BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan sudah berlangsung sejak lama, baik pada jaman pemerintahan masa Orde Lama, masa Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era Reformasi. Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan kemiskinan, pemerintahan SBY- JK juga tidak mau ketinggalan. Kenaikan harga minyak di pasar dunia telah menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian pada banyak negara termasuk Indonesia. Sekalipun Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber minyak bumi yang cukup berlimpah namun sebagai anggota OPEC menimbulkan konsekuensi terhadap Pemerintah untuk menaikkan harga jual minyak ke luar negeri maupun dalam negeri. Kenaikan harga minyak kemudian telah menyebabkan efek domino kenaikan harga-harga terhadap berbagai aspek komoditi dalam negeri yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dan transportasi (Soekanto, 1990:406). Menurut BPS, penyebab utama kenaikan jumlah orang miskin karena adanya kebijakan kenaikan harga BBM yang dinilai over dosis secara rata-rata 126% pada bulan oktober 2005. Selain itu harga beras yang terus meroket mencekik leher rakyat. Asumsi yang banyak dipakai menyebutkan bahwa orang Indonesia itu miskin karena pendidikan rendah, akses sumber daya ekonomi terbatas, dan kurangnya modal. Asumsi-asumsi ini pada spektrum tertentu ada benarnya (Dyayadi, 2008:144)
Kenaikan harga bahan bakar minyak, transportasi dan barang-barang kebutuhan pokok dirasakan dampaknya kepada semua lapisan masyarakat tetapi tentunya yang paling berat merasakannya adalah kelompok masyarakat ekonomi lemah. Kenaikan harga berbagai kebutuhan yang tidak diantisipasi dengan upaya peningkatan kemampuan daya beli telah menyebabkan masyarakat miskin terancam keberlangsungan hidupnya. Tekanan berat yang paling dirasakan oleh masyarakat miskin utamanya adalah pada tingginya harga bahan bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari, biaya transportasi (ke sekolah, ke kantor) dan harga barang-barang kebutuhan pokok yang semakin mahal (http://www.forumteologi.org/2836/blt-kemiskinan/2008. 4 Oktober 2009, pukul 23:00WIB). Dalam rangka menanggulangi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak yang dirasakan memberatkan masyarakat miskin, maka Pemerintahan SBY-JK menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan kemiskinan dengan menetapkan kebijakan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program mulai terlaksana melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005, tentang Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin di Indonesia pada tanggal 10 September 2005. Pembahasan lebih lanjut pada taraf pelaksanaannya melalui Rapat Koordinasi (Rakor) tingkat Mentri pada tanggal 16 September 2005 yang memandang bahwa BLT sudah siap dilaksanakan. Tujuan yang diharapkan melalui kebijakan program adalah dapat menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai akibat dari segenap perubahan yang telah terjadi, baik secara nasional maupun global.
Sebagai suatu program dan kebijakan nasional, program BLT mempunyai latar belakang pelaksanaan yang sistimatis, baik secara deskriptif analisis kondisional maupun deskriptif operasional perundang-undangan. Dari sudut deskriptif analisis kondisional dapat dikatakan bahwa program BLT adalah wujud dari hasil sebuah pergumulan klasik di seluruh pemerintahan negara-negara seperti Indonesia (http://blogberita.net/14-syarat-warga-miskin-penerima-blt. 4 Oktober 2009, pukul 22:10WIB) Secara operasional perundang-undangan sebagai dasar pijak pelaksanaan Program BLT adalah sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya memuat target penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Target tersebut dianggap tercapai jika daya beli penduduk terus ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Wujud nyata dari orientasi RPJM ini dan didorong membengkaknya subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) akibat dari meningkatnya