BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) secara konseptual merupakan lembaga negara yang berperan menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta mengawal pelaksanaan konstitusi. 1 MK di beberapa negara juga ditempatkan sebagai pelindung (protector) konstitusi. 2 Fungsi utama MK pada hakekatnya adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitution) dan menafsirkan konstitusi atau undang-undang dasar (the interpreter of constitution). 3 Fungsi tersebut dapat terlihat dari salah satu kewenangannya yaitu menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar 4 yang telah dilakukan MK sejak tahun 2003. Kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap undangundang dasar dilandasi oleh Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 kemudian diatur kembali dalam produk turunannya yakni Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 1 Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 263. 2 Maruarar Siahaan, 2012, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 7. 3 Nomensen Sinamo, 2012, Hukum Tata Negara Suatu Kajian Kritis tentang Kelembagaan Negara, Permata Aksara, Jakarta, hlm. 89. 4 Lihat Pasal 24C ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Pelaksanaan secara teknis selanjutnya diatur dalam Peraturan MK Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Permohonan pengujian undang-undang sendiri dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu pengujian terhadap isi materi perundang-undangan atau norma hukum (pengujian materiil) dan pengujian terhadap prosedur pembentukan produk perundang-undangan (pengujian formil). 5 Hal menarik dalam beberapa tahun terakhir adalah terjadi perkembangan yang signifikan dalam pengujian undang-undang, khususnya mengenai putusan yang dijatuhkan MK. Pada awalnya putusan pengujian undang-undang hanya berupa amar yang mengabulkan permohonan, menyatakan permohonan tidak dapat diterima dan menolak permohonan untuk sebagian atau seluruhnya dengan menyatakan suatu undang-undang, pasal, ayat atau frasa bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally null and void). 6 Namun dewasa ini MK pun menciptakan varian 7 putusan yaitu putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional); putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional); putusan yang menunda pemberlakuan 5 Laica Marzuki, 2005, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum Pikiran-Pikiran Lepas H.M. Laica Marzuki, Kostitusi Press, Jakarta, hlm. 38. 6 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 7 Varian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bentuk yang berbeda atau menyimpang dari yang asli atau dari yang seharusnya dan sebagainya. http://kbbi.web.id/varian, diakses tanggal 2 Agustus 2016.
3 putusannya (limited constitutional); dan putusan yang merumuskan norma baru. 8 Varian putusan MK tersebut masing-masing memiliki karakteristik. Putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally constitutional) pada dasarnya merupakan putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma akan tetapi kedua varian putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran (interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan yang dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Varian putusan yang menunda pemberlakuan putusannya (limited constitutional) pada dasarnya bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu, 9 sedangkan putusan yang memuat norma baru pada dasarnya bersifat sementara dan nantinya norma baru tersebut akan diambil alih dalam pembentukan atau revisi undang-undang terkait. 10 MK melalui keempat varian putusan tersebut seringkali dinilai telah mengubah perannya dari 8 Syukri Asy ari, dkk, 2013, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 25. 9 Ibid., hlm. 1. 10 Ibid., hlm. 15.
4 negative legislature 11 menjadi positive legislature. 12 MK dalam koridor ini menjadikan dirinya sebagai kamar ketiga 13 dalam proses legislasi karena tidak dapat dipungkiri varian putusan tersebut mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif. Inilah alat kontrol eksternal yang dimiliki MK untuk melakukan purifikasi atas produk hukum yang dihasilkan lembaga legislatif terlepas dari polemik MK sebagai positive legislature. Pada tataran berikutnya, varian putusan MK sebagaimana disebutkan di atas membawa dinamika tersendiri dalam sifat dasar putusan MK. Hal ini terlihat dari putusannya yang cenderung perlu pengaturan lebih lanjut. 14 Hal lain yang juga perlu diperhatikan bahwa mengingat norma dalam undangundang adalah satu kesatuan sistem, terdapat pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu yang bergantung pada substansi putusan terkait. Dalam hal ini, terdapat putusan yang dapat langsung dilaksanakan tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan dan ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. 15 Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji maka 11 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russsel & Russel, New York, hlm. 286. 12 Allan R. Brewer-Carias, 2013, Constitutional Court as Positve Legislators: A Comparative Law Study, Cambride University Press. 13 Vicky C. Jackson & Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, Foundation Press, New York, hlm. 706. 14 Martitah menyatakan bahwa putusan MK memiliki dua sifat yaitu putusan yang sifatnya dapat langsung dilaksanakan dan putusan yang sifatnya perlu pengaturan lebih lanjut. Lihat dalam Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi: dari Negative Legislature ke Positive Legislature?, Konspress, Jakarta, hlm. 28. 15 Muchamad Ali Safa at, Kekuatan Mengikat dan Pelaksanan Putusan MK, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/kekuatan-mengikat-dan-pelaksanaan-putusan-mk.pdf, diakses tanggal 1 Agustus 2016.
