BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kepuasan Kerja Stephen P. Robbins (2008:40) kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Ardana, dkk. (2008;24) Kepuasan kerja yang tinngi sangat mempengaruhi kondisi kerja dan memberikan keuntungan nyata tidak saja bagi pekerja tetapi juga bagi manajemen dan organisasi. Luthans (2006;243) Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Handoko (2008:193), kepuasan kerja adalah keadaan emosional karyawan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merupakan hal yang paling memadai dikonseptualisasikan sebagai evaluasi personalistik kondisi yang ada pada pekerjaan seperti pekerjaan dan pengawasan atau hasil yang timbul sebagai akibat dari memiliki pekerjaan seperti gaji dan keamanan (Gunduz et al, 2012).Martoyo (2000:142) menyatakan kepuasan kerja adalah keadaan emosional karyawan dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa karyawan dari perusahaan dengan tingkat balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan. 12
Setiap karyawan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik individunya karena setiap individu memiliki harapan dan keinginan yang berbeda. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya. Kepuasan kerja umumnya diklasifikasikan ke dalam dua dimensi yaitu kepuasan internal dan kepuasan eksternal. Kepuasan kerja internal adalah keinginan internal untuk melakukan tugas tertentu. Contohnya karyawan melakukan tugas tertentu karena tugas tersebut memberikan mereka kesenangan, mengembangkan keterampilannya, atau secara moral tugas tersebut adalah hal yang benar untuk dilakukan (Gunduzet al,2012).kepuasan kerja internal terkait dengan motivasi internal, faktor eksternal didefinisikan sebagai manfaat eksternal yang diberikan kepada profesionalis dengan fasilitas atau organisasi, faktor eksternal merupakan bagian dari individu namun tidak berhubungan dengan tugas yang mereka tampilkan. Contohnya termasuk uang, penilaian yang baik, dan manfaat lainnya. Ketika termotivasi secara eksternal, individu tidak terlibat dalam aktivitas kesenangan melainkan melakukannya untuk mendapatkan beberapa jenis hadiah dari luar kegiatan itu sendiri. Hasibuan (2003;117) Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah. a. Gaji Gaji merupakan besarnya upah yang diterima oleh karyawan secara tetap maupun tidak tetap dan merupakan imbalan terhadap kinerja yang telah diberikan karyawan pada organisasi, gaji termasuk di dalamnya : gaji pokok, kompensasi, 13
dan tunjangan. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti. b. Pekerjaan itu sendiri Dimana ini memberikan kepada individu-individu tugas yang menarik, kesempatan belajar dan peluang untuk menerima tanggung jawab. Nilai dari pekerjaan itu sendiri merupakan sumber kepuasan. c. Kesempatan promosi Yaitu peluang peningkatan dalam hirarki yang memiliki dampak yang bervariasi terhadap kepuasan kerja. Hal ini disebabkan promosi memerlukan bentuk yang berbeda dan mempunyai variasi imbalan yang menyertainya. d. Supervisi Merupakan kemampuan atasan untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku. Supervisi juga merupakan sumber kepuasan yang cukup penting. e. Rekan Kerja Suatu kondisi dimana rekan-rekan karyawan secara teknis mampu dan secara sosial bersifat mendukung. Sifat dari kelompok kerja akan mempunyai dampak terhadap kepuasan kerja. Rekan kerja yang ramah dan kooperatif adalah sumber kepuasan kerja bagi karyawan. Suatu kondisi dimana rekan-rekan karyawan secara teknis mampu dan secara sosial bersifat mendukung. Sifat dari kelompok kerja akan mempunyai dampak terhadap kepuasan kerja. Rekan kerja yang ramah dan kooperatif adalah sumber kepuasan kerja bagi karyawan. 14
