Luas (Ha) L ms (km) h10. aws (%) L c (km) ars (%) h 85 (m) SubDAS. (m)

dokumen-dokumen yang mirip
APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO

KAJIAN KARAKTERISTIK DAS (Studi Kasus DAS Tempe Sungai Bila Kota Makassar)

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN... iii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO

KALIBRASI PARAMETER TERHADAP DEBIT BANJIR DI SUB DAS SIAK BAGIAN HULU

LAMPIRAN. persentase rata-rata kedap air 2)

Pemodelan kejadian banjir daerah aliran sungai Ciliwung hulu dengan menggunakan data radar

BAB IV ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena

PEMODELAN HUJAN-DEBIT MENGGUNAKAN MODEL HEC- HMS DI DAS SAMPEAN BARU

BAB V ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

PEMODELAN HUJAN-DEBIT MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS DI DAS SAMPEAN BARU

BAB IV ANALISA HIDROLOGI

KAJIAN HUJAN ALIRAN MENGGUNAKAN MODEL HEC HMS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI WURYANTORO WONOGIRI, JAWA TENGAH. Rifai Munajad

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aliran Permukaan 2.2. Proses Terjadinya Aliran Permukaan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Curah Hujan. Tabel 7. Hujan Harian Maksimum di DAS Ciliwung Hulu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP RESPON LIMPASAN DI DAS CILIWUNG HULU PRAHDITIYA RISKIYANTO

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu)

HIDROLOGI DAS CILIWUNG DAN ANDILNYA TERHADAP BANJIR JAKARTA 1

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP HASIL AIR DI DAS CISADANE HULU

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

BAB IV ANALISA Kriteria Perencanaan Hidrolika Kriteria perencanaan hidrolika ditentukan sebagai berikut;

Bab V Analisa dan Diskusi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

KAJIAN SENSITIVITAS PARAMETER MODEL HYDROLOGIC ENGINEERING CENTRE (HEC) - HYDROLOGIC MODELING SYSTEM (HMS)

METODOLOGI PENELITIAN

KALIBRASI MODEL HIDROLOGI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN PADA SUB DAS KAMPAR KANAN DALAM PROGRAM HEC-HMS

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

Hasil dan Analisis. Simulasi Banjir Akibat Dam Break

Kalibrasi Satu Dan Dua Parameter Pada Debit Banjir Di Sub-DAS Rokan Menggunakan Program HEC-HMS

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Modul 3 ANALISA HIDROLOGI UNTUK PERENCANAAN SALURAN DRAINASE

Perencanaan Sistem Drainase Kebon Agung Kota Surabaya, Jawa Timur

METODOLOGI PENELITIAN

3.4.1 Analisis Data Debit Aliran Analisis Lengkung Aliran Analisis Hidrograf Aliran Analisis Aliran Langsung

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY

TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAS (STUDI KASUS DAS TEMPE SUNGAI BILA KOTA MAKASSAR)

PEMODELAN HUJAN-DEBIT PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI MENGGUNAKAN PROGRAM BANTU HEC-HMS (STUDI KASUS PADA KANAL DURI) ABSTRACT

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN KEHILANGAN TANAH DAN SEDIMEN AKIBAT EROSI MENGGUNAKAN MODEL "ANSWERS" DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG HULU, KATULAMPA.

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

KAJIAN SISTEM TANGGAP DARURAT BENCANA BANJIR DENGAN MEMPERKIRAKAN WAKTU PENJALARAN DEBIT PUNCAK BANJIR

Analisa Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Dengan HEC HMS Dan GIS Untuk Mitigasi Bencana

Surface Runoff Flow Kuliah -3

PEMODELAN HIDROLOGI DAERAH ALIRAN SUNGAI TUKAD PAKERISAN DENGAN SOFTWARE HEC-HMS TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Sumber Daya Air, daerah aliran sungai (catchment, basin, watershed)

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. menyimpan semua atau sebagian air yang masuk (inflow) yang berasal dari

DOSEN PENGAMPU : Ir. Nurhayati Aritonang, M.T. TS-A 2015 Kelompok 14

ANALISIS LIMPASAN LANGSUNG MENGGUNAKAN METODE NAKAYASU, SCS, DAN ITB STUDI KASUS SUB DAS PROGO HULU

PERKIRAAN SEBARAN CURVE NUMBER U.S SOIL CONSERVATION SERVICE PADA SUB DAS BRANTAS HULU ABSTRAK

PENERAPAN SISTEM SEMI POLDER SEBAGAI UPAYA MANAJEMEN LIMPASAN PERMUKAAN DI KOTA BANDUNG

Kampus Bina Widya J. HR Soebrantas KM 12,5 Pekanbaru, Kode Pos Abstract

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

Perbandingan Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Das Betara. Jurusan Survei dan Pemetaan, Fakultas Teknik, Universitas IGM 1.

