BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Organisasi merupakan perangkat sosial yang terdiri dari faktor-faktor manusia dan fisik. Sumber daya manusia merupakan faktor sentral dalam pengelolaan suatu organisasi. Menurut Wingnyowito (2002), sumber daya utama dari sebuah organisasi adalah manusia, sehingga kemampuan dan kompetensi karyawan harus menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan dan dikembangkan semaksimal mungkin. SDM menjadi roda penggerak organisasi dalam mencapai dan mewujudkan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Produktivitas organisasi sangat ditentukan oleh produktivitas sumber daya manusianya, dimana pemberdayaan SDM bertujuan untuk menjadi modal sebuah organisasi dalam survey penelitian mirani.unsri.ac.id. SDM untuk dijadikan sebagai modal sebuah organisasi, maka organisasi harus mampu menciptakan kondisi yang dapat mendorong dan memungkinkan karyawan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan serta keterampilan yang dimiliki secara optimal. Komitmen merupakan isu terpenting dalam organisasi untuk mempertahankan modal manusianya. Beberapa organisasi memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan atau posisi yang ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan pekerjaan, akan tetapi pada kenyataannya yang banyak terjadi adalah organisasi pun belum 1
2 memahami arti komitmen dengan baik (Kuncoro, 2009). Monday (dalam Sopiah, 2008) menyebutkan komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Monday juga menyatakan, komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Sedangkan Mathis dan Jackson (Sopiah, 2008) memberikan definisi bahwa komitmen organisasi merupakan derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi. Definisi komitmen organisasi di atas, dapat disimpulkan menjadi karyawan yang tetap tinggal dalam sebuah organisasi, terlibat untuk bekerja, dan percaya terhadap nilai-nilai yang ada dalam organisasi. Menurut Meyer dan Allen (2007), karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi akan meyakini dan menerima tujuan juga nilai yang dimiliki oleh organisasi, berusaha dengan sungguh-sungguh demi organisasi, serta mempunyai keinginan yag kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Tanpa adanya komitmen organisasi pada karyawan, perusahaan akan sulit mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan untuk mencapai kepentingan bersama. Komitmen organisasional karyawan pada perusahaan dapat meminimalisir turnover dan tingkat absensi serta diharapkan dapat meningkatkan kinerja mereka. Pentingnya komitmen yang tinggi dari karyawan bagi suatu perusahaan dijelaskan oleh Mathieu dan Zajac (dalam Kingkin, Rosyid & Anjani, 2010) yang menyatakan
3 bahwa dengan adanya komitmen yang tinggi pada karyawan maka perusahaan akan mendapatkan dampak positif. Dampak positif tersebut antara lain meningkatnya produktivitas, kualitas kerja dan kepuasan kerja karyawan serta menurunnya tingkat keterlambatan, absensi dan turnover. Pentingnya sikap komitmen organisasional yang tinggi pada karyawan juga berlaku tidak hanya pada perusahaan, namun juga pada perguruan tinggi. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada seorang karyawan berinisial P yang bekerja di sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di Yogyakarta pada tanggal 25 November 2015, memperlihatkan bahwa tempat P bekerja menyenangkan dengan nuansa Islami yang cukup dominan, contohnya prinsip silaturrahmi yang kepada semua karyawan serta adanya imbalan kerja bagi karyawan yang memiliki disiplin kerja yang baik dengan menaikan umroh atau haji. Selain itu, budaya kerja di PTS tersebut berbeda dengan organisasi lain dimana setiap keputusan berdasarkan musyawarah dan pentingnya berhubungan dengan rekan kerja yang disebut sebagai silahturrahmi untuk menjaga hubungan satu sama lain. Berdasarkan komitmen yang dimiliki setiap karyawan perguruan tinggi tersebut termasuk komitmen organisasi yang positif. Namun, diakui oleh P bahwa tidak seluruh karyawan memiliki komitmen kerja yang baik seperti terjadi permasalah dengan absensi, dimana karyawan yang seringkali tidak masuk kerja tanpa atau dengan meminta izin sehingga pekerjaan karyawan tersebut terbengkalai dan membuat rekan kerjanya memiliki beban kerja melebihi dari yang seharusnya