5 putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing, 16 dalam artian putusan itu terlaksana dengan sendirinya. Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diberlakukan secara otomatis tanpa perubahan ataupun dengan perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut. Pada akhirnya, putusan pengujian undang-undang tidak hanya bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing) melainkan adapula yang bersifat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non self-executing). 17 Inilah salah satu dinamika yang terjadi berkaitan varian putusan MK sebagaimana disebutkan sebelumnya, sehingga putusannya pun dalam pelaksanaannya dapat ditindaklanjuti oleh peraturan perundang-undangan selain undangundang. Contoh dari varian putusan MK yang sifatnya dapat dikatakan non self-executing salah satunya yaitu Putusan MK No. 110-111-112-113/PUU- VII/2009 tentang Penetapan Kursi Tahap Ke-II dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009. Uji materiil terkait putusan tersebut terhadap Pasal 205 ayat (4) dan Pasal 212 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada tataran implementasinya, putusan ini masih memerlukan instrumen hukum yang bersifat operasional. 18 Hal ini disebabkan 16 Maruarar Siahaan, Peran Makamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi, Jurnal Hukum, Volume 16, Nomor 3, Juli 2009, hlm. 364. 17 Martitah, Op. cit., hlm. 234. 18 Syukri Asy ari, Op. cit., hlm. 19-20.
6 lantaran dalam putusan tersebut, MK mengeluarkan putusan dengan akibat hukum yang berlaku surut (retroaktif) untuk pertama kalinya. Sehingga, terhadap putusan MK tersebut sangat jelas dalam eksekutorialnya membutuhkan regulasi untuk menghidupkan ketentuan retroaktif yang dibuat oleh MK. Dinamika selanjutnya yang terjadi yaitu timbul permasalahan dari tindak lanjut atas beberapa varian putusan MK tersebut. Contohnya Putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan MK No. 008/PUU- III/2005 tanggal 19 Juli 2005 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Dalam putusan ini MK menyatakan UU SDA dinilai tetap konstitusional sepanjang dalam pelaksanaannya Pemerintah mengacu kepada pertimbangan hukum yang digariskan oleh MK. Putusan MK tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah, salah satunya dengan menerbitkan PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Persoalan muncul saat PP ini dinilai sebagai pengingkaran tafsir konstitusional MK dan cenderung merupakan swastanisasi terselubung. 19 Dalam perkembangannya, UU SDA kembali diuji oleh beberapa badan hukum privat dan perseorangan warga negara Indonesia dikarenakan 19 Hukum Online, MK Batalkan UU Sumber Daya Air, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54e4bd8e5dc0a/mk-batalkan-uu-sumber-daya-air, diakses tanggal 2 Agustus 2016.