TUGAS AKHIR ANALISIS DEBIT BANJIR DAS ASAM DI KOTA JAMBI

Lampiran 1 Lokasi dan kondisi Banjir Kota Bekasi (Lanjutan)

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tahun Penelitian 2005

PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 3. Hasil simulasi debit Sumberjaya Lampung. Gambar 4. Hasil simulasi debit di Mae Chaem Thailand

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

TUGAS AKHIR ANALISIS ROUTING ALIRAN MELALUI RESERVOIR STUDI KASUS WADUK KEDUNG OMBO

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

Lampiran 1 Analisis hubungan debit aliran dengan tinggi muka air di Sub DAS Melamon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METEDOLOGI PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH KAJIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN DALAM PENGELOLAAN DAS TAMBONG BANYUWANGI BERDASARKAN HSS US SCS

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. paket program HEC-HMS bertujuan untuk mengetahui ketersediaan air pada suatu

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

Tabel 4.5 Parameter morfometri DAS Ciliwung bagian hulu Luas L ms (km) L c (km) aws (%) h 10 (m) h 85 (m) Cibogo 1270,1 6,81 5,78 7,37 532 904 5,46 Ciesek 2514,7 11,15 7,06 11,81 458 1244 7,05 Cisarua 2297,9 13,10 9,11 15,63 591 1540 7,24 Cisukabirus 1704,0 10,98 8,33 16,29 491 1327 7,61 Ciseuseupan 2212,0 8,51 5,08 5,11 354 591 2,90 Tugu 4780,7 11,58 8,39 12,30 598 1169 4,93 ars (%) Dimana, S (n-1)n = kemiringan rata-rata antara dua garis kontur (n-1) dan n yang saling berdekatan dalam m/m, A (n-1)n = luas areal antara dua garis kontur (n-1) dan n dalam m 2, A = Luas subdas dalam m 2. Kemiringan sungai rata-rata dihitung dengan metode faktor kemiringan 85-10 (the 85-10 slope factor method), yaitu kemiringan antara 10% sampai 85% jarak sungai yang diukur dari keluarannya (Seyhan 1977). Persamaan yang digunakan adalah: h ars = (0,75) 85 h10 L ms dengan h 85 adalah ketinggian pada 85% jarak sungai dalam meter, dan h 10 adalah ketinggian pada 10% jarak sungai dalam meter. V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Presipitasi Data curah hujan dan tinggi muka air yang keduanya diperoleh dari pencatatan secara otomatis dipilih berdasarkan pada ketentuan bahwa hidrograf yang terjadi mempunyai puncak tunggal. Dari data curah hujan dan tinggi muka air yang dikumpulkan Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung Cisadane, terpilih sebanyak 9 kasus kejadian berpasangan selama tahun 2004. Curah hujan kumulatif dengan selang waktu 30 menit dan waktu kejadiannya tertera pada Lampiran 4. Metode analisis presipitasi yang digunakan sebagai salah satu masukan HEC-HMS adalah metode user gage weights, yaitu menentukan bobot curah hujan untuk setiap satu titik pengamatan sebagai dasar perhitungan curah hujan wilayah. Bobot curah hujan wilayah dalam penelitian ini dihitung berdasarkan poligon Thiessen. bobot poligon Thiessen pada masing-masing subdas ditunjukkan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Bobot poligon Thiessen pada masing-masing subdas di DAS Ciliwung bagian hulu Bobot Tiap Stasiun Gunung Cilember Citeko Gadog Mas Cibogo 0,23 0,69 0,08 - Ciesek 0,75-0,15 0,10 Cisarua 0,15 0,61-0,24 Cisukabirus 0,07 0,82 0,11 - Ciseuseupan 0,08 0,07 0,85 - Tugu 0,13 0,03-0,84 5.2 Bilangan Kurva dan Impervious Area SCS (Soil Conservation Service) telah mengembangkan indeks yang disebut run off curve number, atau yang lebih dikenal dengan bilangan kurva (CN). Bilangan ini menyatakan pengaruh hidrologi bersama antara tanah, penggunaan lahan, perlakuan terhadap tanah, keadaan hidrologi, dan kandungan air sebelumnya terhadap pendugaan volume aliran permukaan. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu dibagi dalam lima jenis penggunaan lahan yaitu hutan, tegalan, kebun, sawah dan pemukiman. Kemudian Fakhrudin (2003) mengklasifikasikan penggunaan lahan tersebut berdasarkan klasifikasi U.S Soil Conservation Service (1971) sehingga didapatkan pengelompokan sebagai berikut: 1. Hutan pinus dan hutan rakyat diklasifikasi kedalam hutan kondisi hidrologi buruk. 14

