KETERBUKAAN AREAL HUTAN AKIBAT KEGIATAN PEMANENAN KAYU DI PULAU SIBERUT KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT ADYTIA MACHDAM PAMUNGKAS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

BAB III METODE PENELITIAN

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

PERBANDINGAN BESARNYA KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL PADA PEMANENAN KAYU MENGGUNAKAN METODE REDUCED IMPACT LOGGING DAN CONVENTIONAL LOGGING DI IUPHHK PT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

BAB III METODE PENELITIAN

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan 2)

STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)

BAB I PENDAHULUAN. dengan tepat. Sumber daya hutan dapat menghasilkan hasil hutan yang merupakan

Bab III PERENCANAAN PEMANENAN HASIL HUTAN

Bab II SISTEM PEMANENAN HASIL HUTAN

POTENSI LIMBAH DAN TINGKAT EFEKTIVITAS PENEBANGAN POHON DI HUTAN DATARAN RENDAH TANAH KERING META FADINA PUTRI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PERENCANAAN PEMANENAN KAYU

III. METODOLOGI PENELITIAN

PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

BAB III METODE PENELITIAN

LAPORAN PERHITUNGAN RD, RS, PERSEN PWH, JARAK SARAD RATA RATA DI PETA BERDASARKAN METODE SACHS (1968)

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

Pengertian, Konsep & Tahapan

TINGKAT KERUSAKAN DAN KETERBUKAAN AREAL AKIBAT PENYARADAN KAYU DI HUTAN ALAM DATARAN RENDAH TANAH KERING REINALDO SAPOLENGGU

Ciri Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Rawa Gambut Tropika. (Characteristics of Logging Waste in Tropical Peat Swamp Forest)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk mempersiapkan dan memudahkan

KETERBUKAAN AREAL AKIBAT PENEBANGAN DENGAN INTENSITAS RENDAH DI IUPHHK-HA PT WIJAYA SENTOSA PAPUA BARAT ARI SEKTIAJI

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Erosi Tanah Akibat Operasi Pemanenan Hutan (Soil Erosion Caused by Forest Harvesting Operations)

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

LAPORAN PERHITUNGAN FAKTOR KOREKSI VCORR DAN TCORR

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KISI KISI SOAL UKG 2015 PAKET KEAHLIAN TEKNIK PRODUKSI HASIL HUTAN

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

III. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A. Syahrani Samarinda Telp. (0541) Fax (0541)

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TEGAKAN REHABILITASI TOSO DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT ZANI WAHYU RAHMAWATI

MODEL PENDUGA PEUBAH TEGAKAN PINUS PADA AREAL REHABILITASI TOSO DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT FADEL IBNU PERDANA

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

KAYU SISA POHON YANG DITEBANG DAN TIDAK DITEBANG DI IUPHHK-HA PT INHUTANI II UNIT MALINAU KALIMANTAN UTARA WINDA LISMAYA

ANALISIS BIAYA DAN PRODUKTIVITAS PRODUKSI KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (Studi Kasus : PT. Sumatera Riang Lestari-Blok I, Sei Kebaro, Kab.

Pengaruh Penyaradan Kayu Dengan Traktor Terhadap Pemadatan Tanah Di Kalimantan Barat

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN TEKNIK PRODUKSI HASIL HUTAN. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD)

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PERANCANGAN PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN (PWH) DENGAN UTILITY ANALYSIS

TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Selain itu,

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

EMISI KARBON POTENSIAL AKIBAT PEMANENAN KAYU SECARA MEKANIS DI HUTAN ALAM TROPIS (KASUS KONSESI HUTAN PT

PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN DAN KERUSAKAN TEGAKAN AKIBAT PRODUKSI JENIS MERBAU ( INTSIA


III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru 2 )Mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru ABSTRACT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

Transkripsi:

KETERBUKAAN AREAL HUTAN AKIBAT KEGIATAN PEMANENAN KAYU DI PULAU SIBERUT KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT ADYTIA MACHDAM PAMUNGKAS DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keterbukaan Areal Hutan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2014 Adytia Machdam Pamungkas NIM E14090015

ABSTRAK ADYTIA MACHDAM PAMUNGKAS. Keterbukaan Areal Hutan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu di Pulau Siberut Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Dibimbing oleh JUANG RATA MATANGARAN. Pemanenan kayu merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam kegiatan pengelolaan hutan, guna mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lain sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Keterbukaan areal hutan tersebut terdiri dari keterbukaan akibat penebangan, jalan sarad, jalan angkutan dan tempat pengumpulan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis luas areal keterbukaan pemanenan kayu akibat penebangan, penyaradan, jalan angkutan dan tempat pengumpulan kayu, sehingga dapat ditentukan luas keterbukaan areal hutan yang sesuai. Data yang digunakan berupa peta realisasi jalan sarad, jalan angkutan, dan tempat pengumpulan kayu hasil rencana kerja tahun 2012 dan 2013. Plot yang digunakan sebanyak 12 plot dengan masing-masing plot seluas 1 ha untuk kegiatan penebangan dengan menggunakan intensitas penebangan rendah, sedang dan tinggi dan sampel luas jalan sarad serta tempat pengumpulan kayu. Keterbukaan areal hutan dihitung dengan cara mengukur luas areal yang terbuka dari kegiatan penebangan hingga kayu diangkut. Hasil penelitian keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu memiliki luas keterbukaan sebesar 32.33% dengan luas keterbukaan paling besar pada kegiatan penebangan yaitu sebesar 18.33%, penyaradan 4.60%, jalan angkutan 8.70% dan tempat pengumpulan kayu 0.70%. Teknik pemanenan kayu pada perusahaan tersebut merupakan teknik pemanenan kayu konvensional. Kata kunci: intensitas tebang, keterbukaan areal hutan, teknik pemanenan kayu ABSTRACT ADYTIA MACHADAM PAMUNGKAS. Forest Opened up Area Caused by Timber Harvesting Activities in Siberut, Mentawai Islands West Sumatera. Supervised by JUANG RATA MATANGARAN. Timber harvesting was an important activity in the forest management, changes of the tree and biomass into a form that can be moved into another place easily so that it can be useful for live and livelihood especially for economics and cultures. That forest opened up area was caused by the trees felling activity, also by skidding road and landing site. The objective of the research was analyze the percentage of forest opened up area by the felling and skidding activities from stump site to the landing site. The data that was used which collected from the year of 2012 and 2013 work plan and also timber harvesting road map. The

calculation of forest opened up area was performed from cutting point to the landing site. The plot used in this research is 12 plots with 1 Ha in each plot, the plot ware placed in trees felling to used by low, medium and high felling intensity and landing site area, and also in the skidding road. The forest opened up area calculated by measuring the area that has been opened from the trees felling step until it transported to landing site. This research showed that the forest opened up area caused by forest harvesting activity was about 32.33% with the highest percentage was from trees felling activity was 18.33%, skidding road making was 8.70%, wood skidding activity was 4.60%, and landing site was 0.70%. The timber harvesting technique that applies in that forestry company is a conventional technique. Keywords: felling intensity, forest opened up area, harvesting techniques timber

KETERBUKAAN AREAL HUTAN AKIBAT KEGIATAN PEMANENAN KAYU DI PULAU SIBERUT KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT ADYTIA MACHDAM PAMUNGKAS Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Judul Skripsi : Keterbukaan Areal Hutan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat Nama : Adytia Machdam Pamungkas NIM : E14090015 Disetujui oleh Dr Ir Juang Rata Matangaran, MS Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc FTrop Ketua Departemen Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta ala atas segala nikmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini dapat disusun dan diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Keterbukaan Areal Hutan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu serta membimbing dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih kepada Bapak Dr Ir Juang R. Matangaran, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, saran serta telah mengembangkan pola pikir penulis. Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih kepada semua keluarga PT Salaki Summa Sejahtera yang telah membantu penulis baik materil maupun tenaga sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan. Ungkapan terimakasih dan sayang juga disampaikan kepada Bapak dan Mama, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya yang diberikan kepada penulis. Terimakasih kepada sahabat seperjuangan camp Rinjani, kawankawan PKL, keluarga besar Fahutan 46, keluarga besar Manajemen Hutan 46, dan adik-adik serta semua pihak yang telah memberikan doa dan dukungannya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan informasi untuk banyak pihak. Bogor, April 2014 Adytia Machdam Pamungkas

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 3 Waktu dan Tempat 3 Alat dan Bahan 3 Prosedur Penelitian 3 Pengolahan Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 7 Keterbukaan Areal Hutan 8 Keterbukaan Areal Hutan Akibat Penebangan 8 Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan 11 Keterbukaan Areal Hutan Akibat Jalan Angkutan 14 Keterbukaan Areal Akibat Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) 16 Keterbukaan Areal Hutan Akibat Pemanenan Kayu 18 SIMPULAN DAN SARAN 20 Simpulan 20 Saran 20 DAFTAR PUSTAKA 21 LAMPIRAN 22 RIWAYAT HIDUP 26

