BAB I PENDAHULUAN. diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, Perhutani telah banyak menghadapi berbagai permasalahan terkait pengelolaan hutan, terutama masalah sosial. Masalah sosial muncul salah satunya sebagai akibat dari tingginya jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa yaitu sekitar 57,5% dari jumlah penduduk Indonesia (Anonim, 2014). Dengan jumlah penduduk yang tinggi di Pulau Jawa, tidak dapat dipungkiri berdampak pula terhadap tingginya tekanan terhadap sumberdaya hutan, khususnya di hutan negara. Atas dasar hal tersebut potensi timbulnya permasalahan sosial di wilayah kelola Perum Perhutani sangatlah besar. Menurut Simon (2008) dampak meningkatnya masalah sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat dari meningkatnya efisiensi pemanfaatan hasil tebangan, melimpahnya tenaga pesanggem melebihi dari kebutuhan pengelola hutan sehingga berdampak pada penurunan luas andhil pesanggem, dan meningkatnya intensitas pencurian kayu pertukangan. Dengan permasalahan sosial yang kompleks di wilayah kelolanya, Perhutani sejak lama telah mencoba berbagai program dan strategi untuk mengatasinya. Berbagai program kehutanan sosial yang sudah dilakukan Perhutani diantaranya Prosperity Aprroach (Pendekatan Kemakmuran) dengan instrumennya adalah program Mantri-Lurah (Ma-Lu) diterapkan pada tahun Program 1

2 2 Mantri-Lurah merupakan upaya mengintegrasikan program kerja Mantri (Kepala Resort Polisi Hutan, KRPH) dengan program kerja Lurah (Kepala Desa). Pada tahun 1984 dirumuskan program Perhutanan Sosial (disingkat PS) sebagai output dari penelitian tentang implementasi kehutanan sosial. Program lainnya yaitu Pengelolan Hutan Jati Optimal, yang telah diuji-cobakan di KPH Madiun mulai tahun Memasuki era reformasi atau pasca ambruknya Pemerintahan Orde Baru tahun 1998, dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama, hanya dalam hitungan bulan hutan di Jawa mengalami kerusakan yang cukup parah karena aksi penjarahan hutan. Perum Perhutani sebagai pengelola hutan tidak mampu berbuat apa-apa dalam menghadapi aksi penjarahan yang dilakukan sekelompok masyarakat dan oknum petugas yang tidak bertanggung jawab, mengakibatkan jutaan pohon hilang dan ratusan ribu hektar hamparan kosong (Yuwono, 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa kelola sosial yang telah Perhutani lakukan melalui program-program kehutanan sosial mulai tahun 1974 sampai 1998 tidak menuai keberhasilan. Untuk mengantisipasi permasalahan sosial yang terjadi sejak sebelum dan sesudah era reformasi, Perhutani dengan segera melahirkan sebuah sistem pengelolaan hutan yang disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM yang lahir di tahun 2001 diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan sosial pada masa itu, bahkan masih dipakai hingga sekarang (dalam perjalanannya banyak mengalami penyesuaian dan penyempurnaan). Kekecewaan masyarakat terhadap Perhutani yang terakumulasi bertahun-tahun karena rekam