Tabel 5.2 Total curah hujan 5 hari sebelum kejadian hujan terpilih di DAS Ciliwung bagian hulu Curah Hujan (mm) 10 /1 18/1 9/2 18/3 27/5 14/7 16/9 30/11 14/12 Cibogo 46 43 60 78 37 26 42 66 108 Ciesek 77 14 74 70 76 55 68 22 183 Cisarua 30 56 50 69 25 29 32 69 111 Cisukabirus 43 50 57 80 29 22 31 74 88 Ciseuseupan 170 65 147 164 112 82 43 97 193 Tugu 25 68 41 47 22 56 13 51 149, data dari Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane 2004 2. Kebun atau kebun campuran yang ditanami nangka, mangga, kelapa, bambu, kaliandra, lamtoro dan sejenisnya diklasifikasikan ke dalam leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman padang rumput menurut kontur dan berkondisi hidrologi buruk. 3. Pemukiman DAS Ciliwung bagian hulu disetarakan dengan pemukiman yang ratarata kedap air 65%. 4. Sawah berteras menurut kontur diklasifikasikan ke dalam padi-padian berteras baik. 5. Tegalan dengan tanaman semusim yang ditanami jagung, singkong, padi gogo diklasifikasikan ke dalam tanaman semusim menurut lereng dengan kondisi buruk. Kondisi hidrologi tanah ditunjukkan berdasarkan pembagian kelompok hidrologi tanah (HSG) yang ditentukan dari jenis tanah. Berdasarkan peta tanah semi detail 1992, kelompok hidrologi tanah di DAS Ciliwung bagian hulu ditentukan dengan mengikuti pengelompokkan menurut Fakhrudin (2003). Kondisi kandungan air tanah (KAT) sebelumnya ditentukan berdasarkan jumlah curah hujan pada lima hari sebelum kasus kejadian hujan terpilih (Tabel 5.2) dan dianggap berlangsung pada musim tumbuh. Nilai bilangan kurva pada masing-masing subdas dihitung berdasarkan bobot luas setiap bentuk penggunaan lahan menurut kelompok hidrologi tanahnya. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata bilangan kurva di DAS Ciliwung bagian hulu pada tahun 2004 sebesar 72,14 pada kondisi rata-rata atau KAT II. Selain bilangan kurva, luas daerah impervious juga mempengaruhi volume limpasan dari suatu DAS. Berdasarkan faktor imperviousness pada Tabel 3.4, DAS Ciliwung bagian hulu memiliki luas wilayah impervious sebesar 10,3% atau sekitar 15,24 km 2. Tabel 5.3 menunjukkan nilai bilangan kurva dan imperviousness pada tiap subdas di DAS Ciliwung bagian hulu pada kondisi KAT I, II dan III. Tabel 5.3 Nilai bilangan kurva dan imperviousness tiap di DAS Ciliwung bagian hulu tahun 2004 CN CN CN Imp I II III (%) Cibogo 68,06 83,53 92,11 12,73 Ciesek 59,97 78,11 89,14 10,78 Cisarua 41,35 62,67 79,43 10,60 Cisukabirus 41,71 63,01 79,67 8,50 Ciseuseupan 64,78 81,41 90,97 12,41 Tugu 48,88 69,48 83,96 8,96 5.3 Penyusunan Basin Model Penyusunan basin model merupakan salah satu tahap penting dalam analisa sistem hidrologi menggunakan HEC-HMS. Dalam basin model, perlu disusun konfigurasi yang menggambarkan representasi fisik dari suatu DAS berdasarkan elemen-elemen hidrologi. Terdapat tujuh elemen hidrologi yang tersedia dalam HEC-HMS, yaitu Subbasin, Reach, Reservoir, Junction, Diversion, Source, dan Sink. Pada penelitian ini elemen hidrologi yang digunakan untuk mengkonfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu terdiri dari 6 subbasin, 4 reach, 4 junction dan 1 sink, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1. Penyusunan basin model juga mencakup perhitungan pada 4 submodel utama, yaitu loss model, direct runoff model, baseflow model, serta routing model. Metode dan parameter yang diperlukan sebagai masukan basin model tertera pada Tabel 5.4. Semua parameter masukan HEC-HMS dihitung pada masingmasing subdas untuk setiap kasus kejadian hujan terpilih. 15

