VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

dokumen-dokumen yang mirip
VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU. Umumnya petani ubi kayu Desa Pasirlaja menggunakan seluruh lahan

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PAPRIKA HIDROPONIK

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHA TANI PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN TANPA SPO

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Petani cabai merah lahan pasir pantai di Desa Karangsewu berusia antara

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT PADA PETANI MITRA DAN NON MITRA

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CAISIM

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani

VI PENDAPATAN USAHATANI JAMBU BIJI

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI UBI JALAR

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL

KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK TANI DALAM PEMANFAATAN SARANA PRODUKSI PADA USAHATANI BELIMBING

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. yang tidak mengalami kelangkaan pupuk dilihat berdasarkan produktivitas dan

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L)

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. BAHAN DAN METODE

IV METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. aktivitas dan produktivitas kerja. Jumlah petani pada pola tanam padi-ubi

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHA BUDIDAYA UDANG GALAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

SURVEI PENDAPATAN USAHATANI JAMBU BIJI

METODE PENELITIAN. status suatu gejala yang ada. Data dikumpulkan disusun, dijelaskan dan kemudian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pekerjaan sampingan dan pengalaman bertani. Berdasarkan umur, usia antara tahun adalah usia produktif, sementara usia

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Lahan Percobaan Lapang Terpadu dan Laboratorium

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL dan PEMBAHASAN

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca laboratorium Lapangan Terpadu

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan. Kabupaten Pesawaran dari Oktober 2011 sampai April 2012.

III. METODELOGI PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

V HASIL DAN PEMBAHASAN. Umur petani berpengaruh terhadap tingkat produktivitas kerja dari petani tersebut.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI TUGAS AKHIR (TA)

ANALISIS USAHATANI KACANG PANJANG (Vigna sinensis L.) VARIETAS PARADE (Studi Kasus di Kelurahan Pataruman Kecamatan Pataruman Kota Banjar)

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Gambaran Umum Usahatani Tomat di Desa Lebak Muncang

VII. ANALISIS PENDAPATAN

Universitas Sumatera Utara

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional. mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE

SURYA AGRITAMA Volume 2 Nomor 1 Maret 2013

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE KEGIATAN TUGAS AKHIR (TA) A. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan Tugas Akhir (TA) dilaksanakan di Dusun Selongisor RT 03 RW 15, Desa Batur,

II. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

BAB IV METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

VII ANALISIS PENDAPATAN

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

IV METODOLOGI PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. penerimaan yang diperoleh petani kedelai, pendapatan dan keuntungan yang

Pemeliharaan Ideal Pemeliharaan ideal yaitu upaya untuk mempertahankan tujuan dan fungsi taman rumah agar sesuai dengan tujuan dan fungsinya semula.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaan Usahatani Pembedengan Bibit

METODE PENELITIAN. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian kelayak usahatani dengan

BAB VII KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

IV. METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

PELAKSANAAN PENELITIAN. dan produksi kacang hijau, dan kedua produksi kecambah kacang hijau.

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data

LAMPIRAN. Pendidikan Terakhir. B. Karakteristik dan Pendapatan Rumah Tangga Responden. Status Penguasaan

METODE PENELITIAN. merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi

Transkripsi:

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani yang dijalankan oleh petani. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini untuk menganalisis pendapatan usahatani belimbing dewa adalah dengan cara membandingkan antara penggunaan input, produksi, penerimaan serta pendapatan usahatani petani sebelum dan setelah menerima kredit PKBL. Pembahasan dilakukan dengan menggabungkan data semua petani responden. Hal ini dilakukan karena adanya keragaman usia pohon yang besar dari setiap petani responden sehingga pembahasan tidak dapat dilakukan berdasarkan kelompok umur. Data yang dianalisis merupakan data petani responden sebelum menerima kredit PKBL (tahun 2007) dan data petani responden setelah menerima kredit (tahun 2010). Pengambilan data pada periode tahun 2007 dilakukan karena petani belimbing dewa di kota Depok baru memperoleh kredit pada tahun 2008. Sedangkan pemilihan periode tahun 2010 dikarenakan pada tahun tersebut tidak ada lagi petani yang memperoleh kredit PKBL. Analisis pendapatan usahatani ini menggunakan hasil perhitungan rata-rata dari responden dalam periode satu tahun atau tiga kali musim panen per sepuluh pohon. Hasil dari analisis pendapatan belimbing dewa ini diharapkan dapat menjadi gambaran umum mengenai pengaruh kredit PKBL terhadap pendapatan yang diperoleh petani dari hasil budidaya belimbing dewa. 6.1. Penggunaan Kredit Sebelum membahas analisis pendapatan usahatani belimbing dewa, terlebih dahulu akan dibahas tentang penggunaan kredit petani responden. Sebagian besar petani responden menggunakan dana kredit untuk kegiatan usahatani dan keperluan rumah tangga. Jika dilihat pada Lampiran 1, sebesar 60,49 persen dari total dana kredit yang diterima digunakan untuk kegiatan usahatani. Petani menggunakan dana kredit untuk penyediaan input produksi 49

seperti pupuk dan pestisida. Selain itu, petani juga menggunakan dana kredit yang diperoleh untuk membeli alat-alat pertanian seperti tangki semprot serta pembuatan sumur. Selain untuk kegiatan usahatani, petani juga menggunakan dana kredit sebesar 34,66 persen untuk keperluan rumah tangga dan 4,85 persen untuk kegiatan usaha lain. Jumlah penggunaan dana kredit di luar kegiatan usahatani yang terlalu besar ini dapat berakibat pada tidak tercapainya tujuan dari penyaluran kredit PKBL, yaitu untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani belimbing dewa. Berdasarkan hasil wawancara, penyimpangan penggunaan dana kredit ini terjadi karena ketika petani memperoleh dana kredit tersebut, petani tidak dalam masa kegiatan usahatani yang memerlukan dana yang besar seperti pemupukan sehingga banyak petani yang menggunakan dana kredit untuk keperluan lain. Penyimpangan penggunaan dana ini dikhawatirkan akan berdampak pada tidak meningkatnya produksi dan pendapatan petani belimbing dewa setelah menerima kredit. 6.2. Jumlah Pohon Belimbing Berikut ini akan dijelaskan jumlah pohon belimbing dari masing-masing petani responden menurut kelompok umur. Kelompok umur dibagi menjadi empat kelompok umur yaitu 3-5 tahun, 6-10 tahun, 11-15 tahun dan di atas 16 tahun. Pembagian kelompok umur ini didasarkan atas produktivitas pohon belimbing rata-rata per tahun yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Kota Depok. Jumlah pohon Belimbing Dewa petani responden menurut kelompok umur dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada Lampiran 2, dapat dilihat bahwa jumlah pohon pada tahun 2010 mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2007. Hal ini terjadi karena sebagian petani menggunakan dana kredit untuk menambah jumlah pohon yang dibudidayakan dengan cara menyewa maupun dengan sistem bagi hasil. Pada Lampiran 2 juga dapat dilihat besarnya keragaman umur pohon belimbing yang dimiliki oleh petani responden sehingga sulit untuk melakukan analisis pendapatan usahatani belimbing dewa berdasarkan kelompok umur. Untuk 50

