BAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tetapi proses sosialisasi sudah mulai dilaksanakan pemerintah daerah pada

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi

BAB V PENUTUP. utama yang menjadi akar permasalahan konflik. Pada bab kedua naskah ini telah

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

BAB VI PENUTUP. menyuarakan penolakannya. Penolakan yang didasari atas kearifan lokal terhadap

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

Bab V Kesimpulan Dan Saran. kabupaten Maluku Tenggara Barat provinsi Maluku. Ijin pengelolaan disahkan

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

UU 28 Tahun 1999 : Pelembagaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan bebas KKN

B. Refleksi Teoritis, tindaklanjut dan saran

I. PENDAHULUAN. ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

BAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

BAGIAN I AGENDA MENCIPTAKAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

ARTI PENTING PENYUSUNAN KAMPANYE ANTI DISKRIMINASI * Oleh: Suparman Marzuki **

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

BAB 3 METODE PENELITIAN

KEDUDUKAN DAN PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN SUKOHARJO T E S I S

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara demokratis merupakan negara yang memberi peluang dan

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

BAB V PENUTUP. disimpulkan bahwa KAMMI telah melakukan beberapa hal terkait dengan strategi

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA. New York, 23 September 2003

BAB VI KESIMPULAN. Penulis menyimpulkan bahwa strategi perlawanan petani mengalami

ANGGARAN DASAR-ANGGARAN RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan struktur

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN CILACAP TAHUN

I. PENDAHULUAN. Hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau rakyat selalu berada. terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern.

Kebijakan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara a. Umum

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan struktur

Di sisi lain, penulis juga hendak bercerita tentang perjuangan mengungkap keadilan. Kendatipun tradisi impunitas telah menjadi borok dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

SAMBUTAN KETUA DPR RI BAPAK H. MARZUKI ALIE, SE, MM. PADA ACARA PERESMIAN KANTOR BARU PWNU SUMATERA UTARA Medan, 06 Januari 2010

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 34 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

BAB I PENDAHULUAN. pembaruan dan perubahan untuk menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan.

PROVINSI JAWA TENGAH

PERENCANAAN DAN PENETAPAN KINERJA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 32

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

BAB V PENUTUP Pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KERANGKA ACUAN PENGKAJIAN UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA WAWO WAE DALAM PENGELOLAAN KAWASAN CA WATU ATA, NGADA TGL 25 NOP S/D 20 DES 2002

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan. tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan, dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pemekaran ditingkat provinsi, kabupaten dan kota di Maluku utara tak

BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan otonomi daerah telah berlangsung. dasawarsa sejak pemberlakuan otonomi daerah di tahun 1999.

BAB VII PENUTUP. masih pada tahap pengembangan format yang utuh menuju suatu collaborative

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

BAB V P E N U T U P. konservasi Suaka Margasatwa Kateri di Kabupaten Malaka, dimana lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. Pemekaran wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah strategis yang

BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

B. Maksud dan Tujuan Maksud

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum. bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

Bab I PENDAHULUAN. Dalam perspektif sosiologis dapat dikatakan bahwa, gereja sebagai suatu institusi sosial,

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM

Movement mudah diterima oleh masyarakat global, sehingga setiap individu diajak untuk berpikir kembali tentang kemampuannya dalam mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

Transkripsi:

BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah Kabupaten Nagekeo dalam pembangunan saluran irigasi Mbay kiri dipicu oleh masalah ketidakadilan dalam proses dan mekanisme distribusi, penguasaan dan pemanfaatan lahan irigasi. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut antara lain: Pertama ketidakadilan tentang kebijakan distribusi dan penguasaan lahan irigasi di Mbay kanan yang timpang antara masyarakat lokal dan masyarakat dari luar yang didatangkan oleh pemerintah daerah. Kedua ketidakadilan dalam mengakses program transmigrasi lokal. Perbandingan quota jumlah penduduk lokal dan jumlah penduduk dari luar sangat diskriminatif dan ditetapkan pemerintah daerah secara tidak transparan. Ketiga, ketidakadilan dalam penetapan program-program non irigasi di lahan irigasi Mbay Kiri. Pemerintah secara sepihak mengalihfungsikan lahan untuk irigasi dengan sejumlah program non irigasi seperti pemukiman transmigran, sawah garam, industri garam dan HGU kepada pihak ketiga. Kehadiran program-program non irigasi terkesan ada upaya meminggirkan dan mengabaikan eksistensi masyarakat lokal yang mendambakan kehadiran program irigasi. Fakta ketidakadilan yang menimpa masyarakat lokal selama puluhan tahun sebagaimana diuraikan di atas melahirkan kesadaran kolektif dalam memperjuangkan hak-haknya atas lahan irigasi dengan melakukan aksi protes dan perlawaan. Pembangunan irigasi Mbay Kiri merupakan pintu masuk yang digunakan masyarakat sebagai alat perjuangan untuk mencapai keadilan. Hal ini karena pembangunan tersebut dilakukan di atas lahan yang secara defacto dikuasai oleh masyarakat suku Towak sebagai korban ketidakadilan tetapi secara dejure eksistensinya tidak diakui oleh pemerintah. 158

Protes dan perlawanan dalam kasus ini dilakukan secara fluktuatif, ada yang berjuang secara sistematis strategis, tetapi ada juga yang berjuang secara spontan kerena desakan kebutuhan hidup. Ada tiga kategori aktor yang memiliki kepentingan dan dinamika ativitas yang berbeda dalam memperjuangkan keadilan. Aktor pertama adalah komunitas Makitonggung sebagai representasi masyarakat lokal. Komunitas ini berasal dari masyarakat suku Towak yang secara defacto selama puluhan tahun menempati wilayah irigasi Mbay Kiri dan merupakan masyarakat terkena dampak langsung baik dalam pembangunan irigasi Mbay Kiri maupun keidakadilan pada masa lalu. Kekuatan protes dan perlawanan komunitas ini terletak pada kolektifitas isu dan kepentingan komunitasnya sebagai korban ketidakadilan dalam penguasaan, pemanfaatan dan distribusi lahan. Aktor berikutnya adalah pemangku ulayat Suku Towak yang memperjuangkan pengakuan eksistensi ulayat. Aktor ini adalah salah satu bagian dari komunitas Makitonggung. Selain memperjuangkan keadilan dalam kepemilikan lahan bagi komunitasnya, tetapi juga memperjuangkan eksistensi ulayat suku Towak yang secara dejure belum diakui sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Aktor ini beraviliasi secara tidak langsung dengan kepentingan politik praktis. Selain berkepentingan terhadap pengakuan eksistensi ulayat, tetapi memperjuangkan pengakuan eksistensi politik. Momen pemilu legislatif dan pemilukada cenderung digunakan dalam memainkan isu tersebut sebagai komoditas ke tingkat elit maupun ke tingkat masyarakat lokal. Aktor ketiga adalah aktor elit yang bertarung di atas lahan irigasi. Rivalitas elit baik pada tingkat masyarakat lokal maupun pada tingkat pemerintah daerah dalam pertarungan Pilkada langsung pada tahun 2008 dan pemilu legislatif 2009 dan 2014, ikut masuk ke lahan irigasi. Rivalitas kepentingan yang bertarung di lahan tersebut adalah kepentingan ekonomi politik versus kepentingan sosial ekonomi. Elit lokal 159