DAFTAR TABEL 1 Keterbukaan areal hutan akibat penebangan 9 2 Keterbukaan areal hutan pada plot contoh penyaradan 11 3 Keterbukaan areal hutan akibat penyaradan 12 4 Keterbukaan areal hutan akibat jalan angkutan 15 5 Keterbukaan areal hutan akibat TPn pada plot contoh 16 6 Keterbukaan areal hutan akibat TPn 17 7 Keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu 18 8 Rata-rata keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu 18 9 Perbandingan keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu terhadap penelitian lain 19 DAFTAR GAMBAR 1 Bentuk dan ukuran plot contoh penelitian 4 2 Desain tampak atas pengukuran proyeksi tajuk 5 3 Desain keterbukaan areal akibat penebangan 6 4 Desain keterbukaan areal jalan sarad dan jalan angkutan 6 5 Hubungan antara persentase keterbukaan areal hutan akibat penebangan dan intensitas penebangan 10 DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Rencana Kerja Tahunan di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera 22 2 Peta Jaringan Jalan Rencana Kerja Tahunan 2012 di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera 23 3 Peta Jaringan Jalan Rencana Kerja Tahunan 2013 di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera 24 4 Dokumentasi Penelitian 25

PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Siberut merupakan salah satu cagar biosfer di Indonesia yang ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) melalui Program Man and Biosphere (MAB) pada tahun 1981, maka perlu perlakuan khusus didalam kegiatan pengelolaan hutan sesuai konsepsi Cagar Biosfer. Kontek Cagar Biosfer sesuai dengan pasal 1 butir 12 UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka Cagar Biosfer berintikan kawasan ekosistem asli dan unik yaitu kawasan konservasi dan sekelilingnya meliputi areal budidaya, permukiman dan lain-lain. Tahun 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 143/Menhut- II/04 tentang pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) telah disahkan berdirinya perusahaan pemanfaatan kayu yang bernama PT Salaki Summa Sejahtera (selanjutnya akan disebut PT. SSS) di areal yang berbatasan dengan Taman Nasional Siberut (PT SSS 2008). Saat ini masalah kerusakan hutan telah menjadi isu politik yang penting di tingkat internasional. Hutan tropis Indonesia telah diakui sebagai paru-paru dunia yang mampu menjaga ekosistem bumi dari kemerosotan lingkungan. Selain itu, dalam rangka kebijakan pengelolaan hutan yang lestari, dipandang perlu untuk mengurangi kerusakan tegakan tinggal dan tanah serta pengaruhnya terhadap flora dan fauna lainnya dalam rangka menjamin terpeliharanya sumberdaya hutan (Muhdi 2001). Hal ini menimbulkan isu lingkungan terkait sebagai cagar biosfer dan adanya ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di pulau tersebut. Maka perlu dilakukan pengelolaan hasil hutan yang baik supaya tidak terjadi keterbukaan areal hutan yang diakibatkan dari pemanfaatan kayu yang terlalu besar, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterbukaaan areal hutan yang ada di perusahaan tersebut. Pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan kayu (Conway 1978). Pemanenan kayu yang baik dan berkelanjutan adalah pemanenan yang direncanakan secara detail dan terpadu baik di dalam peta dan di lapangan. Perencanaan pemanenan kayu diartikan sebagai perancangan keterlibatan hutan beserta isinya, manusia/organisasi, peralatan dan dana untuk memproduksi kayu secara lestari bagi masyarakat yang membutuhkannya dan mendapatkan nilai tambah baik bagi perusahaan maupun bagi masyarakat lokal (sekitar hutan), regional dan nasional, pada suatu kurun waktu tertentu. Dalam kegiatan pemanenan hutan dibutuhkan perencanaan yang tepat untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal dengan kerusakan yang seminimum mungkin dari kegiatan proses pemanenan kayu. Ada 2 metode dalam teknik pemanenan hutan, yaitu dengan teknik pemanenan konvensional atau Conventional Logging (CL) dan pemanenan yang ramah lingkungan atau Reduced Impact Logging (RIL). Keterbukaan areal hutan adalah luas tanah yang terbuka akibat kegiatan penyaradan oleh bulldozer yang melintasi lahan hutan baik untuk membuat jalan sarad atau pada waktu bulldozer menarik log dari tempat penebangan ke Tempat

2 Pengumpulan Kayu (TPn). Keterbukaan areal hutan terjadi akibat penggusuran dan pengikisan tanah pada waktu penyaradan, pembukaan jalan angkut, pembukaan tempat penumpukan kayu dan pendongkelan pohon-pohon yang ditebang dan roboh. Luas keterbukaan areal karena teknik konvensional dipengaruhi oleh jumlah persatuan luas yang ditebang, kemiringan lahan dan faktor manajemen. Keterbukaan tanah yang disebabkan penggunaan alat berat dalam pengelolaan hutan alam pada umumnya hanya terjadi pada kegiatan penyaradan dan pembukaan wilayah hutan jaringan jalan angkut. Keterbukaan lahan akibat pembukaan wilayah hutan berkisar antara 2 7% dari luas total areal, sedangkan keterbukaan areal/tanah akibat penyaradan dalam pemanenan kayu dengan sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) berkisar 8 17% (Elias 2002). Hasil hutan kayu maupun hasil hutan non-kayu baru bermanfaat apabila dapat dikeluarkan dari hutan dan dijual kepada konsumen atau dijadikan bahan baku di pabrik-pabrik pengolahannya. Untuk mencapai pengelolaan hutan lestari dan pemanfaatan hasil hutan yang maksimal, maka akses keluar masuk hutan untuk mengelola dan memelihara hutan harus tersedia dengan baik, dan hasil hutan harus dapat dikeluarkan dengan lancar dan mudah (Elias 2008). Melihat dari pentingnya kegunaan kawasan cagar biosfer dan pemanfaatan kayu, sebagai regenerasi pertumbuhan vegetasi pada pulau tersebut, maka perlu dilakukan analisis terkait keterbukaan areal hutan yang diakibatkan dari pemanenan kayu yang dilakukan oleh perusahaan, sebagai langkah awal untuk mengetahui keterbukaan areal hutan yang terjadi, serta teknik pemanenan kayu yang digunakan oleh perusahaan, sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik pemanenan kayu, agar dapat terwujud kesinambungan antara cagar biosfer dan perusahaaan pemanfaatan kayu tersebut. Keterbukaan areal hutan merupakan suatu isu lingkungan yang sangat penting untuk dilakukan pengendalian dalam pemanfaatan kayu di hutan Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan penelitian terkait keterbukaan areal hutan tersebut dengan mengukur keterbukaan areal hutan yang diakibatkan penebangan, penyaradan, jalan angkutan dan TPn, dengan memperhatikan keterbukaan pada tanah dan tajuk hutan serta perlu dilakukan pengukuran secara menyeluruh agar mendapat hasil yang sesuai dengan pemanenan yang mengarah pada ramah lingkungan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis luas areal keterbukaan pemanenan kayu akibat penebangan, penyaradan, jalan angkutan dan TPn, sehingga dapat ditentukan luas keterbukaan areal hutan yang sesuai dengan teknik pemanenan ramah lingkungan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data/informasi keterbukaan areal hutan tentang perbaikan teknik pengeluaran kayu dan dapat mengurangi persen luas keterbukaan dalam mengarah RIL.

3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlokasi di IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Kebupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatra Barat. Penelitian dilakukan dalam waktu 1 bulan yaitu pada bulan April sampai dengan Mei 2013. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah phiband meter, pita meter, Global Positioning System (GPS), altimeter, clinometers, tally sheet, kamera, kompas, alat tulis, kalkulator, papan jalan, Chainsaw, Bulldozer, microsoft excel, ArcGIS 10, dan ERDAS 9.1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta jaringan jalan dan TPn tahun 2012 dan 2013, peta sebaran pohon, dan peta perencanaan pembuatan jalan sarad dan TPn, dan peta kerja. Prosedur Penelitian Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil yang sudah ada di perusahaan tersebut. Pengumpulan Data Keterbukaan Areal Pengumpulan data primer meliputi kegiatan pengukuran besar keterbukaan areal akibat penebangan dan akibat penyaradan pada plot contoh yaitu pada areal penebangan, TPn dan jalan sarad utama, jalan sarad cabang, maupun jalan sarad ranting. Perhitungan keterbukaan areal berasal dari pembuatan TPn dan jalan sarad pada petak tebangan serta keterbukaan dari pohon yang ditebang. Mengukur diameter pohon, panjang batang serta luas proyeksi tajuk dan luas tajuk yang telah rebah merupakan kegiatan pengukuran keterbukaan areal hutan akibat penebangan. Keterbukaan lahan akibat penyaradan adalah luas tanah yang terbuka akibat kegiatan penyaradan yang dilewati oleh bulldozer atau lalu lintas bulldozer. Keterbukaan lahan akibat penyaradan ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad pada petak tebangan kemudian dihitung luas jalan sarad tersebut. Penelusuran jalur sarad dilakukan dengan menggunakan GPS dan meteran. Untuk mengukur luas TPn dilakukan pengukuran panjang dan lebar pada areal TPn dengan menggunakan meteran atau dengan nelakukan tracking dengan GPS. Pengumpulan data sekunder merupakan data dari perusahaan guna membantu dalam kegiatan penelitian, adapun data sekunder yang digunakan meliputi: 1. Letak, luas dan keadaan umum lokasi penelitian.

