BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Purwokerto Timur. Kelurahan tersebut merupakan alih bentuk dari sebuah desa

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR ISI. 1. Morfologi Cerita Rakyat Malin Tembesu Berdasarkan Struktur Naratif Propp. Agatha Trisari Swastikanthi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ki Gede Sebayu merupakan tokoh pendiri Tegal yang telah dikenal oleh

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau

SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 1. INDAHNYA KEBERSAMAANLatihan Soal 1.7

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

INTERAKSI KEBUDAYAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu

Kerajaan Mataram Kuno

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN ASTANA GEDE. di Kabupaten Ciamis. Situs Astana Gede merupakan daerah peninggalan

BAB I PENDAHULUAN. ungkapannya (Sudjiman, 1990:71). Sastra juga dapat digunakan oleh semua yang

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu

Cagar Budaya Candi Cangkuang

MENGHARGAI PENINGGALAN SEJARAH. By : Arista Ninda Kusuma / PGSD USD

BAB II DESA SENDANGDUWUR. Sebelah Selatan Wilayah Kecamatan Paciran serta memiliki Luas Wilayah + 22,5

BAB I PENDAHULUAN. masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai.

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Please purchase PDFcamp Printer on to remove this watermark.

CIPTARASA : PROFIL PUTRI BUNGSU SEBAGAI SIMBOL KESUBURAN, PENYATU PAJAJARAN-PASIRLUHUR, DAN SASARAN OEDIPUS

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai tokoh Sanjaya sebagai pendiri Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

PETA KONSEP KERAJAAN-KARAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok,

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran

PETA WILAYAH KEKUASAAN KERAJAAN MATARAM KUNO

BAB I PENDAHULUAN. Ayu Fauziyyah, 2014

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. hubungan perdagangan antara bangsa Indonesia dan India. Hubungan itu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki kesenian dengan ciri

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

SEJARAH KOTA PURWOKERTO HISTORY OF PURWOKERTO TOWN

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

MATERI STUDI RELIGI JAWA

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BAB I PENDAHULUAN. makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

2014 SAJARAH CIJULANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

5. (775 M) M M M 9. (832 M) 10. (842 M) 11. (850 M) 12. (856 M) 13. (863 M) 14. (880 M) 15. (907 M) 16.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I

KERAJAAN DEMAK. Berdirinya Kerajaan Demak

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

BAB II GAMBARAN UMUM CERITA RAKYAT LUTUNG KASARUNG. lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa dengan kultur budaya dan

Kerajaan Mataram Kuno

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

GAMBARAN UMUM SUKU BANJAR

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Potensi Budaya Indonesia Dan Pemanfaatannya

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

I. PENDAHULUAN. yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Arcawinangun sekarang termasuk sebuah kelurahan yang berada di dalam wilayah Kecamatan Purwokerto Timur. Kelurahan tersebut merupakan alih bentuk dari sebuah desa ketika Purwokerto ditetapkan sebagai Kota Administratip pada 15 Januari 1983. Penetapan itu telah mengubah status desa menjadi kelurahan. Batas timur Arcawinangun adalah Sungai Pelus. Keberadaan sungai itu memang telah membawa warna terhadap kehidupan masyarakat di sekitar DAS Pelus, termasuk Arcawinangun. Masyarakat Arcawinangun sangat tergantung kepada sungai tersebut, terutama dalam bercocok tanam, atau pemenuhan kebutuhan air untuk hidup sehari-hari. Selain itu, Sungai Pelus juga secara kultural tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan masyarakat Arcawinangun. Apalagi, Arcawinangun adalah situs sejarah dari masa Hindu-Buddha. Mitos-mitos lama masyarakat selalu berhubungan dengan masa tersebut. Memang, ada dugaan bahwa Arcawinangun juga situs prasejarah dengan ditemukan berbagai artifak di makam Arcawinangun. Di duga salah satu bagian makam penduduk tersebut merupakan makam-makam kuna yang sudah tidak beridentitas dalam bentuk menhir-menhir kecil. Menhir-menhir itu, pada umumnya, seperti yang ditemukan di Kabupaten Banyumas, selalu mengarah ke Gunung Slamet. Hal itu menunjukkan bahwa gunung yang menjadi acuan dunia itu tidak terlepas dengan keberadaan manusia prasejarah di Banyumas. Masyarakat Banyumas masa lampau telah menciptakan mitos-mitosnya ketika berinteraksi dengan lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya di sekitar Gunung Slamet, termasuk masyarakat Arcawinangun. Mitos-mitos Hindu-Buddha yang paling menonjol adalah mitos wayang, yang berkaitan dengan mitologi Mahabharata. 1

Namun, yang menarik adalah mitos itu bercampur dengan legenda DAS Peluas dan legenda Banyumasan yang sudah mengakar bagi masyarakat Purwokerto, yakni tokoh Kamandaka. Kamandaka adalah tokoh legendaris yang berpusat di DAS Logawa-Mengaji-Serayu, tetapi rambahan kisahnya melewati batas-batas di lingkungan kerajaan Pasirluhur. Pertemuan antara mitologi Mahabharata dengan legenda setempat merupakan fenomena yang menarik sebagai pencerminan kesediaan menerima budaya yang berada di sekitarnya. Hal itu menunjukkan suatu kearifan lokal dari masyarakat Arcawinangun, yang perlu diteliti dengan sungguh-sungguh sebagai suatu penulisan sejarah desa di wilayah Purwokerto Timur. Sudah barang tentu, keberadaan Arcawinangun tidak mungkin dilepaskan dengan kondisi sosial budaya masyakarat desa di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap empat masalah, yaitu (1) kearifan sosial-budaya masyarakat di situs reruntuhan candi Arcawinangun, Purwokerto Timur, Banyumas yang terdapat pantangan pertunjukan wayang kulit, (2) aspek kesejarahan pantangan pertunjukan wayang kulit, (3) konflik-konflik budaya yang terjadi pada masyarakat situs Arcawinangun yang melahirkan pantangan pertunjukan wayang kulit, serta (4) makna simbolik pantangan pertunjukan wayang kulit yang berlaku hingga masa kini di situs Arcawinangun. Penelitian menggunakan sumber berupa folklor dan tradisi lisan yang terdapat pada masyarakat situs Arcawinangun yang berada di sebelah utara Daerah Aliran Sungai Serayu. Pemilihan situs Arcawinangun sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang penuh dengan mitos wayang sehingga banyak ditemukan kasus-kasus pantangan pertunjukan wayang kulit. Penelitian ini ditempuh melalui metode sejarah dengan dikombinasikan dengan metode folklor. Ilmu folklor dalam penelitian ini dimanfaatkan sebagai ilmu bantu sehingga folklor (termasuk tradisi lisan) yang berbentuk cerita rakyat (mitos dan legenda) siap dipakai 2

