VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. GAMBARAN UMUM PERUM PERHUTANI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Madura pada tahun 2012 mencapai ,71 km 2. Hutan tersebut

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dea Indriani Fauzia, 2013

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 436/KPTS/DIR/2011 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB I PENDAHULUAN. diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau

Pranatasari Dyah Susanti Adnan Ardhana

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN. Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

BAB 2 Perencanaan Kinerja

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE. Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia berorientasi pada konglomerasi dan bersifat sentralistik. Dalam situasi

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

Tabel IV.C.3.1 Program, Alokasi dan Realisasi Anggaran Urusan Kehutanan Tahun No. Program Alokasi (Rp) Realisasi (Rp)

RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013

RENCANA STRATEGIS SKPD DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN KARANGASEM

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Judul. Rehablitasi Lahan Dan Hutan Melalui Pengembangan Hkm Untuk Peningkatan Daya Dukung DAS Moyo Kabupaten Sumbawa Lembaga Olah Hidup (Loh)

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

KEPUTUSAN DEWAN PENGAWAS PERUM PERHUTANI (Selaku Pengurus Perusahaan) NOMOR : 136/KPTS/DIR/2001 PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV PENUTUP. Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan manfaat sangat besar bagi kemakmuran rakyat Indonesia, baik manfaat ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan. Hutan Indonesia menduduki tempat kedua dalam luas setelah Brazil dan mewakili 10 persen dari hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hampir 75 persen dari luas lahan Indonesia digolongkan sebagai areal hutan (sekitar 144 juta hektar) dan 100-110 juta hektar diperkirakan sebagai hutan lindung (closed canopy) yang lebih kurang 60 juta hektar diperuntukkan bagi hutan produksi (Yakin, 1997). Namun sejalan dengan itu, tekanan dan gangguan terhadap kelestarian hutan juga semakin meningkat dan berakibat pada terjadinya kerusakan hutan (deforestrasi). Kerusakan hutan yang tinggi dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga bisa menimbulkan masalah-masalah lingkungan yang serius seperti erosi dan penurunan kualitas lahan, berkurangnya keragaman hayati (biological diversity) serta bahkan kenaikan suhu bumi (globalwarming). Data laju deforestrasi pada tiga pulau besar yakni Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dari tahun 1985-1997 adalah sebesar 1.6 2 juta ha/tahun (Baplanhutbun, 2000 dalam Santoso, 2005). Selama kurun waktu tiga tahun berikutnya, yakni tahun 1997-2000 untuk lima pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian, laju kerusakan hutan dan lahan di dalam dan di luar kawasan semakin cepat yaitu mencapai 3.51 juta ha/tahun. Sementara kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan berupa reboisasi dan

74 penghijauan yang dilakukan sejak tahun 2001-2003 yang luasnya tercatat hanya 86 242 ha, tidak akan mampu memulihkan kembali hutan yang telah rusak (Santoso, 2005). Terjadinya deforestrasi, disebabkan bukan hanya karena kebijakan pemerintah melalui transmigrasi dan pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tetapi juga karena aktivitas masyarakat baik individu maupun kelompok. Aktivitas masyarakat tersebut, misalnya masih adanya perladangan berpindah di beberapa daerah, dan adanya aktivitas tak terpuji lainnya seperti pencurian kayu dan penebangan liar (Yakin, 1997). Selain itu, adanya peningkatan jumlah penduduk, langkanya lapangan kerja dan penegakkan hukum yang lemah, turut berpengaruh dalam mengakibatkan deforestrasi Selama ini pengelolaan hutan lestari ternyata mengalami kegagalan. Pengelolaan hutan secara konvensional bersifat sentralistik dan lebih berorientasi pada produk kayu dengan distribusi hasil tidak merata. Selain itu masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak banyak dilibatkan dalam setiap pengelolaan hutan, masyarakat hanya sebatas sebagai buruh bukan sebagai mitra sejajar (Sumarhani, 2004). Berkaitan dengan itu, sebagai upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan, pada tahun 1978 telah diadakan Kongres Kehutanan Sedunia VIII di Jakarta dengan tema Forest for People. Pada kongres tersebut terdapat tiga masalah pokok yang mendapat perhatian, yaitu konservasi sumberdaya alam, penyediaan kayu bakar, dan pembangunan kehutanan masyarakat. Gagasan forest for people yang dimaksud tersebut bukan hanya sekedar menyediakan hasil hutan bagi masyarakat atau melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, melainkan juga menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam setiap tahapan pengelolaan hutan (negara maupun milik).