mempermudah serta mengurangi kesalahan pada analisis ini, digunakan metode pembobotan usia pohon. Metode pembobotan usia pohon dilakukan untuk menyamakan usia pohon dari seluruh pohon yang dimiliki oleh petani responden sehingga analisis pendapatan usahatani dapat dilakukan berdasarkan jumlah pohon. Analisis pendapatan usahatani ini dilakukan dengan satuan per sepuluh pohon. Berdasarkan informasi dari PPL di lokasi penelitian, kelompok usia 3-5 tahun memiliki rata-rata produktivitas sebesar 125 kilogram per pohon per tahun, kelompok usia 6-10 tahun memiliki rata-rata produktivitas sebesar 300 kilogram per pohon per tahun, kelompok usia 11-15 tahun memiliki rata-rata produktivitas sebesar 500 kilogram per pohon per tahun, dan untuk kelompok usia lebih dari 16 tahun memiliki rata-rata produksi lebih dari 700 kilogram per pohon per tahun. Berdasarkan nilai rata-rata produktivitas tersebut, maka didapat nilai pembobotan untuk tiap kelompok umur masing-masing, yaitu 0,18; 0,43; 0,71, dan 1. Jumlah pohon belimbing setelah dibobot dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3, dapat dilihat rata-rata jumlah pohon setelah dibobot yang dimiliki oleh petani pada tahun 2007 adalah 32 pohon dengan rata-rata produksi per tahun sebesar 132,26 kilogram. Sedangkan untuk tahun 2010, rata-rata jumlah pohon setelah dibobot adalah 38 pohon dengan rata-rata produksi per tahun sebesar 108,13 kilogram. Peningkatan jumlah rata-rata pohon setelah dibobot pada tahun 2010 disebabkan bertambahnya usia pohon belimbing yang dimiliki oleh petani responden sehingga pohon yang dimiliki oleh petani masuk ke dalam kelompok usia yang lebih tinggi. Namun apabila dilihat dari rata-rata produksi per pohon pada tahun 2010 mengalami penurunan. Berkurangnya produksi diduga karena bunga yang akan menjadi bakal buah gugur dikarenakan faktor angin dan hujan serta karena adanya serangan lalat buah yang mengakibatkan gagal panen. 6.3. Penggunaan Sarana Produksi dalam Usahatani Belimbing Dewa Berikut ini akan dijelaskan penggunaan sarana produksi yang digunakan dalam usahatani belimbing dewa sebelum dan setelah menerima kredit. Sarana 51

produksi yang digunakan adalah pupuk, pestisida, pembungkus buah, tenaga kerja dan alat-alat pertanian. 6.3.1. Penggunaan Pupuk Pupuk yang digunakan oleh petani responden dalam usahatani belimbing dewa antara lain adalah pupuk organik (pupuk kandang), pupuk anorganik (pupuk NPK dan Urea) dan pupuk daun (Gandasil). Ketiga jenis pupuk yang digunakan petani tersebut biasa diperoleh petani di kios penjualan sarana produksi pertanian yang ada di masing-masing lokasi penelitian. Banyaknya pupuk kandang yang digunakan oleh tiap-tiap petani responden berkisar antara 30-60 kilogram per pohon dalam satu kali pemupukan yang diberikan setiap satu atau dua kali setahun. Pemberian pupuk kandang yang dilakukan oleh petani responden ini bergantung pada sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing petani responden. Sedangkan dosis penggunaan pupuk kandang yang sesuai dengan SOP belimbing dewa adalah 40-60 kilogram per pohon per sekali pemupukan yang diberikan tiap empat bulan sekali. Tabel 11. Penggunaan Pupuk per Tahun pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2007 dan 2010 Jenis Pupuk Penggunaan Pupuk (kg/10 pohon/tahun) 2007 2010 Selisih Pupuk Kandang 1.451,52 1.087,72-363,8 Pupuk NPK 32,8 29,39-3,41 Pupuk Urea 29,98 23,4-6,58 Pupuk Gandasil 3,77 2,68-1,09 Berdasarkan Tabel 11, jumlah penggunaan pupuk kandang petani responden per sepuluh pohon pada tahun 2007 adalah sebanyak 1.451,52 kilogram. Namun, jumlah ini menurun pada tahun 2010 menjadi 1.087,72 kilogram. Penurunan sebesar 363,8 kilogram ini terjadi karena petani dalam memenuhi jumlah pemberian pupuk kandang bergantung pada sumberdaya yang dimiliki pada saat pemberian pupuk. Dari 33 petani responden, lima orang diantaranya tidak menggunakan pupuk kandang dalam tehnik budidaya belimbing. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa petani tidak menggunakan pupuk 52

kandang dalam tehnik budidaya belimbing karena mereka menganggap bahwa penggunaan pupuk untuk budidaya belimbing sudah cukup dengan menggunakan pupuk NPK dan Urea. Untuk jumlah penggunaan pupuk NPK per sepuluh pohon pada tahun 2007 adalah sebanyak 32,8 kilogram dan 29,39 kilogram untuk tahun 2010. SOP belimbing dewa untuk penggunaan pupuk NPK per pohon per sekali pemupukan adalah sebanyak 0,7-1 kilogram. Pemberian pupuk NPK dalam satu tahun dilakukan sebanyak tiga kali. Penggunaan pupuk NPK yang dilakukan oleh petani responden sudah sesuai dengan SOP belimbing dewa. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Penggunaan rata-rata per pohon petani responden pada tahun 2007 adalah sebesar 3,28 kilogram per tahun atau sebesar 1,09 kilogram per sekali pemupukan dan untuk tahun 2010 adalah sebesar 2,94 kilogram atau sebesar 0,98 kilogram per sekali pemupukan. Berdasarkan Tabel 11, jumlah pengunaan pupuk urea per sepuluh pohon untuk tahun 2007 dan 2010 tidak jauh berbeda. Untuk tahun 2007, jumlah penggunaan pupuk urea per sepuluh pohon adalah sebanyak 29,98 kilogram dan 23,40 kilogram untuk tahun 2010. Penggunaan pupuk urea sebenarnya tidak ada dalam SOP belimbing dewa di Kota Depok. Petani menggunakan pupuk urea dalam budidaya belimbing dikarenakan hal itu sudah menjadi kebiasaan budidaya belimbing yang telah dilakukan sejak sebelum adanya SOP. Hal ini dapat dilihat dari total petani yang menggunakan pupuk urea adalah sebanyak 30 petani dari total 33 petani responden. Selain menggunakan pupuk yang diberikan di dekat perakaran tanaman, petani responden juga rutin menyemprotkan pupuk cair pada tanaman belimbing yaitu pupuk gandasil. Pupuk cair pada budidaya belimbing berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan bunga. Dosis pemakaian pupuk gandasil pada petani responden telah sesuai dengan dosis yang dianjurkan, yakni sebanyak satu gram per liter air. Pupuk ini disemprotkan ke tanaman belimbing tiap dua minggu sekali selama dua bulan berturut-turut dalam satu kali musim panen. Artinya dalam satu kali musim panen, penyemprotan pupuk gandasil dapat dilakukan sebanyak empat kali. 53

