THE APPLICATION OF THE USE AN ADHESIVE MATERIAL TOWARDS PHYSICAL AND CHEMICAL CHARACTERISTIC OF ORGANIC FERTILIZERS GRANULE THAT FEEDSTOCKS OF COMPOST THE RIND OF COCOA Muhamad Satria Gunawan 1), Otik Nawansih 2) dan Fibra Nurainy 2) 1) Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung 2) Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145 Surel: satriagunawan662@gmail.com ABSTRACT This research aims to obtain kind of adhesive material in producing the best organic fertilizers granule, either physically or chemically. This research done by two steps. First phase was done by preliminary research for determine the best concentration. Starch concentration 1%, 2%, 3%, 4% and 5% w/v, molases concentration 5%, 10%, 15%, 20% and 25% v/v and sludge IPAL rubber concentration 5%, 10%, 15%, 20% and 25% v/v. Best concentration of that preliminary results used to the main research. 3kg dry and fine compost was put in to pan granulator, after the pan granulator is rotating than add the adhesive material starch concentration 2% w/v, molases concentration 10% v/v, sludge concentration 25% v/v, until all the samples is formed to granule. Each treatment was repeated 3 times and 1 treatment as a control. Organic fertilizers granule produce observed from level of violence granule, percentage of the size granule 2-5mm, bulk density, water absorption, C, N, C/N ratio, P, K and ph. The result data presented on the tables and graphics from that analyzed descriptively. While the main research showed that best granule produced on adhesive sludge IPAL rubber concentration 25% v/v that produces water absorption highest of 51,69%, bulk density highest of 0,73%, than N, P and K highest of 0,98%, 0,79 % and 1,86%. Keywords: adhesive, molasses, organic fertilizers granule, sludge, starch. ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama diawali dengan penentuan konsentrasi terbaik untuk setiap jenis bahan perekat. Tapioka konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% dan 5% b/v, molases konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% v/v dan Sludge IPAL karet konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% v/v. Konsentrasi terbaik hasil penelitian pendahuluan digunakan untuk penelitian utama. Kompos kering dan halus sebanyak 3kg dimasukan kedalam pan granulator, sambil di ditambahkan bahan perekat tepung tapioka konsentrasi 2% b/v, molases konsentrasi 10%, sludge IPAL industri karet konsentrasi 25% sampai seluruh bahan terbentuk butiran granul. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan 1 perlakuan sebagai kontrol (perekat diganti 100% air). POG yang dihasilkan diamati persentase ukuran granul 2-5 mm, tingkat kekerasan, densitas kamba (bulk density), daya serap air, kandungan C-organik, N-total, ph, rasio C/N, P dan K. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa granul terbaik dihasilkan pada 423
perekat sludge IPAL karet konsentrasi 25% v/v yang menghasilkan daya serap air tertinggi sebesar 51,69%, bulk density tertinggi 0,73%, kandungan N, P dan K tertinggi sebesar 0,98%, 0,79% dan 1,86%. Kata kunci: molasses, perekat, pupuk organik granul, tepung tapioka, sludge. PENDAHULUAN Kompos kulit kakao yang dibuat dengan menambahkan kotoran sapi dan difermentasi secara aerobik selama 30 hari telah mengasilkan kompos yang memenuhi standar kualitas kompos atau SNI yaitu C/N rasio12, C-organik 16,45%, N, 1,27%, P 1,12%, K 3,25%, ph 6,93 dan kadar air 57,60% (Sularno, 2014). Namun kompos yang dihasilkan masih berbentuk curah atau serbuk yang memiliki kelemahan seperti sulit dalam proses penebarannnya, mudah hanyut terbawa air, membutuhkan ruangan yang lebih luas dalam penyimpanannya dan dapat menimbulkan bau. Dalam rangka memperbaiki kelemahan pupuk kompos maka pupuk kompos perlu diolah lebih lanjut seperti menjadi pupuk organik granul (POG). Pupuk organik granul merupakan pupuk yang bahan bakunya adalah bahan organik seperti kompos yang berbentuk butiranbutiran granul dengan diameter 2 mm sampai 4 mm (Isroi, 2009). Dalam proses pembuatan pupuk organik granul diperlukan bahan perekat untuk meningkatkan daya rekat dan kekompakan pada granul sehingga nantinya granul yang terbentuk tidak mudah hancur selama penyimpanan dan pengangkutan. Sebelumnya, telah dilakukan penelitian terkait pengunaan bahan perekat tapioka dan tanah liat terhadap pembuatan pupuk organik granul (Utari, 2014). Namun hasil yang diperoleh belum maksimal. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan beberapa jenis bahan perekat yang berpotensi dalam pembuatan pupuk organik granul seperti tepung tapioka, sludge IPAL industri karet dan molases yang memiliki kemampuan dalam merekatkan bahan sehingga nantinya akan menghasilkan pupuk organik granul 424
yang terbaik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jenis bahan perekat terbaik dalam menghasilkan pupuk organik granul berbahan baku kompos kulit kakao baik secara fisik maupun kimia. BAHAN DAN METODE Bahan baku pembuatan pupuk organik granul adalah kompos kulit kakao hasil penelitian Sularno (2014), bahan perekat: tepung tapioka, sludge IPAL industri karet dan molasses, serta bahan kimia untuk analisis C, N, P dan K. Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, ayakan 80 mesh, mesin penggiling (grinder), pan granulator diameter 1,3m dengan kecepatan putar 20 rpm, spray, alat masak, boot, sarung tangan, terpal, masker, stopwatch, ayakan ukuran (2 5mm), (>5 mm), (< 2 mm) dan seperangkat peralatan laboratorium. Metode Penelitian Penelitian ini diawali dengan penentuan konsentrasi terbaik untuk setiap jenis bahan perekat. Tepung tapioka konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% dan 5% b/v. dilarutkan ke dalam air kemudian dipanaskan sampai tergelatinisasi dan didinginkan sebelum digunakan. Sludge IPAL industri karet konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%dan 25% v/v. Molases konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% v/v. Perekat kemudian ditambahkan pada saat granulasi skala laboratorium ( 1 /2 kg). Konsentrasi terbaik hasil penelitian pendahuluan digunakan untuk penelitian utama. Kompos kering dan halus sebanyak 3 kg dimasukan kedalam pan granulator, setelah berputar ditambahkan bahan perekat (perlakuan) tepung tapioka konsentrasi 2% b/v, molases konsentrasi 10% v/v, sludge IPAL industri karet konsentrasi 25% v/v sampai seluruh bahan terbentuk butiran granul. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 425
Persentase ukuran granul 2-5mm (%) kali dan 1 perlakuan sebagai kontrol (100% air tanpa bahan perekat). POG yang dihasilkan diamati persentase ukuran granul 2-5 mm, tingkat kekerasan, densitas kamba (Bulk Density), daya serap air, kandungan C-organik, N-total, ph, rasio C/N, P dan K. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Berdasarkan nilai tingkat kekerasan granul (nilai > 80%) dan persentase ukuran granul 2-5mm tertinggi. Pada perlakuan tepung tapioka konsentrasi terbaik terdapat pada konsentrasi 2% b/v dengan nilai persentase ukuran granul 2-5 mm tertinggi mencapai 49,94%, tingkat kekerasan granul sebesar 81,10%. Pada molases konsentrasi terbaik terdapat pada molases 10% v/v, dengan nilai persentase ukuran granul 2-5 mm tertinggi mencapai 51,70 dan tingkat kekerasan granul 80,70 %. Sludge IPAL karet konsentrasi terbaik terdapat pada sludge 25% v/v, dengani nilai persentase ukuran granul 2-5 mm tertinggi mencapai 52,95%, tingkat kekerasan granul 82,30 %. Penelitian Utama 1. Persentase ukuran granul 2-5 mm Persentase ukuran granul 2-5 mm disajikan pada Gambar 1 100 50 0 59.26 46.88 54.83 56.53 44.18 28.64 33.92 29.47 8.95 12.09 11.25 14 2-5mm < 2mm > 5mm Gambar 1. Grafik persentase ukuran granul 2-5 mm POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge 426