Nama Elemen Hidrologi Cibogo Subbasin Ciesek Subbasin Cisarua Subbasin Cisukabirus Subbasin Ciseuseupan Subbasin Tugu Subbasin J-1 Junction J-2 Junction J-3 Junction J-4 Junction Outlet Hulu Sink R-1 Reach R-2 Reach R-3 Reach R-4 Reach Gambar 5.1 Konfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu dalam basin model HEC-HMS Tabel 5.4 Metode dan parameter masukan HEC-HMS Model Metode Parameter Loss Direct Runoff Baseflow Routing SCS Loss Model Snyder UH SCS UH Clark UH Baseflow Recession Muskingum routing Initial abstraction Bilangan kurva Imperviousness Time lag Snyder Koefisien puncak Time lag SCS Waktu konsentrasi Koefisien simpanan Aliran dasar awal Konstanta resesi Aliran threshold Travel time Faktor pembobot 1) Loss Model Curah hujan yang jatuh pada suatu DAS akan mengalami proses infiltrasi, intersepsi, evaporasi dan bentuk kehilangan lainnya sebelum menjadi limpasan. Loss model menghitung besar curah hujan efektif dari pengurangan total curah hujan yang turun dengan precipitation loss. Penelitian ini menggunakan metode SCS, dimana merupakan metode yang sederhana, terukur, serta stabil (USACE 2000). Bedient dan Huber (1988) menyatakan bahwa pendekatan SCS sudah diterapkan dengan baik di beberapa negara, karena metode ini mempertimbangkan bentuk penggunaan lahan, sifat hidrologi tanah dan dapat dilakukan pada daerah yang tidak terukur. Parameter SCS yang diperlukan sebagai masukan dalam loss model adalah initial abstraction, bilangan kurva, dan persentase imperviousness. Initial abstraction (Ia) merupakan fungsi dari penggunaan dan penutupan lahan serta kondisi hidrologi seperti intersepsi, infiltrasi, depression storage serta kelembaban tanah terdahulu. Dalam metode SCS, nilai Ia dihitung berdasarkan potential maximum retention dan bilangan kurva. Penentuan bilangan kurva dan luas daerah impervious mengikuti perhitungan seperti pada Bab 5.2. parameter loss model pada setiap kejadian hujan terpilih disajikan dalam Lampiran 5. 2) Direct Runoff Model Tiga metode hidrograf sintetik, Snyder, SCS dan Clark, dipilih dalam penelitian ini untuk direct runoff model. Ini dilakukan agar terlihat perbandingan antar hidrograf aliran model yang dihasilkan ketiga metode hidrograf satuan. Rekapitulasi hasil perhitungan parameter direct runoff model masing-masing subdas tertera pada Tabel 5.5. Parameter masukan yang diperlukan untuk metode Snyder meliputi time lag (t l ) dan koefisien puncak (C p ). Time lag diartikan sebagai interval waktu antara pusat massa hujan dengan saat terjadinya debit puncak. Berdasarkan hasil perhitungan, time lag Snyder rata-rata tiap subdas sebesar 3,4. Koefisien C p diperoleh dengan cara trial-error 16