4 2. Peta rencana kerja dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) tahun 2012 dan 2013. 3. Laporan Hasil Cruising (LHC) petak yang akan dilakukan penelitian. 4. Peta sebaran pohon. 5. Peta jaringan jalan dan Tpn tahun 2012 dan 2013. Pengumpulan Data Di Lapangan Tahapan dalam melakukan kegiatan pengumpulan data di lapangan adalah sebagai berikut: 1. Menentukan Plot Contoh Menentukan petak yang menjadi objek penelitian dengan melihat peta kerja IUPHHK-HA yang termasuk dalam RKT (Rencana Kerja Tahunan) tahun 2013. Menetapkan plot contoh dilakukan dengan cara purposive sampling, dengan mengikuti pola jalan sarad. Pembuatan plot contoh sebanyak 12 plot dengan ukuran masing-masing plot adalah 100 m x 100 m (1 ha). Lokasi plot contoh terletak pada RKT 2013 pada petak 320 dengan penempatan plot yang menyebar, sehingga mampu memperoleh keragaman data keterbukaan areal hutan. Berikut merupakan bentuk plot contoh seperti pada Gambar 1. 20 m Ket: 100 m = pohon yang ditebang = jalan sarad = TPn 100 m Gambar 1 Bentuk dan ukuran plot contoh penelitian Pengukuran dilakukan pada kegiatan penebangan, penyaradan dan TPn. Kegiatan penebangan pengukuran dimulai dari mengukur proyeksi tajuk, panjang dan lebar batang serta luas tajuk pohon yang telah ditebang, sedangkan untuk jalan sarad dan TPn diukur luas keterbukaaan dengan cara mengukur panjang dan lebar jalan sarad dan dilakukan tracking GPS pada jalan sarad dan TPn. Kegiatan penyaradan dan TPn pengukuran dilakukan untuk memperoleh hasil sampel sebagai penetapan nilai rata-rata yang digunakan untuk mengukur seluruh areal yang terbuka akibat kegiatan pembuatan jalan sarad dan TPn. 2. Penebangan Kegiatan penebangan merupakan kegiatan yang dilakukan dari mulai persiapan penebangan hingga pembagian batang pohon yang telah ditebang. Namun dalam penelitian ini, kegiatan penebangan dimulai dari tahapan sebagai berikut: a. Mencatat nomor pohon yang akan ditebang b. Mengukur proyeksi tajuk pada pohon yang akan ditebang untuk mengetahui luas keterbukaan dari tajuk pohon.

c. Menebang pohon yang telah diukur, dilakukan oleh operator chainsaw d. Mengukur lebar dan panjang batang dan tajuk pohon yang telah ditebang dibantu oleh helper chainsaw. 3. Jalan sarad dan Jalan Angkutan Pembuatan jalan sarad dan jalan angkutan dilakukan pada saat bulldozer mulai membuka hutan sebagai jalan untuk kegiatan penyaradan dan pengangkutan pada masing-masing petak tebang. Kegiatan penyaradan dilakukan untuk menyarad kayu hingga ke TPn dengan menggunakan bulldozer D7G sedangkan kegiatan pengangkutan dilakukan untuk mengangkut log yang berada di TPn menuju ke tempat penimbunan kayu (TPK). Kegiatan penyaradan dimulai dari membuka jalan sarad menuju tegakan yang telah ditebang, kemudian helper bulldozer menarik sling untuk mengikat pada log, dengan menggunakan winch batang disarad menuju TPn, untuk mengurangi keterbukaan yang lebih besar. Setelah kegiatan penyaradan selesai dilakukan pengukuran panjang dan lebar jalan sarad untuk mengetahui luas jalan sarad dan keterbukaan areal akibat jalan sarad, pengukuran dimulai dari jalan sarad utama, cabang dan ranting sebagai sampel data untuk menghitung luas keterbukaan areal pada RKT 2012 dan 2013 dengan mengunakan data sekunder berupa data realisasi jaringan jalan. Pengukuran jalan angkutan berupa pengukuran panjang dan lebar jalan utama, jalan cabang dan jalan ranting. pengukuran jalan angkutan untuk mengetahui luas areal terbuka akibat kegiatan pengangkutan dari TPn hingga TPK pada blok tebangan RKT 2012 dan 2013. Pengukuran panjang jalan sarad dan jalan angkutan dihitung dengan menggunakan software ArcGIS 10. 4. TPn Pengukuran TPn dilakukan bersamaan dengan pengukuran panjang jalan sarad. Pengukuran panjang dan lebar untuk mengetahui luas areal yang digunakan untuk membuat tempat pengumpulan kayu (TPn), pengukuran dilakukan dengan menggunakan meteran dan dilakukan tracking dengan menggunakan GPS. Pengolahan Data 1. Luas Keterbukaan areal pohon yang di tebang (m 2 atau ha) 5 dt dp t Luas 1 Gambar 2 Pengukuran proyeksi tajuk (tampak atas) Luas 1 = luas proyeksi tajuk 1 2 dp dt π 4 2 Ket: dp = diameter terpanjang (m) dt = diameter terpendek (m)

6 dt t dp t dt t Luas 2 Gambar 3 Desain keterbukaan areal akibat penebangan Luas 2 = luas batang + luas tajuk 2 1 dp dt p l π 4 2 Luas total = luas proyeksi tajuk + (luas batang + luas tajuk ) = luas 1 + luas 2 Keterangan : Luas total = luas keterbukaan areal (m 2 atau ha) p = panjang jalan sarad dalam satu petak tebang (m) l = lebar jalan sarad rata-rata (m) dp = diameter terpanjang (m) dt = diameter terpendek (m) 2. Luas keterbukaan areal akibat jalan sarad, jalan angkutan (m 2 atau ha) dp p p Gambar 4 Desain keterbukaan areal jalan sarad dan jalan angkutan L p l Keterangan : L = luas keterbukaan areal (m 2 atau ha) p = panjang jalan sarad dalam satu petak tebang (m) l = lebar jalan sarad rata-rata (m) 3. Keterbukaan areal akibat penebangan dan jalan sarad (%) luas areal terbuka K 100% luas areal yang mewakili Keterangan : K = keterbukaan areal (%)

7 4. Keterbukaan tempat pengumpulan kayu (Elias 2008) LP pwh K 100% F Keterangan : LP pwh = jumlah luas tanah akibat TPn (ha) F = luas total areal produktif yang dikelola (ha) HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian PT SSS merupakan salah satu perusahaan yang area pemanfaatannya berada di kawasan cagar biosfer Pulau Siberut. Cagar biosfer adalah ekosistem daratan dan pesisir/laut atau kombinasi dari padanya yang ideal untuk penelitian, pemantauan jangka panjang, pelatihan, pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat sehingga memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yang secara internasional ditetapkan berada di dalam kerangka Program Manusia dan Biosfer dari UNESCO (PT SSS 2008). Kawasan konsesi milik Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT SSS sebelumnya merupakan milik PT. Tjirebon Agung dengan luas areal pemanfaatan 70 000 ha. Setelah areal ini dikelola oleh PT SSS luas areal pemanfaatannya menjadi 49 440 ha dan sisanya seluas 20 000 ha sebagai kawasan Taman Nasional Siberut (PT SSS 2008). Namun setelah dilaksanakan kegiatan tata batas temu gelang sebagaimana tertuang dalam laporan Tata Batas Nomor 1496 Tahun 2009, tentang Laporan Pengukuhan dan Penataan Batas Sendiri dan Persekutuan Areal Kerja IUPHHK pada Hutan Alam PT Salaki Summa Sejahtera dengan Taman Nasional Siberut di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, terjadi perubahan luas areal kerja dari 48 420 ha menjadi 47 605 ha. Dalam kegiatan operasionalnya PT SSS perlu memanfaatkan hasil hutan kayu dengan melakukan pemanenan. Kegiatan pemanenan pasti menimbulkan kerusakan hutan. Kawasan PT SSS yang berada pada cagar biosfer tersebut diwajibkan menekan kerusakan sekecil mungkin, sehingga perlu adanya penelitian-penelitian terkait dari pemanenan hutan agar tercipta pemanenan hutan yang optimal yaitu meminimalisasi kerusakan dengan memperoleh manfaat yang optimal pula atas produksi kayunya. Jenis yang paling banyak ditebang yaitu jenis pohon keruing. Di areal ini terdapat 3 jenis keruing yang biasa disebut Kokah adalah jenis keruing berdaun kecil yang memiliki nama botani Dipterocarpa elongatus, garau memiliki nama botani Dipterocarpa sublamelathus, dan mong adalah jenis keruing berdaun lebar dengan nama botani Dipterocarpa rethusus (PT SSS 2008).

