Jackman dan Smith (1996); Delgado-Vargas et al. (2000), asilasi pada antosianin dapat memperbaiki stabilitas melalui penyusunan struktur sandwich dari gugus asil dengan cincin pirilium antosianin sehingga dapat menjaga struktur dasar antosianin terhadap faktor-faktor penyebab degradasi antosianin. Hasil penelitian García-Viguera dan Bridle (1999) juga menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida kehilangan warna lebih lambat dari malvidin 3-glukosida dengan keberadaan atau tanpa adanya asam askorbat selama penyimpanan 17 hari. Kehilangan warna dan pembentukan warna cokelat selama penyimpanan minuman model bufer sitrat ph 3 pada suhu refrigerasi dan ruang terjadi karena serangan nukleofilik air (penambahan air) pada C-2 kation flavilium yang menghasilkan senyawa hemiasetal tidak berwarna dan pembukaan cincin pirilium. Degradasi antosianin berlanjut pada pembentukan senyawa berwarna coklat terutama dengan keberadaan oksigen (Markakis 1982; Elbe & von Schwartz 1996). Degradasi antosianin pada perlakuan penyimpanan suhu refrigerasi dan ruang mempunyai mekanisme yang sama dengan mekanisme degradasi antosianin selama proses pemanasan suhu tinggi, secara detail seperti dipaparkan di bagian sebelumnya.

60 Stabilitas terhadap Cahaya Cahaya dapat menyebabkan degradasi antosianin (Markakis 1982; Francis 1989; Elbe & Schwartz 1996; Jackman & Smith 1996). Perlakuan pencahayaan dengan lampu fluoresens menyebabkan terjadinya degradasi antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin yang ditandai dengan terjadinya penurunan nilai retensi warna dan waktu paruh (t 1/2 ) serta peningkatan nilai ΔID, ΔWP, dan ΔE (Gambar 4.9 dan Tabel 4.4). Pada Gambar 4.9 terlihat bahwa nilai retensi warna dari antosianin buah duwet, kubis merah dan pewarna enosianin yang tidak terpapar cahaya (kontrol) menunjukkan nilai retensi yang masih tinggi berkisar di atas 90%. Bahkan pada antosianin kubis merah terjadi peningkatan nilai persen retensi warna di atas 100% selama penyimpanan 7 hari. Adanya pencahayaan dengan lampu fluoresens menyebabkan terjadinya penurunan nilai retensi warna. Pada awal perlakuan pencahayaan, antosianin kubis merah menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dan selanjutnya mengalami degradasi yang hampir sama dengan antosianin buah duwet dan enosianin. Pada akhir pencahayaan (7 hari), antosianin buah duwet menunjukkan karakteristik yang sedikit lebih stabil dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan enosianin berdasarkan nilai retensi warna. Hal ini juga didukung dengan nilai ΔID, ΔWP, dan ΔE dari antosianin buah duwet yang lebih rendah dibandingkan dengan kubis merah dan enosianin (Tabel 4.4). Secara visual, minuman model yang mengandung antosianin buah duwet dan kubis merah berwarna merah pudar setelah pencahayaan 7 hari, sedangkan minuman model yang mengandung antosianin enosianin mulai berwarna kecoklatan pada pencahayaan hari ke 5. Warna coklat pada minuman model yang mengandung antosianin enosianin juga dapat dilihat dari nilai ΔID dan ΔWP yang tinggi yang menunjukkan ketidakstabilan antosianin enosianin terhadap cahaya. Pencahayaan juga dapat menyebabkan terbentuknya produk degradasi polimerik yang berwarna coklat. Pada perlakuan pencahayaan, antosianin buah duwet mempunyai nilai waktu paruh lebih tinggi 16,04 hari dibandingkan dengan antosianin kubis merah 11,07 hari dan pewarna enosianin 13,51 hari. Nilai waktu paruh antosianin enosianin lebih tinggi dari antosianin kubis merah karena pengaruh pembentukan produk degradasi berwarna coklat yang tinggi dan terukur pada waktu pengukuran dengan spektrofotometer.

