BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis menimbulkan suatu respon imun yang berlebihan oleh tubuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rumah sakit di Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% dalam tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sepsis dan syok sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dua puluh empat subyek penelitian ini dilakukan secara consecutive

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. juta dolar Amerika setiap tahunnya (Angus et al., 2001). Di Indonesia masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran napas. bawah akut yang tersering. Sekitar 15-20% kasus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK)mempunyai risiko lebih besar

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi. menular pada saluran napas bawah, tepatnya menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sepsis didefinisikan sebagai adanya mikroorganisme atau toksin /zat beracun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. dunia (Musher, 2014). Penumonia komunitas merupakan penyakit infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan sindroma klinik akibat respon yang berlebihan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. kehamilan 20 minggu. American College Obstetry and Gynecology (ACOG)

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya komplikasi yang lebih berbahaya. diakibatkan oleh sepsis > jiwa pertahun. Hal ini tentu menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB I PENDAHULUAN. gangguan pada berbagai organ. Sampai saat ini preeklamsia masih merupakan

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun masyarakat. Identifikasi awal faktor risiko yang. meningkatkan angka kejadian stroke, akan memberikan kontribusi

I. PENDAHULUAN. selain kelainan vaskular ( Junaidi, 2011). Terdapat dua macam stroke,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dewasa dengan penyakit jantung bawaan menunjukkan insidensi

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN. Dismutase Oral (SOD) terhadap kadar Glicated Albumin (GA) dan high sentitif c-

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25

BAB 1 PENDAHULUAN. menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar orang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi virus dengue maupun demam berdarah dengue (DBD) merupakan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bagian Ilmu Penyakit Dalam, sub

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Masalah. Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat. diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, sepsis didefinisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2010 menjadi 7.7 % pada tahun 2030 ( Deshpande et al., 2008 ; Ramachandran et

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kontrol (hanya terapi empirik). Dua biomarker yaitu kadar TNF- serum diukur

BAB 4 METODE PENELITIAN. Semarang, dimulai pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi Sirosis Hati (SH) diseluruh dunia menempati urutan ketujuh penyebab kematian.

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 45% dari kematian anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia (WHO, 2016). Dari

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran preterm, dan intrauterine growth restriction (IUGR) (Sibai, 2005;

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi. 1. mematikan namun dapat dihindari. Berdasarkan laporan World Health

BAB I PENDAHULUAN. multiorgan, ini disebut septic shock. Sepsis merupakan SIRS (Systemic. tempat infeksi, maka ini disebut dengan sepsis berat.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V PEMBAHASAN. Ginjal Kronik dilaksanakan pada bulan November Maret 2016 dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 75 ibu hamil dengan usia kehamilan antara 21

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

I. PENDAHULUAN. Air merupakan komponen terbesar dari tubuh sekitar 60% dari berat badan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

Hasil Uji Statistik Trombosit Range dengan. Perdarahan Kulit dan Perdarahan Mukosa 64

BAB I PENDAHULUAN. individu. Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal faringitis turut

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia komunitas (PK) adalah penyakit infeksi terbanyak yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia saat ini baik di negara berkembang maupun di negara maju. Sebanyak 10-20 % pasien PK yang dirawat di rumah sakit harus mendapat perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan sekitar 20-50% meninggal dunia. Penentuan dasar diagnosa PK secara radiologis ditunjukkan dengan gambaran infiltrat segmental, lobaris atau multilobaris, dengan gejala klinis batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, demam dan abnormalitas pada auskultasi paru (Muller et al., 2007; Rabello et al., 2011; Seligman et al., 2012; Singanayagam et al., 2012; Jain et al., 2015). Di Indonesia, PK termasuk pada 10 (sepuluh) besar rawatan rumah sakit dengan jumlah penderita laki-laki sebanyak 53,95% kasus dan perempuan 46,05%, dan crude fatality rate (CFR) 7,6% tertinggi dibandingkan penyakit lain. Pada tahun 2012 tercatat jumlah penderita PK yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan sebanyak 256 pasien, di RSUP dr. M. Djamil Padang sebanyak 94 pasien, RSUP Persahabatan Jakarta sebanyak 117 pasien, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Moewardi di Surakarta sebanyak 225 pasien, RSUD dr. Saiful Anwar Malang sebanyak 514 pasien dan RSUD dr. Soetomo Surabaya sebanyak 477 pasien (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia/PDPI, 2014). Pasien PK dapat memerlukan rawat jalan maupun rawat inap. Penentuan perawatan pasien tergantung banyak variabel antara lain berat penyakit, penyakit penyerta, kemampuan perawatan di rumah dan kesesuaian terapi. Mortalitas PK meningkat dengan adanya faktor risiko antara lain: usia lanjut, penyakit komorbid (keganasan, gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, pengguna alkohol, abnormalitas tanda vital, temuan radiografik, dan laboratorium). Keputusan untuk rawat inap ditentukan oleh klinisi berdasarkan