Rata-rata penggunaan pupuk gandasil per sepuluh pohon pada tahun 2007 adalah sebesar 3,77 kilogram dengan jumlah rata-rata penggunaan pupuk per pohon sebesar 0,38 kilogram. Sedangkan untuk tahun 2010 adalah sebesar 2,68 kilogram dengan jumlah rata-rata penggunaan pupuk sebesar 0,27 kilogram. Jika dilihat secara keseluruhan, jumlah penggunaan semua jenis pupuk pada tahun 2010 mengalami penurunan. Penurunan jumlah penggunaan pupuk ini diakibatkan terjadinya kenaikan harga semua input pupuk pada tahun 2010. Sehingga banyak petani yang mengurangi dosis penggunaan pupuk pada tahun 2010. 6.3.2. Penggunaan Pestisida Pestisida juga merupakan salah satu input atau sarana produksi yang digunakan oleh petani responden dalam kegiatan usahatani belimbing dewa. Pengaruh penggunaan pestisida yang tepat akan sangat terlihat pada penurunan populasi hama dan penyakit tanaman, termasuk pada tanaman belimbing dewa. Pestisida yang umumnya digunakan oleh petani responden diantaranya adalah dengan merek dagang Curacron 500 EC dan Decis 2,5 EC. Penggunaan kedua jenis pestisida tersebut dilakukan dengan cara disemprotkan ke permukaan daun dan batang tanaman pada pagi atau sore hari. Teknik budidaya dan perawatan tanaman Belimbing semua petani responden pada umumnya tidak jauh berbeda, begitu pula dengan frekuensi penyemprotan pestisida. Penyemprotan pestisida ini berlangsung selama dua bulan berturut-turut dalam satu kali musim panen. Cara penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani responden satu dengan petani responden yang lain juga sama. Cara penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani setempat adalah dengan mencampur kedua jenis pestisida yaitu Curacron dan Decis dalam satu adukan kemudian disemprotkan. Namun, menurut hasil wawancara dengan PPL di lokasi penelitian setempat, cara penggunaan pestisida yang tepat adalah dengan tidak mencampur beragam jenis pestisida dalam satu adukan. Pestisida yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan jenis serangan HPT yang terjadi pada tanaman. Mencampur beragam jenis 54

pestisida dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Namun hal ini dilakukan oleh petani dengan alasan untuk lebih menghemat biaya pestisida yang dikeluarkan. Tabel 12. Penggunaan Pestisida per Tahun pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2007 dan 2010 Nama Pestisida Penggunaan Pestisida (liter/10 pohon/tahun) 2007 2010 Selisih Curacron 1,03 1,16 0,13 Decis 1,56 1,23-0,33 Total penggunaan pestisida per tahun pada tahun 2007 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 12. Jumlah penggunaan pestisida curackron per sepuluh pohon pada tahun 2010 adalah sebanyak 1,16 liter, jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu sebanyak 1,03 liter. Berbeda dengan pestisida curacron yang mengalami peningkatan jumlah penggunaan, pestisida decis mengalami penurunan jumlah penggunaan. Untuk jumlah penggunaan pestisida decis per sepuluh pohon tahun 2007 adalah sebanyak 1,56 liter sedangkan untuk tahun 2010 adalah sebanyak 1,23 liter. Penurunan jumlah ratarata penggunaan ini dikarenakan terjadi kenaikan harga decis pada tahun 2010 yang cukup tinggi bila dibandingkan kenaikan harga pestisida curacron. Sehingga untuk campuran pestisida, petani lebih memilih untuk memperbanyak penggunaan pestisida curacron dibandingkan pestisida decis. Selain pestisida yang disemprotkan langsung ke tanaman belimbing, petani reponden juga menggunakan perangkap lalat buah yaitu Petrogenol 800 L. Perangkap lalat buah dibuat dari kemasan air mineral ukuran 600 milliliter yang telah dilubangi dan diberi kapas yang telah ditetesi cairan petrogenol. Kapas yang ditetesi cairan petrogenol harus diganti secara rutin dalam dua minggu sekali. Namun pada kenyataannya, petani responden malas untuk mengganti kapas yang terdapat pada perangkap lalat buah tersebut, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kembali serangan lalat buah yang dapat menurunkan produksi belimbing dewa. Menurut SOP belimbing dewa, satu kemasan petrogenol lima milliliter dapat digunakan untuk membuat tiga perangkap lalat buah, namun 55

sebagian besar petani responden membuat lima perangkap lalat buah untuk satu kemasan petrogenol. Jumlah penggunaan petrogenol per sepuluh pohonuntuk tahun 2007 adalah sebanyak 497,64 mililiter dengan jumlah rata-rata penggunaan per pohon sebanyak 15,08 mililiter. Sedangkan untuk tahun 2010, Jumlah penggunaan petrogenol per sepuluh pohon adalah sebanyak 13,98 mililiter dengan jumlah penggunaan rata-rata per pohon sebanyak 1,40mililiter. 6.3.3. Penggunaan Bahan Pembungkus Buah Ada dua jenis bahan pembungkus yang dapat digunakan oleh petani responden yaitu kertas karbon dan plastik mulsa hitam perak. Pada tahun 2007, semua petani responden masih menggunakan kertas karbon, namun pada tahun 2010, sebagian petani mulai menggunakan plastik mulsa hitam perak dikarenakan petani semakin sulit untuk memperoleh kertas karbon. Tabel 13. Penggunaan Kertas Karbon dan Plastik Mulsa pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2007 dan 2010 Jenis Pembungkus Penggunaan Pembungkus 2007 2010 Selisih Karbon (kwintal) 30 14,8-15,2 Mulsa (roll) 0 58,0 58,0 Total penggunaan kertas karbon petani responden pada tahun 2007 lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan kertas kabon pada tahun 2010 (Tabel 13). Hal ini terjadi karena pada tahun 2010 sebagian besar petani beralih menggunakan plastik mulsa karena semakin langkanya kertas karbon di pasar. Pada tahun 2010, sebanyak delapan belas petani responden masih menggunakan kertas karbon. Dari delapan belas petani tersebut, tiga orang diantaranya juga menggunakan plastik mulsa. Beralihnya petani responden menggunakan plastik mulsa selain karena semakin langkanya kertas karbon juga dikarenakan plastik mulsa dapat digunakan lebih lama dari kertas karbon, yaitu dapat digunakan maksimal sembilan kali musim panen atau tiga tahun, berbeda dengan kertas karbon yang hanya dapat 56

digunakan maksimal tiga kali musim panen. Disamping itu, jika dilihat dari segi kualitas buah yang dihasilkan juga tidak jauh berbeda antara buah yang dibungkus dengan kertas karbon dan buah yang dibungkus dengan plastik mulsa. 6.3.4. Penggunaan Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan oleh petani responden adalah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Semua kegiatan budidaya belimbing dewa yang dilakukan dikerjakan seluruhnya oleh tenaga kerja laki-laki. Penggunaan tenaga kerja baik TKDK maupun TKLK diperlukan dalam kegiatan pemupukan, pemangkasan, sanitasi kebun dan penyemprotan pestisida, pembungkusan dan pemanenan. Jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam analisis usahatani Belimbing Dewa menggunakan satuan HOK (Hari Orang Kerja). Jumlah jam kerja di lokasi penelitian berkisar delapan jam per hari. Jam kerja dimulai dari pukul 07.00-12.00 kemudian dilanjutkan pada pukul 13.00-16.00 yang dihitung sebagai satu HOK. Upah untuk satu HOK di lokasi penelitian untuk tahun 2007 adalah sebesar Rp.35.000 dan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp 50.000. Pada Tabel 14 dapat dilihat total penggunaan tenaga kerja pada budidaya Belimbing Dewa. Penggunaan tenaga kerja terbesar untuk tahun 2007 dan 2010 pada budidaya Belimbing Dewa adalah pada kegiatan sanitasi dan penyemprotan serta pembungkusan dan penjarangan. Kedua kegiatan ini merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak HOK. Sanitasi dan penyemprotan dilakukan setiap dua sampai tiga minggu sekali selama dua bulan. Pada tahun 2007 dan 2010, persentase pengunaan HOK untuk kegiatan ini adalah sebesar 32,65 persen.. Sedangkan kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah membutuhkan banyak tenaga kerja karena kegiatan ini harus dilakukan dalam waktu yang cepat untuk mencegah terjadinya serangan lalat buah. Persentase penggunaan HOK untuk kegiatan ini pada tahun 2007 dan 2010 adalah sebesar 27,12 persen dan 30,46 persen. 57

Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja per Tahun pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2007 dan 2010 Kegiatan 2007 2010 Jumlah % Jumlah % Selisih Pemupukan 8,99 10,29 7,63 9,76-1,36 Pemangkasan 14,59 16,69 10,56 13,52-4,03 Sanitasi dan penyemprotan 28,54 32,65 25,52 32,65-3,02 Pembungkusan dan penjarangan buah 23,71 27,12 23,81 30,46 0,1 Pemanenan 11,59 13,26 10,64 13,61-0,95 Total 87,42 100,00 78,16 100,00-9,26 Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani belimbing dewa dibagi atas dua kelompok, yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Pada Tabel 15 dapat dilihat penggunaan TKDK petani belimbing dewa pada tahun 2007 dan 2010. Penggunaan tenaga kerja terbesar adalah pada kegiatan sanitasi dan penyemprotan, yaitu sebesar 48,59 persen dari total penggunaan tenaga kerja pada tahun 2007 dan sebesar 50,91 persen untuk tahun 2010. Tabel 15. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) per Tahun pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota DepokTahun 2007 dan 2010 Kegiatan 2007 2010 Jumlah % Jumlah % Selisih Pemupukan 3.84 8,58 3.09 7,83-0.75 Pemangkasan 7.53 16,84 4.83 12,25-2.70 Sanitasi dan penyemprotan 21.73 48,59 20.06 50,91-1.67 Pembungkusan dan penjarangan buah 8.37 18,72 8.41 21,33 0.04 Pemanenan 3.25 7,27 3.02 7,67-0.23 Total 44.73 100,00 39.4 100,00-5.33 Kegiatan ini memiliki persentase terbesar dari total penggunaan tenaga kerja dalam keluarga karena dilakukan setiap dua sampai tiga kali seminggu selama kurang lebih dua sampai tiga bulan. Penurunan jumlah penggunaan tenaga kerja pada kegiatan sanitasi dan penyemprotan terjadi karena sebagian petani mengurangi frekuensi penyemprotan, yang semula tiga kali dalam satu minggu menjadi dua kali dalam satu minggu. 58

Selain menggunakan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga, petani responden tentunya juga mempekerjakan orang dari luar kelurga untuk membantu menyelesaikan kegiatan budidaya tanaman belimbing dewa. Pada Tabel 16 dapat dilihat penggunaan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) petani reponden pada tahun 2007 dan tahun 2010. Tabel 16. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) per Tahun pada Usahatani Belimbing Dewadi Kota DepokTahun 2007 dan 2010 Kegiatan 2007 2010 Jumlah % Jumlah % Selisih Pemupukan 5.15 12,07 4.55 11,73-0.60 Pemangkasan 7.06 16,54 5.74 14,81-1.32 Sanitasi dan penyemprotan 6.81 15,95 5.45 14,07-1.36 Pembungkusan dan penjarangan buah 15.33 35,91 15.4 39,74 0.07 Pemanenan 8.34 19,53 7.61 19,65-0.73 Total 42.70 100,00 38.75 100,00-3.95 Persentasi penggunaan tenaga kerja terbesar untuk tahun 2007 dan 2010 adalah pada kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah yaitu sebesar 35,91 persen dan 39,74 persen. Kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dikarenakan kegiatan ini harus dilakukan dalam waktu yang cepat karena apabila terjadi keterlambatan dalam kegiatan pembungkusan ini akan menyebabkan serangan hama lalat buah yang lebih awal. 6.3.5. Penggunaan Alat Pertanian Alat-alat pertanian yang digunakan pada usahatani Belimbing Dewa petani responden antara lain adalah drum air, cangkul, tangki semprot, parang, timbangan, gunting, tangga, kertas karbon, plastik mulsa, dan mesin penyemprot. Peralatan yang digunakan oleh petani responden adalah milik sendiri. Petani tidak selalu membeli alat-alat pertanian yang mereka gunakan di setiap musim panen, hal ini dikarenakan alat pertanian tersebut masih dapat digunakan lebih dari satu kali musim panen. Biaya penyusutan peralatan pertanian yang digunakan dalam usahatani belimbing dewa dibebankan ke dalam biaya diperhitungkan. Pembebanan 59

penyusutan peralatan pertanian ini dihitung dengan menggunakan metode garis lurus (straight line method) dengan asumsi peralatan setelah umur teknis tidak dapat digunakan lagi dan tidak dapat dijual kembali. 6.4. Biaya Usahatani Belimbing Dewa Analisis biaya pada usahatani belimbing dewa dibagi menjadi dua yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya yang nilainya dipengaruhi oleh besarnya produksi belimbing dewa yang dihasilkan. Sedangkan biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak ditentukan oleh besarnya produksi yang dihasilkan. Biaya variabel pada usahatani belimbing dewa baik pada petani responden adalah biaya pupuk, biaya pestisida,dan biaya tenaga kerja (TKDK dan TKLK), serta pembayaran bagi hasil. Sementara yang digolongkan ke dalam jenis biaya tetap dalam usahatani belimbing dewa antara lain adalah biaya pajak lahan, biaya sewa, biaya alat-alat pertanian (umur ekonomis kurang dari satu tahun) dan biaya penyusutan alat-alat pertanian (umur ekonomis lebih dari satu tahun). Biaya variabel dan biaya tetap yang dibebankan kepada petani ada yang bersifat tunai dan ada yang bersifat tidak tunai (diperhitungkan). Pembagian jenis biaya tunai dan diperhitungkan ini dinilai penting karena analisis pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini juga dibagi menjadi dua yaitu pendapatan berdasarkan biaya tunai dan pendapatan berdasarkan biaya total (biaya tunai dan biaya diperhitungkan). Biaya tunai dalam usahatani belimbing dewa ini terdiri dari biaya penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida, biaya penggunaan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga (TKLK), biaya alat-alat pertanian (umur ekonomis kurang dari satu tahun) serta biaya pajak lahan, sewa tanah dan bagi hasil yang dibebankan kepada petani tiap tahunnya. Sedangkan biaya yang termasuk biaya diperhitungkan diantaranya adalah biaya penyusutan bahan pembungkus buah, biaya tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga (TKDK), dan biaya penyusutan alat-alat pertanian (yang memiliki umur ekonomis lebih dari satu tahun). Besarnya biaya baik biaya variabel maupun biaya tetap tergantung dari jumlah pemakaian sarana produksi dan harga per satuan dari sarana produksi 60

tersebut. Harga yang digunakan dalam analisis biaya usahatani adalah biaya ratarata dari setiap petani responden. 6.4.1. Biaya Variabel Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa biaya penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida termasuk jenis biaya variabel karena besarnya sangat ditentukan oleh produksi buah belimbing dewa yang dihasilkan. Pada Tabel 17 dapat dilihat biaya pupuk dan pestisida per tahun yang dibebankan kepada petani responden untuk tahun 2007 dan 2010. Tabel 17. Biaya Pupuk dan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2007 dan 2010 Sarana Produksi Tahun 2007 Jumlah (satuan/tahun) Harga (Rp/satuan) Biaya (Rp/tahun) Pupuk Kandang (kg) 1.451,52 159 230.190 23,86 Pupuk NPK (kg) 32,80 3.197 104.870 10,87 Pupuk Urea (kg) 29,88 1.945 58.325 6,05 Pupuk Gandasil (kg) 3,77 48.121 181.349 18,80 Pestisida Curacron (liter) 1,03 161.273 165.816 17,19 Pestisida Decis (liter) 1,56 134.182 209.095 21,67 Petrogenol (ml) 15,08 1000 15.080 1,56 Total 964.725 100,00 Tahun 2010 Pupuk Kandang (kg) 1.087,72 257 279.071 27,70 Pupuk NPK (kg) 29,39 4.333 127.374 12,64 Pupuk Urea (kg) 23,40 2.848 66.641 6,61 Pupuk Gandasil (kg) 2,68 51.273 137.495 13,65 Pestisida Curacron (liter) 1,16 165.818 192.260 19,08 Pestisida Decis (liter) 1,23 148.182 182.215 18,09 Petrogenol (ml) 13,98 1.600 22.371 2,22 Total 1.007.426 100,00 % 61