sebagai sumber atau data sejarah untuk keperluan penelitian sejarah kebudayaan pada umumnya atau sejarah intelektual pada khususnya. B. Masalah Penelitian Masalah penelitian ini meliputi : a. kearifan sosial budaya masyarakat di situs Arcawinangun, yang meliputi sejarah desa, kearifan lokal, dan karakter masyarakat Arcawinangun, b. aspek kesejarahan pantangan pertunjukan wayang kulit. Kedua masalah tersebut dilihat dari kacamata folklor masyarakat Arcawinangun yang eksis dalam keanekaragaman. Folklor Arcawinangun merupakan warisan masyarakat yang pernah hidup pada masa prasejarah dan Hindu-Buddha, yang masih ada hingga sekarang. Penelitian ini memfokuskan untuk mengumpulkan para pewaris folklor yang meliputi penduduk Arcawinangun yang sudah berumur tua dan menguasai folklor tersebut. Folklor yang utama dikumpulkan adalah folklor lisan, yang berisi cerita-cerita rakyat dalam bentuk mitos, legenda, dan dongeng, serta tradisi lisan yang berhubungan dengan tradisi dan adatistiadat. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian terhadap kebudayaan di Karesidenan Banyumas dimulai dengan penerbitan teks Babad Pasir dan Babad Banyumas pertama kali dilakukan oleh Knebel (1900 & 1901) dengan ringkasan isinya. Teks Babad Pasir yang diterbitkan dalam bentuk tulisan Jawa cetakan berasal dari Kademangan Pasir Wetan. Oleh karena itu, naskah terbitan Knebel banyak dijumpai pada masyarakat Banyumas, khususnya kota Purwokerto dan sekitarnya. Selain itu, teks Babad Pasir berinteraksi dengan teks-teks babad lokal di Purbalingga, yaitu Babad Onje dan Babad Purbalingga. Sementara itu, teks Babad Banyumas yang diterbitkan Knebel berasal dari Kepangeranan Banyumas, yaitu naskah koleksi Kangjeng Pangeran Aria Mertadiredja III dan Pangeran Aria Gandasubrata. Di situ, Knebel tidak berhasil menjelaskan asal-usul naskah karena Pangeran Aria Mertadiredja III sudah tidak tahu lagi penulis atau penyalinan teks tersebut. Agaknya, Pangeran Aria Mertadiredja III mendapat warisan naskah itu dari ayahnya. Naskah terbitan Knebel ini kemudian dikenal sebagai teks versi Mertadiredjan yang menjadi koleksi Museum Nasional Bagian Naskah (sekarang Perpustakaan Nasional) dengan kode Hds. B. G. No. 526. Naskah ini sesungguhnya melestarikan tradisi teks dari perdesaan Purbalingga. Katalog yang berjudul Literature of Java susunan Pigeaud (1967: 147; dan 1968: 510) hanya menyebut sebuah naskah Babad Banyumas, yaitu manuskrip Dipasukarta (Lor. 8992 no.1), yang tersimpan di Perpustakaaan Universitas Leiden. Naskah prosa ini diduga berasal dari Banjarnegara. Selebihnya adalah naskah-naskah yang disebut dengan judul Sejarah Wirasaba (Lor. 6427, Lor.7469, dan Lor. 7718). Naskah-naskah terakhir ini sebenarnya juga termasuk teks-teks Babad Banyumas versi Banjarnegara yang dikoleksi oleh Perpustakaan Universitas Leiden. Babad Banyumas versi Banjarnegara yang tersimpan di Leiden tersebut adalah naskah-naskah yang memuat teks yang juga berasal dari Purbalingga, yakni 4

Wirasaba. Selain itu, ada satu naskah lain, yaitu Babad Banyumas versi Danuredjan (prosa) yang berjudul Salasilah ing Para Leluhur ing Kadanuredjan (Lor. 6686). Sejarawan Belanda H.J. de Graaf (1985) menjelaskan penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh Pajang, khususnya yang menyangkut wafatnya Warga Utama I, dengan mengutip kesaksian yang diberikan oleh teks Mertadiredjan. Hal serupa juga dilakukan oleh Pigeaud dan Graaf (1985) dalam karya bersama yang berjudul Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Di situ, teks Mertadiredjan digunakan sebagai sumber sejarah dengan didukung oleh teks Babad Banyumas (manuskrip Dipasukarta) yang ditafsirkan sebagai penaklukan Pajang atas Kadipaten Wirasaba yang terletak di Purbalingga. Selanjutnya, Priyadi (1990) mempresentasikan teks Mertadiredjan pada forum Seminar Sejarah Nasional V, di Semarang. Di situ, dijelaskan bahwa teks Babad Banyumas tersebut bisa dimanfaatkan sebagai sumber sejarah lokal Banyumas karena memuat informasi yang sezaman ketika naskah itu disalin. Dinasti Banyumas yang disusun berdasarkan silsilah yang mengacu kepada raja-raja Majapahit dan tradisi sejarah pangiwa. Behrend (1990: 77-78 & 80-81) menyebutkan adanya dua naskah babad yang terkait dengan Purbalinga dan Banyumas, yaitu Babad Banyumas (PB.C. 112), Babad Pajajaran Banyumas dumugi Babad Kadanuredjan (PB.A. 251), dan Babad Purbalingga (PB.A. 271). Perbandingan teks menunjukkan bahwa naskah yang pertama berisi teks yang dikenal secara luas oleh masyarakat Banyumas sebagai Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan, sedangkan naskah yang kedua merupakan teks tembang versi Danuredjan. Naskah ketiga tampaknya merupakan kumpulan cerita legendaris di daerah Banyumas. Naskah ini memuat empat teks, yaitu (1) Panembahan Lawet (Purbalingga), (2) Babad Purbalingga (Purbalingga), (3) Cariyos Ki Ageng Gumelem (Banjarnegara), dan (4) Babad Nusa Tembini (Cilacap). Pada bagian lain, Behrend (1990: 90-91) menunjukkan adanya silsilah Banyumas yang berjudul Sarasilah Tedhak Turunipun Raden Adipati Riya Matahun saha Ngabehi Martasura ing Banyumas (PB.A. 46). 5

Priyadi (1993) menjelaskan bahwa tradisi Babad Pasir dan Babad Banyumas mendapat pengaruh dari teks-teks dari Jawa Barat, khususnya yang menyangkut raja-raja Pajajaran sebagai salah satu jalur nenek moyang dinasti Banyumas. Dinasti Banyumas merupakan keturunan dinasti lokal (Pasir dan Wirasaba) dengan Pajajaran dan Majapahit. Teks Babad Banyumas melegitimasikan nenek moyang mereka yang berasal dari dua kerajaan yang berwibawa di Pulau Jawa. Pada kesempatan lain, Priyadi (1996: 63-67) mempublikasikan artikel dalam jurnal Kebudayaan. Di situ, dibahas keberadaan teks silsilah kiri atau sejarah pangiwa yang termuat dalam teks Tedhakan Serat Babad Banyumas. Pembahasan tersebut menjelaskan bahwa tradisi silsilah kiri itu tidak sepenuhnya mengambil padanannya pada teks Babad Tanah Jawi (BTJ), tetapi penulis teks melakukan perombakan dengan memasukkan tokoh Dewatacengkar yang tidak lazim. Priyadi (1997a: 232) mengungkapkan bahwa ada satu versi Babad Banyumas yang memuat teks Babad Pasir, yakni versi Banjarnegara yang tampak pada dua naskah, Babad Wirasaba Kejawar dan Serat Sedjarah Banjoemas. Gejala tersebut merupakan gejala yang tidak ditemukan pada Babad Banyumas versi lainnya. Kemudian, Priyadi (1997b) meneliti teks-teks prosa Babad Pasir. Priyadi menerbitkan teks-teks tersebut secara diplomatik agar teks dapat dikenali sedekat mungkin dengan teks aslinya oleh pembaca. Di samping itu, juga diteliti hubungan intertekstual dan munculnya toponim-toponim yang berkaitan dengan tokoh utama (Raden Kamandaka). Selanjutnya, Priyadi (1997c) meneliti Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan yang difokuskan kepada fungsi dan aspek intertekstualitasnya. Penelitian yang didasarkan naskah-naskah Banyumas belum menerbitkan suatu edisi teks beserta terjemahannya. Begitu pula dengan mencermati teks-teks transformasinya. Behrend & Pudjiastuti (1997: 796-798) menyebut empat naskah Babad Banyumas yang tersimpan pada koleksi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Jika dikaji, naskah 6