2 skoring prognosis. Sistem skoring pneumonia dapat memperkirakan beratnya penyakit serta menentukan perawatan selanjutnya (Niederman, 2001). Nilai pneumonia severity index (PSI) dikembangkan oleh Patient Outcome Research Team (PORT) dan penilaian derajat berat PK oleh British Thoracic Society (BTS) menggunakan kriteria: usia lebih dari 50 tahun, penyakit penyerta, CURB-65 meliputi confusion, blood urea nitrogen (BUN) lebih dari 7 mmol/l (19 mg/dl), respiratory rate (laju pernafasan) 30 kali per menit, blood pressure (tekanan darah sistolik 90 mmhg atau diastolik 60 mmhg) dan usia 65 tahun. Pasien digolongkan ke dalam salah satu dari lima kategori yang menentukan risiko kematian berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, namun akurasi untuk memprediksi outcomes masih dipertanyakan (Fine et al., 1997; Mandell et al., 2007; Situmorang, 2010; Rabello et al., 2011; Coriejati, 2015). Saat ini telah dikembangkan penanda laboratorium untuk menentukan derajat keparahan, pemantauan terapi dan membantu menetapkan prognosis PK seperti procalcitonin (PCT), c-reactive protein (CRP), tumour necrosis factor alpha (TNF-α), leukosit, laju endap darah, interleukin(il)-1β, IL-6, IL- 10, pro-adrenomedulin (pro-adm), cortisol, D-dimer dan endothelin-1 (ET- 1) (Rabello et al., 2011; Seligman et al., 2012). Endotel pembuluh darah, merupakan satu lapis sel pada bagian dalam lumen pembuluh darah, merupakan organ penting yang mempunyai multifungsi yang berkaitan dengan kesehatan fisiologis pembuluh darah, sebagai respon terhadap fisik dan humoral, endotel juga akan mensekresikan beberapa zat yang mengendalikan tonus vaskular dan pembentukan serta penggunaan antikoagulan, adhesi leukosit, pertumbuhan sel otot polos dan agregasi trombosit, pada endotel utuh memainkan peran sebagai proteksi pembuluh darah dengan melepaskan dilator dan konstriktor akibat stimulasi shear stress aliran darah dengan sel endotel, paling banyak menghasilkan nitric oxide (NO) yang berfungsi sebagai vasodilator, diidentifikasi sebagai endothelium-derived relaxing factor (EDRF), selain prostacyclin dan bradykinin. Endotelium juga menghasilkan vasokonstriktor seperti ET-1