Total biaya pupuk dan pestisida yang dikeluarkan petani responden pada tahun 2010 lebih besar dari total biaya pupuk dan pestisida pada tahun 2007. Hal ini selain diakibatkan oleh kenaikan harga pupuk dan pestisida pada tahun 2010 juga diakibatkan adanya penambahan dosis penggunaan input seperti pupuk NPK dan pestisida curacron. Proporsi terbesar dari total biaya pupuk dan pestisida per sepuluh pohon untuk tahun 2007 dan 2010 ada pada biaya penggunaan pupuk kandang, yaitu sebesar 23,86 persen dan 27,70 persen. Pupuk kandang selain berfungsi memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah juga mengandung unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman belimbing dewa. Oleh karena itu pupuk kandang memiliki peran yang cukup besar bagi pertumbuhan pohon belimbing. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Zamani (2008) dan Yulistia (2009). Dalam penelitian Zamani (2008) dan Yulistia (2009), biaya pupuk kandang merupakan biaya sarana produksi yang paling besar jika dibandingkan dengan biaya pupuk lain dan biaya pestisida. Biaya pupuk dan pestisida yang tergolong ke dalam biaya variabel ini nantinya akan dimasukkan ke dalam biaya tunai dalam perhitungan analisis pendapatan usahatani. Jika untuk biaya pupuk yang terbesar adalah pada biaya pupuk kandang, maka untuk biaya pestisida yang paling besar persentasenya adalah biaya pestisida curacron. Persentase penggunaan pestisida curacron untuk tahun 2007 adalah sebesar 21,67 persen, sedangkan pada tahun 2010 adalah sebesar 19,08 persen. Pestisida curacron dan decis digunakan untuk mengatasi serangan HPT belimbing seperti ulat daun dan kutu putih, Oleh karena itu penggunaan pestisida sangat penting untuk mencegah dan mengatasi serangan HPT. Biaya pupuk dan pestisida yang tergolong ke dalam biaya variabel ini, nantinya akan dimasukkan ke dalam biaya tunai dalam perhitungan analisis pendapatan usahatani. Selain pupuk dan pestisida, faktor produksi lain yang digolongkan ke dalam biaya variabel adalah biaya tenaga kerja. Perbedaan biaya TKDK sebelum dan sesudah kredit terjadi karena perbedaan biaya per satu HOK yang harus dikeluarkan oleh petani. Pada tahun 2007 biaya yang harus dikeluarkan oleh petani untuk satu HOK adalah sebesar Rp. 35.000, sedangkan pada tahun 2010 biaya yang harus dikeluarkan oleh petani untuk satu HOK adalah Rp. 50.000. Kegiatan budidaya belimbing dewa seperti pemupukan, pemangkasan, sanitasi 62

kebun dan penyemprotan, pembungkusan dan penjarangan buah, serta pemanenan dilakukan pada tiap-tiap pohon. Tabel 18. Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2007 dan 2010 2007 2010 Kegiatan Jumlah Biaya % Jumlah Biaya % (HOK) (Rp/tahun) (HOK) (Rp/tahun) Pemupukan 8,99 314.800 10,29 7,63 381.592 9,76 Pemangkasan 14,59 510.720 16,69 10,56 528.221 13,52 Sanitasi dan Penyemprotan 28,54 998.924 32,65 25,52 1.275.796 32,65 Pembungkusan dan Penjarangan Buah 23,71 829.789 27,12 23,81 1.190.393 30,46 Pemanenan 11,59 405.618 13,26 10,64 531.02 13,61 Total 87,42 3.059.851 100,00 78,16 3.907.803 100,00 Total biaya tenaga kerja yang dikeluarkan petani responden pada tahun 2007 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 18. Pada tahun 2007 dan 2010, biaya tenaga kerja terbesar adalah pada kegiatan sanitasi dan penyemprotan. Kegiatan sanitasi dan penyemprotan menghabiskan biaya sebesar Rp. 998.924 untuk tahun 2007 dan Rp. 1.275.796 untuk tahun 2010. Walaupun terjadi peningkatan jumlah biaya pada tahun 2010, pada dasarnya jumlah penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan ini mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi akibat sebagian petani yang mengurangi frekuensi penyemprotan pestisida. Hal ini dilakukan oleh petani untuk menghemat biaya pestisida. Biaya tenaga kerja dibagi atas dua kelompok, yaitu biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Biaya TKDK akan dimasukkan ke dalam kelompok biaya diperhitungkan, sedangkan untuk biaya TKLK akan dimasukkan ke dalam kelompok biaya tunai. Pada Tabel 19 disajikan informasi mengenai penggunaan biaya TKDK pada tahun 2007 dan tahun 2010. 63

Tabel 19. Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) per Tahun pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2007 dan 2010 2007 2010 Kegiatan Jumlah Biaya Jumlah Biaya % % (HOK) (Rp/tahun) (HOK) (Rp/tahun) Pemupukan 3,84 134.389 8,58 3,09 154.308 7,83 Pemangkasan 7,53 263.611 16,84 4,83 241.322 12,25 Sanitasi dan penyemprotan 21,73 760.586 48,59 20,06 1.003.109 50,91 Pembungkusan dan penjarangan buah 8,37 293.076 18,72 8,41 420.322 21,33 Pemanenan 3,25 113.778 7,27 3,02 151.121 7,67 Total 44,73 1.565.440 100,00 39,40 1.970.182 100,00 Persentase biaya tenaga kerja dalam keluarga terbesar pada tahun 2007 adalah untuk kegiatan sanitasi dan penyemprotan, yaitu sebesar 48,59 persendengan total biaya tenga kerja sebesar Rp. 760.586 dari total biaya TKDK sebesar Rp. 1.565.440. Begitu pun untuk tahun 2010, persentase terbesar adalah biaya kegiatan sanitasi dan penyemprotan, yaitu sebesar 50,91 persen dengan total biaya tenaga kerja untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp.1.003.109 Tabel 20. Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) per Tahun pada Usahatani Belimbing Dewa Petani di Kota Depok Tahun 2007 dan 2010 2007 2010 Kegiatan Jumlah Biaya Jumlah Biaya % % (HOK) (Rp/tahun) (HOK) (Rp/tahun) Pemupukan 5,15 180.411 12,07 4,55 227.283 11,73 Pemangkasan 7,06 247.109 16,54 5,74 286.899 14,81 Sanitasi dan penyemprotan 6,81 238.338 15,95 5,45 272.687 14,07 Pembungkusan dan penjarangan buah 15,33 536.713 35,91 15,40 770.071 39,74 Pemanenan 8,34 291.840 19,53 7,61 380.681 19,65 Total 42,70 1.494.411 100,00 38,75 1.937.622 100,00 Petani responden tidak dapat mengerjakan semua kegiatan budidaya secara individu atau hanya mengandalkan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga saja. Untuk dapat melakukan seluruh kegiatan budidaya ini, petani responden juga mempekerjakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Pada Tabel 20, dapat 64