61 120 Retensi warna pada λ maks (%) 110 100 90 80 70 60 50 Gambar 4.9 40 0 1 2 3 4 5 6 7 Waktu (hari) Pengaruh pencahayaan dengan lampu fluoresens pada retensi warna (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam minuman model buffer sitrat ph 3. ( ), buah duwet (control); ( ), buah duwet (cahaya); ( ), kubis merah (kontrol); ( ), kubis merah (cahaya); ( ), enosianin (kontrol); ( ), enosianin (cahaya). Tabel 4.4 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model bufer sitrat ph 3 pada perlakuan pencahayaan fluoresens Pewarna Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW (%) k t 1/2 (hari) Duwet 0,13 a 7,31 a 4,06 a 26,93 a 0,0432 16,04 c Kubis merah 0,20 b 16,51 b 10,73 b 32,10 c 0,0626 11,07 a Enosianin 0,45 c 20,99 c 20,08 c 30,25 b 0,0513 13,51 b Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP, perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan warna kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t 1/2, waktu paruh. Pencahayaan fluoresens selama 7 hari. Secara keseluruhan, stabilitas warna antosianin terhadap perlakuan pencahayaan dengan lampu fluoresens dapat diurutkan: antosianin buah duwet > kubis merah > pewarna enosianin. Komposisi dan struktur antosianin berpengaruh terhadap stabilitas terhadap cahaya. Van Buren et al. (1968) dalam Markakis (1982) melaporkan bahwa asilasi, metilasi diglikosida adalah antosianin yang paling stabil dalam wine yang dipapar cahaya; diikuti non-asilasi diglikosida lalu monoglikosida yang paling tidak stabil. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antosianin buah duwet yang mengandung struktur diglikosida sedikit lebih stabil dibandingkan antosianin kubis merah yang mengandung struktur antosianin diglikosida terasilasi. Hal ini kemungkinan karena konsentrasi antosianin kubis merah yang ditambahkan dalam minuman model lebih kecil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antosianin buah duwet sedikit lebih stabil terhadap perlakuan pencahayaan dengan lampu fluoresens dibandingkan

62 antosianin kubis merah. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyrby et al. (2001) yang mendapatkan hasil bahwa antosianin kubis merah memiliki sensitivitas yang rendah terhadap fotodegrasi. Perbedaan ini mungkin disebabkan penggunaan sumber cahaya untuk reaksi fotokimia berbeda. Pada penelitian ini digunakan lampu fluoresens dengan intensitas 4000 lux sedangkan penelitian Dyrby et al. (2001) menggunakan cahaya monokromatik dengan panjang gelombang 313, 366, dan 436 nm (ultraviolet dan visibel). Sedangkan hasil penelitian dari Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) diperoleh bahwa antosianin ubi jalar merah (mengandung gugus asil) juga mengalami degradasi selama pencahayaan dengan lampu fluoresens putih. Profil laju degradasi antosianin dari kubis merah pada penelitian disertasi ini hampir sama dengan laju degradasi antosianin pada ubi jalar merah. Setelah pencahayaan selama 7 hari diperoleh nilai retensi warna antosianin ubi jalar berkisar 45%. Nilai ini lebih rendah dari nilai retensi warna antosianin buah duwet dan kubis merah berturut-turut berkisar 73% dan 68% setelah pencahayaan selama 7 hari. Antosianin memiliki kecenderungan yang kuat mengabsorpsi sinar tampak dan energi radiasi sinar menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum tampak yang dapat merusak struktur antosianin sehingga mengakibatkan perubahan warna yaitu kehilangan warna merah. Furtado et al. (1993) menjelaskan bahwa reaksi degradasi antosianin oleh cahaya melibatkan eksitasi dari kation flavilium. Selama degradasi fotokimia, pembentukan produk akhir degradasi dijumpai sama seperti pada reaksi termal. Degradasi antosianin secara fotokimia melalui lintasan kinetika berbeda yang melibatkan eksitasi dari kation flavilium. Mekanisme degradasi secara fotokimia langsung dari kation flavilium sesuai persamaan: AH + hv produk degradasi, pembentukan produk degradasi melalui eksitasi kation flavilium. Sedangkan Maccarone et al. (1987) mengusulkan mekanisme yang berbeda, degradasi fotokimia terjadi melalui pembentukan senyawa tidak berwarna, misalnya dari kation flavilium melalui karbinol pseudobase menjadi kalkon. SIMPULAN Warna antosianin buah duwet dipengaruhi oleh ph. Warna antosianin buah duwet menunjukkan perubahan warna dari merah menjadi tidak berwarna (pudar) serta mengalami penurunan nilai absorbans dengan meningkatnya ph

63 dari ph 1 ke ph 6. Pada ph 7-8 terjadi peningkatan nilai absorbans dan warna antosianin berubah menjadi biru. Struktur antosianin buah duwet dengan glikosilasi 3,5-diglukosida memberikan intensitas warna yang rendah pada kisaran nilai ph 1-8. Antosianin buah duwet memiliki karakteristik relatif tidak stabil selama perlakuan pemanasan (suhu 80 dan 98 o C), pencahayaan dengan lampu fluoresens putih, serta penyimpanan pada suhu refrigerasi dan ruang. Antosianin buah duwet menunjukkan karakteristik lebih stabil dibandingkan pewarna enosianin (pewarna antosianin komersial) selama perlakuan pemanasan, pencahayaan, dan penyimpanan. Antosianin buah duwet memiliki karakteristik stabilitas yang hampir sama dengan antosianin kubis merah pada perlakuan pencahayaan dan penyimpanan. Antosianin terasilasi pada kubis merah memberikan karakteristik kestabilan warna yang tinggi selama pemanasan (suhu 80 dan 98 o C) dibandingkan dengan antosianin buah duwet (diglikosida) dan enosianin (monoglikosida). Pada kondisi penyimpanan suhu refrigerasi dan tanpa pencahayaan dapat mempertahankan warna antosianin buah duwet lebih lama.