3 (vasokontriktor endogen kuat) dan angiotensin II, keduanya menyebabkan proliferasi sel otot polos/smooth muscle cells dan berkontribusi dalam pembentukan plaque, aktivasi makrofag dan vascular smooth muscle cells (VSMC) merupakan komponen karakteristik selular plaque aterosklerosis dan produksi endothelin (Luscher et al., 1992; Davignon et al., 2004). Disfungsi endotel didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara faktorfaktor vasodilatasi dan vasokontriksi, antara mediator prokoagulan dan antikoagulan atau antara zat-zat yang menghambat dan mendorong pertumbuhan, serta inflamasi yang timbul sebagai bagian penting dalam proses aterosklerosis akibat peningkatan produksi reactive oxygen spesies (ROS) yang menghasilkan proses disfungsi endotel (Teixeira et al, 2014). Endothelin-1 adalah vasokonstriktor endogen kuat, sekitar 10 kali lebih kuat daripada vasokonstriktor lainnya, dan disintesis sel endotel yang diinduksi oleh hipoksia dan infeksi paru termasuk epitel bronkial, sel otot polos, sel inflamasi seperti monosit dan makrofag (Carpenter et al., 2005, Freeman et al., 2014). Endothelin-1 merupakan mediator proses fisiologis dan patofisiologis penting dalam biologi vaskular dan mempunyai implikasi dalam gangguan kardiovaskuler, penyakit paru, aterosklerosis, disfungsi endotel, penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit lainnya (Shah, 2007; Khimji dan Rockey, 2010). Endotoksemia menginduksi ekspresiprekursor endothelin (prepro-endothelin), messenger ribo nucleic acid (mrna) dijantung dan paru-paru melalui peningkatan vascular endothelial cell growth factor (VEGF) yang menyebabkan kebocoran vaskuler akibat infeksi dan hipoksia. Pada manusia, kadar plasma ET-1 yang tinggi ditemukan selama infeksi sistemik dan peningkatan plasma ET-1 berkorelasi dengan risiko kematian (Brauner et al.,2000; Carpenter et al.,2005; Schuetz et al.,2008; Khimji dan Rockey, 2010; Rabello et al.,2011). Penelitian Schuetz et al. (2008), belum ada data yang menyebutkan terbentuknya ET-1 selama infeksi sistemik parah selain sepsis, dan PK merupakan prekursor sepsis paling penting. Peningkatan sirkulasi prekursor peptida ET-1 (proet-1) selama sakit akut dapat memprediksi outcome dan

4 berkorelasi dengan keparahan PK berdasarkan nilai PSI dan CURB-65 (P <0,001 dan p <0,01) dan proet-1 dapat digunakan secara tidak langsung terbentuknya ET-1 matang, dari 281 pasien PK peningkatan proet-1 dengan akurasi prognosis proet-1 didapatkan area under curve (AUC) 0,64 [95%CI 0,53 0,74]), lebih tinggi dari CRP (AUC 0,51 [95%CI 0,41 0,61]), jumlah leukosit (AUC 0,55 [95%CI 0,44 0,65]), PSI (AUC 0,69 [95%CI 0,61 0,76] serta CURB-65 (AUC 0,67 [95% CI 0,57 0,77]) sedangkan PCT (AUC 0,59 [95% 0,51 0,67]). Peningkatan kadar laktat darah umumnya terjadi pada pasien kritis dan berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas, paling sering digunakan dalam mendiagnosis ketidakmampuan oksigenasi jaringan sehingga terjadi glikolisis anaerob yang berperan penting dalam peningkatan kadar laktat dan berimplikasi pada morbiditas dan mortalitas (Bakker at al., 2013). Hipoperfusi jaringan pada pneumonia adalah faktor penting dalam terjadinya disfungsi organ. Pada hipoperfusi jaringan terjadi maldistribusi aliran darah pada organ atau mikrovaskuler dan atau ketidakmampuan sel menggunakan oksigen meskipun pengakutan oksigen cukup (hipoksia sitotoksik), penanda hipoperfusi jaringan mengakibatkan terjadinya metabolisme anaerob di sitosol yang akan meningkatkan pembentukan laktat (Cavazzoni dan Delinger, 2006). Seluruh sel dan jaringan tubuh dapat memproduksi dan mengkonsumsi laktat kecuali eritrosit, tak dapat menggunakan laktat. Peningkatan produksi laktat pada jaringan yang mengalami kerusakan dibawa ke hepar untuk dimetabolisme, hal ini akan memperlama keberadaan laktat dalam darah sampai kapasitas metabolik di hepar terlampaui (Gladden, 2004). Peningkatan kadar laktat darah secara tidak langsung menunjukkan beratnya disfungsi organ yang berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas (Duke, 1999). Penanda laboratorium atau fisiologis organ diperlukan untuk mendeskripsikan adanya disfungsi organ. Hal ini diperlukan untuk mendefinisikan secara spesifik telah terjadi sindrom disfungsi multi organ yang berguna dalam klasifikasi atau skoring disfungsi organ (Jhonson dan Mayers, 2001). Laktat merupakan produk akhir dari glikolisis anaerob yang