pada saat kalibrasi. Nilai awal yang digunakan adalah 0,8. Selain perhitungan hujan efektif, SCS juga mengembangkan hidrograf satuan sintetik yang didasarkan atas hidrograf tak berdimensi (dimensionless). Dalam HEC-HMS, metode SCS hanya memerlukan paramater time lag sebagai masukan. Berdasarkan hasil perhitungan, time lag SCS rata-rata tiap subdas sebesar 1,9. Metode hidrograf satuan Clark memerlukan waktu konsentrasi (T c ) dan koefisien simpanan (R) sebagai parameter masukan. Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan gelombang air untuk mengalir dari titik terjauh dalam DAS menuju outlet, atau disebut juga waktu ekuilibrium dimana aliran keluar sama dengan aliran yang masuk ke dalam DAS. Berdasarkan persamaan waktu konsentrasi menurut Johnston & Cross (1949, dalam USACE 2000), nilai T c rata-rata tiap subdas diperoleh sebesar 3,8. Parameter R dapat dihitung sebagai aliran di titik inflection point pada bagian falling limb dari suatu hidrograf dibagi dengan fungsi waktu terhadap aliran. Berdasarkan hidrograf aliran dari stasiun debit Katulampa, didapatkan rata-rata R sebesar 3,38. Nilai R pada masingmasing subdas diasumsikan proporsional dengan luas tiap subdas. Tabel 5.5 Nilai parameter direct runoff model pada masing-masing subdas Snyder SCS Clark Tlag () Cp Tlag () Tc () Cibogo 3,01 0,8 1,34 3,17 0,29 Ciesek 3,45 0,8 1,64 3,80 0,58 Cisarua 3,75 0,8 2,62 4,09 0,53 Cisukabirus 3,44 0,8 1,78 3,70 0,39 Ciseuseupan 3,27 0,8 2,12 4,15 0,51 Tugu 3,66 0,8 1,92 4,24 1,09 3) Baseflow Model Parameter aliran dasar awal, konstanta resesi dan aliran threshold pada baseflow model, ditentukan berdasarkan hidrograf aliran pengamatan dari SPAS Katulampa. Kontribusi aliran dasar dan konstanta resesi pada masingmasing subdas diasumsikan proporsional dengan luas tiap subdas. Persamaan yang digunakan untuk konstanta resesi, k adalah: ln Qt ln Q k = exp t o R dengan Q t adalah aliran dasar pada periode t, dan Q o adalah aliran dasar awal (pada t=0). Dari hidrograf pengamatan Katulampa pada kejadian hujan terpilih, didapatkan nilai k ratarata sebesar 0,96. Aliran threshold merupakan aliran saat dimulainya kurva resesi pada sisi yang menurun dari sebuah hidrograf. Pada HEC- HMS, aliran threshold ditetapkan sebagai perbandingan terhadap aliran puncak (ratio to peak). Ratio to peak dari hidrograf pengamatan Katulampa berkisar antara 0,18 sampai 0,69 dengan rata-rata sebesar 0,38. 4) Routing Model Perhitungan rambatan gelombang aliran sungai (routing) dalam HEC-HMS dituangkan pada routing model (channel flow model). Penelitian ini menggunakan metode Muskingum. Parameter yang diperlukan adalah travel time dan faktor pembobot. Travel time (k) atau waktu tempuh aliran dari titik inlet sampai outlet, ditentukan melalui hubungan antara kecepatan aliran dengan panjang sungai. Berdasarkan konfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu, proses routing terbagi menjadi 4 elemen atau reach, yaitu R-1, R-2, R-3 dan R- 4. Keempat elemen tersebut berada pada satu subdas Ciseuseupan. Menurut penelitian Irianto (2000), rata-rata lebar atas permukaan saluran subdas Ciseuseupan sebesar 24,3 m. Slope rating curve di SPAS Katulampa diketahui sebesar 30,35 sehingga kecepatan aliran untuk keempat reach diperkirakan sebesar 1,25 m/s. Berdasarkan data tersebut, parameter k untuk R-1, R-2, R-3 dan R-4 berturut-turut adalah 0,4, 0,29, 0,23 dan 0,98. Faktor pembobot (x) dalam metode Muskingum berkisar antara 0 sampai 0,5 dengan rata-rata 0,2 untuk aliran alami. Pada penelitian, penentuan nilai x diperoleh dari hasil trial-error pada saat kalibrasi, dengan menggunakan nilai rata-rata sebagai nilai masukan awal. 5.4 Hidrograf Aliran Pengamatan Hidrograf aliran pengamatan diperoleh dari data tinggi muka air dengan menggunakan persamaan regresi atau lengkung kalibrasi. Penelitian ini menggunakan data tinggi muka air dari stasiun pengamat arus sungai (SPAS) Katulampa. Persamaan regresi yang dipakai oleh Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung Cisadane untuk SPAS Katulampa adalah sebagai berikut: 17