dilihat informasi mengenai biaya TKLK petani responden pada tahun 2007 dan 2010. Biaya tenaga kerja paling banyak dicurahkan untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Menurut hasil wawancara dengan petani, kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah adalah kegiatan yang membutuhkan banyak tenaga kerja khususnya yang berasal dari luar keluarga. Hal ini dikarenakan kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah tidak boleh dilakukan terlambat untuk mencegah serangan lalat buah sedini mungkin. Berdasarkan Tabel 20, dapat dilihat bahwa total penggunaan HOK pada tahun 2010 mengalami penurunan untuk setiap kegiatan usahatani. Hal ini diduga karena petani melakukan penghematan terhadap biaya tenaga kerja yang digunakan sehingga untuk setiap kegiatan terjadi pengurangan penggunaan tenaga kerja. Berdasarkan uraian mengenai biaya tenaga kerja pada saat sebelum menerima kredit, maupun sesudah menerima kredit, diketahui bahwa biaya TKLK pada usahatani Belimbing Dewa lebih besar dibandingkan dengan biaya TKDK. Dari hasil wawancara di lapang, petani menyatakan bahwa untuk melakukan kegiatan budidaya Belimbing diperlukan pula tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Terutama saat buah sudah harus dibungkus, petani memerlukan banyak tenaga kerja untuk melakukan pembungkusan dan sekaligus penjarangan buah. Tenaga luar keluarga pun digunakan jika tenaga yang berasaldari dalam keluarga kurang mencukupi. Pembayaran bagi hasil juga merupakan salah satu biaya variabel, karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh petani ditentukan oleh jumlah produksi buah Belimbing Dewa yang dihasilkan. Perhitungan bagi hasil pada tahun 2007 adalah sebesar Rp. 250 per buah, sedangkan untuik tahun 2010 adalah sebesar Rp 400 per buah. Pembayaran bagi hasil adalah salah satu cara pembayaran penggunaan lahan yang dilakukan oleh sebagian petani responden. Biaya pembayaran bagi hasil per sepuluh pohon yang dibebankan kepada petani pada tahun 2007 adalah sebesar Rp. 245.197 dengan total buah yang dihasilkan sebanyak 981 buah belimbing. Sedangkan pada tahun 2010, pembayaran bagi hasil yang dibebankan kepada petani adalah sebesar Rp.297.733 dengan total buah yang dihasilkan sebanyak 744 buah. Jumlah buah yang 65

dihasilkan pada tahun 2010 lebih sedikit bila dibandingkan dengan tahun 2007. Hal ini diakibatkan adanya serangan HPT dan cuaca yang buruk sehingga banyak buah Belimbing yang gagal panen. Pembayaran bagi hasil dalam analisis pendapatan akan dikelompokkan ke dalam biaya tunai 6.4.2. Biaya Tetap Pada analisis struktur biaya, yang termasuk ke dalam biaya tetap adalah biaya pajak lahan, biaya sewa lahan, biaya alat-alat pertanian (umur ekonomis kurang dari satu tahun) dan biaya penyusutan alat-alat pertanian (umur ekonomis lebih dari satu tahun). Biaya pajak lahan yang dikeluarkan oleh petani responden per sepuluh pohon pada tahun 2007 adalah sebesar Rp. 47.915 dan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp. 53.030. Dari 33 petani responden, 27 petani adalah petani yang memiliki lahan sendiri. Biaya pajak lahan dalam analisis pendapatan usahatani akan dikelompokkan ke dalam kelompok biaya tunai. Biaya tetap lain yang dibebankan pada petani responden adalah biaya sewa lahan. Total biaya sewa lahan per sepuluh pohon untuk tahun 2007 adalah Rp.240.507 dan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp. 307.311. Meningkatnya biaya sewa lahan pada tahun 2010 dikarenakan ada dua petani responden yang menambah jumlah pohon belimbing yang dibudidayakan dengan cara menyewa. Biaya sewa lahan dalam analisis pendapatan usahatani akan dimasukkan ke dalam kelompok biaya tunai. Selain biaya pajak lahan dan biaya sewa lahan, biaya peralatan pertanian (umur ekonomis kurang dari satu tahun) dan biaya penyusutan peralatan pertanian (umur ekonomis lebih dari satu tahun) juga merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh petani responden. Biaya peralatan pertanian yang dikeluarkan oleh petani responden adalah biaya pembelian tangga dan kertas karbon (Tabel 21). Untuk biaya pembelian tangga per sepuluh pohon pada tahun 2007, petani mengeluarkan biaya sebesar Rp. 86.970, sedangkan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp. 95.455. 66

Tabel 21. Biaya Peralatan Pertanian (Umur Ekonomis < 1 tahun) usahatani Belimbing Dewa Tahun 2007 dan 2010 Uraian Jumlah (Satuan/ tahun) 2007 2010 Jumlah Total (Satuan/ (Rp/tahun) tahun) Harga (Rp/satuan) Harga (Rp/satuan) Total (Rp/tahun) Tangga (buah) 2,0 43.484 86.970 2 47.727 95.455 Karbon (kwintal) 46,8 8.000 374.400 20 8.667 173.340 Total 461.370 268.795 Biaya kertas karbon yang dikeluarkan oleh petani responden mengalami penurunan pada tahun 2010 (Tabel 21). Penurunan biaya kertas karbon ini terjadi karena sebagian petani telah beralih menggunakan plastik mulsa. Sehingga biaya kertas karbon yang semula sebesar Rp. 374.400 pada tahun 2007, turun menjadi Rp. 173.340 pada tahun 2010. Biaya peralatan pertanian (tangga dan kertas karbon) dalam analisis pendapatan akan dikelompokkan ke dalam kelompok biaya tunai. Untuk biaya penyusutan peralatan pertanian disajikan dalam Tabel 22. Biaya penyusutan peralatan pertanian dihitung dengan menggunakan metode garis lurus (straight line method) dengan asumsi peralatan setelah umur teknis tidak dapat digunakan lagi dan tidak dapat dijual kembali. Total biaya penyusutan pada tahun 2010 mengalami kenaikan. Hal ini terjadi karena sebagian petani menggunakan dana kredit untuk menambah atau mengganti peralatan pertanian dengan yang lebih baik, seperti mengganti tangki penyemprot dengan mesin penyemprot dan mengganti kertas karbon dengan plastik mulsa. Selain itu petani juga membuat sumur. Sumur ini digunakan apabila terjadi musim kemarau yang berkelanjutan. Untuk menghindari tanaman belimbing kekurangan air dimusim kemarau, tiga orang petani dari total 33 petani membuat sumur dengan menggunakan dana kredit. 67