4 mereka miliki karena menanggung beban pekerjaan karyawan yang absen. Hal tersebut juga membuat karyawan tersebut dikejar oleh target kerja yang harusnya dicapai dan membuat pekerjaannya tidak dilakukan dengan maksimal. Namun, P sebagai pimpinan di divisi tersebut berusaha untuk berbicara secara pribadi dengan karyawan yang melakukan absen tersebut untuk mengetahui mengapa karyawan melakukan absen pada pekerjaannya. Pentingnya mendengarkan penjelasan karyawan akan membantu P mengambil keputusan terhadap apa yang harus P lakukan selanjutnya untuk mengurangi perilaku indisipliner karyawan. P juga menyebutkan bahwa masih ada karyawan yang mengundurkan diri atau tidak memperpanjang kontrak setelah masa percobaan satu tahun kerja setiap tahunnya. Meskipun tidak banyak, karyawan yang mengundurkan diri berjumlah satu hingga dua orang karyawan setiap tahunnya. P menambahkan bahwa salah satu alasan karyawan mengundurkan diri dikarenakan adanya alternatif pekerjaan lain yang dirasa lebih baik, meskipun untuk mengundurkan diri karyawan tersebut harus rela membayar denda sebagai konsekuensinya. Hal tersebut dibenarkan dengan pernyataan bahwa gaji yang diterima tergolong relatif standar. Selain itu fasilitas yang diberikan kurang menjamin kebutuhan mereka selama bekerja dan terkadang sering kali fasilitas yang harusnya diberikan menjadi penghambat sistem kerja mereka karena terlambat diberikan sehingga pekerjaan mereka tidak mencapai target sesuai yang direncanakan.
5 Berdasarkan dari hasil dari wawancara di atas menunjukkan bahwa kinerja karyawan di PTS tersebut didukung oleh fasilitas yang diberikan oleh perusahaan sebagai imbalannya. Menurut Biggart dan Hamilton (Sopiah, 2008), bahwa pada umumnya organisasi akan memberikan imbalan kepada karyawan atas pengorbanan yang telah diberikan pada organisasi. Selain itu, budaya organisasi yang positif dan menyenangkan di PTS tersebut akan berdampak pada meningkatnya komitmen pada karyawan. Menurut Carsten dan Spector (dalam Sopiah, 2008), dampak yang ditimbulkan adalah karyawan tersebut akan tetap tinggal dalam organisasi. Permasalahan komitmen karyawan menurut Steers dan Porter (dalam Sopiah, 2008) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor personal (pengalaman bekerja, kontrak psikologis, faktor pilihan untuk bekerja dan karakter personal), faktor organisasi (pengalaman kerja pertama kali, lingkup kerja, pengawasan, dan tujuan yang konsisten), dan faktor non-organisasi (ketersediaan alternatif pekerjaan). Salah satu faktor penentu komitmen organisasi yang terpenting adalah psychological wellbeing atau faktor kesejahteraan yang berasal dari psikologis karyawan yang menarik untuk dicermati lebih lanjut. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa kesejahteraan psikologis atau yang lebih dikenal dengan psychological well-being merupakan salah satu dari beberapa penyebab yang dapat mempengaruhi komitmen kinerja individu terhadap suatu perusahaan. Penelitianpenelitian terdahulu mengenai kesejahteraan psikologis telah banyak
6 dilakukan, seperti yang telah dilakukan Annisa dan Zulkarnain (2013), mereka melaporkan bahwa ada kolerasi positif antara psychological wellbeing dengan komitmen terhadap organisasi. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni dan Jannah (2014), menyatakan bahwa ada kolerasi positif antara psychological well-being dengan kepribadian Hardiness. Psychological well-being merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai kesuksesan seorang pekerja (Annisa & Zulkarnain, 2013). Ketika suatu organisasi mempertimbangkan kesejahteraan karyawannya secara psikologis, maka karyawan akan dapat merasa nyaman dalam lingkungan organisasi, mampu menempatkan diri, mampu bekerja secara efesien sehingga memberikan keuntungan bagi suatu organisasi. Hal ini juga dapat membuat karyawan memiliki komitmen untuk tetap bekerja dalam sebuah perusahaan dengan jaminan adanya kesejahteraan psikologis yang karyawan dapatkan selain hanya bekerja, sehingga suatu organisasi akan terus meningkatkan produktivitas perusahaannya dari karyawankaryawan yang memiliki potensi baik dan tidak akan kehilangan karyawannya dengan mudah. Maka dari itu, peneliti ingin melakukan mengetahui apakah ada hubungan antara psychological well-being dengan komitmen organisasional pada karyawan? B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis dengan komitmen kinerja pada karyawan.