5 berhubungan dengan iskemia jaringan dan insufisiensi suplai oksigen. Laktat sebagai penanda pilihan dalam menentukan waktu terjadinya hipoksia yang dapat digunakan sebagai penanda diagnosis, terapi dan prognosis suatu penyakit, berhubungan dengan inflamasi, sistem koagulasi, respon penanda apoptosis serta disfungsi organ dan angka kematian (Nguyen et al., 2010; Kruse et al., 2011). Secara klinik laktat dipelajari dan diteliti sebagai penanda keparahan suatu penyakit sistemik dalam beberapa dekade sejak tahun 1800- an, meskipun terdapat beberapa penjelasan mengenai mekanisme terbentuknya akumulasi laktat pada pasien sepsis sampai dengan terjadinya multipleorgan failure (Nguyen et al., 2010; Alvarez et al., 2014). Berdasarkan penelitian Nguyen et al. (2010) lactate clearance dengan median 35,5 + 43,1% memiliki angka kematian sebesar 35% disebabkan oleh pneumonia, secara in-vitro hipoksia menyebabkan induksi sitokin proinflamatori IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-α. Sitokin ini akan meningkatkan ekpresi dari intercellular adhesion molecule (ICAM)-1 dan aktivasi serta migrasi netrofil. Pada manusia peningkatan IL-6 dan IL-8 berkorelasi signifikan dengan kadar laktat (sebagai penanda hipoksia) pada sepsis, penilaian kadar laktat dan sitokin inflamasi pada pasien syok septik dapat menunjukan indikator outcome klinik. Penelitian Mohamed dan Ahmed (2014) meneliti 46 pasien dengan severe community acquired pneumonia (SCAP) berasal dari 18-36% community acquired pneumonia (CAP)/PK dan angka kematiannya mencapai 67% berkorelasi dengan kadar laktat, terbagi menjadi dua group 25 pasien dengan kadar lactate clearance >40% dan < 40%, setelah 24 jam jumlah group I meningkat signifikan p=0,01, sehingga disarankan lactate clearance dapat digunakan sebagai biomarker murah dan terpercaya prediktor outcome pasien SCAP. Penelitian observasional retrospektif Ose et al. (2015) menyimpulkan bahwa kadar laktat serum dapat digunakan sebagai penanda awal kematian pasien PK berat. Kadar laktat >3 mmol/l pada pasien dengan PK berat dengan

6 sepsis 24 jam setelah masuk ICU mempunyai nilai prediktif mortalitas yang signifikan. Peran ET-1 dan kadar laktat menjadi sangat penting dalam menentukan derajat beratnya PK berdasarkan disfungsi atau kerusakan endotel. Bila laktat berkorelasi kuat dengan kadar ET-1, maka diharapkan laktat dapat berperan sebagai prediktor derajat keparahan PK. Tingkat keparahan PK yang dinilai sedini mungkin pada saat pasien datang ke sarana kesehatan dapat menjadi acuan perencanaan pengobatan yang efektif dan adekuat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada pasien PK. B. Perumusan Masalah 1. Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi. Mortalitas pneumonia yang dirawat di bangsal rumah sakit sekitar 14%, angka ini meningkat 20-50% pada penderita yang dirawat di ICU (Seligman et al., 2012). Di Indonesia, PK termasuk pada 10 (sepuluh) besar rawatan rumah sakit. 2. Pada manusia, kadar plasma ET-1 yang tinggi ditemukan selama infeksi sistemik dan peningkatan plasma ET-1 berkorelasi dengan risiko kematian (Brauner et al.,2000; Carpenter et al.,2005; Schuetz et al.,2008; Khimji dan Rockey, 2010; Rabello et al.,2011). 3. Pemeriksaan laktat adalah pemeriksaan yang sudah rutin dilakukan bersamaan dengan parameter gas darah. Laktat merupakan produk akhir dari glikolisis anaerob yang berhubungan dengan iskemia jaringan dan insufisiensi suplai oksigen. Penelitian observasional retrospektif Ose et al. (2015) menyimpulkan bahwa kadar laktat serum dapat digunakan sebagai penanda awal kematian pasien PK berat. 4. Peran ET-1 dan kadar laktat menjadi sangat penting dalam menentukan derajat beratnya PK berdasarkan disfungsi atau kerusakan endotel. Bila laktat berkorelasi kuat dengan kadar ET-1, maka diharapkan laktat dapat berperan sebagai prediktor derajat keparahan PK.