harga minyak mentah dipasar Internasional, tentu mempengaruhi harga BBM dalam negeri sejak awal Maret 2005, juga mempengaruhi kenaikan harga barangbarang pokok sehari-hari (Sembako), yang pada gilirannya memperlemah daya beli masyarakat (http://oceannaz.wordpress.com/analisis-terhadap-kebijakanpemberian-bantuan-langsung-tunai-blt-plus. 6 Oktober 2009, pukul 22:30WIB). Kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini mengalami masa keterpurukan yang ditandai dengan hancurnya sistem perekonomian yang telah dibangun selama ini serta bertambahnya jumlah penduduk miskin sebagai dampak krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1998. Berdasarkan data BPS
tahun 1998 jumlah penduduk miskin berjumlah 36,5 juta jiwa atau 17,86%. Jumlah penduduk miskin berdasarkan data BPS tahun 2003 yakni 37,34 jiwa atau 17,42%. Di Indonesia jumlah keluarga miskin mencapai 19,1 juta. Berarti, jika satu keluarga terdiri dari suami istri dan dua orang anak saja (rata-rata) maka jumlah orang miskin di Republik ini sudah lebih 76 juta jiwa. Jumlah itu masih mungkin bertambah, sebab masih banyak masyarakat miskin yang belum terdata tidak memperoleh BLT dan mereka yang jatuh miskin akibat baru di PHK karena banyak perusahaan industri tutup akibat krisis tahun lalu. Kalau dibandingkan data kemiskinan dari pemerintah dimana jumlah rakyat miskin dibawah 40 juta jiwa, maka sudah pasti ada kesalahan data yang dilakukan oleh BPS. Kesannya pemerintah memang mengajarkan rakyatnya untuk mengemis lewat BLT. Hal ini sudah banyak dikritik, namun nampaknya muatan politis jauh lebih besar sehingga incumbent Presiden SBY dapat terpilih lagi karena rakyat senang diberi BLT. (Tajuk Rencana hal 24, dalam Waspada, 28 Agustus 2009). Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara mengalami turun naik dari tahun 1993-2006. Jumlah penduduk miskin tahun 1993 sebasar 1,33 juta orang atau sebesar 12,31 persen dari total jumlah penduduk Sumatera Utara. Tahun 1996 jumlah penduduk Sumatera Utara yang tergolong miskin hanya 1,23 juta jiwa dengan persentase sebesar 10,92 persen. Terjadinya krisis moneter secara maksimal termasuk di Sumatera Utara, penduduk miskin di Sumatera Utara tahun 1999 meningkat menjadi 1,97 juta jiwa atau sebesar 16,74 persen (BPS, 2006). Pada tahun 2003 terjadi penurunan penduduk miskin baik secara absolut maupun secara persentase, yaitu menjadi 1,89 juta jiwa atau sekitar 15,89 persen.
Tahun 2004 jumlah dan persentase turun menjadi sebanyak 1,80 juta jiwa atau sekitar 14,93 persen. Pada tahun 2005 penduduk miskin turun 1,76 juta jiwa (14,28%). Akibat dampak kenaikan BBM pada Maret dan Oktober 2005 penduduk miskin tahun 2006 meningkat menjadi 1,98 juta jiwa (15,66%) (BPS Prov Sumut, 2007). Pada tahun 2007 jumlah kemiskinan di Sumatera Utara 1,76 juta jiwa, bila dibandingkan tahun 2006 sejumlah 1,98 juta jiwa maka tingkat kemiskinan terbukti menurun. Data kemiskinan Maret 2008 adalah 1.613.800 orang. Maret 2009 kemiskinan di Sumut turun menjadi 1.499.700 orang, dari data BPS menunjukkan bahwa kemiskinan di Sumut berkurang sebanyak 114.100 orang (BPS Prov Sumut, 2009). Pemberian BLT dilakukan agar masyarakat miskin tidak terlalu merasakan dampak dari kenaikan harga BBM. Dasar pemerintah dalam membuat kebijakan program BLT adalah untuk membantu masyarakat miskin yang merasakan dampak dari kenaikan harga BBM. Menurut BPS kriteria RTS dirinci menjadi 14 variabel yang diperoleh dari hasil kajian selama bertahun-tahun. Pemerintah SBY- JK mengharapkan agar realisasi program BLT dapat berjalan dengan sistematis, lancar, berhasil, dan tepat sasaran. Satu bukti upaya yang sistematis demi tertibnya program dapat terlihat dalam tulisan Edri Wilastono tentang Seputar Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang disumberkan langsung dari dokumen Tim Koordinasi Pusat Pelaksanaan Program BLT di Jakarta (http://hatewong.blogspot.com/bantuan-langsung-tunai-blt-plus.html/2008/05. 6 Oktober 2009, pukul 22:00WIB).