8 Keterbukaan Areal Hutan Keterbukaan areal hutan adalah luas tanah yang terbuka akibat kegiatan penyaradan oleh bulldozer yang melintasi lahan hutan baik untuk membuat jalan sarad atau pada waktu bulldozer menarik log dari tempat penebangan ke TPn. Keterbukaan areal hutan terjadi akibat penggusuran dan pengikisan tanah oleh bulldozer pada waktu penyaradan, pembukaan jalan angkutan, pembukaan tempat penumpukan kayu dan pendongkelan pohon-pohon yang ditebang dan roboh. Luas keterbukaan areal karena teknik konvensional dipengaruhi oleh jumlah persatuan luas yang ditebang, kemiringan lahan, dan faktor manajemen (Elias 1993). Menurut Thaib (1986) keterbukaan tanah adalah terbukanya permukaan tanah kerena terkelupasnya lapisan serasah yang menutupinya, karena terdongkelnya pohon-pohon yang ditebang dan yang roboh, terkikis dan tergusur oleh bulldozer sewaktu penyaradan, pembuatan jalan angkutan dan pembuatan TPn. Menurut Elias (2008) keterbukaan tanah berdasarkan sifat dan waktunya dalam pengelolaan hutan dibedakan atas keterbukaan tanah yang bersifat permanen dan keterbukaan tanah sementara. Keterbukaan tanah permanen pada umumnya terjadi karena pembangunan prasarana Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) yang digunakan untuk jangka waktu yang lama ( 5 tahun) seperti jaringan jalan untuk melayani pengangkutan hasil hutan, Tempat Penimbunan Kayu (TPK) dan base camp, sedangkan areal terbuka sementara pada umumnya dapat tertutup kembali oleh vegetasi dalam waktu yang tidak terlalu lama (<5 tahun) seperti jalan sarad, TPn, areal bekas tebangan dan areal quari. Berdasarkan literatur diatas keterbukaan areal hutan merupakan luas tanah dan luas tajuk areal hutan yang terbuka akibat penebangan, penyaradan, pembuatan jalan angkut dan pembuatan TPn, sehingga berdasarkan sifat dan waktunya termasuk kedalam keterbukaan yang permanen dan sementara. Hal ini merupakan komponen yang saling berkaitan dalam keterbukaan areal hutan karena tanah yang tertutup akan tegakan maupun vegetasi akan rusak akibat penebangan dan akan terkikis akibat kegiatan penyaradan oleh bulldozer yang akan membuat jalan angkutan maupun jalan sarad serta dalam kegiatan menarik log dari tunggak pohon yang ditebang sampai TPn. TPn pun memperlukan lahan yang cukup besar untuk menampung log yang telah ditebang dan disarad. Keterbukaan Areal Hutan Akibat Penebangan Keterbukaan areal akibat penebangan merupakan celah dalam areal hutan yang terjadi akibat penebangan/secara buatan. Terbentuknya areal yang terbuka ini diakibatkan oleh pohon yang ditebang, selain itu terbuka karena pohon yang ditebang juga terbuka akibat pohon yang ditebang merobohkan pohon disekitarnya. Hal ini disebabkan sebelum pohon rebah mencapai tanah, pohon telah menimpa tegakan pancang, tiang dan pohon disekitarnya sehingga mengakibatkan pohon-pohon tersebut mengalami kerusakan atau membuat areal terbuka (Muhdi 2001). Menurut Sularso (1996) menyatakan bahwa kerapatan tegakan, diameter dan tinggi pohon yang ditebang, bentuk tajuk, kemiringan lapangan, intensitas penebangan, teknik penebangan dan tanaman melilit

merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keterbukaan areal hutan akibat penebangan. Keterbukaan areal akibat penebangan terjadi karena aktivitas penebangan, bukan hanya akibat dari robohnya pohon yang ditebang saja melainkan dilihat dari keadaan tutupan tajuk sebelum penebangan dan setelah dilakukan penebangan. Sehingga dalam penentuan luas keterbukaan juga perlu dilakukan pengukuran luas proyeksi tajuk. Penentuan arah rebah yang tidak benar juga akan membuat keterbukaan areal yang besar hal ini dikarenakan vegatasi yang ada disekitarnya akan tertimpa pohon yang ditebang. Persentase keterbukaan hutan akibat penebangan pohon pada petak tebang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Keterbukaan areal hutan akibat penebangan Plot Intensitas Luas Keterbukaan tebangan (%) (pohon/ha) m 2 ha 1 10 2541.93 0.25 25.42 2 10 2115.60 0.21 21.16 3 6 1607.70 0.16 16.08 4 10 2430.99 0.24 24.31 5 6 1552.78 0.16 15.53 6 12 2547.82 0.25 25.48 7 4 631.19 0.06 6.31 8 5 975.30 0.10 9.75 9 7 1382.46 0.14 13.82 10 8 1898.18 0.19 18.98 11 9 2063.76 0.21 20.64 12 11 2243.23 0.22 22.43 Jumlah 98 21 990.94 2.20 219.91 Rata-rata 8.17 1832.58 0.18 18.33 Dapat dilihat hasil keterbukaan areal hutan akibat penebangan pada Tabel 1 diperoleh nilai intensitas penebangan rata-rata sebanyak 8.17 pohon/ha dari 98 pohon pada 12 plot. Untuk luas rata-rata diperoleh nilai sebesar 1832.58 m 2 atau 0.18 ha sehingga memperoleh persen rata-rata keterbukaan areal hutan sebesar 18.33%. Keterbukaan areal hutan akibat penebangan pada seluruh plot penelitian sebesar 21 990.94 m 2 atau 2.20 ha. Pada penelitian ini dilakukan dengan intensitas penebangan yang berbeda, dari intensitas penebangan 4 pohon/ha sampai 12 pohon/ha guna untuk mendapatkan hasil luas keterbukaan yang heterogen sehingga dapat diperoleh intensitas penebangan mempengaruhi keterbukaan ataupun tidak. Berdasarkan penelitian (Muhdi 2001) bahwa pada petak kayu konvensional dengan intensitas penebangan rata-rata 6 pohon/ha menimbulkan keterbukaan tanah seluas 1422.0 m 2 (14.22%) sedangkan pada petak pemanenan kayu RITH (Reduced Impact Timber Harvesting) dengan intensitas penebangan 5.3 pohon/ha menimbulkan keterbukaan tanah rata-rata seluas 981.7 m 2 (9.81%). Hal ini menunjukan bahwa dengan penebangan kayu teknik RITH dapat mengurangi luas keterbukaan tanah bila dibandingkan dengan luas keterbukaan tanah yang terbentuk akibat penebangan teknik konvensional. 9

10 Berdasarkan penelitian Muhdi (2001) tersebut bahwa hasil penelitian pada perusahaan mengenai keterbukaan areal akibat penebangan termasuk dalam teknik pemanenan yang konvensional hal ini dikarenakan nilai persen keterbukaan areal hutan akibat penebangan diperoleh diatas 14.22% dari hasil penelitian Muhdi tersebut. Namun apabila dilihat berdasarkan dari intensitas penebangan akan memperoleh teknik pemanenan kayu yang berbeda, dengan intensitas penebangan 6 pohon/ha diperoleh nilai keterbukaan sebesar 1552.78 m 2 (15.53%) sehingga termasuk kedalam teknik pemanenan kayu konvensional sedangkan apabila untuk intensitas penebangan 5 pohon/ha diperoleh nilai keterbukaan sebesar 975.30 m 2 (9.75%) dan termasuk teknik pemanenan kayu RITH. Gambar 5 Hubungan antara persentase keterbukaan areal hutan akibat penebangan dan intensitas penebangan Keterbukaan (%) Linear (keterbukaan (%)) Pada Gambar 5 memperlihatkan hubungan antara persentase keterbukaan areal akibat penebangan dan intensitas penebangan, dimana data yang diperoleh berada pada garis regresi linear dan memperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.89, sehingga dengan diperoleh nilai determinasi yang hampir mendekati 1, maka data keterbukaan akibat penebangan yang diperoleh mendekati data keterbukaaan akibat penebangan yang sesuai atau data telah mewakili dari kegiatan penebangan yang ada. Gambar 5 tersebut juga terlihat bahwa intensitas penebangan mempengaruhi luas keterbukaan areal hutan yang terjadi akibat dari penebangan. Budiarta (2001) mengklasifikasikan intensitas penebangan sebagai berikut: rendah dengan asumsi pohon ditebang 5 pohon/ha, sedang dengan asumsi pohon ditebang 6 9 pohon/ha dan tinggi dengan asumsi pohon ditebang 10 pohon/ha. Keterbukaan areal hutan akibat penebangan terbesar pada plot 6 yaitu sebesar 25.48% atau 2547.82 m 2 dengan intensitas penebangan 12 pohon/ha, sedangkan persen keterbukaan areal hutan yang terkecil terdapat pada plot 7 yaitu sebesar 6.31% atau 631.19 m 2 dengan intensitas penebangan 4 pohon/ha. Hal ini membuktikan bahwa semakin besar intensitas penebangan maka semakin besar

