Kolom yang kubaca di sebuah majalah hari ini agak menggelitik rasa ingin tahu ku. Judulnya Antara keinginan dan hasrat serta pengorbanan. Kolom bertajuk Berbagi itu memang tak sampai penuh satu halaman tapi lumayan karena isinya berbobot. Penasaran aku ingin mengenal siapa penulisnya. Namanya Ana Pratiwi. Fotonya juga terpampang disamping kanan atas halaman. Perempuan berkaca mata dengan gaya sederhana. Tadinya aku hanya melihat sekilas saja, aku tak mengenalnya. Tapi aku tetap berkeinginan untuk mengenal siapa Ana Pratiwi, ia penulis berbakat. Siapa tahu aku bisa belajar darinya, begitu pikirku. Aku sibuk membalik-balik halaman majalah yang sedang kubaca ketika bunyi bel pintu masuk café berbunyi. Konsentrasiku agak terpecah lalu melirik kearah pintu masuk seraya meminum sedikit kopi yang tersaji dihadapanku. Seorang perempuan dengan baju casual berwarna putih dan bercelana jeans serta menenteng tas seukuran netbook berwarna tosca. Pada awalnya aku tak mengenal siapa pe- 3 17
rempuan itu, tapi setelah ia kemudian duduk di pojokan café, baru aku merasa pernah melihat dia sebelumnya. Ingatanku menerawang berusaha mengingat kapan dan dimana aku pernah bertemu. Agak lama, tapi pada akhirnya aku teringat dengan kejadian beberapa minggu lalu. Perempuan itu adalah perempuan yang kulihat sama duduk dipojokan dengan pasta dihadapannya dan lambaian tangan ketika ia keluar cafe. Hanya saja aku tak mengenalnya karena sekarang ia memakai kacamata. Aku tak mengira akan bertemu lagi dengannya hari ini. Sebentar-sebentar aku mencuri pandang kearahnya. Tampak ia mengeluarkan netbook dan tak berapa lama kemudian asyik memainkannya. Entah sedang bermain games atau mungkin mengetik sesuatu. Aku kembali membalik-balik halaman majalah sampai tak sengaja membuka kembali kolom yang tadi kubaca. Baru aku tersadar, perempuan di pojokan mirip dengan foto di kolom tersebut. Penasaran aku kembali memperhatikan perempuan di pojokan sana. Benarkah ia Ana Pratiwi? pikirku. Sampai kemudian gaya duduk perempuan tadi sama dengan foto di majalah. Mirip! seruku dalam hati. Sepertinya benar ia adalah Ana Pratiwi, penulis kolom Berbagi yang ingin kukenal. Perempuan di pojokan sejenak mengalihkan perhatiannya ke sekeliling café sampai kemudian bertemu dengan pandanganku. Ia tampak agak kaget. Mungkin mengenalku. Walau begitu, tampak ia dengan kaku sedikit mengangkat tangan kanannya dan tersenyum seraya mengangguk pelan menyapaku dari kejauhan, kukira. Aku membalas senyumannya dengan kaku pula. 18
Rasa penasaran semakin membuatku ingin mengenal lebih jauh perempuan di pojokan. Aku kemudian memberanikan diri untuk menyapanya, lewat notes kecil. Aku memberi tanda pada Rina yang kemudian menghampiriku. Ada apa, mas Val? tanya Rina. Rin, boleh aku minta tolong? tanyaku. Sejenak aku mengalihkan pandangan kearah pojokan sana. Perempuan tadi rupanya memperhatikanku. Rina siap membantu, mas! jawab Rina sambil tersenyum. Mungkin karena keakrabanku dengan Rina makanya ia merasa tak sungkan denganku. Rina kemudian duduk didepanku. Aku menulis sesuatu di secarik kertas, kemudian memberikannya pada Rina. Tolong berikan