Pemerintah tidak menggunakan pendataan masyarakat yang akurat dalam merealisasikan program BLT karena masih menggunakan data tahun 2005, dimana belum melibatkan unsur pemerintahan dan pengurus setempat yang lebih tahu kondisi daerah masing-masing. Jika tidak dilakukan suatu evaluasi terhadap program dapat dipastikan BLT bisa menimbulkan potensi terjadinya konflik antar masyarakat, angka kemiskinan dan kriminalitas. Realisasi dan realitas program BLT banyak mengalami kendala-kendala, persoalan-persoalan bahkan kekurangan-kekurangan. Salah satu contoh tentang realisasi dan realitas dapat dilihat dalam beberapa kutipan sebagai berikut: BLT Dipotong Rp.70.000,- untuk pembuatan KTP dan subsidi silang. Belasan ribu keluarga miskin (gakin) yang ada di Kota Tasikmalaya, Rabu (19/10) antri di beberapa kantor kelurahan untuk mencairkan BLT. Beberapa warga menjelaskan, uang Rp.300.000,- dipotong Rp.70.000,-. Potongan tersebut, masing-masing Rp.20.000,- untuk keperluan pengurusan KTP dan kartu keluarga. Sisanya Rp.50.000,- untuk subsidi warga lain yang dianggap miskin tetapi tidak mendapat BLT. Pertaruhan PT Pos Indonesia. Tercatat enam orang rata-rata berusia 70 tahun meninggal dunia ketika sedang mengantri pencairan BLT. Antri berujung kematian itu sungguh memilukan dan memalukan. Untuk menghindari kejadian terulang, PT Pos menentukan hari pengambilan BLT untuk setiap desa secara bergilir (http://www.sinar-harapan.co.id/203/makalah-essai/2007. 4 Oktober 2009, pukul 23:00WIB). Dalam perspektif moral, mengemis seharusnya dianggap pekerjaan hina. Tetapi karena malas dan kurang atau tidak memiliki harga diri akhirnya memilih
untuk menerima BLT. Sebagai contoh ada Perda larangan seperti di Jakarta, memberi uang kepada pengemis di jalan maupun gerombolan pengemis yang semakin banyak di jalanan. Hal ini patut menjadi perhatian semua pihak terkait. Perda yang dibuat hanya bisa berjalan efektif bila dibarengi dengan pengawasan dilapangan. Perda tersebut hanya mungkin terlaksana bila dilakukan sosialisasi yang cukup kepada masyarakat dibarengi dengan upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Kalau hanya sekedar membuat Perda sementara sosialisasinya tidak berjalan, maka dipastikan jumlah penerima BLT akan semakin banyak. Sejalan dengan situasi perekonomian semakin sulit. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa rakyat miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara tetapi tidak dijalankan oleh pejabat pemerintah pusat maupun Prov/Kab/Kota. Kota Pematangsiantar memiliki jumlah penduduk 240.787 jiwa dengan luas 79,97 km. Terdiri dari 6 kecamatan yaitu Siantar Barat, Siantar Marihat, Siantar Martoba, Siantar Selatan, Siantar Timur, Siantar Utara, Siantar Sitala Sari. Khusus pada kecamatan Siantar Barat terdiri dari 7 kelurahan, salah satunya adalah Kelurahan Bantan. Kelurahan Bantan memiliki luas 3,21 km dan jumlah penduduk 45.291 jiwa dengan kepadatan penduduk 14.131 jiwa/km. Menurut data BPS Kota Pematangsiantar tahun 2006, bahwa jumlah rumah tangga miskin di Kota Pematangsiantar sebesar 11.908. Jumlah rumah tangga miskin tersebut terdiri dari 11.908 di Kecamatan Siantar Marihat, 2.306 di Kecamatan Siantar Martoba, 708 rumah tangga miskin di Kecamatan Siantar Selatan, 2.409 rumah tangga miskin di Kecamatan Siantar Timur, 1.850 rumah tangga miskin di Kecamatan Siantar Utara, 1.324 rumah tangga miskin di