pertama merupakan versi Mertadiredjan, naskah kedua dan ketiga adalah versi Wirjaatmadjan, sedangkan naskah keempat termasuk versi Banjarnegara. Di samping itu, Behrend & Pudjiastuti (1997: 874-875) juga menyebut naskah Babad Wirasaba. Naskah terakhir ini sebenarnya berisi teks Babad Banyumas versi Banjarnegara yang berasal dari tradisi Wirasaba, Purbalingga. Agaknya, teks Babad Pasir dan Babad Banyumas juga termuat dalam katalog Ekadjati & Darsa (1999: 18-19 & 211-212). Kedua naskah tersebut merupakan karya salinan Soewigno yang naskah aslinya sudah ditemukan oleh peneliti di Banyumas. Naskah pertama adalah Babad Pasir yang pernah dipublikasikan oleh Knebel pada tahun 1900, yaitu naskah yang berasal dari Kademangan Pasir Wetan. Naskah kedua adalah Babad Banyumas versi Mertadiredjan yang juga pernah dipublikasikan oleh Knebel pada tahun 1901. Naskah yang kedua ini sekarang menjadi koleksi keluarga besar Gandasubratan di Banyumas. Selain itu, Priyadi (1999) menganalisis teks Babad Banyumas yang termuat dalam teks Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara yang berbahasa Jawa Kuna. Teks tersebut menunjukkan bahwa teks Babad Banyumas umurnya sudah cukup tua sebanding dengan teks yang terkandung dalam naskah Kalibening. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah teks di atas merupakan satu jalur tradisi dengan versi Banjarnegara dan versi Wirjaatmadjan. Kajian berikut menyajikan suntingan teks dengan metode naskah tunggal yang dilakukan terhadap teks Mertadiredjan beserta dengan terjemahan teksnya (Priyadi, 2000a). Di samping itu, Priyadi juga membahas secara mendalam genealogi yang terdapat dalam teks Tedhakan Serat Babad Banyumas sebagai kerangka struktur naratif teks. Di sini, genealogi atau sejarah pangiwa dihubungkan dengan silsilah dinasti Banyumas. Semuanya merupakan usaha melegitimasikan dinasti Banyumas yang berkuasa di daerah perbatasan Sunda dan Jawa. Kiranya teks Babad Banyumas juga memuat warisan rohani yang menjelaskan aspek-aspek kebudayaan Banyumas. Budaya tersebut tercermin dari dialek Banyumasan 7

yang menjadi sendi-sendi pergaulan manusia Banyumas (Priyadi, 2000b). Salah satunya yang menarik adalah tabu Sabtu Pahing yang juga berelasi dengan tabu nikah antara penduduk Wirasaba (Kecamatan Bukateja) dengan Toyareka (Kecamatan Kemangkon) yang dibatasi oleh Sungai Klawing. Oleh karena itu, Priyadi (2001a dan 2001b) menjelaskan bahwa tabu itu tidak lebih sebagai suatu sistem tanda yang bermakna sehingga penjelasan itu akan mengurangi rasa takut manusia Banyumas terhadap tabu nenek moyangnya. Tampaknya, teks Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan pernah dikaji untuk keperluan penelitian ulang hari jadi kabupaten Banyumas (Priyadi, 2001c). Penelitian ini menunjukkan bahwa teks-teks Babad Banyumas yang dipakai sebagai penentuan hari jadi pada tahun 1989 itu tidak dapat dipertanggungjawabkan tanpa mengkaji teks-teks Wirjaatmadjan karena teks tersebut dapat menerangkan proses korupsi teks yang dilakukan oleh para penyalin teks pada masa lalu. Tahun 1582 yang dianggap sebagai titimangsa hari jadi Kabupaten Banyumas tidak dapat dipertanggungjawabkan karena merupakan penafsiran berantai dari buku Fruine Mees (1920). Tahun 1582 sesungguhnya merupakan waktu wafatnya raja Pajang. Priyadi (2001d: 93-95) menyatakan bahwa ada 3 naskah Babad Banyumas versi Danuredjan (prosa) yang menjelaskan tokoh cikal-bakal Islamisasi di Jawa, khususnya di daerah Cahyana (sekarang Kecamatan Karangmoncol dan Rembang, Purbalingga), yakni Pangeran Jambu Karang atau Syekh Jambu Karang. Islamisasi di Cahyana menurut teks lokal tersebut merupakan Islamisasi yang tertua di Jawa pada masa akhir kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Jambu Karang inilah yang menjadi nenek moyang para penguasa di Perdikan Cahyana yang selanjutnya berkembang menjadi 21 daerah perdikan. Kajian Priyadi (2002a) membahas berbagai naskah Banyumas yang meliputi berbagai versi Babad Banyumas, naskah dari Banjarnegara, Cilacap, dan Purbalingga, atau naskah yang tersimpan oleh orang Banyumas di luar komunitasnya. Uraian tadi menunjukkan 8

bahwa Banyumas memiliki kekayaan naskah Jawa. Jadi, secara keseluruhan buku tadi membicarakan naskah-naskah Jawa yang berasal dari Karesidenan Banyumas. Priyadi (2002b: 186-200) membahas teks Babad Pasir untuk mengungkap karakter tokoh Banyak Catra atau Raden Kamandaka. Kesimpulan dari pembahasan itu menunjukkan bahwa Banyak Catra dalam rangka mendekati putri Pasirluhur melalui lima tahap kebinatangan, yaitu angsa (banyak), banteng (andaka), ayam jago, anjing, dan lutung. Lima tahap tersebut merupakan rekayasa atau tipu muslihat yang selalu berhasil dilakukan oleh Banyak Catra sehingga ia bisa menyunting putri Pasirluhur setelah menyingkirkan pesaingnya yang bernama Pulebahas dari Nusakambangan. Priyadi (2003a: 14-37) membahas beberapa karakter masyarakat Banyumas. Pembahasan itu menunjukkan bahwa daerah Kabupaten Purbalingga dan Banyumas yang berada di sebelah utara Sungai Serayu merupakan daerah yang rawan dengan konflik-konflik sosial di tingkat perdesaan. Di daerah utara Sungai Serayu banyak ditemukan kasus-kasus tabu nikah antara penduduk satu desa dengan desa lain. Priyadi (2003b: 430-440) meneliti teks Babad Banyumas yang mengkhususkan pada hubungan antara Banyumas dengan Majapahit. Keberadaan Banyumas diwakili oleh dinasti Paguhan yang diduga adalah Bhre Paguhan sebagaimana ditemukan pada teks Pararaton. Adipati Paguhan identik dengan Adipati Wirasaba sebagai dinasti lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinasti lokal Wirasaba dan Pasir melahirkan dinasti baru, yaitu dinasti Banyumas. Priyadi (2004: 20-37) meneliti kedudukan teks Babat Banyumas (BR.58), naskah koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Naskah tersebut berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ia merupakan naskah penghubung antara dua tradisi, yaitu tradisi lama (Babad Wirasaba) dan tradisi baru (Tedhakan Serat Babad Banyumas). Naskah BR.58 ini adalah naskah missing-link yang penting untuk menjelaskan proses transformasi Babad Wirasaba menjadi Tedhakan Serat Babad Banyumas. 9

Dengan demikian, kajian di atas menunjukkan bahwa penelitian mengenai situs arkeologi Arcawinangun belum dilakukan, terutama yang menyangkut kearifan sosial budaya masyarakat pada situs Arcawinangun, konflik-konflik budaya yang terjadi pada masyarakat di situs Arcawinangun yang melahirkan pantangan pertunjukan wayang kulit, dan makna simbolik pantangan pertunjukan wayang kulit yang masih berlaku hingga masa kini. 10

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Penelitian ini berusaha untuk mengungkap: a. gejala dan konsep kearifan sosial budaya masyarakat di situs Arcawinangun yang terkait dengan pantangan pertunjukan wayang kulit, yakni sejarah desa, kearifan lokal, dan karakter masyarakat Arcawinangun, serta b. aspek kesejarahan pantangan pertunjukan wayang kulit. B. Manfaat Penelitian Pengungkapan kearifan sosial budaya masyarakat Arcawinangun, yang bersentuhan dengan kesenian wayang kulit merupakan rintisan dalam penulisan sejarah lokal, khususnya sejarah desa. Sejarah desa sebagai pencerminan kultural akan memberi gambaran sebagai historiografi yang secara bertahap bermuara ke arah sejarah kesenian dan sejarah kebudayaan. 11

BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini ditempuh dengan metode sejarah yang dikombinasikan dengan metode penelitian folklor. Metode dipakai di sini karena ilmu tersebut dimanfaatkan sebagai ilmu bantu dalam penelitian sejarah, khususnya sejarah intelektual di tingkat lokal Banyumas. Metode tersebut dipakai untuk menyediakan data atau sumber sejarah berupa berbagai jenis folklor yang berkembang di pedesaan. A. Metode Folklor Karena data-data yang dikumpulkan berbentuk folklor, maka metode pengumpulan folklor yang dikembangkan oleh Danandjaja (1985: 1-21) dapat diterapkan. Informan kunci yang harus ditemukan adalah para pewaris aktif folklor dan bukan para pewaris pasif folklor. Pewaris aktif pada umumnya adalah dalang, dukun bayi, tokoh masyarakat, orang-orang tua (usianya di atas 60 tahun), atau orang-orang terpelajar di pedesaan. Teknik pencarian pewaris aktif tadi bisa dimulai dari seorang yang kemudian yang bersangkutan akan menunjuk orang-orang lain yang mungkin bisa memberi keterangan lebih lanjut mengenai folklor yang sedang dikumpulkan sehingga bagaikan bola salju, lama-kelamaan peneliti dapat menemukan para pewaris aktif dalam jumlah yang banyak. Setelah para pewaris aktif ditemukan, maka dilakukan wawancara dengan dua cara, yaitu wawancara tidak terarah dan wawancara terarah (Danandjaja, 1984: 187). Wawancara tidak terarah adalah wawancara yang bersifat bebas santai dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada pewaris aktif untuk memberikan keterangan yang ditanyakan agar peneliti mendapat gambaran umum bentuk folklor yang akan diteliti. Hasil wawancara tidak terarah ditindaklanjuti dengan wawancara terarah. Artinya, daftar pertanyaan yang diajukan peneliti sudah terfokus. Setiap kali wawancara, peneliti harus mencatat identitas pewaris aktif yang terdiri 12

dari nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa, tempat lahir, bahasa yang dikuasai, tempat wawancara, dan tanggal wawancara (Danandjaja, 1984: 217). Untuk keperluan penelitian, maka catatan lapangan (field notes) atau rekaman tape recorder yang berupa hasil wawancara harus diubah ke dalam bentuk tertulis atau ditranskripsikan. Hal ini dilakukan karena akan mempermudah kerja peneliti selanjutnya. Kemudian, kritik yang dilakukan pada sumber-sumber folklor ditempuh dengan melakukan penentuan ciri-ciri umum atau sistem, yakni metode komparatif dengan cara mengklasifikasikan folklor yang telah dikumpulkan (Koentjaraningrat, 1985: 45). Seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, Jan Harold Brunvand telah membagi folklor menjadi tiga bagian, yaitu (1) folklor lisan, (2) folklor sebagian lisan, dan (3) folklor bukan lisan (Danandjaja, 1984: 21). Folklor lisan meliputi (a) bahasa rakyat, (b) ungkapan tradisional, (c) pertanyaan tradisional, (d) puisi rakyat, (e) cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat. Sementara itu, folklor sebagian lisan terdiri atas (a) permainan rakyat, (b) teater rakyat, (c) tari rakyat, (d) adat-istiadat, (e) upacara, dan (f) pesta rakyat; sedangkan folklor bukan lisan meliputi (a) yang material (terdiri dari kerajinan tangan rakyat, pakaian adat, perhiasan adat, masakan dan minuman rakyat, serta obat-obatan tradisional) dan (b) yang bukan material (terdiri dari gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat) (Danandjaja, 1984: 21-22). Klasifikasi Brunvand tadi dapat diterapkan dalam suatu penelitian dengan penyesuaian bentuk-bentuk folklor yang akan diteliti. Selanjutnya, peneliti melakukan pengecekan keterangan setiap pewaris aktif kepada pewaris aktif lain tentang folklor yang telah dikumpulkan itu agar dapat dipertanggung-jawabkan isinya. Caranya adalah dengan memberi daftar pertanyaan yang sama kepada pewaris aktif lain. Atau, peneliti dapat melakukan pengecekan itu berdasarkan pengamatannya sendiri terhadap keterangan para pewaris aktif. Kredibilitas keterangan pewaris aktif dapat dipertanggungjawabkan mutunya (Danandjaja, 1984: 188) sehingga diperoleh fakta-fakta. Dengan demikian, metode folklor 13

memberi sumbangan bagi penelitian ini berupa fakta-fakta sementara pada sumber folklor, yang perlu mendapat kritik ekstern dan kritik intern pada metode sejarah. B. Metode Sejarah Metode sejarah terdiri dari empat langkah, yaitu (1) heuristik, (2) kritik (verifikasi), (3) Interpretasi (Penafsiran), dan (4) historiografi (Penulisan Sejarah) (Notosusanto, 1978: 35-43: bandingkan Gottschalk, 1983: 34; dan Kuntowijoyo, 1995: 89-105; bandingkan Kartodirdjo, 1982: 63-67). Langkah heuristik (pengumpulan sumber) sudah dilakukan pada penelitian folklor. Begitu pula dengan langkah kritik yang terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern telah dilakukan ketika peneliti mengklasifikasikan folklor, sedangkan kritik intern ketika peneliti melaksanakan kritik teks-teks folklor Banyumas. Dengan demikian, telah didapatkan fakta yang berupa fakta mental atau kejiwaan (mentifact). Karena tujuan penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan keragaman latar belakang sosial budaya masyarakat perdesaan Banyumas, konflik-konflik budaya yang terjadi yang menimbulkan tabu pertunjukan wayang kulit, dan makna simbolik tabu pertunjukan wayang kulit, maka kritik teks lebih dipertajam sehingga interpretasi yang dihasilkan pada langkah yang ketiga ini lebih maksimal. Tujuan penelitian berkisar pada sejarah intelektual yang termasuk pada kawasan sejarah ide-ide (Kartodirdjo, 1992: 176-177; bdk. Brinton, 1985: 201 & Ciptoprawiro, 1986). Oleh karena itu, pada langkah interpretasi terhadap fenomena sejarahnya, khususnya mentifact diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang sosial-budaya masyarakat Perdesaan Banyumas karena karya historiografi tradisional sering cenderung mengaburkan dua macam realitas sejarah, yaitu realitas yang objektif terjadi dan realitas yang riil dalam diri. Yang pertama adalah fakta yang merupakan pengalaman yang aktual, sedangkan yang kedua adalah fakta yang berupa penghayatan kultural kolektif (Abdullah, 1985: 22-23). Penghayatan kultural kolektif menjadi penting manakala peneliti berusaha memahami makna karena setiap 14

peristiwa itu selalu dimaknai oleh masyarakat sehingga terjalin menjadi pandangan dunia yang utuh (Abdullah, 1985: 24). Pemaknaan terhadap suatu peristiwa itulah yang dimengerti dan dipahami oleh masyarakat sebagai suatu realitas yang baru sehingga bisa terjadi perubahan bentuk (metamorfose) peristiwa, nilai, dan tokoh (bdk. van Peursen, 1990: 58). Di sini, bisa terjadi proses personifikasi, yaitu perubahan dari ide, nilai, dan norma menjadi tokoh historis (Abdullah, 1985: 26), atau sebaliknya terjadi depersonifikasi dari tokoh sejarah menjadi ide, nilai, dan norma. Selanjutnya, hasil interpretasi tersebut disajikan pada langkah terakhir dalam bentuk karya sejarah (historiografi) berupa sejarah intelektual di tingkat lokal Banyumas sebagai perwujudan interaksi manusia dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan kebudayaan. 15