7 C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: adakah korelasi antara kadar ET-1 dengan kadar laktat sebagai penanda disfungsi atau kerusakan endotel pada pasien PK? D. Tujuan Penelitian Mengetahui korelasi kadar ET-1 dan kadar laktat sebagai penanda disfungsi atau kerusakan endotel pada pasien PK. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat keilmuan Mengetahui peranan kadar ET-1 dan kadar laktat sebagai penanda disfungsi atau kerusakan endotel pada pasien PK di RSDM Surakarta. 2. Manfaat praktis a. Bukti ilmiah yang diperoleh dari hasil penelitian dapat menjadi dasar pertimbangan mengenai adanya korelasi antara kadar ET-1 dengan kadar laktat pada pasien PK. b. Pengetahuan mengenai adanya korelasi antara kadar ET-1 dengan kadar laktat pada pasien PK dapat berdampak pada pengenalan biomarker yang sudah digunakan saat ini bagi pasien PK. c. Dengan adanya pengetahuan tentang korelasi kadar ET-1 dengan kadar laktat pada pasien PK akan menghasilkan pemberian terapi dan tatalaksana yang tepat untuk mempercepat perbaikan klinis, mencegah kerusakan endotel paru dan mengurangi mortalitas dan morbiditas di RSDM Surakarta.

8 F. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian No Peneliti dan Judul Penelitian 1. Beishuizenet al. (1992) Elevated Plasma Levels of Endothelin are Associated with The Severity of Sepsis and Presence of Shock In Contrast to The Levels of Atrial Natriuretic Peptide 2. Papassotiriou et al. (2006) Immunoluminometric Assay for Measurement of The C-Terminal Endothelin-1 Precursor (CT-Proet-1) Fragmentin Human Plasma 3. Nguyen et al. (2010) Early Lactate Clearance is Associated with Biomarkers of Inflammation, Coagulation, Apoptosis, Organ Dysfunction and Mortality In Severe Sepsis and Septic Shock 4. Gwak et al. (2015) Initial Serum Lactate Level is Associated with Inpatient Mortality In Patients with Community-Acquired Pneumonia Jumlah Subjek Tujuan dan Hasil Penelitian 29 Meneliti peningkatan ET-1 dengan atrial natriuretic peptide (ANPi) dengan radioimmunoassay pada pasien dengan klinis sepsis. Mendapatkan korelasi kadar ET-1 dengan kadar laktat plasma r= 0,83, p<0,05 tanpa gangguan fungsi ginjal. 77 Menilai korelasi kadar CT-proET-1 dengan biget-1 pada pasien chronic heart failure (CHF) dan sepsis. Koefisien korelasi CT-proET-1 dengan usia 0,25 (p<0,0001). CT-proET-1 signifikan (p<0,0001) meningkat pada pasien dengan CHF (median, 104 pmol/l; kisaran, 50,8-315 pmol/l) dan pasien dengan sepsis (median, 189 pmol/l; range, 34,6-855 pmol/l). Korelasi antara CT-proET-1 dan biget-1 untuk 43 sampel adalah 0,80 (p <0,0001). 220 Lactate clearance dengan median 35,5+43,1% dan memiliki angka kematian sebesar 35% disebabkan oleh pneumonia. Secara in-vitro hipoksia menyebabkan induksi sitokin pro-inflamatori IL-1, IL-6, IL- 8, dan TNF α. Sitokin ini akan meningkatkan ekspresi ICAM-1 dan aktivasi serta migrasi netrofil. Penilaian kadar laktat dan sitokin inflamasi pada pasien syok septik dapat menunjukan indikator outcome klinik. 397 Kadar laktat serum awal secara independen terkait dengan kematian pada pasien rawat inap dengan community acquired pneumonia (CAP). Rerata kadar laktat adalah 1,7 ± 1,4 mmol/l dan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok non-survivor dibandingkan kelompok yang survivor (2,4±2,2 mmol/l versus 1,6±1,2 mmol/l). Dalam model regresi logistik multi-variabel untuk kematian rawat inap menggunakan laktat, CRP, dan variabel laboratorium PSI, laktat dan CRP tetap sebagai faktor yang signifikan, namun tidak untuk variabel laboratorium PSI.

9 Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut adalah: 1. Penelitian ini ingin membuktikan korelasi kadar ET-1 dengan kadar laktat pada PK. 2. Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan diagnosis PK sebelum dilakukan perawatan dan sebelum menilai tingkat keparahan suatu PK yang telah ditegakkan oleh klinisi dari bagian Pulmonologi baik di Poli Rawat Jalan dan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSDM di Surakarta.