Q = 28,984( TMA 0,14) Atau dalam bentuk regresi linier: Q = 30,347TMA 10,839 1,911 dimana, Q adalah debit aliran (m 3 /detik) dan TMA adalah tinggi muka air (m). Hidroraf aliran pengamatan ini diperlukan untuk kalibrasi. Parameter hidrograf aliran yang diukur dalam penelitian adalah debit puncak (Qp) volume aliran puncak (Vp) dan waktu mencapai puncak (Tp). Nilai ketiga parameter tersebut dari hidrograf pengamatan SPAS Katulampa tertera pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Parameter hidrograf pengamatan Katulampa pada kasus kejadian hujan terpilih Tgl CH Wilayah (mm) Qp (m 3 /s) Vp (1000m 3 ) Tp () 10 /1 20,58 31,24 1130,18 3 18/1 44,43 53,64 1779,19 3 9/2 23,55 36,61 1191,76 2,5 18/3 16,26 16,30 1199,57 3 27/5 15,72 18,92 949,07 3 14/7 19,15 17,16 551,99 3 16/9 18,39 29,54 877,88 3 30/11 22,77 19,38 963,23 3 14/12 17,77 20,77 994,64 2, data dari Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane 2004 5.5 Hidrograf Aliran HEC-HMS Terdapat tiga jenis hidrograf aliran HEC- HMS yang dihitung dalam penelitian, yaitu hidrograf aliran Snyder, SCS dan Clark. Untuk mendapakan hidrograf aliran hasil model diperlukan data-data sebagai berikut: 1. Data curah hujan harian sesaat minimal dari satu titik pengamatan. Dalam penelitian ini digunakan data curah hujan per 30 menit dari Stasiun Gadog dan Gunung Mas. Sebagai tambahannya adalah data curah hujan kumulatif harian dari Stasiun Cilember dan Citeko. 2. Bobot luas subdas yang diwakili tiap stasiun curah hujan. Dalam penelitian ini, bobot dihitung berdasarkan metode poligon Thiessen. 3. Luas wilayah masing-masing subdas. 4. Semua parameter yang terdapat dalam basin model, meliputi loss, direct runoff, serta channel flow model. 5. Control specification, yaitu input waktu (hari dan ) kapan dimulai dan berakhirnya eksekusi (running) dari program, termasuk interval waktu yang digunakan. Interval waktu atau biasa disebut computation step menentukan resolusi hasil model yang dihitung selama proses running berdasarkan interpolasi linier. Penelitian ini menggunakan resolusi 30 menit untuk setiap kasus kejadian hujan terpilih. 6. Untuk keperluan kalibrasi, diperlukan data debit aliran sesaat minimal dari satu titik pengamatan. Dalam penelitian ini digunakan data debit aliran per dari stasiun Katulampa. Dari data masukan diatas, hidrograf aliran HEC-HMS dari metode hidrograf satuan Snyder, SCS dan Clark dapat diketahui (Lampiran 7). Hampir semua hidrograf hasil HEC-HMS menghasilkan aliran yang lebih tinggi dari hidrograf pengamatan. Ini terlihat dari parameter debit puncak, volume puncak dan waktu mencapai puncak yang cukup berbeda dibandingkan nilai pengamatannya. Perbedaan kemungkinan disebabkan oleh ketidaktepatan nilai parameter yang digunakan sebagai data masukan model. Untuk itu diperlukan adanya kalibrasi agar hasil yang diberikan model lebih baik atau mendekati nilai pengamatan. HEC-HMS menyediakan fitur optimization manager yang berguna untuk mengestimasi semua nilai parameter secara otomatis. Untuk melakukannya diperlukan data debit hasil pengamatan. Metode yang digunakan dalam HEC-HMS adalah objective functions dan search methods. Nilai parameter kalibrasi dalam penelitian ini menggunakan kriteria peak weighted RMS error objective function dengan algoritma univariate gradient (Lampiran 8). Hidrograf aliran HEC-HMS menggunakan parameter terkalibrasi ditunjukkan pada Lampiran 9. Parameter Q p, V p dan T p dari hidrograf HEC-HMS berdasarkan parameter masukan awal dan parameter hasil kalibrasi, dengan nilai pengamatannya ditunjukkan pada Lampiran 10. Perbedaan cukup signifikan didapat dari hidrograf aliran hasil model setelah dikalibrasi. Dari 9 kasus kejadian hujan terpilih, didapatkan nilai Q p terbesar 102,23 m 3 /s pada metode Clark, dan terkecil 16,83 m 3 /s pada metode Snyder. Nilai V p terbesar juga dihasilkan hidrograf Clark, yaitu 3.172.630 m 3 dan terkecil 699.190 m 3 pada metode Snyder. Nilai T p pada hidrograf aliran model berkisar antara 3-6,5. 18

5.6 Pengujian Model Pengujian model dilakukan dengan cara membandingkan hidrograf hasil pengamatan dengan hidrograf aliran yang dihasilkan model HEC-HMS. Pengujiannya dilakukan dengan uji kemiripan atau Uji-F menggunakan persamaan (Nash dan Sutcliffe 1970): F n i= 1 = 1 n [ Qobs ( t) Qmod el ( t) ] 2 [ Qmod el ( t) Qobs ] i= 1 dimana, F = koefisien kemiripan, F 1 Q obs (t) = debit pengamatan pada waktu ke t (m 3 /s), Q model (t) = debit hasil model pada waktu ke t (m 3 /s), Q obs = 2 debit pengamatan rata-rata (m 3 /s). Berdasarkan hasil uji kemiripan, model Clark, SCS maupun Snyder memberikan nilai F yang hampir sama. Kisaran nilai F sebear 0,6-0,7 menandakan kemiripan antara model dengan pengamatan adalah sedang. Dibandingkan metode lainnya, metode SCS memiliki nilai F tertinggi, menunjukkan bahwa metode SCS adalah yang paling sesuai untuk DAS Ciliwung hulu. Tabel 5.7 Nilai F hasil pengujian model Clark, SCS dan Snyder Tgl F Clark SCS Snyder 10-Jan 0,64 0,72 0,75 18-Jan 0,49 0,40 0,30 9-Feb 0,40 0,43 0,34 18-Mar 0,67 0,61 0,66 27-May 0,82 0,88 0,82 14-Jul 0,71 0,75 0,67 16-Sep 0,97 0,98 0,87 30-Nov 0,87 0,91 0,87 14-Dec 0,63 0,67 0,65 Rataan 0,69 0,71 0,66 Pengujian model juga dilakukan dengan metode grafis. Parameter Q p, V p dan T p hasil model dibandingkan dengan pengamatan menggunakan Grafik 1:1 seperti pada Gambar 5.2-5.4. Hasilnya menunjukkan bahwa model dapat memberikan nilai Q p dan V p yang cukup mendekati pengamatan, baik metode Clark, SCS ataupun Snyder, tetapi tidak demikian dengan T p. Model tidak dapat memberikan nilai T p yang mendekati pengamatan pada ketiga metode hidrograf satuan. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 model Qp (m 3 /s) Clark SCS Snyder 10 obs 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 3500 3000 2500 2000 1500 1000 7 6 5 4 3 2 1 500 Gambar 5.2 Grafik 1:1 antara parameter debit puncak hidrograf aliran HEC-HMS dengan pengamatan model Vp (1000 m 3 ) Clark SCS Snyder obs 0 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 Gambar 5.3 Grafik 1:1 antara parameter volume puncak hidrograf aliran HEC-HMS dengan pengamatan model Tp (hr) obs 0 0 1 2 3 4 5 6 7 Gambar 5.4 Grafik 1:1 antara parameter waktu puncak hidrograf aliran HEC-HMS dengan pengamatan Clark SCS Snyder 5.7 Kepekaan HEC-HMS terhadap Parameter Bilangan Kurva Semua model dalam HEC-HMS baik model Snyder, SCS maupun Clark memerlukan parameter bilangan kurva sebagai salah satu data masukannya. Bilangan kurva yang dikatakan mempunyai pengaruh hidrologi bersama antara tanah, penggunaan lahan, perlakuan terhadap tanah, keadaan hidrologi, dan kandungan air tanah sebelumnya, sangat berperan dalam mempengaruhi nilai parameter hidrograf aliran. 19