75 Upaya-upaya pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan sebenarnya telah dirintis oleh Perum Perhutani sejak tahun 1972 melalui berbagai program (Sumarhani, 2004), antara lain : 1. Program Prosperity Approach periode tahun 1972 s/d 1982. Program ini bertujuan untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan kehutanan. 2. Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) periode tahun 1982 s/d 1986. Progam ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan sumberdaya hutan, di mana masyarakat diperlakukan sebagai subyek dalam upaya peningkatan kesejahteraannya. 3. Program Perhutanan Sosial periode tahun 1986 s/d 1995, di mana sistem perencanaan bersifat kombinasi yaitu bottom up (Masyarakat Desa Hutan) dan top down (Perhutani). Keterlibatan masyarakat mengelola hutan dalam program ini, hanya sebatas terlibat aktif dalam tahapan-tahapan kegiatan tertentu, bukan sebagai pelaku utama seperti halnya pada program hutan kemasyarakatan. Adapun sistem penanaman menggunakan pola wanatani (agroforestry) selama daur dengan pemberian bantuan sarana produksi tanaman semusim. Selain perbaikan pola tanam, juga dilakukan pembinaan Kelompok Tani Hutan dan usaha produktif di luar kawasan hutan. Pengembangan usaha produktif di luar kawasan hutan meupakan kelanjutan dari program PMDH. Selanjutnya pengembangan usaha produkif ini lebih dikembangkan lagi melalui Usaha Kecil dan Koperasi (USKOP).

76 4. Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) periode tahun 1995 s/d 1999, dilaksanakan secara terpadu dengan Pemerintah Daerah dengan maksud untuk menanggulangi masalah-masalah kerawanan sosial-ekonomi masyarakat desa hutan. Sesuai dengan tuntutan reformasi pada tahun 1998, Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu dianggap masih belum mampu memberdayakan kesadaran masyarakat dalam kelestarian hutan dan peningkatan ekonomi rakyat secara mandiri. Selain itu adanya kritikan/masukan dari berbagai kalangan terkait, maka Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu mengalami penyempurnaan menjadi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ( PHBM). 6.2. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Berdasarkan Ketentuan Umum Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No.136/KPTS/DIR/2001, yang dimaksud dengan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau Perum Perhutani dan masyarakat desa dengan pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. PHBM merupakan kebijakan Perusahaan yang menjiwai strategi, struktur, dan budaya perusahaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Jiwa yang terkandung dalam PHBM adalah kesediaan Perusahaan, Masyarakat Desa Hutan, dan pihak yang

77 berkepentingan untuk berbagi dalam pengelolaan sumberdaya hutan sesuai kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi perusahaan. Sementara tujuan PHBM adalah : 1. Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. 2. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 3. Menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai kondisi dan dinamika sosial masyarakat desa hutan. 4. Meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah. 5. Meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat desa hutan, serta pihak yang berkepentingan secara simultan. Adapun prinsip dasar PHBM adalah : 1. Prinsip keadilan dan demokratis. 2. Prinsip keterbukaan dan kebersamaan. 3. Prinsip pembelajaran bersama dan saling memahami. 4. Prinsip kejelasan dan kewajiban. 5. Prinsip pemberdayaan ekonomi kerakyatan. 6. Prinsip kerjasama kelembagaan. 7. Prinsip perencanaan partisipatif. 8. Prinsip kesederhanaan sistem dan prosedur.