pula keterbukaan areal hutan yang ditimbulkan. Untuk mengurangi besarnya keterbukaan areal akibat penebangan, maka harus menguragi intensitas penebangannya dengan intensitas yang rendah maupun sedang. Dari hasil penelitian Muhdi (2001) semakin besar intensitas penebangan menyebabkan luas rumpang yang terbentuk semakin besar pula. Hal ini terlihat pada petak pemanenan kayu RITH plot 1 dengan intensitas penebangan 6 pohon menimbulkan rumpang seluas 1054.1 m 2 (10.54%) dan pada plot 2 dengan intensitas penebangan 5 pohon menimbulkan keterbukaan seluas 863 m 2 (8.63%). Dengan intensitas penebangan yang sama 6 pohon/ha maka keterbukaan tanah yang terjadi pada petak pemanenan kayu konvensional lebih besar, yakni rata-rata 1422 m 2 (14.22%). Hal ini disebabkan pohon yang ditebang pada petak pemanenan kayu konvensional tidak terarah. Melihat pernyataan diatas dan melihat luas keterbukaaan areal yang ditimbulkan pada plot penelitian bahwa pada perusahaan yang diteliti masih menggunakan pemenenan kayu secara konvensional, hal ini dapat terlihat dari jumlah luas keterbukaan dan persen keterbukaan areal akibat penebangan yang masih terlalu besar. Ukuran luas keterbukaan tanah belum ada ketentuan atau standar yang baku untuk menilai baik/buruknya pemanenan kayu. Semakin kecil luas keterbukaan tanah maka kerusakan tegakan tinggal makin rendah. Tanah yang terbuka ini akan mempengaruhi daya hidup jenis-jenis pohon yang bersifat toleran (tahan terhadap naungan) akan serbuan gulma, liana serta rentan terhadap erosi tanah karena curah hujan di daerah tropis yang tinggi (Manan 1995 dalam Muhdi 2001). 11 Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan Keterbukaan areal hutan akibat penyaradan merupakan suatu aktivitas mengeluarkan kayu dari petak tebang ke TPn merupakan pengangkutan jarak pendek (minor transportation). Pengangkutan dilakukan pada jalan sarad yang merupakan jalan tanah yang menghubungkan tempat tumbuh pohon individual dengan jalan cabang, jalan ranting dan TPn. Beberapa faktor yang mempengaruhi luasnya keterbukaan tanah akibat pemanenan kayu adalah kerapatan tegakan, kemiringan lapangan, intensitas pemanenan kayu serta teknik pemanenan kayu (Sularso 1996). Dalam penyaradan biasa menggunakan alat angkut berupa bulldozer, pada penelitian ini digunakan bulldozer CAT D7G dengan lebar blade 4 m dengan dilengkapi winch untuk menyarad kayu. Tabel 2 menjelaskan bahwa luas yang dihasilkan pada plot contoh jalan sarad yang mewakili 2 TPn sebesar 5212.69 m 2 (0.52 ha) dan memperoleh persen keterbukaan sebesar 10.43%. Tabel 2 Keterbukaan areal hutan pada plot contoh penyaradan Luas total Keterbukaan No plot Panjang (m) m 2 ha (%) 1 593.84 3113.54 0.31 6.23 2 445.00 2099.14 0.21 4.20 Jumlah 5212.69 0.52 10.43 Rata-rata 2606.34 0.26 5.21

12 Untuk melihat besarnya keterbukaan areal hutan akibat penyaradan pada petak tebang maka perlu dilakukan perhitungan dengan data pada Tabel 2 dengan bantuan data sekunder berupa data peta dan data hasil tracking jalan sarad pada masing-masing petak tebang. Sehingga dapat dihitung keterbukaan areal hutan akibat penyaradan untuk petak tebang pertahun. Pada penelitian ini jalan sarad dibedakan menjadi jalan sarad utama dan jalan sarad cabang. Lebar masingmasing jalan sarad rata- rata yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 8.75 m untuk jalan sarad utama dan 5.027 m untuk jalan sarad cabang, hasil ini diperoleh dari hasil rata-rata lebar pada plot contoh. Menurut (Matangaran et.al 2013) penyaradan dilakukan dengan menggunakan bulldozer. Di areal hutan Sumatera Barat, lebar jalan sarad umumnya lebih dari 4 meter dan perencanaan jalan sarad belum dilakukan dengan baik dan belum melakukan RIL, sedangkan di Kalimantan Tengah sudah dibuat perencanaan jalan sarad dan operator mematuhi teknik RIL. Pada penelitian ini akan dibandingkan besar keterbukaan areal hutan akibat penyaradan pada petak tebang tahun 2012 dan 2013 sehingga dapat diketahui perbedaan yang terjadi disetiap tahunnya. Adapun persentase keterbukaan areal hutan akibat penyaradan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Keterbukaan areal hutan akibat penyaradan No Petak Luas Luas Petak* Keterbukaan Keterbukaan * tahun 2012 tahun 2013 2013 2012 (m 2 ) ha % (m 2 ) ha % 1 79 293 35 181.22 0.04 3.52 30 640.01 0.03 3.06 2 80 320 51 574.12 0.05 5.16 21 512.40 0.02 2.15 3 103 321 61 167.12 0.06 6.12 21 163.06 0.02 2.12 4 104 322 81 630.68 0.08 8.16 37 818.98 0.04 3.78 5 105 323 87 094.67 0.09 8.71 32 741.12 0.03 3.27 6 128 324 60 749.28 0.06 6.07 28 363.58 0.03 2.84 7 129 325 83 636.96 0.08 8.36 28 703.50 0.03 2.87 8 130 350 46 287.46 0.05 4.63 39 284.66 0.04 3.93 9 154 351 47 698.88 0.05 4.77 34 452.94 0.03 3.45 10 155 352 41 951.04 0.04 4.20 22 708.09 0.02 2.27 11-353 - - - 30 345.68 0.03 3.03 12-382 - - - 57 207.51 0.06 5.72 Jumlah 596 971.43 0.60 59.70 384 941.53 0.38 38.49 Rata-rata 59 697.14 0.06 5.97 32 078.46 0.03 3.21 Keterangan: * Petak = 100 ha, = tidak ada petak (RKT 2012 hanya terdapat 10 petak) Tabel 3 merupakan keterbukaan areal hutan akibat penyaradan pada tahun 2012 dan tahun 2013 hal ini dilakukan perhitungan sebagai bahan perbandingan luas keterbukaan akibat penyaradan. Pada Tabel 3 dilakukan perhitungan keterbukaan areal dengan menggunakan data sekunder. Luas rata-rata tahun 2012 yang dihasilkan pada Tabel 3 sebesar 59 697.14 m 2 (0.06 ha). Untuk luas seluruh

areal yang terbuka akibat jalan sarad pada tahun 2012 sebesar 596 971.43 m 2 (59.70%) hal ini dengan luas keterbukaan jalan sarad 596 971.43 m 2 untuk seluruh petak tebang tahun 2012 merupakan hasil yang sangat besar mengingat pada petak tebang tahun 2012 hanya melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sebanyak 10 petak tebang saja atau dengan luas 1000 ha. Panjang jalan sarad pada petak tebang 2012 memiliki panjang dengan nilai terbesar pada petak tebang 105 dengan panjang 14 908.37 m, sedangkan untuk petak yang memilik panjang jalan sarad terpendek terdapat pada petak tebang 79 dengan panjang 5609.81 m. Hal ini terjadi karena potensi pada ke 2 petak tersebut tidak sama. Potensi yang dihasilkan pada petak 105 lebih besar dibandingkan dengan petak 79. Pada tahun 2013 petak tebang dibagi menjadi 12 petak dengan luas sebesar 1200 ha, hal ini terjadi karena pada RKT 2013 potensi tegakan untuk 10 petak tebang kurang mampu memenuhi target produksi pada perusahaan tersebut sehingga untuk memenuhi target yang diinginkan maka pihak perusahaan menambah 2 petak tebang. Luas areal rata-rata per petak memperoleh hasil 32 078.46 m 2 (0.03 ha) dan menghasilkan persen keterbukaan sebesar 3.21%. Dari hasil keterbukaan areal pada seluruh petak tebang diperoleh hasil sebesar 384 941.53 m 2 (0.38 ha) dan menghasilkan persen keterbukaan areal akibat penyaradan sebesar 38.49%, sedangkan untuk panjang jalan sarad terpanjang terdapat pada petak tebang 382 dengan panjang 7544.59 m dan untuk jalan sarad terpendek terdapat pada petak tebang 352 dengan panjang 3212.30 m. Perbandingan keterbukaan areal pada petak tebang tahun 2012 dan 2013 sangat terlihat perbedaan luas yang dihasilkan akibat kegiatan penyaradan. Luas keterbukaan pada tahun 2012 lebih besar dibandingkan dengan dengan luas keterbukaan pada tahun 2013. Luas pada tahun 2013 hampir 2 kali lebih kecil dari tahun 2013. Namun hal ini bertolak belakang dengan jumlah petak pada masingmasing RKT. Pada tahun 2012 terdapat 10 petak tebang sedangkan pada tahun 2013 terdapat 12 petak tebang. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya luas keterbukaan pada petak tebang 2012 yaitu intensitas penebangan, topografi areal penebangan, potensi tegakan dan kerapatan vegetasi yang ada pada areal penebangan. Berdasarkan penelitian (Indriyati 2010) pada lokasi yang sama bahwa besarnya keterbukaan pada masing-masing plot berbeda-beda luasannya hal ini disebabkan karena berbagai faktor seperti faktor kondisi lapangan yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya penyaradan dikarenakan adanya sungai yang cukup lebar sehingga tidak bisa dilintasi. Faktor lain, yaitu operator bulldozer yang mempunyai pengetahuan yang kurang dikarenakan tidak dibekali dengan peta pohon sehingga ketika ingin menyarad kayu operator harus berkordinasi dengan operator chainsaw untuk mendapatkan informasi lokasi dari pohon tebang tersebut atau terkadang operator bulldozer langsung masuk kedalam petak tebangan untuk mencari sendiri lokasi dari pohon yang telah ditebang. Operator bulldozer juga tidak memiliki pengetahuan yang banyak terhadap metode pembuatan jalan sarad yang efektif dan efisien yang sesuai dengan Reduce Impact Logging serta keterampilan pengoperasian alat yang berbeda-beda dan juga kemungkinan dipengaruhi oleh faktor alam seperti cuaca dan medan yang memiliki tingkat kelerengan yang berbeda-beda. Besarnya keterbukaan akan mengakibatkan terjadinya laju erosi yang tinggi yang dapat mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah karena terjadinya run off 13

