I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gagal jantung merupakan sindrom yang ditandai dengan ketidakmampuan jantung mempertahankan curah jantung yang cukup untuk kebutuhan tubuh sehingga timbul akibat klinis dan patofisiologi yang khas (Davey, 2005). Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang progresif yang menyebabkan tingginya angka kejadian masuk rumah sakit, penurunan kualitas hidup dan dengan angka mortalitas yang tinggi di negara maju maupun berkembang seperti Indonesia (Yancy, et al., 2013). Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan kecenderungan peningkatan insiden dan prevalensi gagal jantung di berbagai belahan dunia dengan perkiraan total insiden pada poulasi dewasa sebesar 26 juta (Ponikowski, et al., 2014). Kejadian gagal jantung di Amerika Serikat misalnya memiliki insidensi yang besar dan tetap stabil selama beberapa dekade terakhir, yaitu > 650.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya dengan angka kejadian 1,9% (Yancy, et al., 2013). Angka kejadian gagal jantung pada populasi orang dewasa di negara maju ratarata 2%. Angka kejadian gagal jantung meningkat seiring usia yang terjadi 1-2% pada orang berusia > 65 tahun dan 10% pada usia > 75 tahun (Fauci, et al., 2010). Prognosis gagal jantung buruk dan lebih dari 50% meninggal dalam waktu 3 tahun (Davey, 2005). Prevalensi penyakit jantung di Indonesia yaitu sebesar 9,2%, angka ini meningkat seiring dengan peningkatan umur. Angka ini juga lebih tinggi pada wanita, status ekonomi yang lebih rendah, perilaku merokok, pasien dengan
hipertensi dan obesitas (Delima dkk, 2009). Menurut laporan rumah sakit melalui Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007 menunjukkan bahwa gagal jantung merupakan kasus ketiga terbanyak dari seluruh jenis penyakit jantung. Data dari RSUP Dr. M. Djamil juga menyebutkan bahwa gagal jantung kongestif merupakan penyakit rawat inap kedua terbanyak pada tahun 2014, yaitu sebanyak 590 kasus. Pengobatan gagal jantung kongestif bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan mencegah perburukan penyakit jantung termasuk angka LOS (Length of Stay) (PERKI, 2015). Secara umum, terapi yang diberikan kepada pasien gagal jantung antara lain diuretik, inhibitor ACE (Angiotensin-Converting Enzyme), antagonis reseptor angiotensin II (ARB), antagonis aldosteron, β blocker dan digoksin (Dipiro, 2011). Pemberian terapi yang rasional diharapkan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas dari gagal jantung secara substansial (PERKI, 2015). Pengobatan gagal jantung dan intervensi dini diperlukan untuk mencegah dekompensasi, menunda perkembangan penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Beberapa faktor lainnya dapat pula mempengaruhi nilai outcome klinik pasien gagal jantung selama perawatan di rumah sakit seperti kapasitas fungsional berdasarkan klasifikasi New York Heart Association (NYHA), morbiditas, kualitas hidup pasien dan lama rawatan (Holland, et al., 2010). Klasifikasi NYHA merupakan klasifikasi gagal jantung berdasarkan pada derajat keterbatasan fungsional. Pembagian fungsional NYHA dibagi menjadi empat kelas (kelas I, II, III dan IV) yang menunjukkan tingkat beratnya penyakit dan menentukan progresifitas gagal jantung (Dickstein, et al., 2008). Kelas fungsional pada penderita gagal jantung cenderung berubah-ubah, bahkan dapat