7 C. Manfaat 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat berguna untuk memberikan informasi dan meningkatkan pengetahuan bagi dunia psikologi industri, khususnya pada psychological well-being dengan komitmen kinerja pada karyawan. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan dan menjadi bahan penelitian selanjutnya bagi organisasi sehingga organisasi dapat mengembangkan produktivitas perusahaan berdasarkan psychological well-being karyawan untuk menumbuhkan komitmen dalam kinerja. D. Keaslian Penelitian Kingkin, Rosyid, dan Arjanggi (2010), melakukan penelitian yang berjudul Kepuasan kerja dan masa kerja sebagai prediktor komitmen organisasi pada karyawan PT Royal Korindah di Purbalingga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepuasan kerja dan masa kerja dengan komitmen organisasi, hubungan positif antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi, dan hubungan positif antara masa kerja dengan komitmen organisasi. Penelitian ini berdasarkan dari teori dari Luthans (dalam Kingkin, dkk, 2010) mengartikan komitmen organisasi sebagai sikap kesetiaan pegawai terhadap organisasinya yang merupakan proses terus-menerus yang bertujuan untuk mengekspresikan perhatian terhadap organisasinya yang mencerminkan kesuksesan dan kesejahteraan.
8 Subjek penelitian ini adalah karyawan tetap Departemen Bulanan PT Royal Korindah dengan jumlah sampel try-out adalah 60 karyawan, sedangkan sampel penelitian adalah 45 karyawan. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagi berikut: (a). Ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja, masa kerja dengan komitmen organisasi karyawan PT. Royal Korindah Purbalingga; (b). Ada hubungan positif yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi karyawan PT. Royal Korindah Purbalingga. Semakin tinggi kepuasan kerja maka makin tinggi komitmen organisasinya, begitu pula sebaliknya makin rendah kepuasan kerja maka makin rendah komitmen organisasinya; (c). Ada hubungan positif yang signifikan antara masa kerja dengan komitmen organisasi karyawan PT. Royal Korindah Purbalingga. Selanjutnya Annisa dan Zulkarnain (2013), juga melakukan penelitian berjudul Komitmen terhadap organisasi ditinjau dari kesejahteraan psikologis pada pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis dengan komitmen terhadap organisasi dan mengetahui antara dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis dengan komitmen terhadap organisasi. Penelitian ini menggunakan teori dari Meyer dan Allen (dalam Annisa & Zulkarnain, 2013) bahwa komitmen organisasi telah didefiniskan sebagai keadaan psikologis yang mengikat karyawan utk sebuah organisasi, sehingga
9 mengurangi kejadian turnover dan sebagian pola pikir yang mengambil bentuk yang berbeda dan mengikat tindakan khusus individu yang relevansi dengan target tertentu. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan tetap yang bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan dan telah memiliki pengalaman bekerja minimal 1 tahun. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala komitmen terhadap organisasi berdasarkan aspek identifikasi, keterlibatan, dan loyalitas. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara kesejahteraan psikologis dengan komitmen terhadap organisasi pada pekerja perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor kesejahteraan psikologis maka semakin tinggi skor komitmen terhadap organisasi. Penelitian berikutnya Arishanti (2007) yang berjudul Budaya organisasi, komitmen organisasional, dan kepuasan kerja karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan budaya organisasi dengan kepuasan kerja, hubungan komitmen organisasional dengan kepuasan kerja, dan hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasional. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Meyer dan Allen (dalam Arishanti, 2007), bahwa komitmen organisasi didefinisikan sebagai kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai organisasi, kemauan untuk bekerja keras, dan memelihara keanggotannya dalam organisasi yang bersangkutan, yang