BAB V KEARIFAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DESA ARCAWINANGUN A. Sejarah Desa Arcawinangun Yang disebut Arcawinangun adalah suatu wilayah yang berada di sebelah utara Jalan Senopati sekarang, sedangkan di sebelah selatan lebih dikenal dengan wilayah Kejawar. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa ada wilayah Arcawinangun yang berada di sebelah selatan Jalan Senopati, yang berbatasan dengan Kejawar. Batas antara Arcawinangun dan Kejawar adalah tanah yang di bawahnya terdapat urung-urung batus cadas. Di sebelah timur, ada makam tokoh legendaris yang bernama Arsantaka, yang dalam teks Babad Purbalingga, merupakan nenek moyang para bupati Purbalingga. Batas utaranya adalah Arcawinangun Lor, yang di sana ada situs Kabakan. Batas barat Arcawinangun dengan Purwakerta Lor adalah Sungai Biru dan jika menyusur ke selatan terdapat batas barat Arcawinangun dengan Purwakerta Wetan adalah Sungai Putih (Kali Putih). Batas selatan adalah Kelurahan Mersi. Dengan demikian, Arcawinangun yang asli adalah daerah yang berada di sebelah utara Jalan Senapati dan sebagian yang berada di sebelah selatan, kemudian ditambah dengan Legok. Arcawinangun bersama Arcawinangun Lor, Kejawar, dan Purwowinangun (Tanah Garing) menjadi wilayah Kelurahan Arcawinangun. Arcawinangun sejak tanggal 15 Januari 1983 berstatus menjadi kelurahan sehubungan dengan penetapan kota Purwokerto sebagai kota administratip. Arcawinangun semula adalah salah satu dari 18 desa yang berada wilayah Kecamatan Purwokerto berubah menjadi wilayah Kecamatan Purwokerto Timur, bersama Kelurahan Purwakerta Wetan, Purwakerta Lor, Kelurahan Mersi, Kelurahan Kranji, dan Kelurahan Sokanagara. Kejawar menurut tradisi lisan adalah suatu wilayah yang penduduknya jauh lebih maju dibandingkan Arcawinangun. Orang Kejawar jauh lebih terbuka terhadap orang dan budaya luar. Di Kejawar, ada kepercayaan apabila penduduk Kejawar hendak 16

menyelenggarkan hajat, misalnya, perkawinan atau khitanan, memberikan sesaji ke Astana Inggil dengan membawa candu sebathok, kata mitos, akan dijauhkan dari hujan lebat dan banyak tamunya. Candu sebathok maksudnya adalah sedikit. 1. Masa Prasejarah Masyarakat Arcawinangun disinyalisasikan sudah ada pada zaman prasejarah dengan peninggalan bangunan megalitikum, terutama yang sangat menonjol ditunjukkan dalam bentuk makam-makam tua yang dilingkari dengan tugu batu atau menhir. Makam-makam tersebut semuanya sudah tidak beridentitas dan tersebar di kawasan makam penduduk Arcawinangun. Menhir-menhir itu ada yang berkelompok segi empat mengelilingi dua batu menhir yang dianggap sebagai nisan, tetapi ada pula menhir tunggal yang juga dikelilingi batu. Ada dua menhir yang ditempeli dengan batu nisan masa kini. Tidak ada penduduk Arcawinangun yang mengaku keturunan dari makam-makam yang sebenarnya adalah bangunan menhir. Foto 1. Batu menhir yang menyerupai lingga 17

Foto 2. Batu menhir tunggal di sebalah batu menhir berkelompok yang berbentuk makam Menhir-menhir tersebut, tampaknya, dimanfaatkan untuk menunjuk sebagai makam-makam yang tidak jelas identitasnya. Makam yang tidak diketahui lagi siapa yang dimakamkan itu ternyata berjumlah cukup banyak. Di sela-sela menhir-menhir itu, penduduk Arcawinangun masa kini dimakamkan. Situs makam Arcawinangun, kiranya, merupakan situs yang berisi artifact dari berbagai periode yang mungkin diubah, ditambah, atau dikurangi. Periode megalitikum sangat menonjol dengan kehadiran menhir-menhir. Di antara menhir-menhir tersebut terdapat menhir yang mirip dengan alat kelamin laki-laki (phallus), yang bentuknya sangat langka dan belum ditemukan di situs lain. Phallus yang dibuat dalam bentuk yang sangat natural dan benar-benar bulat. Phallus yang berbentuk seperti alat kelamin yang sudah disunat itu difungsikan sebagai nisan sebuah makam, yang juga sudah tidak jelas identitasnya. Kelihatannya, batang phallus panjangnya maksimal 1 meter. 18

Foto 3. Phallus sebagai Nisan 2. Masa Hindu: Astana Inggil dan Senapan Disebut dengan nama Arcawinangun karena ada penemuan arca di Karangwangkal, yang dibawa ke arah selatan dan selanjutnya dibangun. Arca yang berasal dari Karangwangkal mungkin justru berasal dari Arcawinangun. Setelah candi di Arcawinangun mengalami keruntuhan, arca tersebut diambil atau dibuang dari situsnya, yang kemudian ditemukan kembali. Di Museum Nasional Gedung Gajah, memang ada arca Ganesa, yang diberi keterangan sebagai benda purbakala, yang ditemukan di Karangwangkal, Purwokerto. Melihat ukuran patung Ganesa tersebut dapat diduga bahwa candi yang dibangun paling tidak sama dengan Candi Siwa pada gugusan Candi Prambanan. Ganesa bersama dengan Siva, Durga, dan Agastya merupakan inti dari mandala. Mereka berempat merupakan suatu yang saling menguatkan, sedangkan sendiri tidak kuat (Suleiman, 1986: 171). Pembangunan, atau lebih tepatnya, pembangunan kembali terhadap arca yang ditemukan, sekarang terletak tidak jauh dari makam Arcawinangun. Arahnya berada di sebelah barat daya. Apa yang disebut arca adalah sebuah reruntuhan bangunan, yang masih 19

dalam bentuk fondasi bangunan candi, yang mungkin sekali adalah candi perwara. Di situ, terdapat arca kaki, yang sebenarnya, merupakan relief pada dinding candi. Ada sebuah batu yang diduga adalah sebuah yoni, tetapi yoni tersebut tidak lebih sebagai yoni dari sebuah candi kecil. Namun, tidak ada batu lingga. Candi Arcawinangun diberi nama berdasarkan bangunan candi perwara, yang merupakan bagian dari candi besar. Arca Ganesa yang tersimpan di Museum Nasional kemungkinan berasal dari bangunan candi induk. Jika orang Mersi merasa keturunan Maharesi, maka ada kemungkinan bahwa Maharesi tersebut adalah arca Agastya (Siva Maharesi) yang merupakan arca satu-kesatuan dengan Ganesa dari Karangwangkal. Sekarang, ada dua arca lain yang belum ditemukan, yaitu Siva Mahadewa dan Durga Mahisasuramardhini. Sementara itu, posisi satu-satunya candi perwara berada di jalur urung-urung batu cadas. Makam Arcawinangun adalah situs yang sangat keramat. Penduduk melihat makam tersebut sebagai kawasan yang menakutkan. Makam utama situs makam Arcawinangun adalah Astana Inggil atau Setana Dhuwur. Disebut Astana Inggil karena berada di bagian yang tertinggi. Istilah Astana Inggil mengingatkan kepada istilah sitinggil, yaitu tanah tinggi tempat bangunan pendapa didirikan. Astana Inggil ditinggikan tanahnya pada zaman Lurah Nasun atau setelah Gestapu, yang menurut kepercayaan penduduk, atas permintaan orang yang dimakamkan di situ, yakni Mbah Karta. Menurut catatan Atmodikoesoemo (1988: 76), Astana Inggil disebut juga Astana Dhuwur Mbah Karta. Mbah Karta adalah seorang pertapa yang dimakamkan di Astana Inggil. Nama Karta oleh Bupati Mardjoko disebut dengan Resi Karta. Oleh karena itu, Mardjoko menyebut nama Kertawinangun sebagai nama asal-mula Arcawinangun. Padahal, Mbah Karta merupakan seorang pertapa biasa sebagaimana hal itu menjadi tradisi lisan penduduk. Seseorang bisa disebut resi apabila pendeta atau pertapa itu berasal dari kalangan kasta ksatria (Bagus, 1985: 296). Nama Kertawinangun tidak pernah hidup dalam tradisi lisan masyarakat Arcawinangun. Nama Karta ini sering dihubungkan dengan nama kota Purwokerto, yang berasal dari bacaan Purwakerta. Bacaan karta memang 20