Nilai tingkat kekerasan (%) Persentase ukuran granul 2-5mm tertinggi dihasilkan oleh bahan perekat tepung tapioka 2% b/v yaitu sebesar 59,26 %. Hal ini disebabkan karena tepung tapioka memiliki kemampuan dalam merekatkan suatu bahan karena banyak mengandung pati yang tersusun dari dua macam karbohidrat, yaitu amilosa dan amilopektin, sehingga selama proses granulasi berlangsung akan mudah terbentuk granular granular akibat kemampuan daya lekat yang dihasilkan cukup baik. 2. Tingkat kekerasan granul (Durabilitas) Hasil pengujian tingkat kekerasan granul disajikan pada Gambar 2. 100 90 80 70 60 50 81.51 93.17 91.25 87.43 Gambar 2. Nilai tingkat kekerasan granul POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge Dilihat dari gambar di atas bahwa nilai tingkat kekerasan granul terendah terdapat pada perlakuan kontrol (100% air) yaitu 81,51%. Hal ini disebabkan karena air tidak memiliki kemampuan dalam merekatkan partikel-partikel bahan baku sehingga pada kondisi kering, granul yang akan terbentuk akan mudah hancur ketika mengalami getaran atau tekanan. Hasil tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Lee et al., (2006) bahwa tidak dilakukannya penambahan bahan perekat pada pembuatan pelet kompos menyebabkan durabilitas lebih rendah. Hasil pengujian tingkat kekerasan tertinggi terdapat pada perlakuan perekat tepung tapioka yaitu sebesar 93,17%. Secara keseluruhan nilai tingkat kekerasan granul sudah mencapai nilai yang tertinggi, seperti pernyataan Adapa et al. (2003) bahwa durabilitas dinilai tinggi ketika hasil perhitungan 427
Bulk density (Densitas kamba) (g/cm3) menunjukan nilai lebih dari 80%, medium 70-80%, dan rendah kurang dari 70% (Colley et al., 2006). 3. Bulk density (Densitas Kamba) Hasil pengujian yang telah dilakuakan disajikan pada Gambar 3 di bawah ini. 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.68 0.71 0.7 0.73 Gambar 3. Grafik nilai bulk density POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge Dilihat dari grafik di atas bahwa nilai Bulk density tertinggi terdapat pada perlakuan perekat sludge IPAL industri karet konsentrasi 25% v/v. Hal ini dikarenakan perbandingan volume perekat yang ditambahkan cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain sehingga bahan perekat dapat membentuk pupuk organik granul yang lebih padat dan dapat meminimalkan rongga udara pada granul. Dalam pernyataan Gaudin et al., (2008), bahwa semakin besar kandungan perekat yang digunakan maka Bulk density akan semakin meningkat. Dalam penelitiannya dimana sampel dengan kandungan perekat yang lebih banyak memiliki nilai bulk density yang lebih besar. Sedangkan hasil penelitian Mardiana (2011) dalam pembuatan pelet kompos dengan menggunakan bahan perekat tepung sagu (15:85) memiliki nilai densitas yang tinggi yaitu sebesar 1,023 (g/ml) jika dibandingkan dengan tepung sagu (10:90) sebesar 0,832 (g/ml). 428
Nilai PH Nilai Daya Serap Air (%) 4. Daya Serap Air Hasil pengujian daya serap air disajikan pada Gambar 4 di bawah ini. 60 40 20 0 41.8 46.27 43.53 51.69 Gambar 4. Grafik daya serap air POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge Dilihat dari grafik di atas bahwa nilai daya serap air tertinggi terdapat pada perekat sludge IPAL industri karet 25% v/v yaitu sebesar 51,69%. Hal ini terjadi karena sifat sludge yang menyerupai lumpur memiliki ruang pori yang cukup luas sehingga kemampuannya dalam menyerap air (higroskopik) akan semakin optimal. Dalam hal ini kekompakan granul juga berperan dalam proses penyerapan air, terlihat pada Gambar 3 sludge IPAL industri karet memiliki kekompakan yang cukup tinggi sehingga kemampuan granul dalam menyerap air akan semakin banyak. Namun demikian keempat nilai daya serap air pada setiap perlakuan sudah sesuai harapan. Seperti pernyataan Williams & Miller (1992), nilai daya serap air pada pupuk yang berbentuk pelet atau granul umumnya berkisar antara 20% hingga 60%. 5. Tingkat keasaman (ph) Penggujian tingkat keasaman (ph) disajikan pada Gambar 5 dibawah ini. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 8.1 8.17 7.84 8.03 Gambar 5. Nilai ph POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge 429
