PENDAHULUAN Latar Belakang Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam menghasilkan daging. Daging ayam merupakan jenis daging yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Konsumsi daging ayam pedaging per kapita di Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif setiap tahunnya dibandingkan jenis-jenis daging lain. Rata-rata pertumbuhan konsumsi daging ayam pedaging adalah sebesar 4,60% per tahun (Departemen Pertanian, 2013). Staphylococcus aureus dapat menjadi penyebab infeksi pada manusia maupun hewan (Warsa, 1994). Pada ayam pedaging S. aureus dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti artritis, bumble foot, dermatitis, osteomyelitis, dan swollen head. Kasus bumble foot maupun artritis pada ayam menyebabkan gangguan gerak, kepincangan, dan tidak dapat berjalan. Adanya gangguan gerak pada ayam pedaging akan menyebabkan ayam tidak dapat berkompetisi memperoleh pakan yang cukup sehingga menyebabkan kerugian usaha perunggasan. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan berat badan, mahalnya biaya pengobatan, serta resistensi infeksi yang sulit dimusnahkan dari peternakan (Tabbu, 2002). Pada kasus dermatitis, osteomylitis, swollen head dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan memerlukan biaya pengobatan serta beresiko terjadinya produk ayam yang tercemar Staphylococcus aureus patogen (Chotiah, 2009). Bakteri S. aureus dapat menjadi sumber keracunan pangan karena mensekresikan dua jenis toksin yang mempunyai 1
aktivitas sebagai superantigen yaitu enterotoksin dan Toxic Shock Syndrome (TSS) Toxin. Secara sistemik, enterotoksin juga dapat menyebabkan shock syndrome. Jika Toxic Shock Syndrome (TSS) Toxin memasuki sirkulasi darah akan menyebabkan gejala shock, mual, dan muntah (Clements, 1997; Todar, 2005). Patogenesis bakteri ini sering dihubungkan dengan infeksi luka bernanah baik pada manusia maupun pada hewan. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan lesi permukaan pada kulit seperti melepuh dan furunkulosis. Penggunaan antibiotik yang irrasional pada peternakan ayam pedaging beresiko menyebabkan terjadinya resistensi. Antibiotik pada pemeliharaan ayam pedaging biasanya digunakan untuk memacu pertumbuhan, efisiensi pakan, serta pengobatan penyakit bakterial. Resistensi S. aureus asal ternak terhadap antibiotik menyebabkan kerugian yang besar bagi peternak. Ayam yang terinfeksi S. aureus tidak akan sembuh meskipun sudah dilakukan pengobatan. Hal itu menyebabkan biaya pengobatan meningkat sedangkan ayam masih dalam kondisi sakit sehingga pertumbuhan badan terhambat dan waktu pemeliharaan lebih lama. Methicillin Resistent Staphylococcus aureus (MRSA) yang diisolasi dari unggas dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan masyarakat karena terbukti bahwa klon MRSA berpotensi zoonosis. Manusia dapat terinfeksi secara peroral melalui konsumsi daging ayam atau bersinggungan dengan ayam yang terinfeksi MRSA (Vose et al., 2005). Keberadaan S. aureus pada kulit merupakan suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari fagosit. Sel-sel yang berfungsi memfagosit yaitu leukosit polimorfonuklear (berinti polimorf), fagosit mononuklear (monosit dan makrofag) 2
dan makrofag tertentu terdapat pada sistem retikuloendotelial. Staphylococcus aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Paryati, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat patogenesitas Methicillin Resistent Staphylococcus aureus (MRSA) dibanding dengan Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) isolat ayam secara in vitro terhadap kemampuan sistem imunitas seluler dengan uji fagositosis sel polimorfonuklear dan makrofag. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat disusun permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat isolat Staphylococcus aureus asal ayam pedaging yang resisten terhadap methicillin dan berbagai antibiotika yang lain? 2. Apakah Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin dapat dikonfirmasi pada tingkat molekuler terhadap keberadaan gen yang menyandi resistensi methicillin atau gen meca? 3. Apakah Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) mempunyai kemampuan menghindar dari sistem imun seluler melalui fagositosis leukosit polimorfonuklear dan sel-sel makrofag? 4. Apakah opsonisasi bakteri dengan menggunakan serum dapat meningkatkan sistem imunitas seluler hospes dalam melawan Staphylococcus aureus? 3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui resistensi Staphylococcus aureus yang menginfeksi ayam terhadap berbagai antibiotika terutama methicillin. 2. Mengetahui resistensi Staphylococcus aureus terhadap methicillin di tingkat molekuler terhadap keberadaan gen yang menyandi resistensi methicillin atau gen meca melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). 3. Mengetahui potensi Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dalam menghindar dari sistem imun seluler melalui uji fagositosis leukosit polimorfonuklear dan sel-sel makrofag. 4. Mengetahui peran opsonisasi pada Staphylococcus aureus dengan menggunakan serum yang mengandung opsonin dalam meningkatkan sistem imunitas seluler hospes. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu dapat mengetahui sifat patogenesitas Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dalam menginfeksi ayam. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah yang penting dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengembangan strategi dalam pengendalian infeksi MRSA. 4
Keaslian Penelitian Penelitian tentang kemampuan sistem pertahanan tubuh seluler dengan uji fagositosis secara in vitro telah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Javed et al. (2009) yang meneliti tentang uji fagositosis leukosit polimorfonuklear manusia terhadap strain MRSA dan MSSA isolat asal manusia secara in vitro. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan MRSA dalam menghindari sistem imun hospes lebih baik daripada MSSA. Salgado et al. (2004) meneliti tentang fagositosis neutrofil dan monosit manusia terhadap strain MRSA, MSSA, dan Staphylococcus aureus Cowan I dengan menggunakan serum untuk mengopsonisasi bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fagositosis dengan opsonisasi pada ketiga strain bakteri tersebut lebih efisien daripada fagositosis tanpa opsonisasi meskipun mortalitas strain MRSA tetap lebih rendah dibandingkan dengan strain yang lain. Sebelumnya Sugiartanti (2012) telah meneliti tentang kemampuan fagositosis makrofag terhadap Staphylococcus aureus asal karkas, bumble foot, dan artritis pada ayam secara in vitro. Hasil penelitian membuktikan bahwa jumlah Staphylococcus aureus yang difagosit oleh makrofag dengan jumlah tertinggi adalah isolat bumble foot (22,37 bakteri/sel makrofag), diikuti isolat karkas (18,75 bakteri/sel makrofag) dan isolat asal artritis (14,90 bakteri/sel makrofag) (p<0,05). Berdasarkan perbedaan kemampuan makrofag dalam fagositosis, kemungkinan Staphylococcus aureus isolat artritis lebih patogen dibandingkan dengan isolat asal bumble foot dan karkas. Dalam penelitian ini ingin diketahui lebih lanjut kemungkinan adanya strain S. aureus pada ayam yang bersifat resisten terhadap methicillin dan berbagai 5
antibiotika lain dan ingin diketahui sifat resistensinya terhadap imunitas seluler hospes melalui uji fagositosis sel neutrofil dan makrofag. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena dengan adanya strain MRSA pada ayam berpotensi menular kepada konsumen ayam pedaging, sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengendalian infeksi MRSA dan usaha penjaminan keamanan pangan. 6