Tabel 22. Biaya Penyusutan Peralatan Pertanian per Tahun pada Usahatani Belimbing Dewa Petani di Kota DepokTahun 2007 dan 2010 2007 Jenis Alat Jumlah (buah) Harga (Rp/satuan) Umur Teknis (tahun) Jumlah (Rp) Biaya Penyusutan (Rp/tahun) Drum air 1 197.321 10 292.992 29.299 Cangkul 2 42.321 3 96.185 32.062 Tangki semprot 1 305.536 5 370.346 74.069 Parang 1 42.143 3 44.697 14.899 Gunting 2 50.556 5 110.303 22.061 Timbangan 1 186.250 10 174.962 17.496 Total 189.886 2010 Drum air 1 197.321 10 292.992 29.299 Cangkul 2 48.393 3 109.984 36.661 Tangki semprot 1 309.107 5 374.675 74.935 Parang 1 46.786 3 48.203 16.068 Gunting 2 57.679 5 127.592 25.518 Timbangan 1 186.250 10 174.962 17.496 Plastik mulsa 2 477.647 3 810.553 270.184 Sumur 1 1.400.000 25 1.400.000 56.000 Mesin penyemprot 1 1.995.000 8 1.995.000 249.375 Total 775.537 Biaya penyusutan yang dibebankan kepada petani responden pada tahun 2007 adalah sebesar Rp. 189.886, sedangkan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp.775.537. Biaya penyusutan terbesar pada tahun 2007 adalah untuk biaya penyusutan tangki semprot, sedangkan pada tahun 2010 adalah untuk biaya penyusutan plastik mulsa. Dalam analisis usahatani belimbing dewa biaya penyusutan ini dikelompokkan ke dalam jenis biaya diperhitungkan. 6.5. Penerimaan Usahatani Belimbing Dewa Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dengan harga jual produk tersebut (Soekartawi 2002). Berikut ini akan dilakukan analisis penerimaan usahatani belimbing dewa pada tahun 2007 (sebelum menerima kredit) dan tahun 2010 (sesudah menerima kredit). Buah belimbing yang dipanen oleh petani responden merupakan buah hasil dari kegiatan 68

penjarangan dan pembungkusan. Namun, buah yang telah dibungkus tidak seluruhnya (100%) akan dapat dipanen. Diasumsikan dari kegiatan pembungkusan dan panjarangan buah terjadi penyusutan sebesar 10 persen. Asumsi ini disimpulkan dari informasi yang diperoleh dari petani responden. Hal ini mengingat kondisi yang terjadi di lapangan adalah buah yang telah dibungkus tidak seluruhnya dapat dipanen dikarenakan pasti terdapat buah yang rontok disebabkan karena faktor alam seperti hujan dan angin serta serangan HPT. Panen belimbing dilakukan tiga kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Januari hingga Februari, Mei hingga Juni dan September hingga Oktober. Hasil panen pada tahun 2007 dihitung dalam satuan kilogram tanpa ada pembagian kelas atau grade. Namun, pada tahun 2008 sampai sekarang, hasil panen belimbing dewa dibagi menjadi tiga grade, yaitu grade A, grade B dan grade C. Buah yang termasuk ke dalam grade A adalah buah dengan berat lebih dari 250 gram per buahnya. Buah pada grade B adalah buah dengan berat 200 hingga 250 gram perbuahnya dan untuk grade C, berat buah adalah kurang dari 200 gram per buahnya. Semakin bagus kualitas buah maka akan semakin tinggi harga jualnya. Jalur pemasaran belimbing dewa petani responden yaitu: Jalur I : Petani Tengkulak Jalur II : Petani PKPBDD (Koperasi) Pada tahun 2007 PKPBDD belum resmi didirikan sehingga lembaga pemasaran yang ada pada tahun tersebut hanyalah tengkulak. Harga jual belimbing pada tahun 2007 adalah Rp. 5000 per kilogram. Harga jual Belimbing pada tahun 2010 di tengkulak adalah sebesar Rp.5.500 per kilogram. Untuk harga jual di PKPBDD adalah sebesar Rp. 6.500 per kilogram untuk grade A, sedangkan untuk grade B dan C masing-masing Rp 5.000 danrp 3.000 per kilogram. Hasil penerimaan usahatani belimbing dewa petani responden untuk tahun 2007 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 23. 69

Tabel 23. Hasil Panen dan Penerimaan Total pada Usahatani Belimbing Dewa Tahun 2007 dan 2010 Uraian Jumlah (kg) 2007 2010 Harga Satuan (Rp) Total Penerimaan Jumlah (kg) Harga satuan (Rp) Total Penerimaan Tanpa grade 1.685,23 5.000 8.426.155 304,11 5.500 1.672.626 Grade A - - 678,23 6.500 4.408.480 Grade B - - 248,29 5.000 1.241.471 Grade C - - 66,21 3.000 198.616 Total 1.685,23 8.426.155 1.296,84 7.521.193 Total produksi belimbing dewa per sepuluh pohon pada tahun 2007 lebih besar bila dibandingkan dengan total produksi belimbing dewa pada tahun 2010 begitu pula dengan total penerimaan usahatani. Hal ini diakibatkan pada tahun 2010 banyak petani yang mengalami gagal panen akibat hujan dan angin serta serangan lalat buah. Total peneriman pada tahun 2007 adalah sebesar Rp.8.426.155, sedangkan pada tahun 2010 adalah sebesar Rp. 7.521.193 6.6. Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa Analisis pendapatan usahatani belimbing dewa terdiri atas analisis pendapatan tunai dan analisis pendapatan total. Untuk komponen biaya, pada analisis pendapatan ini dibagi menjadi dua kelompok, yakni biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai terdiri atas biaya sarana produksi seperti biaya pupuk dan biaya pestisida, tangga, kertas karbon, biaya tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga (TKLK) serta biaya pajak lahan dan sewa lahan. Sedangkan yang termasuk biaya diperhitungkan antara lain biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga (TKDK). Pada akhir analisis pendapatan akan dilakukan perhitungan terhadap nilai R/C rasio atau nilai imbangan antara penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani belimbing dewa dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi. 70

Tabel 24. Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing DewaTahun 2007 dan 2010 Uraian 2007 2010 Penerimaan Tunai Rp % Rp % Tanpa Grade 8.426.155 99,22 1.672.626 22,01 Grade A - - 4.408.480 58,02 Grade B - - 1.241.471 16,34 Grade C - - 198.616 2,61 Total Penerimaan Tunai 8.426.155 7.521.193 Penerimaan diperhitungkan 65.920 0,78 77.044 1,01 Total Penerimaan 8.492.076 100,00 7.598.237 100,00 Biaya Tunai Pupuk Kandang 229.339 6,47 278.455 7,24 Pupuk NPK 104.838 2,96 127.364 3,31 Ppupuk Urea 58.311 1,64 66.629 1,73 Pupuk Ganadasil 181.348 5,11 137.496 3,57 Curacron 280.409 7,91 192.260 5,00 Decis 209.094 5,90 182.214 4,74 Petrogenol 15.080 0,43 22.371 0,58 Tangga 71.156 2,01 73.760 1,92 Kertas Karbon 368.603 10,39 170.282 4,43 TKLK 1.494.411 42,14 1.937.622 50,37 Pajak Lahan 47.915 1,35 53.030 1,38 Sewa Lahan 240.507 6,78 307.311 7,99 Bagi Hasil 245.197 6,91 297.733 7,74 Total Biaya Tunai 3.546.209 100,00 3.846.528 100,00 Biaya Diperhitungkan TKDK 1.565.440 87,76 1.970.182 76,92 Penyusutan 218.283 12,24 591.068 23,08 Total Biaya Diperhitungkan 1.783.723 100,00 2.561.250 100,00 Total Biaya 5.329.932 6.407.777 Pendapatan Tunai 4.879.946 3.674.665 Pendapatan Total 3.162.143 1.190.460 R/C Tunai 2,38 1,96 R/C Total 1,59 1,19 Perhitungan pendapatan usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani. Analisis pendapatan usahatani belimbing dewa tahun 2007 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 24. Pendapatan tunai dan pendapatan total petani pada tahun 2007 lebih besar dari tahun 2010. Hal ini diakibatkan pada tahun 2010 petani mengalami penurunan jumlah produksi akibat serangan HPT 71