7 pelaksanaan UU SDA dinilai tidak sesuai dengan penafsiran MK. 20 Pada akhirnya UU SDA dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan MK No. 85/PUU- XI/2013 tanggal 18 Februari 2015. Contoh putusan yang dapat diambil terkait masalah tindak lanjut putusan MK selain daripada di atas yaitu Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 tertanggal 17 Januari 2012 menyatakan bahwa dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap putusan ini kemudian mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 tanggal 20 Januari 2012. Surat Edaran tersebut antara lain menentukan bahwa kegiatan outsourcing harus melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (permanen). Ketentuan tersebut dapat disimpangi dengan syarat harus ada jaminan kelangsungan pekerjaan bagi pekerjanya. 21 Tindak lanjut putusan MK melalui Surat Edaran ini dapat menurunkan derajat putusan MK. Surat 20 Mohammad Mahrus Ali, dkk, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Konstitutional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 3, September 2015, hlm 631-662. 21 Ibid.
8 Edaran bukanlah peraturan perundang-undangan dikarenakan Surat Edaran tidak memuat tentang norma, kewenangan, dan penetapan. 22 Dinamika dan permasalahan yang dijabarkan sebagaimana di atas dapat terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia lantaran tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai pelaksanaan putusan tersebut sehingga membawa problematika tersediri ketika peraturan pelaksana sebagai tindak lanjutnya justru tidak sesuai dengan tafsiran yang terkandung dari putusannya dan/atau secara hierarkis tidak sesuai dengan marwah derajat putusan MK. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kiranya untuk menentukan kewenangan tambahan lain dari MK yang melekat dalam kewenangannya menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar untuk mengantisipasi problematika dari pelaksanaan putusan MK yang bersifat non-self executing yang terjadi saat ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa terjadi pergeseran sifat dasar putusan MK dari self-executing menjadi non self-executing? 2. Bagaimana bentuk-bentuk ketidaksesuaian dalam pelaksanaan putusan MK yang bersifat non self-executing perihal pengujian undang-undang 22 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, hlm. 8.
9 terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? 3. Bagaimana upaya ke depan yang dapat dilakukan MK guna mengantisipasi problematika tersebut? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis penyebab terjadinya pergeseran sifat dasar putusan MK dari self-executing menjadi non sel-executing. 2. Untuk menganalisis bentuk-bentuk ketidaksesuaian dalam pelaksanaan putusan MK yang bersifat non self-executing perihal pengujian undangundang terhadap undang-undang dasar. 3. Untuk menganalisis upaya tepat yang dapat dilakukan Mahkamah Konstitusi guna mengantisipasi problematika tersebut. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat tesis ini adalah: 1. Secara teoritis, pembahasan terhadap pemasalahan-permasalahan sebagaimana diuraikan di atas diharapkan dapat menambah pemahaman bagi pembaca mengenai pembahasan problematika pengujian undangundang terhadap undang-undang dasar yang terjadi di Indonesia saat ini. Sehingga penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan serta
10 menjadi koleksi karya ilmiah yang memberikan kontribusi pemikiran dalam menyoroti dan membahas mengenai hukum tata negara di Indonesia. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini semoga dapat berguna dan bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbangsih pemikiran ilmiah hukum positif di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari penempatan hukum sebagai panglima tertinggi di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran literatur mengenai pemberian kewenangan judicial order di MK, belum pernah ada karya ataupun tulisan ilmiah yang membahas hal tersebut. Namun demikian, ada beberapa karya yang menyoroti permasalahan MK dan pengujian undang-undang. Karya ilmiah yang pertama berupa penelitian yang diterbitkan dalam bentuk jurnal dengan penulis Achmad Sukarti berjudul Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ditinjau dari Konsep Demokrasi Konstitusional: Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman dan Thailand). Permasalahan yang diambil dalam penelitian tersebut mengenai bagaimana kedudukan MK di Indonesia, Jerman dan Thailand dengan proses pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dalam rangka penegakan konstitusi dan demokrasi ditinjau dari negara hukum demokratis dan mengenai apakah substansi dari kewenangan MK untuk menguji undang-
11 undang atas undang-undang dasar di Indonesia, Jerman dan Thailand. Kesimpulan dari penelitiannya yaitu pertama, kedudukan MK antara Indonesia, Jerman dan Thailand bersifat merdeka dan sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya. Kedudukan tersebut dalam rangka checks and balances antara tiga lembaga negara yang pada umunya ada pada negara Anglo Saxon. Kedudukan MK di tiga negara di atas merupakan suatu lembaga tersendiri sederajat dengan Mahkamah Agung. Kedua, substansi dari ketiga praktik konstitusi ditujukan untuk menjamin kelangsung demokrasi konstitusional dan demi tegaknya hak-hak asasi manusia dari kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh suatu produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh legislatif dan eksekutif. 45 Karya ilmiah yang kedua adalah skripsi yang disusun oleh Ginanjar Daniek Okvita dengan judul Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan yang diajukan adalah apa dasar konstitusionalitas kewenangan MK dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan apa pertimbangan-pertimbangan hukum kewenangan MK dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesimpulan dari skripsi 45 Achmad Sukarti, Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Ditinjau dari Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman dan Thailand), Jurnal Equality, Volume 11, Nomor 1, Februari 2006, hlm. 42-45.