Kecamatan Sitala Sari dan 1.305 rumah tangga miskin di Kecamatan Siantar Barat. Di Kelurahan Bantan Kecamatan Siantar Barat, menurut petugas kelurahan disana Program BLT pertama kali dilaksanakan pada tahun 2007. Ada 380 rumah tangga sasaran penerima BLT. Menurut petugas tersebut, pemerintah mengusulkan penerima bantuan di Kelurahan Bantan adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tahun 2007 sampai tahun 2008 penerima BLT tetap sebanyak 380 rumah tangga sasaran. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat miskin penerima BLT. Petugas kelurahan juga mengatakan masih ada masyarakat miskin yang tidak mendapatkan bantuan. Banyak hal yang mereka rasa ganjil dalam pelaksanaan program BLT. Penulis juga mendapat informasi dari beberapa warga penerima BLT yang mengatakan pada tahun 2008 mereka hanya menerima Rp. 200.000,- pada periode bulan Juni sampai Agustus. Alasan potongan tersebut dilakukan juga belum jelas. Posisi warga sebagai obyek dan penerima bantuan memiliki reaksi cenderung apatis dalam proses penetapan kebijakan dan persiapan penyaluran bantuan. Masyarakat masih belum dibiasakan untuk ikut berperan aktif dalam perencanaan pembangunan. Kebijakan BLT sama sekali tidak menunjukkan adanya kontribusi partisipasi masyarakat dalam proses penetapan. Masyarakat dihadapakan hanya pada satu pilihan untuk menerima kebijakan BLT sebagai alternatif untuk mengatasi kondisi. Sebagian masyarakat yang masih mampu mengimbangi laju kenaikan harga BBM tidak memberikan reaksi atas penetapan kebijakan BLT. Sementara warga miskin dan sangat miskin merasakan bahwa sekecil apapun
bantuan yang disediakan pemerintah sangat membantu untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup mereka. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik memilih Kelurahan Bantan sebagai tempat penelitian untuk melihat kebenaran dari pelaksanaan Program BLT tepat sasaran secara ilmiah dan manfaat BLT bagi penerima bantuan. Program BLT yang diterapkan Pemerintah menjadi latar belakang penulis tertarik mengadakan penelitian di daerah tersebut dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai di Kelurahan Bantan Kecamatan Siantar Barat Kota Pematangsiantar. 1.2 Perumusan Masalah Menurut M. Nazir ( 2003 : 111) perumusan masalah merupakan langkah yang penting karena langkah ini akan menentukan kemana suatu penelitian diarahkan. Perumusan masalah harus jelas dan tegas sehingga proses penelitian benar-benar terarah dan terfokus ke permasalahan yang jelas. Adapun perumusan masalah yang menjadi pokok penelitian ini adalah: Bagaimana pelaksanaan program bantuan langsung tunai di Kelurahan Bantan Kecamatan Siantar Barat Kota Pematangsiantar? 1.3 Pembatasan Penelitian Adapun pembatasan penelitian ini adalah Program (BLT) tahun 2007 dan 2008 di Kelurahan Bantan Kecamatan Siantar Barat Kota Pematangsiantar.
1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui evaluasi pelaksanaan program BLT di Kelurahan Bantan Kecamatan Siantar Barat Kota Pematangsiantar. 2. Untuk mengetahui manfaat BLT bagi penerima bantuan. 1.4.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk : 1. Dapat digunakan bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan yang berhubungan dengan Program BLT. 2. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis dalam mengembangkan kemampuan berpikir melalui karya ilmiah. 3. Dapat digunakan sebagai masukan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga miskin.
1.5 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penelitian terdiri dari : BAB I : PENDAHULUAN Bab I berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penlitian, serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab II menguraikan secara teoritis tinjauan-tinjauan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu Program Bantuan Langsung Tunai, kerangaka pemikiran, hipotesa, defenisi konsep, dan defenisi operasional pada penelitian ini. BAB III : METODE PENELITIAN Bab III berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisa data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab IV berisikan sejarah singkat serta gambaran umum lokasi di mana penulis melakukan penelitian. BAB V : ANALISA DATA Bab V berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian yaitu melalui quesioner yang dibagikan kepada Responden dalam penelitian ini yaitu penerima bantuan langsung tunai di Kelurahan Bantan Kecamatan Siantar Barat Kota Pematangsiantar. BAB VI : PENUTUP Bab VI berisikan kesimpulan dan saran sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.