Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjuan pustaka 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Fasciolosis spp

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

TREMATODA PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica

Taenia saginata dan Taenia solium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi Fasciola gigantica Morfologi dan Siklus Hidup

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

(Zingiber aromaticllmval~) TERHADAP PRODUKSI OOKISTA EilJleria spp P ADA AYAM

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Sistem Pencernaan Pada Hewan

Ciri-ciri umum cestoda usus

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indonesia Medicus Veterinus Oktober (5):

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PARASTOLOGI. Tugas 1. Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1. Editor : Vivi Pratika NIM : G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENYULUHAN TENTANG PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN KURBAN DI DESA ATEUK PAHLAWAN KECAMATAN BAITURRAHMAN BANDA ACEH

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM, BALI LINDA SAYUTI

Berikut tips mengenali dan memilih pangan yang berasal dari hewan yang memenuhi kriteria Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

PREVALENSI DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI DI KECAMATAN UJUNG LOE, KABUPATEN BULUKUMBA EKA ANNY SARI O

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

PREVALENSI FASCIOLOSIS PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN MALUSETTASI KABUPATEN BARRU

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Perbedaan bentuk F. hepatica (A) dan F. gigantica (B) (http//

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

BAB I. SIMBIOSIS DAN PARASITISME. A. Pendahuluan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI RENTAN INFEKSI CACING PARASIT (Fasciola hepatica) PADA HATI SAPI. Abstrak

KETERAMPILAN MEMBUAT APUSAN, MEWARNAI, MENGAWETKAN TINJA, DAN MENGIDENTIFIKASI PARASIT PADA APUSAN TINJA

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

HAMA DAN PENYAKIT IKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

STUDI KASUS FASCIOLOSIS DI RPH PURWODADI KABUPATEN GROBOGAN- JAWA TENGAH: DIAGNOSIS, DERAJAT INFEKSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. kehidupan masyarakat. Seekor atau kelompok ternak sapi bisa memenuhi berbagai

N E M A T H E L M I N T H E S

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI DI UPTD. RPH KOTA MAKASSAR, TAMANGAPA PERIODE AGUSTUS 2014

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013

FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi Cacing hati Fasciola gigantica panjangnya bisa mencapai 7 cm dengan lebar 1,5 cm. Cacing ini menimbulkan kerugian yang sangat besar pada dunia peternakan melalui penurunan berat badan, penurunan produksi susu, kulit dan bulu, pengafkiran hati hingga dapat menyebabkan kematian. Parasit ini menyerang sapi, kerbau, domba, kambing, kuda, babi dan kelinci. Cacing ini memiliki dua batil isap (sucker) yang berkembang baik yaitu batil isap mulut (oral sucker) dan batil isap perut (ventral sucker). Dibelakang batil isap mulut terdapat pharynx yang memiliki otot, diikuti oleh oeshophagus. Ususnya bercabang membentuk garpu dekat batil isap mulut dan membentang hingga bagian belakang tubuh dekat ekor. Diantara percabangan usus dan batil isap perut terdapat celah kelamin dengan kantung cirrus. Dibagian belakang dari batil isap perut terdapat lingkaran uterus dan sel telur, testis terletak dibelakang uterus. Morfologi Fasciola gigantica Fasciola gigantica memiliki kemiripan dengan Fasciola hepatica dalam morfologi, siklus hidup dan patogenitas. Karena itu, untuk membedakan kedua spesies ini seringkali sulit. Namun demikian dialam bebas, kedua cacing hati ini membutuhkan induk semang antara yang berbeda untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Perbedaan morfologis dapat dilihat melalui ukuran panjangnya. Lekukan pada kepala Fasciola gigantica relative lebih pendek dibandingkan Fasciola hepatica, sedangkan bahu pada Fasciola hepatica tidak