terjadi tanpa perubahan pengobatan (Fauci, et al,. 2008). Klasifikasi NYHA dapat menentukan pilihan terapi pasien, selain itu juga dapat memprediksi lama rawatan, kualitas hidup dan mortalitas pasien dengan gagal jantung kongestif (Holland, et al., 2010; Clealand, et al., 2013). Selain fungsional NYHA sebagai penentu terapi pada pasien gagal jantung kongestif, keberadaan komorbiditas (penyakit penyerta) merupakan hal yang sangat penting pada tatalaksana. Adanya komorbiditas pada pasien dengan gagal jantung dapat mempengaruhi pengobatan gagal jantung dengan memperburuk gejala dan kondisi gagal jantung (Deursen, et al., 2013). Komorbiditas yang sering terjadi pada pasien gagal jantung yaitu angina, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia dan disfungsi ginjal serta sindroma kardiorenal (PERKI, 2015). Penelitian lain menunjukkan keberadaan komorbiditas dikaitkan dengan outcome klinik yang buruk (Holand, et al., 2010). Selain memperburuk kondisi, keberadaan komorbiditas dapat meningkatkan lama rawatan dan mortalitas pada pasien gagal jantung (Zannad, et al., 2013). Pasien gagal jantung dengan komorbiditas menyebabkan terjadinya polifarmasi, yaitu penggunaan lima macam obat atau lebih secara bersamaan bagi seorang individu untuk kondisi individu yang kompleks membutuhkan terapi (Duerden, et al., 2013). Polifarmasi ini memungkinkan terjadinya interaksi baik interaksi obat dengan obat maupun obat dengan penyakit yang dapat mempengaruhi hasil terapi pasien. Polifarmasi juga meningkatkan resiko adverse drug reaction yang pada penderita gagal jantung misalnya dapat memperparah kondisi gagal jantung (Mastromarino, et al,. 2014).
Penelitian yang dilakukan Oktavia (2013) pada pasien gagal jantung kongestif di RSUP Dr. M. Djamil Padang, penggunaan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dan furosemid menunjukkan terjadinya perbaikan nilai bersihan kreatinin dengan rata-rata perbaikan pada pasien dengan fungsi ginjal normal lebih tinggi dibanding pasien dengan fungsi ginjal terganggu. Namun, meskipun terdapat manfaat positif dari penggunaan kombinasi pada terapi gagal jantung kongestif, masih perlu dilakukan monitoring terapi. Misalnya pada penggunaan ACEI atau ARB, β-blocker, dan spironolakton dapat meningkatkan outcome pada pasien gagal jantung tetapi juga dapat meningkatkan resiko jatuh dan syncope (Ruwald, et al., 2013). Selain itu penggunaan ACE inhibitor atau ARB dan antagonis aldosteron dapat meningkatkan kreatinin serum dan resiko hiperkalemia (Dickstein, et al., 2008). Resiko hiperkalemia meningkat pada pasien gagal jantung kongestif yang menggunakan ACEI, ARB dan spironolakton (Raebel, 2012). Hiperkalemia paling sering muncul pada saat awal terapi ARB, sehingga perlu dilakukan monitoring kadar kalium serum dan laju filtrasi glomerolus setelah memulai terapi atau beberapa hari setelah terapi namun tidak lenih dari satu minggu terutama pada pasien yang beresiko (Park, et al., 2014). Risiko ini meningkat dengan kombinasi terapi dengan furosemid (Saito, et al., 2005) dan faktor klinis lainnya yang mempengaruhi seperti diabetes mellitus dan creatinine clearance < 40 ml/menit (Ramadan, et al., 2005). Penelitian terkait terapi pada pasien gagal jantung kongestif telah dilakukan sebelumnya oleh Rahmad Abdillah (2012) di RSUP Dr. M. Djamil Padang mengkhususkan untuk mengetahui penggunaan diuretika terhadap elektrolit tubuh
dan fungsi ginjal pada pasien rawat inap kardiovaskular. Penelitian tersebut menunjukkan penggunaan kombinasi dua diuretika bersama-sama dengan obat kardiovaskular lainnya memberikan gangguan keseimbangan elektrolit yang nyata terutama untuk ion Na + dan penurunan terbesar untuk nilai klirens kreatinin. Penelitian lainnya mengenai kajian Drug Related Problem (DRP) pada pasien gagal jantung kongestif telah dilakukan oleh Damayanti (2009) dan Hadiatussalamah (2013). Penelitian Damayanti (2009) mengkhususkan pada pasien gagal jantung dengan penyakit penyerta hanya diabetes mellitus di RSAL Dr. Ramelan Surabaya dengan DRP yang paling banyak terjadi adalah interaksi obat, disusul dengan obat tidak tepat dan