PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan dan intervensi manusia dalam pemanfaatan sumber daya dalam daerah aliran sungai (DAS) 1 membuat makin banyak DAS yang rusak. Meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS telah dilakukan sejak tahun 1970-an, namun kerusakan DAS tetap meningkat. Tahun 1984 jumlah DAS yang rusak tercatat 22 DAS, pada tahun 1992 meningkat menjadi 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS, dan tahun 2006 sekitar 458 DAS perlu direhabilitasi (Fulazzaky et al. 2009). Pada tahun 2009, Menteri Kehutanan menetapkan 108 satuan wilayah pengelolaan (SWP) DAS 2 sebagai DAS Prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014. Indikator kritisnya suatu DAS antara lain ditunjukkan oleh penurunan tutupan vegetasi permanen, terutama hutan dan meningkatnya lahan kritis, sehingga menurunkan kemampuan DAS menyimpan air, mengganggu siklus hidrologinya, berdampak pada peningkatan frekuensi banjir, erosi dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Brooks et al. 1989). Tingkat kekritisan DAS juga berkaitan dengan kondisi ekonomi, sosial budaya masyarakat setempat. Kemampuan ekonomi yang marjinal, kesadaran berkonservasi yang rendah, dan kondisi institusi pengelola yang lemah dan tidak adanya kepastian hak sering memicu terjadinya perambahan hutan di hulu DAS. Perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu maupun eksploitasi hutan yang tidak mempertimbangkan lingkungan dapat merusak seluruh ekosistem DAS. Misalnya hasil air sebagai jasa lingkungan DAS, yang merupakan jasa hutan akan berkurang pasokannya (Basri 1999; Nursidah 2002; Husnan 2010), padahal 1 Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU Nomor 7 Tahun 2004). 2 Satuan wilayah pengelolaan DAS yang selanjutnya disebut SWP DAS adalah kesatuan wilayah yang terdiri dari satu atau lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang secara geografis dan fisik teknis layak digabungkan sebagai satu unit pengelolaan DAS. Pembagian wilayah SWP DAS mengacu pada Instruksi Menteri Kehutanan Nomor : INS.3/Menhut-II/2009 tanggal 20 April 2009 tentang Wilayah Kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Pengelolaan DAS.
2 konsumsi air terus meningkat. Akibatnya air menjadi terbatas dan diperebutkan, berpotensi menimbulkan konflik ekonomi dan sosial karena benturan kepentingan antar pengguna air (Ramdan 2006). Sementara itu pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pemulihan kerusakan hutan yang berfungsi sebagai perlindungan tata air DAS secara keseluruhan, baik pada kawasan hutan konservasi (HK), hutan lindung (HL) dan hutan rakyat (HR) belum memadai karena terbatasnya kapasitas pendanaan, sumberdaya manusia, teknis, dan kapasitas kelembagaan, sehingga kerusakan hutan terus meningkat. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS belum mendapat dukungan semua pihak terkait, belum terpadu dan belum berkelanjutan. Kemandirian pengelolaan DAS belum terbangun sehingga performa pengelolaan DAS masih belum baik. Perumusan Masalah Salah satu SWP DAS Prioritas di Sumatera Barat yang sangat strategis karena terletak di Kota Padang sebagai ibu kota propinsi adalah SWP DAS Arau, yang terdiri atas DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji dan DAS Batang Air Dingin (BPDAS 2009). Sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2009, tiga DAS tersebut menunjukkan nilai koefisien limpasan dan koefisien regim sungai (KRS) tergolong tinggi, yang menunjukkan kondisi yang buruk, sehingga ke tiga DAS tersebut termasuk DAS Super Prioritas (DPSDA 2010). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pengelolaan SWP DAS Arau masih buruk. Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak, sehingga permasalahannya seringkali sangat kompleks. Permasalahan krusial aspek fisik pada SWP DAS Arau adalah perubahan proses hidrologi karena perubahan penggunaan lahan kawasan lindung (KL) menjadi perladangan, kebun, budidaya pertanian, areal pertambangan dan pemukiman. Sejak tahun 2004 muncul kekhawatiran masyarakat akan terjadinya bencana tsunami di Kota Padang, yang menyebabkan munculnya kecenderungan pembangunan pindah ke daerah yang lebih tinggi, yaitu wilayah tengah hingga hulu SWP DAS Arau. Akibatnya wilayah tersebut mendapat tekanan yang semakin besar. Dampak degradasi hutan dan meningkatnya lahan kritis terlihat jelas ketika terjadi hujan di atas normal pada hulu DAS, kondisi debit sungai relatif lebih tinggi dan warna air keruh oleh bahan