selebar bentuk bahu Fasciola gigantica. Selain itu, masa prepaten pada Fasciola gigantica lebih panjang daripada Fasciola hepatica. Di Indonesia hanya terdapat satu jenis Fasciola yaitu Fasciola gigantica. Penyebarannya meliputi semua kepulauan Indonesia dengan tingkat infeksi yang bervariasi. b. Siklus Hidup Siklus hidup dari Fasciola spp. bersifat heterxone. Mamalia merupakan induk semang definitive dari parasite ini, dengan induk semang perantaranya adalah siput air tawar. Saat parasite berada didalam tubuh induk semang definitive, terjadi perkembang biakan yang bersifat seksual, sedangkan didalam tubuh siput (induk semang perantara) perkembang biakan terjadi secara aseksual. Baik Fascila gigantica maupun Fasciola hepatica memiliki siput dari spesies yang berbeda sebagai induk semang antaranya. Telur berukuran lebih kurang 100 x 160 µm yang keluar bersama feses induk semang definitive akan berkembang biak bla berada didalam kondisi yang menunjang. Kondisi tersebut berupa kelembaban yang cukup, ketersediaan atau akses terhadap air tawar, serta temperature kamar. Pada saat embrio dalam telur sudah siap untuk menetas, ia akan membutuhkan sinar yang akan mengiduksi proses keluarnya embrio (mirasidium) dari operculum telur. Mirasidium akan berenang didalam air sampai ia menemukan induk semang antara yang sesuai. Pada Fasciola hepatica, induk semang antaranya adalah antara lain Lymnaea truncatula, L. occulata, dan L. turicula, L. peregra, L. tomentosa serta L. columella. Sedangkan pada Fasciola gigantica, yang berfungsi sebagai induk semang antaranya adalah antara lain siput jenis L. natalensis, L. auricularia dan L. rubignosa. Untuk Indonesia L. rubignosa merupakan induk semang antara yang paling sering ditemukan. Lymnaea rubiginosa gampang ditemukan pada sawah, terutama pada saat padi berumur dua bulan. Selain itu, siput jenis ini berkembang dengan baik pada wilayah yang memiliki system irigasi yang baik, sehingga menjamin keberadaan air secara permanen. Apabila mirasidium tidak menemukan induk semang antara yang tepat dalam waktu 24 jam, maka ia akan mati. Segera setelah larva ini menemukan siput, ia akan menembus tubuh siput, menetap didalamnya dan segera berubah menjad sporosista. Sporosista kemudian akan berkembang menjadi redia, yang juga akan berkembang menjadi redia anak (daughter redia). Didalam redia akan berkembang serkaria, yang nantinya setelah matang akan meninggalkan tubuh siput dan berenang di air. Apabila serkaria menemukan tempat yang datar, ia akan menempel dan membuang ekornya, menyelimuti tubuhnya dengan kitin dan berubah menjadi

metaserkaria. Ini adalah tahapan larva yang bersifat infektif dan siap untuk menginfeksi induk semang. Siklus Hidup Fasciola gigantica Infeksi pada induk semang terjadi secara oral-alimenter melalui tertelannya pakan yang mengandung metaserkaria. Ketika tertelan, metaserkaria akan mengalamu ekskistasi di dalam usus halus. Proses ini menyebabkan larva yang tebungkus oleh lapisan pelindungnya bias keluar untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Dari metaserkaria yang telah mengalami ekskistasi tersebut cacing muda akan keluar, menembus dinding duodenum dalam waktu 24 jam, serta bermigrasi menuju hati. Proses ini menyebabkan kerusakan pada dinding usus dan jaringan hati. Setelah 9-11 mingu, cacing akan berada didalam saluran empedu. c. Patogenesa Cacing hati ini hidup dalam kantung empedu dan dalam saluran empedu yang besar dalam hati. Cacing yang masih muda terdapat dalam saluran darah dalam jaringan hati dan menyebabkan kerusakan. Cacing menjadi dewasa setelah kira-kira 14-16 minggu dan dapat hidup 4-10 tahun lamanya.