berasal dari kerta, yang berasal dari bahasa Sanskerta krta. Kata itu berarti dilaksanakan, dibuat, diselenggarakan, sedang berkembang, ulung, dan sempurna (Zoetmulder & Robson, 2000: 517). Mbah Karta menurut sebuah versi dinyatakan sebagai orang Bali yang dianggap sebagai pendiri Arcawinangun. Keterangan itu dimungkinkan eksistensi Mbah Karta sebagai seorang pertapa. Makam Mbah Kerta ada kemungkinan merupakan candi perwujudan Prabu Krtabhuwana Yasawiguna Haji Mulya (739-766 M), yang menjadi raja selama 27 tahun. Krtabhuwana wafat pada tahun 784 M. Krtabhuwana adalah gelar bagi Hariang Banga, yang oleh masyarakat Banyumas disebut Arya Bangah (Priyadi, 2008: 111). Nama yang terakhir ini dimasukkan di urutan paling atas dalam daftar para adipati Pasirluhur atau leluhur raja-raja Galuh Purba, yang berkuasa atas Purwokerto (van der Meulen, 1988: 79). Hariang Banga sebagai tokoh sejarah adalah cucu Sanjaya dan anak Rahiyang Tamperan (Rakai Panaraban). Sanjaya adalah raja Mataram sebagai pengganti Sanna, yang memugar kerajaan pendahulunya (Poerbatjaraka, 1975: 27). Tampaknya, nama Mbah Kerta berasal dari tokoh leluhur Banyumas yang bernama Krtabhuwana. Mbah Kerta mungkin bukan orang Bali sebagaimana yang diduga selama ini. Penyebutan toponim Bali merupakan cara mengidentifikasikan agama yang dianut oleh Krtabhuwana, yaitu agama Hindu, khususnya aliran Sivaisme. Jadi, candi perwujudan itu dibangun setelah 784 M, setelah Banga wafat. Jika dikaitkan dengan tradisi upacara çraddha, candi perwujudan Krtabhuwana dibangun setelah 12 tahun beliau meninggal, tahun 796 M. Nama candinya kemungkinan adalah Krtabhuwanam karena kata bhavanam sering dipakai untuk menyebut bangunan suci candi seperti yang tercantum dalam beberapa prasasti. Ada dugaan bahwa kata kerta, juga terbaca kerti (Widada dkk., 2006: 342). Baik kerta maupun kerti memiliki arti yang sama, yaitu aman dan sejahtera (Prawiroatmodjo, 1988: 240). Demikian pula, dengan karta dan karti. Kalau kata kerti muncul ke permukaan, maka tokoh yang mengandung unsur kerti adalah raja Ho-ling yang bernama Kertikeyasingha, 21

atau lebih terkenal sebagai suami Dewi Sima, atau mertua raja Mandiminyak (Priyadi, 2008: 112). Toponim-toponim yang sekarang ada sering memakai nama tokoh tertentu, misalnya, ada toponim Mandiraja di Banjarnegara. Mandiraja diduga nama raja Galuh Purba yang menjadi menantu raja Ho-ling, yakni Raja Mandiminyak, yang disingkat Raja Mandi. Kertikeyasingha adalah raja Ho-ling pada tahun 649-674 M, sedangkan Krtabhuwana merupakan raja Galuh Purba pada periode 739-766 M. Kiranya, Krtabhuwana jauh lebih mendekati keberadaan Makam Mbah Kerta di Arcawinangun daripada Kertikeyasingha. Jika bertumpu pada pendapat Van der Meulen (1988: 79), yang menyatakan bahwa Purwokerto (T o-p o-teng) di bawah kerajaan Galuh Purba, maka Purwokerto tidak termasuk wilayah Ho-ling karena Ho-ling berada di sebelah timur Galuh Purba. Raja Mandi yang toponimnya berada di Banjarnegara lebih mendekatkan pada kerajaan Ho-ling, yang diduga berada di wilayah Bagelen. Akhirnya, Makam Mbah Karta lebih masuk akal sebagai candi perwujudan Raja Krtabhuwana Yasawiguna Haji Mulya, yang di dalam teks Babad Pasir disebut Arya Bangah sebagai leluhur para adipati di Pasirluhur. Arya Bangah adalah tokoh sejarah yang pada waktu mudanya disebut Hariang Banga. Keberadaan Kertikeyasingha terlalu tua untuk direlasikan dengan bangunan dari masa Ho-ling karena tipe candi di Dataran Tinggi Dieng lebih relevan dengan masa Ho-ling. Astana Inggil adalah tempat di pemakaman Arcawinangun yang dianggap paling keramat pernah ditemukan sebuah jarum emas, keris kecil, dan cempala (kecrek). Cempala merupakan salah satu perangkat gamelan yang telah diperoleh Dalang Gino pada tahun 1963. Masyarakat Arcawinangun percaya bahwa popularitas Dalang Gino itu bermula dengan penemuan kecrek, sebagai tanda pewaris dan penerus Dalang Ganda. Penemuan kecrek di lokasi Mbah Karta merupakan legitimasi masyarakat Arcawinangun karena terkenalnya Dalang Gino disebabkan oleh kecrek yang berasal Arcawinangun. Namun, Dalang Gino, sebenarnya, belum menunjukkan popularitasnya di Banyumas karena masih ada Dalang Taram sebagai pewaris atau anak kandung Dalang Yono. Sepeninggal Dalang 22

Taram, tampil Dalang Gino sebagai dalang Banyumasan yang paling popular setelah dekade 1970-an. Dalang Gino memang terkenal dengan sebutan dalang ramai karena penontonnya selalu membeludak setiap kali tampil dalam berbagai pertunjukan. Dalang Gino, kemudian, melegitimasikan dirinya sebagai pewaris Dalang Yono dari segi gaya dan tutur kata yang serak. Sementara itu, Dalang Taram terkenal sebagai dalang yang bersuara sangat tinggi nadanya. Astana Inggil sering memberi isyarat dengan suara senapan yang meletus. Jika bunyi senapan sampai 7 kali akan terjadi bencana banjir bandang, atau rumah kebakaran. Jika meletus 2-3 kali, ada pejabat pamong desa yang meninggal. Jika 1 kali, yang meninggal adalah penduduk biasa atau rakyat. Sekarang isyarat kematian ditandai oleh suara burung Sirkedasih. Kalau burung bersuara di Kejawar, penduduk Kejawar yang meninggal, atau di Arcawinangun, penduduk Arcawinangun yang meninggal. Ketika Bupati Mardjoko pada tahun 2011 membangun Astana Inggil, senapan di situ berbunyi lagi sampai 7 kali, sebagaimana sering didengar oleh masyarakat yang berada di sekitar makam. Legenda Arcawinangun mencatat adanya tokoh Adipati Kabakan, yang diidentifikasikan dengan tokoh Kamandaka menurut teks Babad Pasir. Kamandaka membuat urung-urung atau sejenis saluran air dari batu yang dimulai dari Kabakan hingga Balekambang di Mersi. Kata Kabakan muncul sebagai penggambaran pertarungan antara Silihwarni dengan Kamandaka. Pertarungan kabak-kabak (bertarung mati-matian) terjadi di sebuah tempat yang tidak jauh dari pertemuan Sungai Pelus dengan Kali Pangkon. Pertarungan dua bersaudara itu sebagaimana tercatat dalam teks Babad Pasir, juga menunjukkan pertarungan yang menjurus untuk saling membunuh. Dalam legenda yang lain, peristiwa kabak-kabak memperlihatkan pertarungan Kamandaka melawan Adipati Mersi. Dalam pertempuran itu, Adipati Mersi dikisahkan dapat dikalahkan dan terbunuh, yang selanjutnya, jasadnya dibuang melalui urung-urung batu (terbuat dari batu cadas) itu dan mengambang di Balekambang. Di duga pada zaman dahulu, lapangan bola di Mersi 23