Berdasarkan hal itu, perlu dikaji kepekaan HEC-HMS terhadap parameter bilangan kurva ditinjau dari nilai parameter hidrograf aliran yang dihasilkan (Q p, V p dan T p ). Kepekaan HEC-HMS terhadap nilai bilangan kurva ditentukan berdasarkan perhitungan selisih antara nilai parameter hidrograf aliran yang dihasilkan HEC-HMS pada KAT kondisi II dengan KAT kondisi hujan terpilih terhadap parameter hidrograf aliran pengamatan. Persamaan yang digunakan dalam mengukur kepekaan bilangan kurva terhadap debit puncak Q p, adalah sebagai berikut: Q pb Q pc ΔQ p / Q = 100% Q dimana, Q = debit puncak yang dihasilkan hidrograf pengamatan, Q pb = debit puncak yang dihasilkan hidrograf model pada KAT kondisi hujan terpilih, Q pc = debit puncak yang dihasilkan hidrograf model pada KAT kondisi II. Dengan menggunakan persamaan yang sama, kepekaan bilangan kurva terhadap parameter volume puncak dan waktu puncak juga dapat ditentukan. kepekaan bilangan kurva terhadap parameter Q p, V p dan T p tertera pada Tabel 5.8. menunjukkan bahwa model HEC-HMS, baik Snyder, SCS maupun Clark, cukup peka terhadap parameter bilangan kurva, terutama dilihat dari parameter Q p dan V p yang dihasilkan model. Beberapa nilai T p tidak berubah terhadap perubahan bilangan kurva, ditunjukkan dengan nilai nol pada T p /T. Ini berarti perubahan bilangan kurva berpengaruh signifikan terhadap nilai Q p, V p yang dihasilkan HEC-HMS, tetapi tidak selalu terjadi perubahan pada nilai T p. Rata-rata absolut dari nilai Q p /Q, V p /V, dan T p /T yang dihasilkan model Snyder, SCS dan Clark hampir tidak jauh berbeda. Ini menunjukkan ketiga model mempunyai kepekaan yang hampir sama terhadap bilangan kurva, baik dilihat dari nilai Q p, V p maupun T p. Tabel 5.8 Rasio selisih nilai Q p, V p dan T p yang dihasilkan HEC-HMS pada KAT hujan terpilih dengan KAT kondisi II terhadap Q p, V p dan T p pengamatan Tgl 10/1 18/1 9/2 18/3 27/5 14/7 16/9 30/11 14/12 Ratarata absolut Metode ΔQ Q p ΔV V p ΔT T p Clark 2,69 11,58 16,67 SCS 7,07 9,75 0,00 Snyder -14,82 6,10-16,67 Clark 27,61 37,06-16,67 SCS 8,00 16,24-16,67 Snyder -15,31 18,45 50,00 Clark 24,15 21,69 0,00 SCS 24,15 15,77 0,00 Snyder -6,45 12,04 20,00 Clark 31,72 20,02-16,67 SCS 35,28 17,23 0,00 Snyder 26,63 26,12-16,67 Clark 18,66 32,21-16,67 SCS 40,96 28,90 0,00 Snyder 24,47 30,82 0,00 Clark 7,81 13,08-16,67 SCS 9,44 0,48 0,00 Snyder 15,21 17,43 16,67 Clark 26,13 23,57-33,33 SCS 28,50 25,57-16,67 Snyder 42,28 32,11-16,67 Clark 14,96 16,38 16,67 SCS 19,09 17,08 16,67 Snyder 13,52 10,14 0,00 Clark 18,68 25,50 0,00 SCS 23,50 32,33 50,00 Snyder 27,68 34,23-25,00 Clark 19,16 22,34 14,81 SCS 21,78 18,15 11,11 Snyder 20,71 20,83 17,96 5.8 Simulasi Hidrograf Aliran Simulasi hidrograf aliran dilakukan untuk mengetahui perkiraan debit yang sering menyebabkan terjadinya banjir berdasarkan prediksi perubahan penggunaan lahan dan curah hujan harian maksimum. Penggunaan lahan DAS Ciliwung bagian hulu tahun 2010 diprediksi berdasarkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1996 dan 2004. (Tabel 5.9). 20