Pada ruminansia kecil, fasiolodid biasanya tejadi dengan infestasi cacing yang banyak, seringkali diatas seratus ekor cacing. Perlukaan utamanya terjadi di parenkim hati. Kapsula hati terlihat keruh dan terlihat parutan pada parenkim hati. Dinding saluran empedu, kantung empedu serta saluran pancreas mengalami penebalan, namun tidak mengalami mineralisasi. Pada sapi, perlukaan umumnya terjadi secara billier. Dinding saluran empedu mengalami penebalan hingga mencapai 2 cm dan sering terjadi mineralisasi. Penebalan saluran ini biasanya terjadi dibawah kapsula hati, berwarna kuning kecoklatan dan hanya sebagian kecil dari lumen yang kelihatan. Bagian lumen lainnya penuh berisi cairan yang mengalami nekrosis, dan kadang-kadang terdapat cacing Fasciola. Pada sebagian kasus terlihat juga perbesaran hati dengan fibrosa, serta sirosis hati. Infestasi Fascila spp. dapat menimbulkan infeksi sekunder oleh bakteri, yang menyebabkan timbulnya abses hati. Sel-sel hati yang rusak pada kasus akut akan membebaskan GLDH (glutamatdehydrogenase) dan SDH (sorbit-dehydrogenase). Sedangkan pada kasus kronis enzim GGT (gammaglutamyltransferase) akan terlihat didalam darah. d. Gejala Klinis Pada umumnya gelaja klinis tidak spesifik, tergantung pada tingkat infeksi. Hasil pengamatan pada sapi yang terinfeksi Fasciola gigantica secara alami menunjukkan adanya obstipasi yang diselingi dengan diare, oedem pada intermandibular, anemi dan lesu. Hewan akan menunjukkan gejala kekurusan, lesu dan lemah. Pada kasus akut pada domba, hewan akan mengalami kematian secara tiba-tiba, pendarahan pada lubang hidung dan anus, mirip dengan pendarahan pada kasus anthrax. Pada kasus kronis, akan terdapat penumpukan cairan dibawah mandibular yang lebih dikenal dengan istilah bottle jaw. e. Diagnosa Adanya gejala klinis berupa anemi dan hypoalbumin, diikuti dengan tingginya kadar SDH, GLDH dan GGT dalam darah merupakan indikasi kuat untuk melakukan diagnose lanjutan terhadap Fasciolosis. Pada kasus kronis, diagnose dapat dilakukan dengan uji sedimentasi terhadap fesesna. Telur Fascia gigantica berbentuk bulat telur, berukuran antara 160 x 80 µm. f. Pengontrolan/Pemberantasan Control Fasciolosis dapat dilakukan dengan melakukan kombinasi pengontrolan siput dan pengobatan pada induk semang definitive.

g. Pengobatan Perkembangan obat-obat untuk Fasciolosis cukup pesat. Beberapa obat memiliki efek dan spesifikasi yang berbeda-beda. Oxyclozanide sangat efektif untuk membunuh fasciola tahap dewasa, dengan dosis 15-20 mg/kg bb pada kambing dan domba. Serta 10-15 mb/kg bb pada sapi dan kerbau. Rafoxanide juga efektif terhadap cacing Fasciola tahap dewasa. Juvenile dan anak dosisnya pada sapi dan domba adalah 7,5 mg/kg bb. Nitroxynit diberikan secara subkutan dengan dosis 10 mg/kg bb. Pemakaian tersebut menimbulkan keefektifan obat hingga 100% pada cacing tahap dewasa. Sebagian Anthelmintic dari keluarga Bezimidazole dan Ozfendazole juga efektif terhadap Fasciolosis. Selain itu, obat ini juga efektif pada cacing muda, bahkan pada cacing yang berumur satu hari. Daftar obat-obatan untuk Fasciolosis pada sapi dan domba Preparat Merek Dagang Dosis (Mg/Kg BB) Sapi/Domba Aplikasi Albendazole Valbazen 10/7,5 p.o Bromphenophos Clorsulon Acedist Curatrem 12/16,6 7/7,5 p.o p.o Clorsulon+Ivermectin Clorsulon F 2,0 + 0,2 s.c Closentel Flukiver 5/10 5/5 p.o parenteral Netobimin Hapadex 20/20 p.o Nitroxinyl Dovenix 10/10 s.c Oxyclozanid Diplin 10/17 p.o Oxyclozanid+Levamisol Diplin Kombi 10 + 7,5 p.o Rafoxanid Ranide 7,5/7,5 p.o Triclabendazole Fasinex 12/10 p.o

DAFTAR PUSTAKA Levine, Norman. D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. UGM Press : Yogyakarta. Staf Pengajar Parasitologi. 2008. Buku Ajar Parasitologi Veteriner & Penyakit Parasitik. FKH Unsyiah : Banda Aceh.