merupakan tempat Balekambang. Akhirnya, jasad Adipati Mersi dimakamkan di sebelah tenggara Balekambang. Oleh masyarakat Mersi, makam Sang Adipati tersebut dikenal dengan situs Balekambang. Urung-urung batu yang pernah digali oleh beberapa orang menunjukkan kesaksian yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa pada urung-urung batu itu tertulis huruf Jawa Kuna. Kesaksian yang lain adalah huruf Arab, Pallawa, dan huruf Jawa. Urung-urung itu ternyata merupakan bangunan yang dianggap keramat oleh masyarakat Arcawinangun, misalnya, penduduk yang rumahnya berada di atas urung-urung itu sering terkena musibah. Di perbatasan Arcawinangun-Kejawar, penduduk, atau lebih tepatnya, bila ada seorang pemuda yang alim di situ, akan cepat meninggal. Mungkin, daerah di atas urung-urung itu menjadi daerah kutukan yang tidak boleh ditinggali. Ketika seorang penduduk menggali tanah untuk membuat sumur, ditemukan urung-urung batu, tetapi kemudian ditutup kembali galiannya. Penduduk Arcawinangun banyak yang hafal dengan jalur urung-urung batu dari Kabakan hingga lapangan bola Mersi. 3. Masa Buddha: Sang Baka Astana Buddha oleh masyarakat disebut sebagai warisan zaman Buddha, yang juga disebut Makam Panjang. Di makam Arcawinangun terdapat peninggalan atau artifact yang berasal dari agama Buddha Mahayana, sebagaimana tercermin dari penemuan arca Pradnja Paramita, yang dikenal oleh masyarakat, pada umumnya, sebagai arca Ken Dedes. Anggapan itu timbul mungkin didasarkan kecantikan Ken Dedes mirip dengan kecantikan arca Pradnja Paramita yang ditemukan di Singasari (Slametmuljana, 1983: 184). Pradnja Paramita adalah sakti dari Adibuddha dalam bentuk Wajradhara. Pradnja Paramita dikenal pula sebagai ibu semua Buddha dan simbol ilmu pengetahuan yang sempurna (Atmosudiro dkk., 2001: 93). Pada zaman Rajasangara, arca Pradnja Paramita dipakai sebagai simbol penyatuan kembali dua kerajaan yang dibagi oleh Airlangga dalam candi makam sebagai 24

perwujudan Rajapatni (Slametmuljana, 2006b: 45). Selain itu, di komplek makam Arcawinangun juga ditemukan batu-batu stupa, yang diidentifikasikan oleh masyarakat setempat sebagai salah satu alat musik gamelan, yaitu gong. Di Arcawinangun, terdapat situs Kabakan, yang menunjuk kepada tokoh yang tinggal di situ, yakni Sang Baka. Tokoh ini mirip dengan nama situs Ratu Boko yang terdapat di sebelah daerah Prambanan. Situs Ratu Boko merupakan situs atau candi peninggalan Buddha, yang menurut Prasasti Wantil (856 M), sebagai tempat Balaputradewa membuat semacam kubu pertahanan di bukit tersebut dengan menumpuk ratusan batu. Di situ, Balaputradewa berhadapan dengan seorang brahmana yang bernama Jatiningrat. Peristiwa peperangan tersebut terjadi sebelum tahun 856 (Ras, 1991: 296). Begitu pula, dengan pengusiran Balaputradewa (Slametmuljana, 2006a: 229-230) dari Mataram. Angka tahun yang lebih eksak untuk menjelaskan peristiwa terusirnya Balaputradewa dapat dibatasi antara dua peristiwa penting. Yang pertama adalah tahun 842 sebagai akhir pemerintahan Samaratungga. Yang kedua adalah tahun 856 ketika kekuasaan diserahkan kepada Lokapala (Slametmuljana, 2006a: 241). Prasasti Wantil menyebut adanya sebuah bangunan candi, yang bisa diidentikkan dengan Candi Prambanan. Pembangunan Candi Prambanan selama ini diduga sebagai salah satu bentuk persaingannya dengan Candi Borobudur (Jordaan, 2009: 34). Persaingan tersebut merupakan cermin persaingan antara dua tradisi besar yang hidup pada waktu itu (Kartodirdjo, 1982: 132). Di Arcawinangun, kelihatannya ada juga persaingan antara Buddha (Makam Panjang) dengan Mbah Kerta (makam Astana Inggil). Persaingan dua tradisi besar itu pada masa Majapahit, agama Buddha terlebur menyatu dengan aliran Siva (Djafar, 2009: 131). Di Arcawinangun, Makam Buddha pun menyatu dengan Mbah Kerta. Situs tersebut merupakan situs yang berisi campuran artifact dari berbagai periode, termasuk masa prasejarah, Hindu, Buddha, dan masa kini. Setelah mengalami kekalahan dari Rakai Pikatan, diduga Balaputradewa meloloskan diri ke arah barat menuju Sriwijaya. Ada kemungkinan Balaputradewa tidak langsung ke 25

Sriwijaya, tetapi menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan di daerah Banyumas, khususnya di situs Kabakan, Arcawinangun. Nama Kabakan jelas berhubungan dengan Baka ketika Balaputradewa sebagai keturunan Sailendra mengungsi dari Mataram pada periode 842-856. Prasasti Ratu Boko menyebut nama Sailendra, yang beragama Buddha Mahayana. Balaputradewa adalah anak bungsu Samaragravira dan adik Pramodawardhani (Slametmuljana, 2006a: 192 & 238). Nama Sungai Baka lebih tepat daripada Sungai Bakal. Namun, Baka secara samar-samar telah dicampuradukkan dengan legenda Babad Pasir dan diidentifikasikan dengan tokoh legendaris Kamandaka (Banyak Catra). Suatu gejala anakronisme yang terpaut jauh periodenya. Situs Arcawinangun, khususnya di tepi Sungai Pelus, bagian timur (sebelah selatan bendungan) banyak ditemukan emas, seperti boneka atau arca Ken Dedes (Pradnja Paramita), pendok keris, benda-benda emas lain, bibis, gotri, atau butiran emas. Pada tahun 1963-1965, ditemukan cincin-cincin emas yang besar-besar dan pendok atau karah keris seberat 1 ons. Jenis cincin yang ditemukan adalah cincin raja seberat 11 gram (dengan cendhala 4), patahan cincin, cincin manuk (cincin berhiaskan burung), enam buah cincin di bawah pasir dan cadas, cincin 5 gram, dan cincin 7 gram. Tempat penemuan emas di sebelah selatan bendungan menurut kepercayaan penduduk karena di situ ada bekas-bekas keraton kecil. Pencarian emas di Sungai Pelus dimulai oleh lima orang dari Solo pada tahun 1963-1965, yang kemudian diteruskan oleh masyarakat setempat pada tahun 1964-1966. Seorang penduduk bisa dalam sehari memperoleh 50 gram. Tempat yang banyak ditemukan emas paling tidak ada dua kawasan, yaitu (1) bendungan ke atas menuju Kabakan (sebelah barat sungai) dan (2) bawah bendungan hingga sebelah utara jembatan (sebelah timur sungai). Di bawah bendungan ditemukan serpihan emas atau serbuk emas seperti pasir, yang berbentuk lada 4-5 butir (1 buah = 0,5 gram), sementara di atas jembatan ditemukan 3 butir seberat 1 gram. Dengan demikian, penemuan emas di Sungai Pelus menunjukkan tidak 26