2.1.2 Keterlibatan Kerja Ansel dan Sutarto Wijono (2012) Keterlibatan kerja akan meningkat apabila anggota dalam organisasi menghadapi suatu situasi yang penting untuk didiskusikan bersama. Salah satu situasi yang perlu didiskusikan bersama misalnya adalah kebutuhan dan kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh anggota. Rivai dan Mulyadi (2012:246) menyatakan bahwa keterlibatan kerja adalah derajat sejauh mana seseorang memihak secara psikologis terhadap pekerjaannya dan menganggap tingkat kinerjanya penting untuk harga diri. Aryaningtyas dan Lieli Suharti (2013)Orang dengan keterlibatan kerja tinggi mem-fokuskan sebagian besar perhatian pada pekerjaan mereka sehingga menjadi benar-benar tenggelam dan menikmati pekerjaan tersebut.keterlibatan kerja menggambarkan bagaimana para pekerja mengalami pekerjaan mereka di tempat kerja.robbins dan Judge ( 2008: 100) tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan pemberian wewenang yang tinggi benar-benar berhubungan dengan kewargaan organisasional dan kinerja perusahaan. Keterlibatan kerja memiliki dua dimensi, yaitu: a. Performance self-esteem contingency Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self-esteem). Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari 15
tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga (Harris & Hartman, 2002). b. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009). 2.1.3 Self-efficacy Yakin danoya Erdil (2012) self-efficacy merupakan prediktor penting dari penyesuaian dan sejauh mana karyawan menggunakan strategi perilaku. Self Efficacy adalah penilaian diri terhadap kemampuan diri untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang ditetapkan. Self efficacy memberikan dasar bagi motivasi manusia, kesejahteraan, dan prestasi pribadi (Hidayat 2011:156).Self-efficacy dapat menciptakan spiral yang positif yaitu orang dengan self-efficacy diri yang tinggi akan menjadi lebih terlihat dalam tugas mereka dan kemudian, pada gilirannya, akan meningkatkan kinerja, yang mana lebih jauh lagi akan meningkatkan efikasi (Stephen.P Robbins,2015:139). Akhtar et al. (2012) self-efficacy adalah seseorang merasa bahwa dirinya dapat melakukan pekerjaan dengan memanfaatkan kemampuannya atautindakannya. 16
Self-efficacy pada dasarnya mengacu pada kemampuan yang dirasakan atau kemampuan untuk melakukan tugas tertentu. Luthans (2005;338) Self-efficacy adalah variable yang sangat tergantung pada tugas spesifik dan diproses secara kognitif oleh individu sebelum usaha dilakukan. Bandura (1977) self-efficacy memiliki tiga dimensi, yaitu: a. magnitude (tingkat kesulitan); yakni berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas karyawan. Jika karyawan dihadapkan pada tugas - tugas yang disusun menurut tingkat kesulitan yang ada, maka pengharapannya akan jatuh pada tugas - tugas yang sifatnya mudah, sedang dan sulit. b. Generality (luas bidang perilaku); yakni menjelaskan keyakinan karyawan untuk menyelesaikan tugas -tugas tertentu dengan tuntas dan baik. Setiap karyawan memilki kenyakinan kemampuan yang berbeda - beda sesuai dengan ruang lingkup tugas yang berbeda pula c. Strength (kekuatan keyakinan); yakni berhubungan dengan derajat kemantapan karyawan terhadap keyakinannya. dimana makin tinggi taraf kesulitan tugas yang dihadapi karyawan maka akan makin lemah keyakinan yang dirasakan karyawan untuk menyelesaikannya. 2.1.4 Social Congnitive Theory (SCT) Social Congnitive Theory (SCT) atau Teori kognitif sosial pada awalnya dirancang untuk membantu menjelaskan pengembangan minat, pilihan kinerja dalam karir dan domain pendidikan. SCT menyatakan bahwa self-efficacy merupakan penentu seberapa baik seseorang berpikir dan melakukan pekerjaannya 17
(Luthans,2006:338). Bandura (dalam Woolfolk, 2009) teori sosial kognitif adalah sebuah teori yang memberikan pemahaman, prediksi, dan perubahan perilaku manusia melalui interaksi antara manusia, perilaku, dan lingkungan. Teori ini didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Teori sosial kognitif digunakan untuk mengenal, memprediksi perilaku dan mengidentifikasi metode-metode yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut. Teori ini menjelaskan bahwa dalam belajar, pengetahuan (knowledge), pengalaman pribadi (personal experience), dan karakteristik individu (personal characteristic) saling berinteraksi. Ormrod (2006) dalam teori sosial kognitif terdapat lima asumsi dasar antara lain; seseorang dapat belajar dengan mengamati orang lain, belajar merupakan proses internal yang memiliki kemungkinan mempengaruhi perilaku, perilaku dilakukan untuk mencapai tujuan, perilaku akan secepatnya diterima oleh diri dan dapat menjadi suatu kebiasan. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Self-efficacy terhadap keterlibatan kerja Penelitian yang dilakukan oleh Federici Roger dan Einar M. Skaalvik (2011) yang berjudul Principal self-efficacy and work engagement: assessing a Norwegian Principal Self-Efficacy Scale menyatakan bahwa self-efficacy memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan keterlibatan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Mario et al. (2012) yang berjudul About the Dark and Bright Sides of Self-efficacy: Workaholism and Work Engagement menyatakan bahwa self-efficacy berhubungan 18