Nilai C/N ratio Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa nilai ph pada setiap perlakuan penggunaan bahan perekat yang diuji memiliki nilai yang hampir sama, yaitu ± 8. Jika dibandingkan dengan ph awal pupuk kompos (bahan baku) terjadi kenaikan yang cukup tinggi, dimana pada kompos memiliki ph sebesar 6,93. Rentang ph pada setiap perlakuan ini tergolong dalam rentang ph yang disarankan oleh para pakar lingkup Puslitbangtanak, Direktorat Pupuk dan Pestisida, IPB Jurusan Tanah, Depperindag, serta Asosiasi Pengusaha Pupuk dan Pengguna, yaitu berkisar antara 4 hingga 8 untuk pupuk padat. 6. Rasio C/N Hasil pengamatan terhadap C/N ratio pupuk organik granul disajikan pada Gambar 6 dibawah ini: 14 12 10 8 6 4 2 0 9.9 10.89 10 10.33 Gambar 6. Rasio C/N POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge Dilihat dari grafik C/N ratio (Gambar 6) bahwa pupuk organik granul pada setiap perlakuan mengalami penurunan dari C/N ratio awal atau kompos. Pada awal bahan baku berbentuk kompos, C/N ratio yang terkandung didalamnya mencapai 12,95 dan mengalami penurunan menjadi 10,98 (perlakuan tepung tapioka) setelah dilakukan proses granulasi. Terjadinya penurunan C/N ratio pada setiap perlakuan ini terjadi karena selama kompos atau bahan baku dalam penyimpanan (8 bulan) masih mengalami proses degradasi bahan organik atau pengomposan yang relatif lebih lambat, sehingga 430
Nilai N Total (%) Nilai C-organik pada kondisi ini mikroba di dalam kompos akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas (Ryak, 1992). 7. C Organik 12 10 8 6 4 2 0 8.12 9.1 8.97 10.09 Gambar 7. Kandungan C-organik POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge Diihat pada gambar di atas bahwa kandungan C-organik terbesar dari setiap pelakuan terdapat pada perlakuan dengan menggunakan Sludge IPAL industri karet. Hal ini diduga karena pada kolam ipal khususnya kolam anaerob 2 masih memiliki kandungan C-oganik yang cukup tinggi. Menurut (Ruliansyah et al., 2012) pada sludge IPAL industri karet mengandung sekitar 4,89 % sehingga dengan ditambahkannya bahan perekat seperti ini akan meningkatkan kandungan C-organik jika dibandingkan dengan dengan perlakuan kontrol yang memiliki kandungan C-organik yang lebih rendah. 8. Nitrogen Total 1.2 0.7 0.2-0.3 0.82 0.84 0.9 0.98 Gambar 8. Nilai N Total POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge 431
Nilai Fosfor (%) Hasil analisis terhadap kandungan nitrogen (Gambar 8), kandungan awal (N) pupuk kompos terjadi penurunan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pupuk organik granul yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena kompos yang sudah mengalami kematangan, sehingga aktifitas mikroorganisme yang berperan dalam mengubah protein menjadi NH3 semakin berkurang jika dibandingkan selama proses pengomposan. Selain itu, penurunan kandungan nitrogen juga disebabkan oleh perlakuan awal sebelum proses granulasi yaitu dilakukan penjemuran langsung di areal terbuka. Seperti pernyataan Patti et al., (2013) ada tiga hal yang menyebabkan hilangnya kandungan nitrogen yaitu nitrogen dapat hilang karena tercuci bersama air atau draenase, terjadinya penguapan dan diserap oleh tanaman. 9. Fosfor (P2O5) 0.8 1 0.6 0.4 0.2 0 0.74 0.71 0.73 0.79 Gambar 9. Kandungan Fosfor POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge Hasil analisis fosfor (Gaambar 9) bahwa kandungan fosfor tebesar pada penelitian ini terdapat pada perlakuan dengan menggunakan sludge limbah cair industri karet yaitu mencapai 0,79 %. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2003) dimana pada perlakuan pemberian sludge, kandungan P yang terdapat pada tanah nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya (tidak menggunakan sludge), keadaan ini disebabkan karena terjadinya peningkatan kandungan P (fosfor) pada tanah akibat adanya penambahan dosis sludge yang ditambahkan, dalam analisis 432