10 berarti ada keinginan yang kuat dari anggota untuk tetap berada dalam organisasi atau adanya ikatan psikologis terhadap organisasi. Subjek penelitian ini adalah karyawan PT. X yang berlokasi di Jakarta Selatan, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan yang berjumlah 90 responden. Penelitian ini dila-kukan dengan menggunakan teknik try out terpakai. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive insidental non random sampling, yaitu karyawan dengan masa kerja minimal 1 (satu) tahun. Dengan asumsi bahwa subjek sudah mulai menginternalisasikan kondisi-kondisi yang ter-dapat dalam organisasinya. Alat yang digunakan adalah skala dengan item-item disusun berdasarkan komponen-komponen komitmen organisasional yang dikemukakan oleh Meyer dan Allen dalam (dalam Arshanti, 2007), alat ukur dalam penelitian telah dikembangkan pada penelitian sebelumnya oleh Situmaring tahun 2008. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja, adanya hubungan signifikan antara komitmen organisasional dengan kepuasan kerja, dan ada hubungan signifikan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasional. 1. Keaslian topik Topik dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Annisa dan Zulkarnain (2013), yaitu hubungan antara psychological well-being dengan komitmen organisasional karyawan dan topik penelitian sebelumnya adalah
11 komitmen terhadap organisasi ditinjau dari kesejahteraan psikologis pada pekerja. Berdasarkan kedua penelitian ini dapat dilihat perbedaan subjek penelitian dan tempat pengambilan data., dimana penelitian sebelumnya dilakukan pada pegawai perkebunan di sebuah perkebunan. Sedangkan penelitian ini diambil pada karyawan yang bekerja di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta. 2. Keaslian teori Penelitian ini juga memiliki kesamaan acuan teori pada salah satu variabel dengan Annisa dan Zulkarnain (2013) di mana psychological well-being memiliki kesamaan teori menggunakan Ryff (1995) yang mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu keadaan ketika individu dapat berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, dapat mengontrol prilaku nya sendiri, mampu mengendalikan lingkungan, memiliki tujuan hidup, serta memiliki keinginan untuk terus mengembangkan potensi diri. Namun teori komitmen organisasional yang diacu berbeda dengan sebelumnya, di mana penelitian sebelumnya menggunakan teori Mowday, Porter, dan Steers (dalam Aktami, 2008) dan penelitian ini menggunakan teori yang diacu dari Allen dan Meyer (1997). Teori komitmen pada penelitian ini menggunakan teori Meyer dan Allen (1997), sebagai keadaan psikologis yang mengikat karyawan untuk sebuah organisasi, sehingga mengurangi kejadian turnover dan
12 sebagian pola pikir yang mengambil bentuk yang berbeda dan mengikat individu untuk kursus tindakan yang relevansi dengan target tertentu. 3. Keaslian alat ukur Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian Annisa dan Zulkarnain (2013), di mana komitmen organisasional menggunakan alat ukur sebelumnya di dalam penelitian Aktami (2008). Sedangkan penelitian ini menggunakan alat ukur yang dimodifikasi dari teori Allen dan Meyer (1990) yang bernama Organizational Commitment Scale dengan scale-construct correspondence. Sedangkan alat ukur psychological well-being menggunakan skala Psychological Well-Being yang dimodifikasi terdiri dari 42 item berdasarkan multidimensional yang dikemukakan oleh Ryff dan Keyes (1995). Selain itu, penelitian ini menggunakan metode kolerasi sedikit berbeda dengan penelitian Annisa dan Zulkarnain (2013) dengan menganalisis hubungan variabel satu dengan variabel lainnya, sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan metode analisis berdasarkan hubungan antara dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis dengan komitmen terhadap organisasi. 4. Keaslian subjek penelitian Subjek penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dengan perbedaan tempat penelitian. Penelitian ini akan dilakukan di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta, dengan karakteristik subjek merupakan karyawan yang bekerja minimal 1
13 tahun dimana karyawan telah selesai masa percobaan, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Annisa dan Zulkarnain (2013) mengambil subjek yang bekerja di sebuah perkebunan.