12 tersebut adalah MK sebagai satu-satunya lembaga negara yang berhak menafsirkan konstitusi telah menetapkan bahwa MK berwenang melakukan pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap undangundang dasar, meskipun hal itu itu tidak ada landasan secara yuridisnya. Dasar hukum atas kewenangan tersebut hanyalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukkan Perpu itu sejajar dengan undang-undang, dengan didukung alasan-alasan hukum lain diantaranya penafsiran sosiologis yaitu akan kebutuhan masyarakat dan kepastian hukum. MK dalam penelitian ini dianggap telah melakukan langkah progresif untuk mengamankan hukum dari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Putusan MK No. 138/PUU- VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang objek pengujiannya berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang, kemudian pada perkara yang sama putusan tersebut dijadikan yurisprudensi dalam Putusan MK No. 145/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Terhadap Undang Undang Dasar. Indonesia sudah seharusnya mengadopsi pula bahwa peradilan untuk
13 segala peraturan perundang-undangan di Indonesia dijadikan satu atap di MK. 46 Karya ilmiah yang ketiga yaitu berupa hasil penelitian yang disusun oleh Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dengan judul Perkembangan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif). Adapun masalah yang diambil yaitu bagaimana konsep pengujian perundang-undangan secara tekstual perundangundangan; bagaimana perkembangan pengujian perundang-undangan selama 6 tahun berdirinya MK; dan bagaimana kedudukan putusan-putusan MK dalam perkara pengujian perundang-undangan yang tidak dikenal dalam ketentuan UU MK. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa putusanputusan MK jika ditelusuri maka akan ditemukan kajian menarik untuk dianalisis. Pada mulanya seringkali MK hanya sekedar melindungi bunyi ketentuan UUD NRI 1945, namun dalam perkembangannya MK tidak hanya keluar dari mainstream cara berpikir umum dalam berhukum tetapi juga mencoba melengkapi kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum. Cara berpikir progresif yang dianut oleh Mahkamah tersebut sesuai dengan slogan yang coba MK bangun sepanjang periode kepemimpinan MK yang kedua, yaitu menegakkan keadilan substantif. Perkembangan pengujian undang-undang di MK memperlihatkan pergeseran cara pandang tersebut yakni dari berpikir sekedar tekstual ke arah cara berpikir hukum yang lebih 46 Daniek Okvita, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hlm. v-vi.
14 progresif. Penelitian tersebut memperlihatkan gambaran bahwa terdapat tradisi berhukum baru dalam ranah peradilan di Indonesia. 47 Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Meskipun objek penelitian ini secara umum adalah mengenai pengujian undang-undang terhadap undangundang dasar, tetapi karena variabel tergantung yang menjadi pokok bahasannya berbeda dengan karya tulis ilmiah yang ada, maka penelitian ini telah memperlihatkan keasliannya. Variabel yang berbeda tersebut adalah terkait pemberian kewenangan judicial order. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penelitian ini terbukti memiliki orisinalitasnya dan pengkajian mengenai hal tersebut sampai saat ini belum pernah dilakukan. Sehingga perlu dilakukan analisis guna memberikan penjelasan lebih lanjut. 47 Pusat Studi Konstitusi, 2010, Perkembangan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hlm. 177.