hanya serbuk-serbuk emas yang merupakan bahan perhiasan, tetapi juga benda-benda atau barang-barang emas yang sudah jadi. Banyaknya penemuan emas di Arcawinangun menunjukkan bahwa secara umum, Pulau Jawa memang menghasilkan emas sebagaimana dinyatakan dalam Prasasti Canggal (732 M). Berita Cina dari abad ke-7 hingga ke-14, juga menyatakan hal yang serupa (Dick-Read, 2008: 143). Banyaknya penemuan emas dalam bentuk artifact menunjukkan bahwa situs Arcawinangun seolah-olah berelasi dengan Suwarnabhumi (Pulau Emas). Di atas bendungan, ditemukan kertas emas yang berukuran (10 X 10 cm), tetapi tidak diketahui apakah ada tulisannya atau tidak. Penemuan kertas emas, agaknya, menjadi tradisi di daerah Banyumas karena di daerah Bukateja juga ditemukan kertas emas yang bertuliskan yang terkenal dengan Prasasti Bukateja (14,2 X 8,5 cm). Prasasti koleksi Tan Oen Dji tersebut menggunakan bahasa Melayu Kuna (Casparis, 1956: 207). Prasasti Bukateja itu berisi kalimat ini padehānda hawang payangńān, yang tampak tidak ada kaitannya dengan Sriwijaya. Prasasti yang memuat simbol berupa cāmara, akşamālā, triçūla, dan kuħdi diduga berasal tidak jauh dari tahun 850 M. Simbol-simbol tersebut menunjuk atribut Siva Mahadewa atau sistem kepercayaan yang mengarah kepada aliran Sivaisme (Casparis, 1956: 207-208). Prasasti Sojomerto yang juga berbahasa Melayu Kuna dan menyebut nama Dapunta Selendra menunjukkan bahwa nenek moyang mereka masih memeluk agama Hindu, aliran Sivaisme, sedangkan keturunan keluarga tersebut akan berpindah agama ke Buddha Mahayana (Boechari, 1966: 245). Dari prasasti di atas, emas, khususnya kertas emas, dimanfaatkan sebagai sarana berkomunikasi tulisan dan simbol-simbol, yang berlaku sesuai dengan agama, yang dianut, yaitu aliran Sivaisme. Di dalam masyarakat di Asia Tenggara, misalnya, emas selalu dijadikan simbol kekayaan dan status bagi pemiliknya, selain sebagai perhiasan (Read, 1992: 110). Pada masa Jawa Kuna, emas juga difungsikan sebagai sesaji dalam upacara penetapan sima (Soekmono, 1977: 230). 27

4. Masa Majapahit: Astana Rawen Situs ini merupakan tempat tinggal Mbah Rawen. Pada mulanya, Mbah Rawen tinggal di Gunung Serandhil, yang kemudian pergi ke arah utara hingga sampai ke Arcawinangun. Salah satu versi menyatakan bahwa Mbah Rawen adalah abdi dalem perempuan yang hidup pada zaman Untung Surapati. Versi lain menyebutkan Mbah Rawen adalah isteri Raden Baribin yang berasal dari Majapahit. Penunjukan Majapahit sebagai asal-usul Mbah Rawen atau Nini Rawen merupakan hal masuk akal karena rawi adalah kata Sanskerta yang berarti matahari (Mardiwarsito, 1979: 468; Winter & Ranggawarsita, 1988: 227; Prawiroatmodjo, 1989: 134). Matahari bersegi delapan adalah simbol kebesaran Majapahit dalam bentuk relief lingkaran dan garis-garis sinar pada beberapa candi yang disebut Surya Majapahit (Munandar, 2008: 10). Situs Mbah Rawen menjadi ingatan kolektif masyarakat Arcawinangun yang berhubungan dengan kebesaran kerajaan Majapahit di masa lampau sebagai salah satu legitimasi masyarakat desa. Lagi pula, tokoh Baribin adalah nenek moyang orang Banyumas yang tinggal dan berkuasa di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu menurut teks-teks Babad Banyumas. Masyarakat Arcawinangun, agaknya, menyelaraskan kisah DAS Serayu dengan DAS Pelus. Dengan demikian, tradisi kecil Arcawinangun mencoba mencari relevansinya dengan tradisi besar Banyumas. Secara kebetulan atau tidak, Raden Baribin adalah seorang pangeran dari Majapahit yang mengawini adik Raden Banyak Catra (Raden Kamandaka) yang berasal dari Kerajaan Sunda. Kata rawi selain berarti matahari, juga bisa didefinisikan dengan rawa atau paya (Prawiroatmodjo, 1989: 134). Menurut ingatan kolektif masyarakat Arcawinangun, makam Mbah Rawen memang pada masa lampau berada di tengah-tengah rawa, yang sekarang telah berubah menjadi persawahan. Lagi pula, Mbah Rawen dalam tradisi lisan selalu diidentikkan sebagai seorang wanita dengan sebutan Nini Rawen. Hal tersebut menunjukkan bahwa Mbah Rawen adalah simbol kesuburan yang berhubungan dengan simbol matahari. 28

Pemujaan terhadap kesuburan, yang dikombinasikan dengan pemujaan matahari, adalah suatu perwujudan dari kehidupan masyarakat yang berkebudayaan petani. Kekeramatan situs Mbah Rawen terjadi ketika jam 12 siang terdengar bunyi piring yang mirip orang yang sedang mempersiapkan jamuan makan siang. Binatang gaib pada situs tersebut adalah gorila. Gorila ini agak mirip dengan keberadaan Lutung Kesarung dalam teks Babad Pasir. Lutung Kesarung termasuk binatang ajaib karena lutung pada umumnya bertubuh kecil, tetapi Lutung Kesarung bertubuh seperti manusia dewasa. 5. Masa Islam Tidak ada berita tentang pengislaman masyarakat Arcawinangun pada abad ke-16 dan 17 M, yang bertepatan dengan masa Demak. Babad Pasir, yang mengisahkan penyebaran agama Islam di Pasirluhur dan sekitarnya, memang tidak menyebut secara detail daerah yang diislamkan oleh Pangeran Makhdum Wali dan Pangeran Senapati Mangkubumi I. Mungkin sekali, Arcawinangun termasuk daerah yang dipengaruhi oleh keberadaan Pasirluhur pada waktu itu. Masyarakat Arcawinangun sendiri selalu mengaitkan situs Kabakan dengan Raden Kamandaka, yang menjadi adipati Pasirluhur dan leluhur Pangeran Senapati Mangkubumi I. Jika Arcawinangun dianggap telah diislamkan pada masa Demak mungkin pengaruhnya itu tampak pada keberadaan Makam Panjang. Sultan-sultan Demak di dekat Masjid Agung Demak, semua makamnya adalah makam-makam panjang. Namun, pada masa kini tidak ada lagi ingatan kolektif masyarakat Arcawinangun yang menyebut tokoh ulama atau penyebar agama Islam. Belum ditemukan makam-makam orang suci yang disetarafkan dengan seorang wali lokal. Tidak ada masjid tua dan bekas pesantren. 6. Masa Belanda Pada zaman Belanda, sekitar tahun 1890-an, ada orang mengalami kecelakan dan meninggal di Jalan Mertadiredja. Seorang petani yang berasal dari Arcawinangun 29