3 sedimen, yang kemudian diendapkan di muara sungai. Selain itu, setiap tahun banjir melanda Kota Padang, dengan wilayah rawan banjir seluas 3.500 ha dan 50% berada pada kawasan pemukiman (Bapedalda 2009). Agar kinerja SWP DAS Arau bisa membaik, maka pada lahan kritis dan terdegradasi pada kawasan resapan air DAS hulu harus direhabilitasi, sedangkan yang masih baik tutupan vegetasi permanennya harus dilindungi dan dikonservasi. Namun pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada SWP DAS Arau terkendala oleh terbatasnya dana untuk kegiatan konservasi dan RHL, sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan belum sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan dana untuk konserevasi dan RHL lebih besar dari dana yang tersedia. Berdasarkan data Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perkebunan (Distannakhutbun) Kota Padang dalam kawasan hutan terdapat lahan kritis seluas 4.000 hektar, namun kemampuan untuk melakukan reboisasi sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 hanya sekitar 500 hektar (sekitar 12,5%), yang bersumber dari dana Pemerintah Pusat (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi (DAK-DR)). Selama ini, pendanaan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau sebagian besar bersumber atau tergantung dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu jaminan keberlanjutan konservasi dan RHL sangat tergantung pada dana dari luar SWP DAS Arau, sehingga belum tercipta kemandirian pengelolaan. Kegiatan konservasi dan RHL memerlukan dana yang besar dan berkelanjutan, sedangkan dana pemerintah sangat terbatas, sehingga keberlanjutan pendanaan konservasi dan RHL sesuai kebutuhan belum terjamin. Oleh karena itu, perlu digali pendanaan konservasi dan RHL dari berbagai pihak dalam DAS itu sendiri (internal balance budget). Salah satunya melalui dana pengguna jasa lingkungan DAS, dalam disertasi ini, dibatasi pada pengguna jasa lingkungan air, yang merupakan jasa hidrologis hutan. Selama ini, ekosistem DAS sebagai penyedia jasa lingkungan, khususnya pelayanan hutan sebagai pengatur tata air belum dihargai sebagaimana mestinya, bahkan oleh para pengguna air komersil (seperti perusahaan air minum, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), industri, pertanian). Air dinilai sangat rendah karena dianggap sebagai barang publik dengan akses terbuka dan sifat penggunaannya tidak dapat dikecualikan. Biaya pengadaan air belum
4 diperhitungkan sebagai bagian biaya produksi pada usaha komersial yang menggunakan air dalam proses produksinya (Ramdan 2006). Padahal Pasal 80 UU Nomor 7 Tahun 2004, menyatakan bahwa pengguna sumberdaya air selain untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat harus menanggung biaya jasa pengelolaan sumberdaya air, yang didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung-jawabkan (KLH 2007). Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala biaya konservasi dan RHL, prinsip pengguna membayar penyedia perlu diterapkan dalam pembiayaan pengelolaan DAS. Dengan demikian pembiayaan konservasi dan RHL, tidak perlu menunggu uluran tangan dari luar DAS, sehingga dapat tercipta kemandirian dalam pembiayaan pengelolaan DAS. Kemandirian pembiayaan pengelolaan DAS merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Pembiayaan pengelolaan DAS yang bergantung pada dana dari luar sistem DAS akan cenderung : (a) Tidak menjamin keberlanjutan program-program yang dibutuhkan dalam pengelolaan DAS; dan (b) Terikat kepentingan donor, yang mungkin tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kepentingan para pihak dalam DAS. Dengan makin seringnya terjadi banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan makin langkanya sumberdaya air pada saat kemarau, semestinya makin menyadarkan para pengguna air tentang pentingnya kelestarian hutan sebagai daerah tangkapan air (DTA). Oleh karena itu, sudah selayaknya para pengguna air ikut berkontribusi dalam konservasi dan RHL di hulu DAS sebagai implementasi pembagian pendanaan (cost sharing) hulu hilir atau dari penyedia kepada pengguna jasa dalam pengelolaan DAS terpadu dan mandiri. Untuk merealisasikan imbal jasa lingkungan (Payment for Environmental Service, PES) tersebut perlu digali potensi pengembangan PES pada SWP DAS Arau, sebagai salah satu bentuk insentif untuk mendorong kegiatan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau. Permasalahan kelembagaan difokuskan pada masalah kelembagaan pengelolaan hutan yang belum efisien dan efektif karena adanya masalah hak kepemilikan (property right), sistem nilai dan aturan main yang digunakan dalam pengelolaan hutan di hulu DAS. Bagian hulu SWP DAS Arau, secara hukum formal (de jure), merupakan hutan negara (Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) dan HL), yang sebagian wilayahnya diakui oleh masyarakat sebagai
5 hutan ulayat nagari (de facto). Hal ini memicu timbulnya konflik, dan berdampak langsung kepada eksistensi pengelolaan hutan. Menurut Distannakhutbun Kota Padang (2010), luas kerusakan hutan Kota Padang selama tahun 2009 adalah 514 hektar yang disebabkan oleh kebakaran hutan 12 hektar, perladangan berpindah 122 hektar, penebangan liar 30 hektar dan perambahan hutan 350 hektar. Tidak adanya pengakuan Pemerintah terhadap hutan ulayat yang berada dalam kawasan hutan negara diyakini sebagai salah satu penyebab perambahan hutan di hulu SWP DAS Arau dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan. Dengan berbagai potensi dan permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan Bagaimanakah model pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau sehingga dapat dibangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu?. Karena permasalahan pengelolaan DAS yang kompleks, maka seringkali pendekatan pemecahan masalah secara sektoral tidak cukup, bahkan sering mengalami kegagalan, sehingga diperlukan pendekatan multi dimensi secara terintegrasi, yang memperhatikan berbagai aspek penting yang terkait dengan pengelolaan DAS yang berkelanjutan, sehingga pada akhirnya bisa diwujudkan pengelolaan DAS yang terpadu dan mandiri. Untuk membangun model pengelolaan DAS terpadu dan mandiri dalam penelitian ini digunakan pendekatan fisik, ekonomi dan kelembagaan yang dirangkum dalam kerangka utama pengembangan kelembagaan. Kerangka Pemikiran Pengelolaan DAS merupakan upaya mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam (SDA) dalam suatu DAS dengan manusia beserta segala bentuk aktifitasnya, untuk membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan manfaat SDA (Asdak 1995). Menjaga kelestarian SDA dalam suatu DAS berarti juga menjaga kesinambungan aliran sungai pada suatu DAS dari hulu sampai hilir dalam kuantitas dan kualitas optimal sepanjang tahun, serta keberadaan hutan di daerah hulu DAS yang menjadi DTA suatu DAS. Agar pengelolaan DAS berdaya guna dan berhasil guna, dalam arti kata, DAS tetap lestari dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, maka diperlukan suatu model pengelolaan DAS yang memperhatikan berbagai aspek penting yang terkait dengan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Salah satu hal
6 yang selama ini hanya dipandang sebagai aspek pendukung dan sering diabaikan, namun kemudian disadari sebagai hal yang menentukan keberhasilan pengelolaan suatu kegiatan, termasuk dalam pengelolaan DAS adalah aspek kelembagaan. Dari sisi kajian kelembagaan, suatu kebijakan berupa ketentuan dan prosedur dalam pengelolaan SDA secara ideal harus beranjak dan dibangun dari situasi dan hubungan keterkaitan yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, karena hubungan keterkaitan (interdependencies) antara masyarakat dengan SDA yang dikelolanya, akan menentukan performa (performance) pengelolaan SDA tersebut (Ostrom 2008). Dalam perspektif