dan cuaca yang tidak menentu. Jika dilihat dari besarnya biaya, biaya tunai yang dikeluarkan petani pada tahun 2010 (Rp.3.846.528) lebih besar dari tahun 2007 (Rp.3.546.209). Besarnya biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani responden pada tahun 2010 diakibatkan peningkatan harga input produksi pada tahun 2010. Dari Tabel 24, dapat dketahui komponen penyusun biaya tunai pada tahun 2010 selalu lebih besar dari tahun 2007, kecuali untuk biaya kertas karbon. Hal ini dikarenakan pada tahun 2010 banyak petani yang beralih menggunakan plastik mulsa dikarenakan semakin langkanya kertas karbon yang beredar di pasar. Selain itu banyak petani yang beralih menggunakan plastik mulsa karena penggunaannya yang dapat digunakan sebanyak sembilan kali musim panen, berbeda dengan kertas karbon yang hanya dapat dipakai sebanyak tiga kali musim panen. Persentase biaya tunai terbesar pada tahun 2007 dan 2010 adalah biaya TKLK yaitu sebesar 42,14 persen untuk tahun 2007 dan 50,37 persen untuk tahun 2010. Dalam usahatani belimbing dewa, input tenaga kerja adalah input yang penting terutama untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah, sehingga biaya TKLK memiliki proporsi yang besar dari seluruh biaya tunai usahatani belimbing dewa. Untuk biaya diperhitungkan, persentase biaya terbesar adalah biaya TKDK yaitu sebesar 89,18 persen untuk tahun 2007 dan untuk tahun 2010 adalah sebesar 71,75 persen. Pada budidaya belimbing dewa, input tenaga kerja merupakan input terbesar karena untuk kegiatan sanitasi dan penyemprotan memerlukan waktu yang lama sehingga biaya TKDK memiliki proporsi yang sangat besar dari biaya diperhitungkan dalam usahatani belimbing dewa. Untuk biaya penyusutan terjadi peningkatan pada tahun 2010 menjadi Rp. 775.537 dari semula sebesar Rp.189.886 (tahun 2007). Peningkatan biaya penyusutan pada tahun 2010 terjadi karena pada tahun 2010 banyak petani yang beralih menggunakan plastik mulsa. Selain itu, pada tahun 2010 petani menggunakan dana yang diperoleh dari kredit untuk membuat sumur dan membeli mesin penyemprot yang baru. Hasil analisis R/C ratio pada tahun 2007 dan 2010 memiliki penerimaan usahatani yang lebih besar dibandingkan dengan biaya usahatani. Nilai R/C rasio atas biaya tunai petani responden pada tahun 2007 dan 2010 masing-masing adalah 2,38 dan 1,96. Ini berarti dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh 72

petani dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 2,38 untuk tahun 2007 dan Rp.1,96 untuk tahun 2010. Sedangkan untuk R/C ratio atas biaya total pada tahun 2007 adalah sebesar 1,60 dan sebesar 1,15 untuk tahun 2010. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh petani untuk usahatani belimbing ini, dapat menghasilkan penerimaan untuk tahun 2007 dan 2010 sebesar Rp. 1,60 dan Rp. 1,15. Berdasarkan nilai R/C rasio tersebut, usahatani belimbing dewa dapat dikatakan layak untuk dijalankan karena memiliki nilai R/C ratio yang lebih besar dari satu. Pengaruh kredit PKBL di lokasi penelitian belum memberikan dampak yang terlalu besar terhadap pendapatan usahatani petani responden. Hal ini disimpulkan dari besarnya nilai R/C rasio petani responden setelah menerima kredit (tahun 2010) yang lebih kecil dari R/C rasio sebelum menerima kredit (tahun 2007). Namun, berkurangnya R/C rasio yang diperoleh petani pada tahun 2007 disebabkan oleh serangan HPT dan kondisi cuaca yang tidak baik seperti hujan dan angin. Sehingga banyak petani yang mengalami gagal panen pada tahun 2010. Nilai R/C rasio yang diperoleh dari perhitungan analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa pada tahun 2007 (sebelum kredit) dan 2010 (sesudah kredit) akan diuji secara statistik dengan menggunakan uji-t berpasangan. Pengujian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidak hubungan antara nilai R/C rasio sebelum dan sesudah adanya kredit PKBL, apakah nilai R/C rasio sebelum dan sesudah menerima kredit yang diperoleh sama atau berbeda (lebih besar atau lebih kecil). Rata-rata R/C rasio tunai tahun 2007 adalah sebesar2,42 sedangkan untuk tahun 2010rata-rata R/C rasio tunai petani responden turun menjadi 1,98 (Lampiran 4). Hal ini dikarenakan pada tahun 2010 petani mengalami penurunan jumlah panen akibat serangan HPT dan cuaca buruk seperti angin dan hujan. Dari hasil uji berpasangan dapat dilihat bahwa rata-rata perbedaan antara R/C rasio tunai pada tahun 2007 dan 2010 adalah menurun sebesar 0,43. Output tersebut menghasilkan nilai Sig (2 tailed) sebesar 0,002. Karena nilai sig < α (0,05) maka dapat diartikan secara statistik bahwa rata-rata pendapatan sebelum dan sesudah menerima kredit ada perbedaan atau berpengaruh nyata (tolak H 0 ). Sehingga dapat 73

disimpulkan bahwa adanya kredit PKBL tidak mempengaruhi peningkatan pendapatan pada petani melainkan terjadinya penurunan pendapatan. Namun, penurunan pendapatan usahatani ini bukan dikarenakan pengaruh dari kredit PKBL melainkan akibat dari penurunan jumlah produksi belimbing dewa yang diakibatkan oleh serangan HPT dan cuaca buruk pada tahun 2010. Hasil uji berpasangan untuk R/C rasio total juga dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai rata-rata R/C rasio total pada tahun 2007 adalah sebesar 1,57 dan untuk tahun 2010 adalah sebesar 1,18. Penurunan nilai rata-rata R/C total sebesar ini dikarenakan terjadinya penurunan jumlah produksi dari petani petani. Penurunan jumlah produksi ini diakibatkan meningkatnya serangan HPT dan perubahan cuaca buruk. Dari hasil uji berpasangan untuk R/C rasio total, diketahui nilai signifikansi kurang dari α (0,000). Hal ini dapat diartikan bahwa secara statistik rata-rata pendapatan sebelum dan sesudah menerima kredit mengalami perubahan atau berpengaruh nyata. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan yang nyata terhadap R/C total petani responden, yaitu terjadi penurunan pendapatan. Apabila dilihat dari hasil uji berpasangan untuk R/C rasio atas biaya tunai maupun atas biaya total, pengaruh kredit terhadap usahatani belimbing dewa dapat dikatakan tidak mempengaruhi peningkatan produksi. Namun, apabila tidak terdapat kredit pada tahun 2010, ada kemungkinan R/C rasio yang diperoleh petani responden lebih kecil dari hasil yang diperoleh saat ini. apabila petani tidak memperoleh kredit pada tahun 2010. 74