Nilai Kalium K2O (%) awal yang dilakuakannya bahwa limbah sludge pengolahan lateks mengandung unsur esensial seperti unsur P. 10. Kalium (K2O) Hasil analisis terhadap kandungan kalium pada pupuk organik granul disajikan pada Gambar 10. 1.8 2 1.6 1.4 1.2 1 1.74 1.72 1.73 1.86 Gambar 10. Kandungan kalium POG dengan bahan perekat air, tapioka, molases dan sludge Hasil analisis terhadap kandungan Kalium pada pupuk organik granul menunjukan nilai yang berbeda-beda tetapi selisih perbedaan tersebut tidak begitu jauh yaitu berkisar antara (0,01-0,14%). Kandungan K tertinggi pada perlakuan ini terdapat pada perlakuan dengan menggunakan sludge pengolahan karet yaitu mencapai nilai K 1,86% dibandingkan dengan perlakuan tepung tapioka yang memiliki kandungan K terendah yaitu 1,72%. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2003) dalam pemberian pupuk SP36 ke dalam media tanah dengan penambahan Sludge pengolahan limbah cair pengolahan karet terjadi peningkatan kandungan K pada tanah. Perbandingan Hasil Penelitian dan Standar SNI Karakteristik pupuk organik granul hasil penelitian disajikan pada Tabel 1 dibawah ini. Terlihat bahwa perbandingan hasil penelitian dengan Peraturan Mentri Pertanian tahun 2011 dan SNI 19-1730-2004 bahwa, hasil analisis terhadap kandungan 433
kimia seperti C,N,P,K dan C/N ratio belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sedangkan pada setiap perlakuan, hasil yang memenuhi standar mutu pupuk organik SNI 19-1730-2004 adalah terdapat pada perlakuan dengan menggunakan bahan perekat sludge ipal industri karet sehingga mampu meningkatkan kandungan hara dibandingkan dengan perlakuan yang tanpa menggunakan bahan perekat. Tabel 1. Karakteristik pupuk organik granul hasil penelitian dengan standar Peraturan Mentri Pertanian dan SNI Parameter Permentan Nomor70/ Permentan /SR.140/10/ 2011 SNI 19-1730- 2004 POG kontrol POG Hasil Penelitian POG + POG + tapioaka molases Kadar air (%) 8 20% _ 10,7 11,3 11,6 10,9 ph POG + Sludge 4 9 6,8-7,49 8,1 8,12 7,84 8,03 C-Organik (%) 8,12 9,10 8,97 10,09 Min 15% Min 9,80 C/N ratio 15 25 10 20 9,90 10,89 10,00 10,33 Hara makro (N, P2O5, K2O ) Min 4% Min 0,40 % Min 0,10 % Min 0,20 % 0,82 0,74 1,74 0,84 0,71 1,72 0,9 0,73 1,73 0,98 0,79 1,86 Ukuran 2-5 mm Bahan ikutan (plastik, kaca, krikil) Min 80% - Min 2% Min 2% Tidak ada Tidak ada 46,88 59,26 54,83 56,53 Tidak ada Tidak ada KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pengamatan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaaan bahan perekat sludge IPAL industri karet 25% menhghasilkan sifat fisik dan kimia pupuk organik granul seperti daya serap air tertinggi sebesar 51,69%, bulk density tertinggi 0,73%, kandungan N, P dan K tertinggi sebesar 0,98%, 0,79% dan 1,86%. 434
DAFTAR PUSTAKA Arisha HME, Gad AA, & Younes SE. 2003. Response of some peppercultivar to organic and mineral nitrogen fertilizer under sandy soil conditions. Zagazig J. Agric. Res. 30: 1875 99. Colley Z, Fasina OO, Bransby D, & Lee YY. 2006. Moisture effect on the physical characteristics of switchgrass pellets. 49(6): 1845 1851. Gaudin F, Andres Y, & Cloirec PL. 2008. Packing material formulation for odorous emission biofiltration. Chemosphere. 70: 958 966. Goenadi. 1997. Kompos Bioaktif dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Biotek. Perkebunan Untuk Praktek. Bogor. 18-27. Indriani YH, 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. Isroi. 2009. Pupuk Organik Granul. Sebuah Petunjuk Praktis Peneliti pada Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor. Mardiana A. 2011. Karakteristik Pelet Kompos Berbasis Kotoran Kambing Hasil Biofiltrasi Sebagai Pupuk. (Skripsi). Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. Depok. Utari NW. 2014. Kajian Karakteristik Fisik Pupuk Organik Granul Dengan Dua Jenis Bahan Perekat. (Skripsi). Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Menteri Pertanian. 2011. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik Padat. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 70/Permentan/Sr.140/10/2011. Jakarta. Panjaitan RH. 2003. Pemanfaatan Limbah Pabrik Pengolahan Karet Sebagai Pupuk Untuk Persemaian (Gamelina arborea) Linn. (Tesis). Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Universitas Sumatera Utara. Medan. Siahaan L. 1999. Pemanfaatan Campuran Limbah Padat (Sludge) Industri benang Karet Dengan Tanah Gembur Sebagai Pupuk Tanaman Kedelai (Glycine Max (L) Merri). (Tesis). Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Sularno. 2014. Optimalisasi pengomposan kulit kakao dengan penambahan kotoran ternak. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 435