inilah bentuk dan peranan kelembagaan diperlukan, sehingga pendekatan kelembagaan menjadi begitu penting dalam kerangka mendukung suatu alternatif pemecahan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga kinerja dan keberhasilan suatu kegiatan dapat diperkirakan (North 1990; Kasper dan Streit 1998). Ostrom (2008) menyatakan performa pengelolaan SDA milik bersama (common pool resources, CPR) tidak hanya ditentukan oleh tersedianya kebijakan yang mengatur bagaimana SDA tersebut harus dikelola dan prosedur administrasi yang harus dilalui (rules in use), tetapi juga ditentukan oleh kondisi fisik material dan atribut komunitas yang dikelompokkan sebagai faktor eksogen, yang mempengaruhi arena aksi (situasi aksi dan aktor) dalam pengelolaan SDA tersebut. Berangkat dari pemikiran di atas maka dapat ditarik hipotesa bahwa kesiapan regulasi atau prosedur teknis dalam pengelolaan DAS tidak dapat menjamin kinerja yang baik, jika kelembagaan yang diterapkan tidak sesuai dengan situasi yang ada (command and control approach). Atau performa pengelolaan DAS (sebagai CPR) yang baik tidak dapat diwujudkan hanya oleh karena tersedianya kebijakan yang mengatur bagaimana DAS harus dikelola dan prosedur administrasi yang harus dilalui (rules in use), tapi juga dipengaruhi oleh faktor eksogen lainnya, yaitu faktor fisik/material dan atribut komunitas (termasuk ilmu (science), teknologi, pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience) dan pemahaman pengguna SDA dalam DAS tersebut), yang akan menentukan perilaku para pengguna SDA dalam DAS tersebut untuk bersikap, yang diwujudkan dalam bentuk tindakan pengelolaan oleh pengguna SDA dalam DAS terhadap SDA, dan pada akhirnya menentukan performa pengelolaan DAS.
7 Oleh karena itu untuk mewujudkan performa pengelolaan DAS yang baik, harus dikembangkan kelembagaan yang tepat, melalui pengelolaan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku (yang diwujudkan dalam bentuk tindakan) para aktor dalam pengelolaan DAS sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan DAS memenuhi kriteria pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Menurut Guy Peters (2000) tindakan manusia ditentukan oleh motif rasional (ekonomi) dan normatif (non ekonomi). Penganut paham rasional (empiris) menyatakan perubahan (pengembangan) kelembagaan atau institusi dapat dilakukan dengan mengubah insentif, dan perilaku individu akan segera berubah. Jika individu dapat diharapkan merespon insentif dan kendala dalam cara yang dapat diprediksi maka desainnya jadi lebih sederhana. Kegiatan pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau tentunya tidak terlepas dari fenomena di atas. Penerapan kelembagaan dan insentif yang tepat dalam pengelolaan SWP DAS Arau akan menentukan performa pengelolaan SWP DAS Arau. Oleh karena itu, pengembangan institusi dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan pengelolaan berbasis insentif untuk mempengaruhi perilaku para aktor, dengan mengembangkan insentif, khususnya insentif untuk konservasi dan RHL. Kelembagaan dan insentif seperti apa yang harus diterapkan dalam pengelolaan SWP DAS Arau sehingga dapat mewujudkan model pengelolaan SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri? Pertanyaan ini akan dijawab dengan Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD), yang dikembangkan oleh Ostrom (2008) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku (rules in use)), yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor pada SWP DAS Arau, seperti disajikan pada Gambar 1. Karena kompleksnya permasalahan dalam suatu DAS, maka dalam penelitian ini, analisis pengembangan institusi akan difokuskan pada masalah faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau, khususnya dalam kawasan lindung di daerah hulu DAS terhadap kondisi hidrologis DAS, pengembangan insentif untuk konservasi dan RHL dan peningkatan pendapatan masyarakat dari pembayaran jasa lingkungan DAS dan lembaga pengelolanya, agar menghasilkan performa pengelolaan DAS yang baik sehingga pada akhirnya bisa terwujud pengelolaan DAS terpadu dan mandiri.