14 yang besar. Hal ini menyebabkan hara dari tanah akan hilang yang kemudian akan berdampak pada tingkat kesuburan tanah hutan dan produktivitas hutan, sehingga nilai ekonomis dari hutan akan semakin terus berkurang. Untuk mengatasi hal ini maka perlu perencanaan jalan sarad yang pada akhirnya dapat menekan laju keterbukaan areal akibat kegiatan pemanenan. Bidang perencanaan harus membuat peta pohon yang telah lengkap dengan arah rebah pohon dan jaringan jalan sarad agar operator chainsaw dapat menentukan arah rebah pohon dengan benar, sehingga keterbukaan dapat dikurangi. Operator bulldozer perlu dibekali dengan peta jaringan jalan sarad yang telah dibuat oleh bidang perencanaan dan dibekali dengan kemampuan untuk membaca peta. Hal ini diperlukan agar operator bulldozer tidak salah arah dalam membuat jalan sarad serta tidak salah tempat dalam menentukan lokasi TPn. Suhartana dan Yuniawati (2011) menyatakan bahwa secara teknis penyaradan RIL (Reduced Impact Logging) diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, menurunkan biaya produksi dan mengurangi kerusakan lingkungan. Beberapa hal yang dapat dilakukan: 1. penggunaan pada jalur sarad adalah timbunan ranting-ranting dan dedaunan bekas tebangan sehingga mempercepat pekerjaan (tidak sering terjadi slip antara alat sarad terhadap tanah) dan memperkecil pergerakan telapak alat sarad untuk mengeruk lapisan tanah atas sehingga kerusakan tanah dapat dihindari; 2. arah rebah pohon saat penebangan harus searah dengan jalan sarad. dan 3. dibutuhkan peta potensi tegakan yang akan dipanen sehingga dapat dilakukan perencanaan pemanenan kayu berupa pembuatan jalur sarad. Keterbukaan Areal Hutan Akibat Jalan Angkutan Jaringan jalan hutan adalah kumpulan sekmen-sekmen jalan hutan yang sambung menyambung satu sama lain dan membentuk suatu jaringan jalan yang terpadu. Pola jaringan jalan yang ideal merupakan pola jaringan jalan yang membuka wilayah hutan secara merata dan menyeluruh, sehingga semua tempat dapat diakses dengan cepat dan mudah. Jenis-jenis jalan hutan berdasarkan fungsi dan standar teknisnya dapat bedakan atas jalan koridor, jalan utama, jalan cabang, jalan ranting, dan jalan sarad. Tujuan dibedakannya jenis-jenis jalan hutan adalah agar diperoleh manfaat yang maksimal dan efisien dalam membangun suatu jaringan jalan hutan (Elias 2008). Jaringan jalan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu jaringan jalan yang berfungsi sebagai prasarana membantu proses pengangkutan kayu agar dapat dikeluarkan dari petak tebang menuju TPK sehingga sering disebut jalan angkutan yang berupa jalan utama, jalan cabang, dan jalan ranting. Namun dalam penelitian ini hanya terdapat jalan utama dan jalan cabang saja. Elias (2008) menyatakan jalan utama merupakan sekmen jalan hutan yang berfungsi melayani lalu lintas untuk mempelancar kegiatan pengelolaan hutan secara umum, biasanya memiliki ciri sebagai berikut: menghubungkan bagian wilayah hutan yang dikelola satu sama lain, pemakaian dalam jangka waktu panjang, mempunyai dua jalur, menampung arus angkut hasil hutan dari jalan cabang, dapat dilewati truk pengangkut kayu, dan jalan diperkeras dan dirancang dengan rancangan geometri untuk kecepatan kendaraan 40 km/jam di daerah datar

dan 20 km/jam di daerah pegunungan, sedangkan jalan cabang adalah sekmen jalan hutan yang dibangun permanen yang dipergunakan untuk tujuan mempelancar kegiatan pengelolaan hutan, seperti kegiatan pemanenan kayu, tindakan silvikultur dan perlindungan hutan. Pengukuran panjang jalan utama dan jalan cabang dilakukan pada jalan angkutan tahun 2012 dan 2013 dengan cara menghitung panjang dengan menggunakan bantuan software ArcGis. Data yang digunakan merupakan peta petak tebang yang dilengkapi peta jalan sehingga dapat diketahui panjang dengan digitasi panjang jalan tersebut dan mengkelompokan sesuai dengan klasifikasi jalannya. Jalan utama menggunakan 2 jalur lintasan dengan rata-rata lebar jalan utama sebesar 13.33 m, sedangkan untuk jalan cabang memiliki lebar rata sebesar 8.40 m untuk tahun 2012. Tahun 2013 jalan utama memiliki lebar jalan rata-rata sebesar 13.39 m dan jalan cabang memiliki lebar rata-rata sebesar 8.51 m. Lebar masing-masing jalan tidak berbeda jauh baik lebar jalan utama maupun jalan cabang. Persentase keterbukaan areal yang disebabkan pembuatan jalan angkutan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Keterbukaan areal hutan akibat jalan angkutan No Luas Luas Petak* Petak* Keterbukaan Keterbukaan tahun 2012 tahun 2013 2012 2013 (m 2 ) ha % (m 2 ) ha % 1 103 293 8889.19 0.009 0.89 172 615.95 0.17 17.26 2 104 320 7552.12 0.008 0.76 133 663.25 0.13 13.37 3 105 321 3339.54 0.003 0.33 231 023.19 0.23 23.10 4 128 322 29 064.12 0.029 2.91 187 003.27 0.19 18.70 5 129 323 37 481.08 0.037 3.75 72 343.21 0.07 7.23 6 130 324 29 772.07 0.030 2.98 141 575.26 0.14 14.16 7 154 325 1 467.75 0.001 0.15 152 622.98 0.15 15.26 8 155 350 0.00 0.000 0.00 176 823.13 0.18 17.68 9 79 351 0.00 0.000 0.00 147 349.82 0.15 14.74 10 80 352 13 753.31 0.014 1.38 156 657.34 0.16 15.67 11-353 - - - 211 528.17 0.21 21.15 12-382 - - - 156 776.17 0.16 15.68 Jumlah 131 319.18 0.12 13.13 1 939 981.74 1.77 193.10 Rata-rata 23 876.21 0.013 1.31 298 45.73 0.16 16.17 Keterangan: * Petak = 100 ha = tidak ada petak (RKT 2012 hanya terdapat 10 petak) Tabel 4 menunjukan hasil persentase perhitungan jalan angkutan yang berupa jalan utama dan jalan cabang. Hasil pembuatan jalan angkut pada tahun 2012 dan 2013 pemperoleh nilai persentase yang cukup jauh perbedaaannya. Pada tahun 2012 diperoleh luas keterbukaan sebesar 131 319.18 m 2 (0.12 ha) dengan rata-rata persen keterbukaan sebesar 1.31% sedangkan pada tahun 2013 diperoleh nilai luas keterbukaan sebesar 1 939 981.74 m 2 (1.77 ha) dengan persentase keterbukaan sebesar 16.17%. Keterbukaan akibat jalan angkut pada RKT 2012 tidak terlalu besar karena pada tahun 2012 lokasi pemanenan kayu tidak terlalu jauh dari base camp dan pembuatan jalan lebih kearah pembuatan jalan sarad hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa keterbukaan jalan sarad pada tahun 2012 15