mempertahankan kepentingan sosial ekonomi dengan target politik, sedangkan elit rezim mempertahankan kepentingan ekonomi politik yang dikemas dengan dalil kepentingan sosial. Fenomena protes dan perlawanan beberapa aktor sebagaimana diuraikan di atas menunjukan bahwa dibalik aksi protes dan perlawanan tersebut terdapat deretan dinamika konflik yang dinamis. Menurut Dahrendrorf, dinamika konflik yang terjadi dalam penelitian ini adalah konflik kepentingan antara pihak yang memiliki otoritas dan kekuasaan yakni pemerintah daerah dan pihak yang dikuasai yakni masyarakat lokal. Konflik kepentingan cenderung terjadi dalam dua pihak yang berbeda otoritas dan kekuasaannya terutama menyangkut akses dan kontrol terhadap lahan irigasi. Dinamika konflik tersebut adalah konflik kepentingan yang bersifat vertikal dan berpotensi pada konflik horisontal. Konflik yang awalnya bersifat laten karena kemasan kepentingan laten, belakangan berkembang menjadi konflik manifest karena kepentingan masingmasing pihak semakin terbuka. Konflik yang terjadi dalam kasus ini adalah konflik kepentingan vertikal antara masyarakat lokal dan pemerintah daerah yang dikuasai oleh rezim dari kawasan masyarakat di wilayah lain. Konflik vertikal terjadi karena penguasaan dan distribusi lahan yang diatur oleh pemerintah pada masa lalu sarat dengan nuansa nepotisme, kolusi dan kepentingan politik. Konflik ini disebabkan oleh ketidakadilan dalam mengakses sumber daya ekonomi. Eskalasi konflik vertikal tersebut berpotensi pada konflik horizontal antara masyarakat yang memiliki lahan yang luas dengan masyarakat yang tidak memiliki lahan. Jika tidak ditangani secara bijak maka konflik horisontal akan segera meletus. Konflik yang bersifat laten pada masa lalu, berkembang menjadi konflik manifes. Konflik terbuka tidak saja terjadi antara masyarakat dengan pemerintah daerah, tetapi akan berkembang di antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang lainnya. 160

Kepentingan masing-masing pihak akan dinyatakan semakin terbuka. Selain karena alasan demokratisasi, tetapi juga arena tekanan dan himpitan ekonomi sehingga masyarakat lokal akan berhadapan secara langsung dan terbuka dengan pihak yang dianggap telah bertindak tidak adil terhadap kelompoknya. Dinamika konflik berikutnya adalah adanya aroma konflik kepentingan dari kepentingan sosial ekonomi ke kepentingan ekonomi politik. Konflik ini dipicu oleh cara pandang dan kepentingan yang berbeda terhadap lahan irigasi. Masyarakat melihat lahan irigasi sebagai basis sumber daya sosial dan ekonomi yang memiliki nilai-nilai sosial dan ekonomi yang menghidupkan masyarakat, sehingga harus dipertahankan dan diperjuangkan jika mengalami ketidakadilan dalam hal kepemilikan dan penguasaan. Dalam perkembangan selanjutnya, lahan irigasi bergeser menjadi sumber daya ekonomi sekaligus basis sumber daya politik. Pertarungan antara elit pada tingkat masyarakat dan elit pada tingkat pemerintah memanfaatkan lahan irigasi untuk menunjukkan eksistensi pihaknya masng-masing. Pengembangan program non irigasi, diskriminatif dan meminggirkan masyarakat lokal di lahan irigasi mau menunjukkan bahwa pemerintah memiliki otorotas yang patut diakui oleh masyarakat lokal. Sebaliknya upaya menghadang mega proyek milyaran rupiah menunjukkan eksistensi politik dan ekonomi elit lokal yang patut diperhitungkan. Dinamika ini berbuntut panjang, karena masingmasing pihak tidak saling mengakui dan menghargai satu dengan yang lainnya. Korbannya adalah masyarakat kecil baik dari tingkat masyarakat lokal maupun masyarakat yang didatangkan pemerintah dalam program transmigrasi lokal, tidak dapat menikmati manfaat dari pembangunan irigasi dan mendapat keadilan secara pasti. 161