78 9. Prinsip perusahaan sebagai fasilitator. 10. Prinsip kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah. Guna mendorong proses optimalisasi dan pengembangan PHBM dengan menyelaraskan kepentingan semua pihak dibentuk Forum Komunikasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, dengan tujuan memotivasi masyarakat sekitar hutan agar berperan lebih aktif dalam membangun hutan. Selanjutnya untuk menjembatani komunikasi dengan masyarakat luas dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat. Selain itu Kelompok Tani Hutan dan Koperasi Masyarakat Desa Hutan sebagai mitra kerja dan mitra usaha sangat penting dalam kelembagaan PHBM. 6.3. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Desa Padasari Salah satu peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat menetapkan bahwa kawasan hutan di Provinsi Jawa Barat tidak boleh kurang dari 30 persen dari kawasan (darat) Provinsi. Hal ini dikarenakan masalah deforestasi hutan di wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat lebih luas dibandingkan dengan Unit I dan Unit II. Hal ini dimungkinkan karena berkaitan dengan sejarah sistem pengelolaan hutannya, di mana kawasan hutan di Jawa Barat baru dikelola Perum Perhutani secara formal pada tahun 1978 (PP No. 2/1978), sedangkan Unit I (Jawa Tengah) dan Unit II (Jawa Timur) sudah lebih dahulu (Suhardjito, 1999). Dibentuknya kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani yang berada di kawasan sekitar hutan melalui PHBM di Jawa Barat, memungkinkan tercapainya perbaikan kondisi hutan. Sebagai implementasi PHBM di Jawa Barat, sampai akhir tahun

79 2005 sudah mencapai 1 117 desa (65 %) dengan jumlah Kelompok Tani Hutan 78 057 orang dari target sampai tahun 2007 sebanyak 1 477 orang. Dari jumlah itu, bantuan dan pemberian langsung kepada masyarakat dari tahun 2001 2005 keseluruhannya mencapai Rp 166.2 milyar. Melalui PHBM, dari seluruh total areal kerusakan hutan dan lahan kritis (580 000 ha) di Jawa Barat, sekitar 100 000 ha sudah dalam kondisi baik yaitu di Kabupaten Garut dan Sukabumi (Pikiran Rakyat, 2005). Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki hutan yang cukup luas, yaitu sebesar 37.5 persen dari luas keseluruhan, terdiri dari hutan negara (44.473 km 2 ) dan hutan rakyat (13.718 km 2 ). Dengan adanya luas hutan yang cukup besar, secara tidak langsung mendukung kondisi kehidupan pertanian di Kabupaten Sumedang karena resapan air yang diberikan dari hutan ditolerir cukup memadai untuk masalah pertanian. Perum Perhutani KPH Sumedang dalam hal ini sebagai pihak yang berwenang, telah melaksanakan kegiatan sosialisasi PHBM di 56 Desa yang berada di sekitar kawasan hutan yang tersebar di seluruh Kecamatan, termasuk di dalamnya Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka. Terpilihnya Desa Padasari menjadi salah satu daerah sosialisasi PHBM dikarenakan letak daerahnya yang berada di bawah kaki gunung Tampomas dan berada di sekitar kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Sumedang yaitu BKPH Tampomas. Seperti yang terjadi di Desa Padasari sudah sejak lama membudidayakan tanaman vanili. Potensi alam yang dimiliki Desa Padasari berupa hutan yang luas dengan 6 (enam) mata air, sangat besar manfaatnya bagi kelangsungan pertanian. Keunggulan komparatif lain yang dimiliki Desa Padasari adalah memiliki tanah yang cocok untuk

80 tanaman vanili berikut iklim yang sesuai dan tenaga kerja yang banyak. Tidak hanya itu, Desa Padasari juga unggul dari segi bibit vanili, yaitu berasal dari jenis Vanilla planifolia Andrews yang kandungan vanillinnya mencapai 2.75 persen, dengan rendemen vanili tertinggi sekitar 20 22 persen. Namun disisi lain, terlepas dari tersedianya sumberdaya alam yang mampu mendukung pertumbuhan vanili, adanya penyakit busuk batang yang menyerang tanaman vanili menjadi permasalahan utama dalam pengembangan vanili di Desa Padasari, khususnya masalah dalam peningkatan produksi/produktivitas vanili. Seperti yang terjadi pada tahun 2000-2001, serangan penyakit busuk batang menyebabkan sebagian besar tanaman vanili di Desa Padasari dalam keadaan rusak. Kondisi ini mengharuskan petani untuk menanam vanili di lahan yang belum terkontaminasi atau melakukan penanaman dengan bibit yang telah divaksin. Namun, upaya tersebut tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan petani dalam lahan dan modal. Berkaitan dengan itu, Perum Perhutani selaku pemegang hak penuh atas hutan lindung yang berada di wilayah Desa Padasari mencoba memberikan solusi kepada petani vanili untuk dapat mengusahakan vanili pada lahan yang tidak terkontaminasi dengan cara memberikan hak guna pakai lahan milik Perum Perhutani. Dengan cara ini, petani vanili dapat melakukan budidaya vanili dengan sistem tumpang sari, sekaligus dilibatkan dalam menjaga dan mengelola hutan secara bersama-sama dalam rangka mengembalikan fungsi dan kondisi hutan lindung yang telah rusak. PHBM di Desa Padasari, dapat dikatakan sebagai suatu inovasi yang mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi Perum Perhutani dan petani vanili (khususnya anggota Kelompok Tani Hutan Bagjamulya). Tidak hanya diharapkan mampu