8 Identifikasi faktor eksogen, pada aspek fisik, difokuskan pada penggunaan lahan dan neraca air serta insentif untuk melaksanakan konservasi dan RHL. Keberadaan hutan di hulu DAS adalah bagian terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan tata air terhadap keseluruhan ekosistem DAS (Asdak 1995). Agar kinerja DAS dalam mengatur ketersediaan air baik, maka perlu diatur keberadaan hutan yang menjadi DTA nya. Untuk itu dilakukan analisis penggunaan lahan dan neraca air optimal sehingga dapat diketahui berapa tutupan lahan hutan yang harus dipertahankan dan distribusinya pada SWP DAS Arau. Informasi ini akan dipakai sebagai acuan tindakan pengelolaan SWP DAS Arau, khususnya untuk kegiatan konservasi dan RHL. FAKTOR EKSOGEN ARENA AKSI SWP DAS Arau Kondisi Fisik/Material 1. Penggunaan Lahan 2. Neraca Air DAS 3. Manfaat Ekonomi Atribut Komunitas 1. Karakter Masyarakat 2. Kondisi Sosekbud Rules in Use Aturan/kebijakan pengelolaan DAS /Hutan o Aturan Formal o Norma-norma/aturan adat SITUASI AKSI Pengelolaan Hutan pada DTA DAS 1. Ruang : Insentif pengelolaan lahan (tingkat kesejahte raan masy) 2. Waktu : Pembiayaan konservasi/rhl dan jaminan pasar 3. Jaminan hak kepe milikan : kepastian hak : minat investasi 4. Aksi kolektif : Peran para pihak dan partisipasi dalam konservasi/rhl AKTOR 1. Masyarakat 2. Pemerintah 3. Swasta/Pengusaha Performa Pengelolaan DAS Outcomes 1. Konservasi dan RHL memadai 2. Kesejahteraan meningkat 3. Kelembagaan baik Tercapai Lesson Learn Up scalling Tidak Tercapai Perlu perbaikan Kriteria Evaluasi 1. Biaya transaksi Minimal (efisiensi) 2. Reward setara Korbanan (equity) 3. Kinerja DAS baik (sustanability) Pendekatan Ekonomi : Pengembangan Insentif Non PES PES Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis pengembangan institusi untuk membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu (modifikasi dari Ostrom 2008)
9 Darusman dan Widada (2004) menyebutkan bahwa terdapat lima prinsip yang menegaskan sinergisitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan ekonomi, diantaranya prinsip kedua menyatakan, ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dapat dipastikan program konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli. Oleh karena itu untuk mendorong masyarakat melakukan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau maka harus ada insentif ekonomi bagi masyarakat. Untuk itu dilakukan analisis pengembangan potensi PES, khususnya potensi jasa lingkungan air pada SWP DAS Arau, sebagai salah satu insentif untuk mendorong kegiatan konservasi dan RHL. Selama ini, air dianggap sebagai barang publik, penggunaannya tidak bisa dikecualikan dan tanpa persaingan untuk mendapatkannya, dinilai sangat rendah sehingga menimbulkan ekternalitas. Menurut Hartwick dan Olliver (1998), eksternalitas publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Untuk menekan eksternalitas tersebut perlu valuasi nilai air dan hutan sebagai DTA nya. Penentuan harga yang tepat akan memberikan sinyal kepada pengguna air mengenai nilai air dan hutan, serta dapat menjadi alternatif untuk pemanfaatan air dan lahan yang lebih bijaksana. Penggalian potensi berbagai sumber dana melalui imbal jasa lingkungan dilakukan melalui identifikasi ketersediaan jasa, penyedia jasa, pengguna jasa dan menghitung nilai jasa tersebut. Pada lokasi yang tidak memungkinkan dilakukan skema PES, digali potensi pengembangan instrumen insentif non PES untuk mengarahkan pengguna lahan melakukan konservasi dan RHL. Hasil analisis potensi PES akan digunakan sebagai acuan untuk alokasi dan distribusi biaya dan manfaat sehingga imbalan (reward) yang diterima para pihak sesuai dengan korbanan masing-masing. Untuk mengembangkan institusi pengelolaan DAS yang efisien dalam arti tercapai biaya transaksi yang minimal, maka dilakukan analisis terhadap atribut komunitas, norma-norma adat dalam pengelolaan hutan dan lahan serta aturan pengelolaan DAS yang diterapkan (rules in use), sehingga dapat dikembangkan intitusi pengelolaan DAS yang partisipatif, berbasis masyarakat dan nilai-nilai lokal sehingga diharapkan dapat lebih mudah diimplementasikan.