signifikan dan positif dengan keterlibatan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Radmand dan Yasser Batoadmand (2015) menunjukkan bahwa self-efficacy berhubungan dengan keterlibatan kerja. Penelitian dari Yakin dan Oya Erdil(2012) yang diadopsi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Self-efficacymemiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan keterlibatan kerja. Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka hipotesis dari penelitian ini: H1: Self-efficacy berpengaruh signifikan dan positif terhadap keterlibatan kerja 2. 2.2 Pengaruh Self-efficacyterhadap kepuasan kerja Karyawan yang memiliki self-efficacy tinggi akan lebih percaya diri dan yakin self-efficacy rendah cenderung mudah putus asa dalam melakukan tugasnya karena tingkat keyakinan diri rendah. Self-efficacy berhubungan dengan kepuasan kerja dimana jika seseorang memiliki self-efficacy yangtinggi maka cenderung untuk berhasil dalam tugasnya sehingga meningkatkan kepuasan atas apa yang dikerjakannya. Penelitian yang dilakukan oleh Cheng Laiet al. (2012) yang berjudul Self-Efficacy, Effort, Job Performance, Job Satisfaction, and Turnover Intention: The Effect of Personal Characteristics on Organization Performance menunjukkan bahwa Self-efficacymemiliki pengaruh positifpada kepuasankerja. Penelitian dari Rahman Ulfiani et al.(2014) yang berjudul The Role of Job Satisfaction as Mediator in the Relationship between Self-Efficacy and Organizational Citizenship Behavior among Indonesian Teachers menemukanbahwa ada hubungan positif antara selfefficacy dan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Lau (2012) menunjukkan bahwa self-efficacy berhubungan positif pada kepuasan kerja. Penelitian dari 19
Yakindan Oya Erdil(2012) yang diadopsi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa self-efficacy memiliki hubungan yang positif dan signifikatdengan kepuasan kerja. H2 : Self-efficacyberpengaruh signifikat dan positif terhadap kepuasan kerja 2.2.3 Pengaruh keterlibatankerja terhadap kepuasan kerja Keterlibatan kerja merupakan suatu ukuran sampai dimana individu secara psikologis memihak pekerjaan mereka dan menganggap penting tingkat kinerja yang dicapai sebagai penghargaan diri (Robbins dan Jugde, 2008:100). Penelitian yang dilakukan oleh Moura et al. (2014) yang berjudul Role Stress and Work Engagement as Antecedents of Job Satisfaction:Results From Portugal menyatakan bahwa keterkibatan kerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Keterlibatan didefinisikan sebagai membangun motivasi dan berhubungan positif dengan pekerjaan yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan penyerapan.kepuasan kerja didefinisikan sebagai keadaan yang menyenangkan atau emosi positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Masvaureet al. (2014) menunjukkan bahwa keterlibatan kerja berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Penelitian dari Yakindan Oya Erdil(2012) yang diadopsi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa keterlibatan kerja berhubungan positif dengan kepuasan kerja. H3: KeterlibatanKerjaberpengaruh signifikat dan positif terhadap kepuasan kerja. 20
2.2.4 Model Konseptual Berdasarkan keterkaitan variable yang disampaikan maka dapat digambarkan model konseptual seperti gambar 2.1 berikut ini: Gambar 2.1 Model Konseptual H1 Keterlibatan Kerja (Y1) H3 Self-Efficacy (X) H2 Kepuasan Kerja(Y2) Sumber : H1 : Federici Roger dan Einar M. Skaalvik (2011), Mario et al. (2014), Radmand dan Yasser Batoadmand (2015). H2 : Cheng Lai et al. (2012), Rahman Ulfiani et al.(2014), Lau (2012) H3 : Moura et al. (2014), Masvaure et al. (2014) Yakin dan Oya Erdil (2013) 21