81 mengupayakan peningkatan pendapatan petani vanili, PHBM juga diharapkan mampu mengupayakan kelestarian lingkungan hutan. Implementasi kemitraan PHBM di Desa Padasari dimulai dengan melakukan penanaman vanili pada tahun 2001 dengan jarak tanam 3 x 2 meter di bawah tegakan pinus merkusii (berumur lebih dari 15 tahun dengan jarak tanam 10 x 5 meter) dengan luas 6 hektar yang berlokasi di petak 11a RPH Tanjungkerta BKPH Tampomas. Selanjutnya pada tahun 2002 penanaman vanili diperluas menjadi 30.25 hektar dengan areal tambahan di tiga petak (10b, c, dan 13 c). Diperluasnya areal penanaman vanili tersebut, membuktikan bahwa pengusahaan vanili dengan sistem tumpang sari telah memberikan hasil yang baik, sehingga diharapkan dapat menghasilkan produksi/produktivitas yang lebih tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani vanili. 6.4. Prosedur Kemitraan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Kemitraan PHBM di Desa Padasari dimulai melalui enam tahapan, yaitu : (1) Sosialisasi, (2) Dialog, (3) Negoisasi, (4) Kelembagaan, (5) Kerjasama, dan (6) Pelaksanaan (Ramdani, 2006) : 1. Sosialisasi Kegiatan sosialisasi PHBM di Desa Padasari dilaksanakan pada Oktober 2000. Melalui PHBM, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan lahan milik Perhutani untuk kegiatan usaha taninya atau kegiatan lainnya dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Jenis kegiatan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan ini disesuaikan dengan tingkat keahlian yang dimiliki masyarakat dan keunggulan komparatif yang dimiliki Desa Padasari.

82 2. Dialog Kegiatan dialog yang dilaksanakan pada November 2000 bertujuan untuk : (1) mengetahui sejauh mana ketertarikan masyarakat Desa Padasari setelah mendapatkan sosialisasi PHBM, (2) menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini tercapai beberapa kesepakatan, yaitu : (1) bahwa areal kawasan hutan yang terdapat di BKPH Tampomas Desa Padasari merupakan hutan lindung, sehingga tidak diperbolehkan melakukan usahatani secara intensif. Hal ini dikhawatirkan akan merusak tanah dan lahan hutan serta akan merubah fungsi dari hutan tersebut sebagai daerah resapan air. Dari fungsi ini pula maka tidak dimungkinkan memanfaatkan hasil kayu dari areal hutan tersebut, (2) meski status hutan tersebut adalah hutan lindung, Perum Perhutani mengijinkan untuk melakukan pemanfaatan lahan di kawasan hutan lindung dengan pola pemanfaatan lahan di bawah tegakan pinus yang telah ditanam sejak 1967, (3) mengusahakan tanaman vanili dalam kegiatan PHBM di Desa Padasari. Dipilihnya tanaman vanili ini karena dalam pengusahaannya tidak memerlukan pengolahan tanah yang intensif dan tidak memerlukan pembukaan lahan terlebih dahulu. Selain itu tanaman vanili merupakan tanaman tahunan sehingga tidak diperlukan penggantian tanaman apabila sudah panen. Pola tanamnya dapat dilakukan sebagian tanaman sela diantara tanaman pokok (pinus). 3. Negosiasi Negosiasi dilakukan dengan tujuan untuk menentukan besarnya bagian yang akan diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama kemitraan tersebut. Dalam bernegosiasi antar kelompok tani dengan Perum Perhutani disepakati bahwa dalam