16 lebih besar dibandingkan dengan tahun 2013 begitu pula dengan tahun 2013 keterbukaan jalan angkutan lebih besar karena lokasi petak tebangan harus membuka areal baru dan lokasinya cukup jauh sehingga untuk memudahkan dalam pengangkutan maka perlu pembuatan jalan utama dan jalan cabang. Selain itu juga faktor cuaca di areal tersebut yang tidak menentu sehingga dianggap perlu guna mempelancar dalam proses pengangkutan kayu. Keterbukaan Areal Akibat Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) TPn merupakan suatu komponen pemanenan hutan yang digunakan untuk menampung kayu bulat hasil penyaradan dari areal penebangan menuju ke lokasi yang mudah dijangkau guna mempermudah pengangkutan. Elias (2008) menjelaskan TPn/landing adalah tempat pengumpulan kayu bulat yang disarad keluar dari dalam tegakan dan tempat pemuatan kayu bulat untuk diangkut keluar hutan. TPn merupakan muara dari jalan sarad dan diletakkan di pinggir jalan angkutan biasanya jalan cabang sehingga mudah dalam pengangkutan tahap selanjutnya. Hal ini dikarenakan dapat menghemat waktu kerja dan biaya, karena transportasi lebih mudah dilakukan. Dalam kasus ini, TPn yang diletakkan di sudut area dan dekat jalan utama akan menghemat waktu dibanding TPn diletakkan di dalam hutan. Selain itu, waktu kerja tidak efektif juga dapat diperoleh dari gangguan, misalnya cuaca buruk, sehingga jalan menjadi rusak atau yang lainnya. Pembuatan TPn juga tergantung dari banyaknya atau tidaknya potensi yang ada pada petak tebangan, selain itu juga pembuatan TPn juga dilihat dari jalan sarad yang ada pada petak tebangan tersebut. Semakin panjang jalan sarad yang dibuat maka semakin sedikit TPn yang dibuat begitu pula sebaliknya. Keterbukaan akibat TPn dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Keterbukaan areal hutan akibat TPn pada plot contoh Luas Keterbukaan No TPn m 2 ha (%) 1 I 1568.14 0.03 3.14 2 II 1481.76 0.03 2.96 Jumlah 3049.90 0.06 6.10 Rata-rata 1524.95 0.03 3.05 Tabel 5 pada plot contoh diperoleh luas keterbukaan areal akibat pembuatan TPn seluas 3049.90 m 2 (0.06 ha) dan sebesar 6.10% serta memperoleh nilai luas rata-rata sebesar 1524.95 m 2 (0.03 ha) dan persen keterbukaan areal sebesar 3.05%. Panjang jalan sarad ini mewakili luas areal sebesar 5 ha untuk semua panjang jalan sarad. Hasil diatas mempunyai nilai yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhdi 2001 untuk pembuatan tempat pengumpulan kayu (TPn), pada petak pemanenan kayu konvensional luas keterbukaan tanah yang terjadi akibat aktivitas pembuatan TPn seluas 2520.58 m 2. Pada petak pemanenan kayu RIL luas keterbukaan tanah akibat pembuatan TPn seluas 896.26 m 2. Dari hasil diatas pembuatan TPn pada plot penelitian dapat disimpulkan sebagai pemanenan kayu konvensional seperti halnya pada

keterbukaan akibat penebangan dan penyaradan. Untuk mengetahui Keterbukaan areal pembuatan TPn pada seluruh petak tebang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Keterbukaan areal hutan akibat TPn No Petak* 2012 Petak* 2013 Luas tahun 2012 (m 2 ) 17 Keterbukaan Luas Keterbukaan tahun 2013 ha % (m 2 ) ha % 1 79 293 296.84 0.003 0.30 12 199.60 0.012 1.22 2 80 320 3038.83 0.003 0.30 7624.75 0.008 0.76 3 103 321 5431.60 0.005 0.54 10 674.65 0.011 1.07 4 104 322 3971.20 0.004 0.40 9149.70 0.009 0.92 5 105 323 5214.20 0.005 0.52 9149.70 0.009 0.92 6 128 324 4992.30 0.005 0.50 7624.75 0.008 0.76 7 129 325 11 320.00 0.011 1.13 9149.70 0.009 0.92 8 130 350 5817.22 0.006 0.58 10 674.65 0.011 1.07 9 154 351 649.48 0.001 0.07 6099.80 0.006 0.61 10 155 352 1470.16 0.001 0.15 9149.70 0.009 0.92 11-353 - - - 9149.70 0.009 0.92 12-382 - - - 7624.75 0.008 0.76 Jumlah 44 866.83 0.045 4.49 108 271.45 0.108 10.83 Rata-rata 4486.68 0.004 0.45 9022.62 0.009 0.90 Keterangan: * Petak = 100 ha = tidak ada petak (RKT 2012 hanya terdapat 10 petak) Persentase luas keterbukaan areal yang diperoleh pada RKT 2012 sebesar 4.49% sedangkan untuk nilai rata-rata sebesar 0.45%. Pada petak 129 memperoleh luas areal terbuka paling besar yaitu 11 320 m 2, hal ini dikarenakan pada petak tersebut terdapat 15 TPn yang tersebar pada petak tersebut dengan luas rata-rata tiap TPn sebesar 0.075 ha atau 754.67 m 2. Sedangkan untuk petak dengan areal terbuka paling kecil terdapat pada petak 154 dengan luas hanya 649.48 m 2, luas tersebut 17 kali luas lebih kecil daripada petak 129. Petak 154 hanya memiliki 1 TPn dengan luas rata-rata 0.065 ha. Hal ini dikarenakan keadaan arealnya kurang memiliki potensi tegakan dibanding dengan petak 129 yang merupakan petak yang memanfaatkan banyak pohon disana dan petak yang dilalui oleh jalan utama sehingga untuk akses pengangkutan lebih mudah selain itu letak petaknya berada ditengah petak-petak lainnya. Petak tebang tahun 2013 persentase luas keterbukaan areal diperoleh 10.83% serta memperoleh rata-rata perpetak sebesar 0.90%. Untuk luas areal yang terbuka untuk pembuatan TPn pada masing-masing petak tidak berbeda jauh yaitu berkisar 6 TPn tiap petak. Perbandingan keterbukaan areal akibat pembuatan TPn pada petak tebang 2012 dan 2013, bahwa luas keterbukaan areal pada masing-masing petak tebang yaitu 44 866.83 m 2 (4.49 ha) dan 108 271.45 m 2 (10.83 ha). Sehingga dari data tersebut dapat diketahui keterbukaan areal akibat pembuatan TPn lebih besar pada petak tebang tahun 2013. Hal ini sangat bertolak belakang dengan luas terbuka akibat penyaradan. Hal ini bahwa keterbukaan jalan sarad tahun 2012 lebih besar daripada tahun 2103. Karena jalan sarad sangat erat kaitannya dengan TPn maka

18 dapat disimpulkan bahwa semakin besar keterbukaan areal yang diakibatkan oleh jalan sarad maka keterbukaan areal pembuatan TPn semakin kecil dan apabila keterbukaan areal akibat penyaradan lebih kecil maka luas areal terbuka akibat pembuatan TPn akan semakin besar. Keterbukaan Areal Hutan Akibat Pemanenan Kayu Keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu merupakan hasil dari kegiatan penebangan, penyaradan dan pembuatan TPn. Keterbukaan areal diperoleh dari hasil penjumlahan dari luas keterbukaan areal hutan. Luas keterbukaan akibat pemanfaatan kayu dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu Luas Luas Kegiatan Keterbukaan* Keterbukaan No tahun 2012 tahun 2013 pemanenan (m 2 ) ha % (m 2 ) ha % 1 Penebangan 1832.58 0.180 18.33 1832.58 0.18 18.33 2 Penyaradan 59 697.14 0.060 5.97 32 078.46 0.03 3.21 3 Jalan angkutan 23 876.21 0.014 1.31 298 458.73 0.16 16.17 4 TPn 4486.68 0.004 0.45 9.022.62 0.01 0.90 Jumlah 89 892.61 0.258 26.06 341 392.39 0.38 38.61 Tabel 7 menunjukkan luas keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu pada kedua RKT, hal ini dapat dilihat bahwa persen keterbukaan pada RKT 2013 memiliki hasil yang lebih besar dari RKT 2012 dengan luas penebangan yang sama, hal ini dikarenakan untuk tahun 2012 tidak ada penelitian mengenai penebangan sehingga tidak diperoleh data luas keterbukaan akibat penebangan. Selain itu juga pada tahun 2013 memiliki persen keterbukaan akibat jalan angkutan yang sangat besar yaitu sebasar 16.17%. Sehingga dapat diasumsikan bahwa pada RKT 2013 merupakan teknik pemanenan konvensional dan pada RKT 2012 dapat termasuk kedalam teknik pemanenan yang mengacu ke RIL. Tabel 8 Rata-rata keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu No Kegiatan pemanenan Luas (m 2 ) Keterbukaan ha % 1 Penebangan 1832.58 0.18 18.33 2 Penyaradan 45 887.80 0.04 4.60 3 Jalan angkutan 161 167.47 0.09 8.70 4 TPn 6754.65 0.01 0.70 Jumlah 215 642.50 0.32 32.33 Tabel 8 menjelaskan bahwa nilai tersebut diperoleh dari hasil rata-rata nilai keterbukaan akibat pemanenan kayu pada tahun 2012 dan 2013, sehingga di peroleh persentase keterbukaaan sebesar 32.33% dengan luas sebesar 215 642.50 m 2. Penebangan memperoleh nilai keterbukaan sebesar 18.33%, penyaradan memperoleh nilai keterbukaan sebesar 4.60%, jalan angkutan diperoleh 8.70% dan TPn memperoleh keterbukaan sebesar 0.70%.