3 3 jejak kelola sosialnya yang gagal ditambah masyarakat merasa selama ini pengelolaan hutan dimonopoli oleh Perhutani, menjadikan sistem PHBM di beberapa tempat menemui kegagalan bahkan penolakan. Di Desa Kalijaya, Kecamatan Banjarsari, Kapubaten Ciamis, yang termasuk kawasan hutan RPH Cisaladah, BKPH Pangandaran, KPH Ciamis terdapat sebuah hamparan lahan hutan yang pada tahun dijarah oleh oknum dan pihak yang tidak bertanggung jawab. Atas kepedulian terhadap lingkungan yang rusak dan juga kebutuhan akan lahan garapan, masyarakat setempat mulai merehabilitasi dan menanami lahan yang gundul dan rusak tersebut dengan tanaman kehutanan (sengon), tanaman perkebunan (kopi dan kapulaga), serta tanaman pertanian (ketela). Dengan sistem agroforestry, masyarakat mengelola lahan tersebut secara mandiri tanpa ada kerjasama dan bagi hasil dengan Perum Perhutani. Selain karena kebutuhan lahan garapan dan gundulnya hutan di Kalijaya, masyarakat memiliki perspektif bahwa kawasan tersebut dahulu merupakan lahan milik nenek moyang mereka yang ditandai dengan adanya persawahan, bekas pemukiman, makam tua, dan jenis pohon non-kelas produksi Perhutani. Tindakan pengelolaan hutan tanpa kerja sama dan bagi hasil dengan Perhutani muncul sebagai akibat ketidakpuasan masyarakat desa hutan atas kelola sosial Perhutani yang gagal ditambah dengan semangat memperbaiki nasib secara kolektif. Pergerakan masyarakat dilakukan secara kolektif, karena memiliki latar belakang, kepentingan, dan tujuan yang sama atas sumberdaya hutan. Atas dasar hal tersebut, masyarakat membentuk suatu wadah untuk bersama-sama mencapai

4 4 tujuan yang diharapkan, yaitu peningkatan kesejahteraan melalui kegiatan pengelolaan hutan. Pasca-penjarahan besar-besaran pada tahun , masyarakat Desa Kalijaya yang tergabung dalam sebuah lembaga bernama Organisasi Tani Lokal (OTL) Kalijaya, merehabilitasi dan menanami hutan yang sudah terlanjur gundul. Kini kondisi hutan yang sebelumnya rusak dan gundul akibat penjarahan berhasil dihijaukan kembali oleh masyarakat dengan menggunakan pola tanam agroforestry. Peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat begitu dirasakan ketika hutan dikelola secara mandiri tanpa bekerja sama dengan Perhutani. Keberadaan lembaga OTL Kalijaya sangat penting untuk mewadahi kepentingan masyarakat dalam mencapai tujuan yang dikehendaki bersama. Menurut Awang et al. (2000) pengelolaan hutan di masa mendatang juga menuntut adanya kelembagaan yang fungsional dan mandiri, agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadi kelompokkelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi. Penjelasan mengenai kronologi sejarah pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat mulai dari sejarah tanah garapan nenek moyang hingga sejarah terbentuknya Organisasi Tani Lokal (OTL) yang sampai sekarang telah mengelola puluhan hektar lahan hutan yang semula gundul dan rusak akibat penjarahan,

5 5 menarik untuk dikaji. Gambaran sistem kelembagaan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Organisasi Tani Lokal Kalijaya di wilayah RPH Cisaladah, BKPH Pangandaran, KPH Ciamis yang secara mandiri tanpa kerjasama dengan Perhutani juga menarik untuk ditemukan jawabannya mengingat keberhasilan mereka dalam memanfaatkan lahan hutan sehingga menghasilkan manfaat ekonomi dan ekologi untuk mendukung kesejahteraan masyarakat Rumusan Masalah 1. Bagaimana kronologi sejarah pengelolaan hutan oleh Organisasi Tani Lokal Kalijaya di wilayah RPH Cisaladah, BKPH Pangandaran, KPH Ciamis? 2. Bagaimana sistem kelembagaan dalam pengelolaan hutan di wilayah RPH Cisaladah, BKPH Pangandaran, KPH Ciamis oleh Organisasi Tani Lokal Kalijaya? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kronologi sejarah pengelolaan hutan oleh Organisasi Tani Lokal Kalijaya di wilayah RPH Cisaladah, BKPH Pangandaran, KPH Ciamis. 2. Mengetahui sistem kelembagaan pengelolaan hutan oleh Organisasi Tani Lokal Kalijaya di wilayah RPH Cisaladah, BKPH Pangandaran, KPH Ciamis.

6 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Sebagai informasi untuk bahan evaluasi dan pembelajaran sistem kelembagaan masyarakat yang ada kaitannya dengan pengelolaan hutan. 2. Sebagai informasi dalam pengambilan kebijakan pengelolaan hutan di RPH Cisaladah, BKPH Pangandaran, KPH Ciamis.