83 kemitraan tersebut pihak Perhutani akan memberikan bantuan berupa lahan usahatani dan modal uang sebagai biaya : a. upah penanaman, penyerbukan, dan pemanenan b. bibit vanili dan pohon panjat c. pupuk bokashi dan zat perangsang tumbuh (ZPT) organik merek Trubus. Sementara dari pihak kelompok tani memberikan input berupa keahlian dalam usahatani vanili, tenaga kerja, dan pengamanan sumberdaya hutan. Dari input-input yang dikeluarkan tersebut kemudian dikalkulasikan untuk mengetahui besarnya proporsi korbanan yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak. Pada negosiasi tersebut disepakati besarnya bagian keuntungan bagi masing-masing pihak yang terlibat adalah sebagai berikut : 1. Kelompok Tani Hutan : 42.5 % 2. Perum Pehutani : 42.5 % 3. Pemerintah Daerah : 5 % 4. Manajemen Fee : 10 % Selama hasil produksi belum dapat menutupi dana yang dikeluarkan untuk biaya penanaman vanili, bagi hasil antara Kelompok Tani Hutan dengan Perum Pehutani akan tetap sebesar 42.5 persen. Setelah biaya dapat ditutupi, bagi hasil dapat berubah menjadi 25 persen untuk Perhutani dan 75 persen untuk Kelompok Tani atau 10 persen untuk Perhutani dan 90 persen untuk Kelompok Tani. Pembagian ini disesuaikan dengan kesepakatan kedua belah fihak.

84 4. Kelembagaan Kegiatan dalam PHBM terbuka bagi siapa saja masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan tergabung dalam suatu lembaga kelompok tertentu yang mempunyai badan hukum. Hal ini dimaksudkan supaya dalam proses kemitraan, pengawasan dan koordinasi dapat dilakukan dengan mudah. Kelompok Tani Bagjamulya sebagai kelompok tani hutan yang ada di Desa Padasari memenuhi salah satu persyaratan dari tahapan ini. Meskipun Kelompok Tani Bagjamulya pada waktu itu belum berbadan hukum, namun selama ini telah melakukan kerjasama dan hubungan yang baik dengan Perum Perhutani di mana Perum Perhutani juga sebagai salah satu pembina dari kelompok tani tersebut maka Kelompok Tani Bagjamulya dianggap dapat memenuhi persyaratan dari kelembagaan ini. Kelompok Tani Hutan Bagjamulya pada akhirnya mempunyai akta notaris dan berbadan hukum pada 19 Januari 2005. 5. Kerjasama Pada kegiatan ini dilakukan penandatanganan kerjasama secara tertulis antara Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dan Perum Perhutani KPH Sumedang. Dalam kerjasama tersebut ditentukan bahwa jangka waktu kerjasama kemitraan usaha tersebut adalah untuk satu musim tanam. Namun, hal ini tidak berarti bahwa setelah satu kali tanaman vanili tersebut panen maka kemitraan berakhir. Kerjasama kemitraan ini akan terus berlangsung dalam jangka panjang, sampai batas waktu yang disepakati bersama selanjutnya.

85 6. Pelaksanaan Pada tahapan ini, semua hasil negosiasi dan kerja sama mulai direalisasikan. Tahap pertama yang direalisasikan adalah pengadaan sarana produksi yang dibutuhkan dalan usahatani vanili. Sarana produksi itu antara lain lahan, bibit vanili, pupuk, pohon panjat, tenaga kerja dan modal. Setelah kegiatan pengadaan sarana produksi vanili ini selesai maka dilanjutkan dengan kegiatan pengadaan prasarana produksi berupa pembangunan gubuk kerja, plang tanaman, dan jalan pemeriksaan. Penanaman vanili dilaksanakan tanggal 10 Januari 2001. Pada tahapan-tahapan kegiatan di atas mulai dari kegiatan sosialisasi sampai kegiatan pelaksanaan tidak semua anggota kelompok mengikutinya. Dalam kegiatannya kelompok hanya diwakili oleh pengurus kelompok. Akan tetapi dalam penentuan sikap yang menyangkut keterlibatan dan hasil yang akan diterima kelompok, perwakilan kelompok selalu bermusyawarah terlebih dahulu dengan seluruh anggota sehingga langkah-langkah yang diambil oleh perwakilan kelompok tersebut merupakan kebijakan yang telah disepakati bersama.