Hasil penelitian pada Tabel 8 apabila dibandingkan dengan hasil Tabel 9, maka dapat dilihat bahwa hasil penelitian ini termasuk kedalam teknik pemanenan kayu konvensional atau teknik pemanenan yang ramah lingkungan. Tabel 9 Perbandingan keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu terhadap penelitian lain No Peneliti Lokasi 1 2 3 Elias (1995) Elias (1993) Muhdi (2002) PT. Sumalindo Lestari Jaya IV Kalimantan Timur PT. Kiani Lestari Kalimantan Timur PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Timur Hutan Tri Darma IPB Jambi Hutan Tri Darma IPB Jambi PT. Salaki Summa Sejahtera P. Siberut Teknik pemanenan Intensitas penebangan 19 Areal terbuka (%) RIL - 12.86 Konvensional 8 9 35.87 Konvensional 6 32.47 4 Setiawan (2002) Konvensional 6 29.23 5 Setiawan (2002) RIL 6 21.20 6 Hasil penelitian Konvensional 8 9 32.33 Sumber: Elias 1993, 2002, Muhdi 2001, Setiawan 2002 Tabel 9 menjelaskan bahwa hasil penelitian yang dilakukan pada PT SSS tidak mengalami perbedaan yang signifikan pada teknik pemanenan konvensional namun pada teknik RIL (Reduced Impact Logging) mengalami perbedaan yang cukup terlihat, sehingga dapat disimpulkan bahwa teknik pemanenan kayu pada perusahaan tersebut menggunakan teknik pemanenan kayu konvensional dengan intensitas tebangan sedang sehingga apabila dilakukan pemanenan dengan intensitas rendah maka persen keterbukaan dapat diminimalkan. Dapat terlihat bahwa Tabel 9 teknik pemanenan RIL yang memiliki keterbukaan terendah pada penelitian yang dilakukan Elias tahun 1995, sehingga dapat dijadikan sebagai teknik pemanenan yang baik dan dapat dijadikan sebagai literatur bahan perbandingan dari penelitian yang dilakukan. Namun kekurangan penelitian yang dilakukan Elias tersebut, hanya dilakukan pengukuran pada penebangan dan jalan sarad saja serta hanya dengan menggunakan 10 plot contoh dengan luas 10 ha sehingga kurang dapat mewakili dari seluruh areal blok tebangan. Selain itu penelitian yang dilakukan terdahulu biasanya juga hanya mengukur keterbukaan areal hutan akibat pemanenan kayu pada penebangan, penyaradan dan TPn saja serta hanya dilakukan pada data sampling dengan beberapa plot contoh baik dalam kegiatan penabangan dan penyaradan. Keterbukaan areal hutan yang diamati hanya pada kondisi keterbukaan tanah saja, tetapi kondisi keterbukaan tajuk tidak dilakukan perhitungan sehingga data yang diperoleh belum dapat mewakili seluruh keterbukaan yang diakibatkan dari pemanenan kayu. Penelitian yang dilakukan di PT. Salaki Summa Sejahtera dilakukan dengan pengukuran keterbukaan yang terjadi pada tanah dan tajuk pohon, selain itu pembuatan jalan angkutan juga merupakan kegiatan yang

20 membuka areal hutan sehingga perlu dilakukan pengukuran selain dari penebangan, penyaradan dan TPn, maka pada penelitian tersebut kegiatan pemanenan kayu dimulai dari penebangan, penyaradan, jalan angkutan dan TPn. Data yang digunakan pada pengukuran jalan sarad, jalan angkutan dan TPn dengan mengukur seluruh areal yang terkena dampak dari pembukaan areal dari kegiatan tersebut pada RKT 2012 dan 2013 dengan bantuan data sekunder berupa peta realisasi rencana kerja, sehingga dengan ini data akan lebih akurat dibandingkan hanya menggunakan data sampling. Keterbukaan areal hutan akibat kegiatan pemanenan kayu memang seharusnya memasukan semua komponen kegiatan pemanenan kayu yang berdampak pada pembukaan areal hutan, hal ini agar dapat diperoleh data yang seakurat mungkin, sehingga dapat menganalisis keterbukaan areal yang terjadi. Kegiatan pemanenan kayu yang sering menimbulkan keterbukaaan areal hutan yaitu kegiatan penebangan, penyaradan, TPn dan jalan angkutan. Pengukuran sebaiknya menggunakan data dari seluruh areal yang terbuka terutama pada penyaradan, TPn dan jalan angkutan daripada data sampling yang dirasa kurang mewakili untuk seluruh areal yang terbuka. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Luas keterbukaan akibat pemanenan kayu sebesar 32.33% dari penebangan, penyaradan, jalan angkutan dan TPn, namun hasil penelitian belum sesuai dengan teknik pemanenan yang diharapkan yaitu teknik pemanenan RIL (Reduced Impact Logging) dengan keterbukaan akibat pemanenan kayu sebesar 12.86%. Luas keterbukaan yang paling besar yaitu pada kegiatan penebangan sebesar 18.33%, hal ini dikarenakan menggunakan perhitungan luas proyeksi tajuk, luas batang dan luas tajuk pohon yang telah roboh dan faktor intensitas penebangan. Semakin besar intensitas penebangan maka semakin besar keterbukaan areal hutan yang ditimbulkan, sehingga teknik pemanenan kayu pada perusahaan termasuk kedalam teknik pemanenan kayu konvensional (CL). Keterbukaan areal hutan akibat kegiatan pemanenan kayu seharusnya memasukan semua komponen kegiatan yang berdampak pada pembukaan areal hutan yaitu kegiatan penebangan, penyaradan, TPn dan jalan angkutan dan pengukuran sebaiknya menggunakan data dari seluruh areal yang terbuka, selain itu juga perlu dilakukan pengukuran keterbukaan pada tajuk pohon dan tanah hutan. Saran Perlu penelitian lanjutan dengan menggunakan intensitas penebangan rendah mengenai teknik pemanenan kayu RIL (Reduced Impact Logging) dan metode penebangan yang digunakan, yaitu pengukuran luas proyeksi tajuk, luas batang, dan luas tajuk. Perlu dilakukan perhitungan luas jalan angkutan dan TPn untuk menentukan persen keterbukaan akibat pemanenan kayu.

21 DAFTAR PUSTAKA Conway S. 1978. Logging Practices Principles of Timber Harvesting System. Washington (US): Miller Preeman Publication, Inc. Elias. 1993. Kerusakan tegakan tinggal pada hutan tropika basah akibat pemanenan kayu dengan sistem TPTI. Rimba Indonesia. 29(3 4):32 38. Elias. 2002. Reduced Impact Logging Buku 2. Bogor (ID): IPB Press. Elias. 2008. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor (ID): IPB Press. Indriyati IN. 2010. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan di PT Salaki Summa Sejahtera Pulau Siberut, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Matangaran JR, Pratiani T, Purnamasari DW. 2013. Faktor eksploitasi dan kuantifikasi limbah kayu dalam rangka peningkatan efisiensi pemanenan hutan. Jurnal Bumi Lestari. 13( 2):384 39. Muhdi. 2001. Studi kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan teknik pemanenan kayu berdampak rendah dan konvensional di hutan alam (studi kasus di HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Muhdi, Hanafiah DS. 2001. Dampak pemanenan kayu berdampak rendah terhadap kerusakan tegakan tinggal di hutan alam (studi kasus di areal PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). JIPI. 9(1):32 39. [PT. SSS] PT. Salaki Summa Sejahtera. 2008. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi Periode Tahun 2008 s/d 2017. Mentawai (ID). Setiawan H. 2002. Studi kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu oleh pembalak tradisional dan kontraktor pemanenan di areal hutan produksi (studi kasus di blok 40 dan 50 hutan Tri Dharma IPB, Jambi) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suhartana S, Yuniawati. 2011. Peningkatan produktivitas pemanenan kayu melalui teknik pemanenan kayu ramah lingkungan: kasus di satu perusahaan hutan rawa gambut di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 29(4):369 384. Sularso N. 1996. Analisis kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu terkendali dan konvensional pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Thaib J. 1986. Pengaruh intensitas penebangan dan kelerengan terhadap keterbukaan tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 2(4):14 18.

22 Lampiran 1 Peta Rencana Kerja Tahunan di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera

Lampiran 2 Peta Jaringan Jalan Rencana Kerja Tahunan 2012 di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera 23

24 Lampiran 3 Peta Jaringan Jalan Rencana Kerja Tahunan 2013 di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera PETA PERKEMBANGAN JARINGAN JALAN DAN TPn BLOK RKTUPHHK TAHUN 2013 PT. SALAKI SUMMA SEJAHTERA KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI PROVINSI SUMATERA BARAT

25 Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian Kondisi hutan setelah penebangan Kondisi tajuk hutan akibat penebangan Kondisi Tempat Pengumpulan kayu Kondisi jalan angkutan Kondisi jalan sarad Proses pembuatan jalan sarad Kondisi tanah akibat pergusuran tanah dari kegiatan penyaradan Pengukuran jalan sarad