notes ini sama orang dipojokan sana, Rin! pintaku seraya mengisyaratkan arah perhatianku. Rina agaknya maklum dengan permintaanku sehingga tak menunggu lama ia kemudian beranjak memberikan notes yang kubuat pada orang yang kumaksud. Perempuan di pojokan sana menerima notesku dengan senyuman ramah pada Rina. Kemudian ia membacanya. Kulihat ia tersenyum saat membaca tulisanku kemudian menulis sesuatu dan menyerahkan notes dariku kembali pada Rina. Rina menghampiri dan kembali duduk dihadapanku sambil menyerahkan secarik kertas yang tadi kuberikan padanya. Seraya tersenyum, Rina mengangkat tangan dan mengacungkan jempolnya. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala melihat tingkah Rina tersebut dan kemudian membaca notes tadi. 19
Aku tadi menulis Ana Pratiwi Berbagi -? Dibawah tulisanku ia menulis Noval Footnote-? Ternyata memang benar ia Ana Pratiwi, penulis kolom Berbagi. Aku jadi tersenyum sendiri. Keinginanku untuk mengenalnya terwujud juga. Aku kembali memandang kearah pojokan tempat Ana duduk. Kulihat Ana tersenyum dan kembali melambaikan tangan. Aku membalas senyuman Ana dan mengisyaratkan tanganku apakah aku yang menghampiri Ana atau Ana yang berpindah duduk ditempatku. Ana memberi kode agar aku diam di tempatku dan ia yang pindah tempat. Aku mengangguk dan mempersilakan Ana duduk bersamaku. Tak berapa lama Ana menghampiriku dengan senyuman menghiasi wajahnya. Aku beranjak berdiri ketika Ana telah berada dihadapanku lalu menarik kursi mempersilakan Ana duduk. Ana mengangguk pelan masih dengan senyumannya. Thanks Hai sapaku seraya mengulurkan tangan. Noval. Ana Ana menyambut uluran tanganku. Biasa kesini, ya? tanyaku basa-basi. Gak juga Malahan ini kali kedua aku kesini, jawab Ana. Ooh Eh, tadi aku baca kolom kamu, bagus ujarku sambil memperlihatkan majalah yang kubaca. Thanks, Val Kukira tak ada yang mau baca tulisan seperti itu ujar Ana merendah. Ia membenarkan duduknya lalu membuka kacamatanya. Hehehe Aku sempat tak mengenal kamu gara-gara 20
kacamata itu, An Soalnya waktu pertama lihat, kamu gak pake kacamata, kan? Waktu itu, ya? Hehehe Padahal waktu itu aku ingin sekali berkenalan dengan kamu, Val Eh? Iya Aku sering baca kok tulisan-tulisan kamu Oh Hehehe Senang berkenalan dengan kamu, An ujarku seraya memperhatikan wajah Ana. Sama, aku juga Ana tampak sedikit tersipu. Lama kuperhatikan wajah Ana. Matanya terlihat agak sipit. Mungkin karena kacamata yang ia pakai. Alis matanya tak terlalu tebal dan melengkung. Bulu matanya tampak alami tanpa make up. Pun pipinya yang hanya diolesi bedak tipis. Dagunya lancip. Perhatianku buyar saat notifikasi handphone Ana berbunyi. Ana tampak memperhatikan handphonenya. Lalu mengetikkan sesuatu dan terlihat seperti buru-buru. Val, sorry ya, aku jalan duluan. Aku ada perlu lagi Ana tampak menyesal karena harus buru-buru pergi. Teman? tanyaku penasaran. Ya, Eva. Dia minta aku kerumahnya sekarang Oh Oke. Thanks ya, An Buat apa? tanya Ana sambil membereskan netbook. Kenalan Aku juga, Val Sampai ketemu lagi Ana melambaikan tangan lalu beranjak buru-buru keluar dari café. Aku berdiri terpaku memperhatikan kepergian Ana. 21