10 Dari hasil identifikasi dan analisis variabel-variabel eksogen yang mempengaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau, dan dengan mengacu pada kriteria institusi pengelolaan DAS yang efisien, maka dibangun model pengelolaan SWP DAS Arau yang terpadu, mandiri dan berkelanjutan. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan model institusi pengelolaan SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri melalui pengembangan insentif dari dana PES dan Non PES untuk kegiatan konservasi dan RHL dengan mengidentifikasi faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dijabarkan dalam tujuan-tujuan khusus, yaitu : 1. Mengidentifikasi aspek fisik (penggunaan lahan dan neraca air) pada faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Informasi ini akan dijadikan acuan untuk menyusun model pengelolaan DAS dalam pelaksanaan kegiatan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau. 2. Mengidentifikasi aspek kelembagaan atribut komunitas dan aturan / kebijakan / norma adat (rules in use) dalam pengelolaan hutan yang mempengaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Informasi ini akan digunakan untuk menyusun model kelembagaan pengelolaan hutan dan pengembangan insentif untuk konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau 3. Mengidentifikasi aspek material/ekonomi (potensi pengembangan insentif PES dan Non PES pada SWP DAS Arau) yang mempengaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Informasi ini akan digunakan untuk menyusun model insentif dalam mendorong perilaku aktor untuk melaksanakan kegiatan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau.
11 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1. Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berkontribusi pada pengayaan dan pengembangan metodologi untuk menyusun model pengelolaan DAS terpadu dan mandiri dengan pendekatan pengelolaan berbasis insentif melalui analisis pengembangan institusi dalam pengelolaan DAS dan pengkayaan konsep hak kepemilikan (property right) dan aksi kolektif dalam pengelolaan sumberdaya alam milik bersama (common pool resources). 2. Pada aspek praktis pengelolaan hutan dan DAS, akan berguna untuk : (a) mendapatkan pola penggunaan lahan optimal sebagai acuan kegiatan konservasi/rhl dan implementasi PES SWP DAS Arau; (b) mendapatkan nilai jasa hidrologis hutan agar dapat dijadikan pertimbangan dalam kebijakan pengelolaan hutan secara lebih lestari serta dapat menyadarkan masyarakat (para pengguna air) akan pentingnya hutan, sehingga perusakan hutan dapat dihindarkan; (c) mendapatkan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat lokal dan restrukturisasi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan; (d) mendapatkan bentuk insentif konservasi dan RHL; (e) mendapatkan model implementasi cost sharing hulu hilir atau dari penyedia dan pengguna jasa untuk mendukung pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan. Novelty Pengelolaan DAS sering mengalami kegagalan karena program-program pengelolaan yang dilakukan seringkali hanya bertumpu pada aspek teknis semata dengan regulasi dan prosedur administrasinya (command and control approach), sehingga penelitian ini mencoba melakukan pendekatan berbasis insentif ekonomi (economic incentive approach) dan memadukannya dengan pendekatan normatif melalui penggalian nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan SDA. Penelitian ini mencoba menyusun model pengelolaan DAS yang terpadu dan mandiri menggunakan analisis pengembangan institusi dalam pengelolaan DAS, dengan memadukan variabel fisik (lingkungan), ekonomi dan kelembagaan (yang difokuskan pada masalah hak kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya milik bersama de-
12 ngan aksi kolektif) melalui penggalian faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam suatu situasi aksi, dalam konteks ini adalah pengelolaan DAS untuk menghasilkan performa pengelolaan DAS yang baik. Dengan demikian akan didapatkan model pengelolaan DAS yang komprehensif dan terintegrasi, tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis semata, namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan kelembagaan yang sesuai dengan situasi dan kondisi DAS yang bersangkutan, sehingga diharapkan model yang dibangun dapat memecahkan permasalahan yang ada (pragmatis) dan dapat diimplementasikan dalam mendukung pengelolaan DAS yang terpadu, mandiri dan berkelanjutan.