Adverse Drug Reaction (ADR). Outcome akibat DRP yang timbul adalah meningkatnya faktor resiko penyakit kronik. Penelitian oleh Hadiatussalamah (2013) di RSUP Dr. Mohammad hosein Palembang hanya menggambar kejadian DRP secara deskriptif dengan prevalensi kejadian DRP sebesar 32,87%. Mengingat semakin meningkatnya angka kejadian gagal jantung kongestif dan kompleksnya terapi yang diberikan, maka perlu dilakukan monitoring terapi agar keberhasilan terapi obat dapat tercapai. Meskipun penelitian mengenai dampak terapi pada pasien gagal jantung kongestif telah dilakukan di berbagai negara, namun outcome klinik dan faktor resiko yang terkait pada pasien gagal jantung kongestif yang dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang belum sepenuhnya dimengerti. Pada penelitian ini, selain melihat hubungan terapi dengan outcome klinik, juga akan dinilai pengaruh tingkat keparahan dan komorbiditas penyakit terhadap hasil terapi pasien gagal jantung kongestif.
1.2 Perumusan Masalah 1) Bagaimana hubungan tingkat keparahan terhadap outcome klinik pada pasien gagal jantung kongestif yang dirawat di bangsal penyakit dalam dan jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang? 2) Bagaimana dampak komorbiditas terhadap outcome klinik pada pasien gagal jantung kongestif yang dirawat di bangsal penyakit dalam dan jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang? 3) Bagaimana hubungan terapi terhadap outcome klinik pada pasien gagal jantung kongestif yang dirawat di bangsal penyakit dalam dan jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat keparahan, komorbiditas dan terapi terhadap outcome klinik pada pasien gagal jantung kongestif di bangsal penyakit dalam dan jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang. 1.3.2 Tujuan Khusus 1) Mengetahui tingkat keparahan penyakit pada pasien gagal jantung kongestif yang dirawat di bangsal penyakit dalam dan jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang.
2) Mengetahui penyakit penyerta dan terapi yang diberikan pada pasien gagal jantung kongestif di bangsal penyakit dalam dan jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang. 3) Mengetahui pola peresepan obat terapi gagal jantung kongestif pada pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam dan jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang. 1.4 Manfaat Penelitian 1) Bagi peneliti diharapkan dapat dijadikan rujukan dan bahan pertimbangan serta sebagi dasar penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih baik. 2) Bagi manajemen RSUP Dr. M. Djamil Padang, hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi karakteristik sosiodemografi, komorbiditas dan terapi pasien gagal jantung konegstif dan dampaknya terhadap perbaikan klinis pasien. 3) Bagi pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pendukung teori yang sudah ada dan sumbangan ilmu pengetahuan tentang hubungan terapi dengan hasil terapi pada pasien gagal jantung kongestif.
1.5 Hipotesis H0.1: Perbedaan jenis terapi tidak memiliki dampak terhadap nilai ratarata outcome klinik pasien gagal jantung kongestif. H1.1: Perbedaan jenis terapi memiliki dampak terhadap nilai rata-rata outcome klinik pasien gagal jantung kongestif. H0.2: Perbedaan tingkat keparahan pasien tidak memiliki dampak terhadap nilai rata-rata outcome klinik pasien gagal jantung kongestif. H1.2: Perbedaan tingkat keparahan pasien memiliki dampak terhadap nilai rata-rata outcome klinik pasien gagal jantung kongestif. H0.3: Perbedaan jumlah komorbiditas pasien tidak memiliki dampak terhadap nilai rata-rata outcome klinik pasien gagal jantung kongestif. H1.3: Perbedaan jumlah komorbiditas pasien memiliki dampak terhadap nilai rata-rata outcome klinik pasien gagal jantung kongestif