B. Saran Dinamika konflik yang terjadi dibalik aksi protes dan perlawanan masyarakat lokal dalam pembangunan saluran irigasi Mbay Kiri telah berdampak pada rusaknya tatanan sosial ekonomi bahkan tananan politik baik pada tingkat masyarakat lokal maupun pada tingkat pemerintah daerah. Distrust atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menguat. Disharmony dan disintegrasi di antara masyarakat semakin menggejala. Pemekaran Kabupaten Nagekeo yang diharapkan mampu membawa kesejahteraan, good governance dan menguatnya integrasi sosial bagi masyarakat ternyata semakin jauh dari harapan. Pembangunan menuju cita-cita kesejahteraan tersebut semakin dicemari oleh kepentingan-kepentingan terselubung para pihak dan dihadang oleh sejumlah persoalan. Konflik yang berkepanjangan berimplikasi buruk pada roda pemerintahan dan rusaknya pranata-pranata sosial ekonomi politik yang ada di dalamnya. Untuk itu perlu segera ditempuh langkah-langkah rekonsoliasi dan konsolidasi sejumlah potensi sosial, ekonomi maupun politik yang ada di tengah masyarakat. Pemerintah daerah harus berani menggunakan pendekatan sosial budaya sebagai kekuatan pembangunan. Pendekatan formalistik dan birokratis hanya akan menafikan peran dan manfaat dari potensi sosial budaya yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat. Pendekatan sosial budaya menempatkan institusi dan mekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesaiaan konflik lahan/tanah atau agraria. Rekonsiliasi merupakan proses rujuk dan pemulihan hubungan para pihak yang berkonfik. Melalui rekonsiliasi akan dilakukan berbagai upaya untuk menangani peristiwa masa lalu dengan menata dan merancang masa depan (Limbong, 2012: 337-343). Dengan demikian maka rekonsiliasi tentu akan menggunakan potensi sosial budaya yang ada pada 162

masyarakat lokal. Terbukti bahwa pendekatan sosial budaya yang coba ditawarkan kepemimpinan pemerintah periode 2013 2018 menuai respon yang sangat positif. Masyarakat lokal di Kelurahan Mbay II sangat antusias menerima kehadiran Bupati dan bersedia untuk berdiskusi menyelesaikan persoalan konflik lahan irigasi yang diwariskan pemerintah periode sebelumnya. Menangani peristiwa masa lalu yang dimaksudkan dalam agenda rekonsiliasi adalah pemerintah daerah diharapkan mau duduk bersama masyarakat untuk melihat kembali program-program dan kebijakan masa lalu terutama berkaitan dengan distribusi, penguasaan dan pemanafatan lahan irigasi baik di Mbay Kanan Maupun Mbay Kiri. Masyarakat lokal juga diharapkan dapat melihat kembali sejumlah tuntutan yang dialamatkan kepada pemerintah dan terlampau tinggi sehingga sulit untuk dicapai. Selanjutnya keduanya duduk bersama membenahi, menata dan merancang kebijakan dan program ideal yang dianggap tidak merugikan para pihak. Dalam penanganan kasus ini, pemerintah sama sekali belum memaksimalkan peran tokoh agama sebagai institusi sosial yang berpengaruh dan mempersatukan masyarakat lokal. Para imam dan ulama dalam agama Katolik maupun Islam masih sangat berperan dan sangat didengar oleh para umatnya. Pemerintah seharusnya dapat menggandeng para imam dan ulama untuk melakukan konsolidasi potensi yang ada dengan membentuk forum multi pihak untuk optimalisasi penyelesaian konflik di lahan irigasi. Forum multipihak ini beranggotakan semua komponen masyarakat dari berbagai unsur terutama masyarakat lokal. Melalui forum ini dirumuskan komitmen sikap para pihak terhadap agenda penyelesaian konflik. Semua kepentingan ditanggalkan, kecuali kepentingan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan dan kebaikan bersama. 163

Melalui forum multipihak tersirat pengakuan terhadap eksistensi para pihak, terutama pihak yang secara dejure maupun secara defaco telah ada dan menempati wilayah tersebut. Pengakuan tersebut harus diikuti dengan pengakuan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam mendukung dan menciptakan pembangunan Kabupaten Nagekeo yang berkeadilan, bermartabat dan berkelanjutan. 164