Tabel 5.9 Penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1996 dan 2004 serta prediksi tahun 2010 Tipe Penggunaan Lahan 1996 2004 Perubahan Laju (Ha/Th) 2010 Hutan 4973,4 3402,8-1570,6-196,3 2224,9 Kebun 3083,5 2235,4-848,1-106,0 1599,3 Pemukiman 1878,7 3869,6 1991,0 248,9 5362,9 Sawah 1771,6 3085,6 1313,9 164,2 4071,0 Tegalan 2835,1 1948,9-886,2-110,8 1284,2 Total 14542,3 14542,3 0,0 0,0 14542,3 Hujan harian maksimum DAS Ciliwung bagian hulu ditetapkan dengan menggunakan data historis hujan selama 18 tahun (1985-2002) pada tiga titik stasiun pengamatan, Citeko, Gunung Mas dan Katulampa. Pada penelitian ini, persamaan untuk menduga hujan harian maksimum pada berbagai periode ulang menggunakan analisis frekuensi Chow (1964), dengan menganggap data mengikuti distribusi nilai ekstrim Gumbel tipe I. Analisis frekuensi dilakukan dengan menggunakan data curah hujan harian maksimum wilayah, yang dihasilkan berdasarkan bobot luas poligon Thiessen. Hasil perhitungan menunjukkan nilai rata-rata hujan harian maksimum wilayah DAS Ciliwung bagian hulu sebesar 76,5 mm dengan standar deviasi 24,22 mm. Hujan harian maksimum wilayah pada beberapa periode ulang disajikan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10 Curah hujan harian maksimum wilayah DAS Ciliwung bagian hulu T (Thn) K T X T 1.01-1,64 37 2-0,16 73 5 0,72 94 10 1,30 108 20 1,87 122 25 2,04 126 50 2,59 139 100 3,14 152, data dari BMG Distribusi hujan harian per diturunkan berdasarkan persentase rata-rata hujan harian per dari Stasiun Gunung Mas dan Gadog pada beberapa kejadian hujan tahun 2004. Rata-rata durasi hujan berdasarkan data yang dianalisis adalah sebesar 3-4. Persentase rata-rata distribusi hujan per durasi 2, 3 dan 4 kedua stasiun ditampilkan pada Tabel 5.11. Tabel 5.11 Rata-rata persentase distribusi hujan harian durasi 2, 3 dan 4 di Stasiun Gadog dan Gunung Mas Persentase CH (%) Jam Gadog Gn Mas ke- 2 3 4 2 3 4 1 54 57 59 61 64 44 2 46 25 15 39 27 23 3-18 13-9 22 4 - - 13 - - 11, data dari Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane Pada penelitian ini simulasi dilakukan menggunakan data curah hujan harian maksimum wilayah pada periode ulang 5, 10 dan 20 tahun, dari Stasiun Citeko, Gunung Mas dan Katulampa. Distribusi hujan harian per Stasiun Katulampa dianggap sama dengan distribusi hujan harian Stasiun Gadog, yang merupakan stasiun terdekat. Parameter masukan HEC-HMS yang digunakan dalam simulasi adalah nilai rata-rata parameter hasil kalibrasi yang telah dilakukan sebelumnya (Lampiran 8). Berdasarkan parameter masukan tersebut, debit puncak, volume puncak dan waktu puncak hasil simulasi ditunjukkan pada Tabel 5.12. Tabel 5.12 Perkiraan debit puncak, volume puncak dan waktu puncak hidrograf model HEC-HMS pada tahun 2010 Periode Ulang Metode Q p (m 3 ) V p (1000 m 3 ) T p () 5 Tahun Clark 115,6 4234,0 5 (Hujan SCS 114,6 4217,2 4 94 mm) Snyder 96,3 3644,5 5 10 Tahun Clark 147,1 5371,3 5 (Hujan SCS 146,1 5363,1 4 108 mm) Snyder 122,8 4614,5 5 20 Tahun Clark 181,3 6620,3 5 (Hujan SCS 180,1 6596,6 4 122 mm) Snyder 151,2 5656,4 5 21